Rabu, 30 April 2014

Sejarah Perkembangan Studi Hukum Islam Pasca Khulafaur Rasyidin

Standard
 

 Sejarah Perkembangan Studi Hukum Islam Pasca Khulafaur Rasyidin
Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Studi Hukum Islam

Dosen Pembimbing :
Drs. H. Munir Mansyur, M.Ag

Disusun Oleh :
Kelompok 2/4C1
1.      Alif Mardiana Devi                     B03212005
2.      Dewi Mei Sinta                            B03212006
3.      Ida Ayu Kusumawati                 B03212008
4.      Ika Nur Halimah                         B03212009


 

BAB II
PEMBAHASAN

        A.    Sejarah Studi Hukum Islam Pasca Khulafaur Rasyidin
Pasca pemerintahan para khulafaur rasyidin, perkembangan tentang studi islam kemudian dilanjutkan oleh para politikus pada masa tersebut. Perkembangan studi hukum islam juga semakin kompleks dengan muncunya beberapa kerajan atau yang lebih akrab kita kenal sebagai dinasti. Akibat adanya perluasan wilayah kekuasaan atas kepentingan politik, maka antara praktek Nabi Muhammad dengan praktek umat islam generasi berikutnya ini terjadi distorsi. Inilah yang menjadi asal muasal munculnya panglima pada masa Dinasti Umayyah atas nama politik. Apalagi islam semakin luas dan peradabannya sampai di luar dari Arab. Berikut dua pemikiran yang mendasari corak pemikiran islam pada masa Dinasti Umayyah.
1.   Pergulatan Hukum dan Politik di Masa Dinasti Umayyah
Pembentukan pemerintah islam sebagian besar merupakan prestasi kekhalifahan yang pertama, yakni Dinasti Umayyah.[1] Dinasti ini dengan serius menangani visi sosial yang merupakan penawaran dari Nabi, sehingga para khalifahnya dijuluki sebagai khalifah-khalifah Tuhan yang merupakan seorang eksekutor. Dalam bidang hukum, kontribusi besarDinasti Umayyah adalah pembentukkan sistem peradilan kekhalifahan yang baru.[2] Qadi merupakan gelar untuk para hakim dalam pemerintahan ini. Berikut ini beberapa kedudukan para qadi dalam buku Studi Hukum Islam yang dikarang oleh Tim MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya 2012:
a.    Sebagai pembawa otoritas  khalifah dalam wilayah peradilan
b.   Sebagai wakil khalifah atau gubernur propinsi, sehingga bisa diangkat atau diberhentikan sekehendak penguasa mereka
Selain beberapa kedudukan tersebut, para qadi juga mampu melakukan praktek hukum umayyah (menurut sejawan hukum islam, Joseph Schacht) lewat langkah pengambilan keputusan kumulatif yang menghasilkan himpunan besar preseden-preseden hukum. Hukum islam tidak muncul dari lingkungan kekuasaan ataupun dari para hakim, melainkan dari para ulama yang tidak memiliki hubungan resmi dengan rezim kekuasaan.Bangunan hukum islam didasarkan pada pragmatisme hukum agar mudah dipraktekkan oleh umat islam, bukan didasarkan pada idealisme hukum.[3]
Dalam masyarakat islam yang berkembang, otoritas cepat menjadi terikat dengan pengetahuan religius dan kesalehan individual, tidak dengan kekuasaan.[4] Sehingga perkembangan yang demikian ini mempunyai akarnya pada masa-masa islam paling awal dan mendapatkan momentumnya selama penaklukan-penaklukan. Peranan para ulama tidak sekedar sebagai pakar hukum islam, melainkan juga menangani kasus hukum (sesuatu yang jangkauannya meliputi keseluruhan cara hidup, termasuk kedetailan kehidupan sehari-hari yang melampaui wilayah). Pada beberapa , pemakaian islam mendapatkan suatu kata untuk mengungkapkan totalitas norma-norma hukum, moral, dan ritual.[5] Sedangkan untuk istilah syari’ah, ulama’ seringkali untuk mrngungkapkan totalitas kehidupan tersebut. Oleh karena itu, hukum merupakan bagian dari syari’ah, di mana syari’ah mencakup keseluruhan norma, sehingga tidak tepat pula untuk menyamakan antara syari’ah dan hukum. Dengan demikian, praktek hukum umayyah merupakan objek utama dari perhatian mereka.[6]
Para ulama’pun menggelompok  menjadi beberapa madzab untuk mengajukan konsep-konsep tandingan terhadap pemerintahan Umayyah, sehingga dengan ini sebagai munculnya madzab-madzab hukum pertama dalam islam. Dinasti Umayyahpun ditumbangkan oleh kekuatan besar yakni kaum ulama’ (sebagai perancang pola negara dan masyarakat) dan Dinasti Abbasiyah ((berjanji akan melaksanakan rancangan ini). Atas pengaruh politik, pendekatan hukum mereka bersifat religius-idealistik-akademistik yang lebih tertarik mengembangkan sistem ibadah dalam dunia hukum. Sedangkan Dinasti Umayyah sendiri dalam pragmatismenya lebih menitikberatkan pada analisa hukum terhadap praktek peradilan. Akibatnya, timbul kesenjangan antara konsep hukum yang dikemukakan kaum ulama’ dengan praktek hukum di peradilan.[7] Inilah ciri utama hukum islam pada masa itu.[8]
2.   Skripturalis Versus Rasionalis
Pada masa murid sahabat, terdapat tiga pembagian geografis yang besar, yakni Irak (Bashrah dan Kufah), Hijaz (Makkah dan Madinah), dan Mesir (tidak mempunyai wilayah karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri).
Para pakar hukum islam yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk menggunakan penalaran rasional dalam skala yang cukup luas, karena memandang hukum islam dalam takaran rasionalitas. Pemikiran hukum islam pada masa murid sahabat (tabi’in) mengarah kepada dua bentuk, yakni:
1.      Lebih menggunakan riwayat dibanding penalaran akal, dengan tokohnya Sa’id bin al-Musayyab di Madinah (Aliran Madinah)
2.      Lebih banyak menggunakan penalaran rasional dibandingkan dengan penalaran riwayat, dengan tokohnya Ibrahin an-Nakha’i (Aliran Kufah)
Ada dua kecenderungan penting pada kedua madzab di atas:[9]
1.      Lahir bentu metode deduksi-logis dalam bentuk qiyas (analogi)
2.      Makin diperkokohnya konsep sunnah yang cenderung mengklaim generasi terdahulu sebagai sumber dalam rangka mengkokohkan suatu tradisi
Kesamaan keduanya terletak pada metode dan garis perkembangan yang sama, yakni meninjau praktek hukum dan politik setempat dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam al-Qur’an.[10] Pada posisi ini seringkali terjadi ketidaksamaan hukum antara aliran Madinah dan aliran Kufah baik secara psikologis maupun geografis, serta madzab yang mereka berdua anut. Madzab Malik menjadi madzab Madinah, sedangkan madzab Kufah menjad madzab Hanafi.[11] Hal ini merupakan salah satu ciri tidak adanya keseragaman hukum yan merupakan ciri utama hukum di masa itu.
Kesimpulannya, meskipun pemikiran para murid sahabat mengikuti cara berpikir para sahabat di masing-masing kota, namun, dalam beberapa hal, mereka berbeda pendapat dengan gurunya, bahkan berbeda dengan apa yang berlaku pada zaman Nabi.[12]
Instrumen Hukum   Dinasti ‘Abbasiyah
Abbasiyah berasal dari keluarga paman Nabi yang bernama al-Abbas, dari golongan Hasyim di Mekkah.[13] Sistem hukum pada masa Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan dengan kekeuatan tertinggi di bidang kehakiman adalah hakim agung (qadli al-qudlah). Untuk menjaga kewibawaan hukum, para khalifah ‘Abbasiyah melakukan seleksi hakim agung secara ketat.[14] Semua instrumen kehakiman terfokus pada diri hakim agung.[15] Pada masa Dinasti Abbasiyah, wacana hukum sangat maju, karena tidak sedikit khalifahnya yang memiliki perhatian kepada ilmu pengetahuan.[16] Sejarah juga mencatat periode ini sebagai suatu fase dimana fiqih tidak sekedar berputar di sekitar masalah-masalah pengambilan hukum atau fatwa-fatwa fuqaha sahabat, seperti yang menjadi concern fuqaha sebelumnya, tetapi merambah  ke dalam  persoalan-persoalan  metodologis dan kemungkinan  pencarian “rumusan alternatif” bagi pengembangan kajian fiqh.. [17]Ada beberapa faktor yang mempunyai andil dalam menghantarkan fiqih menuju era keemasan. Faktor-faktor itu di antaranya :[18]
1.      Adanya perhatian para khalifah Bani Abbas terhadap fiqh dan para fuqahanya.
Berbeda dengan Khulafa’ Bani Umayyah yang “memasung” para fuqaha membatasi gerak mereka yang berani menantang kebijaksanaan pemerintah. Khulafa’ Bani Abbas malah mendekati para fuqaha dan meletakkan mereka pada posisi yang terhormat. Perhatian yang begitu besar, misalnya dapat dilihat ketika khalifah Harun al-Rasyid memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab Muwattha’ kepada kedua putranya, al-Amin dan al-Makmun.
2.      Kebebasan berpendapat
Perhatian khulafa’ Bani Abbas yang besar terhadap fiqih dan fuqaha juga tergambar dalam kebebasan berpendapat dan berbagai stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan keberanian berijtihad para fuqaha. Pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak ikut campur dalam urusan fiqh, misalnya dengan meletakkan peraturan yang mengikat kebebasan berpikir dan tidak pula membatasi madzhab tertentu yang mengikat para hakim, mufti atau ahli fiqh memiliki kebebasan untuk menentukan hukum sesuai dengan metodologi dan kaidah-kaidah  ijtihad yang mereka gunakan.
3.      Banyaknya fatwa pada periode ini
4.      Kodifikasi ilmu
5.      Tersebarnya perdebatan dan tukar pikiran diantara para Faqihi
Pada permulaan masa ini, mulailah timbul munadzarah (pertukaran fikiran) dan perselisihan paham yang meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru dalam mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ itu. Terjadinya perselisihan paham di masa sahabat itu adalah karena perbedaan paham diantara mereka dan perbedaan nash yang sampai kepada mereka, karena pengetahuan mereka dalam soal hadis tidak bersamaan dan pula karena perbedaan pandangan tentang mashlahah yang menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum, disamping itu juga adalah karena berlainan tempat.
6.      Pembukuan fiqh / hukum Islam
Gagasan penulisan hukum-hukum fiqhiyah sebenarnya sudah muncul pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, yaitu ketika beberapa ulama mulai menulis fatwa-fatwa diantara syeikh mereka karena khawatir lupa atau hilang. Sejak saat itu inisiatif untuk menulis hukum-hukum syar’iyah terus berkembang. Beberapa fuqaha Madinah mulai mengumpulkan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in seperti Siti Aisyah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas sebagaimana terlihat dalam kitab Muwattha’, karya monumental Imam Malik.
Akan tetapi, tidak jarang pemikiran para ulama bergesekan dengan kepentingan khalifah, sehingga terjadi ketegangan antara keduanya.
Ketegangan Hukum dan Politik
Sepanjang sejarah islam, hukum merupakan tataran idealitas hukum yang disusun oleh apara ulama (law in book), sedangkan politik adalah realitas hukum yang lahir ditengah  masyarakat (law society).[19] Dari kedua istialh tersebut bisa menimbulkan sebuah ketegangan yang berupa konflik antara ulama’ dan umara’. Sehingga dalam hal ini ada dua macam ulama, yaitu ulama sebagai cendikiawan  yang berpikir bebas dan ulama yang menjadi pejabat negara. Selain itu ada juga pembagian mengenai ulama berdasarkan langkah kerjanya, yakni ulama kultural (memberikan fatwa) dan ulama strruktural (melahirkan yurisprudensi). Bentuk dari ketegangan hukum dan politik bisa berupa pertentangan antara kepentingan pejabat dengan yurisprudensi maupun dengan fatwa ulama.
Polemik hukum dan politik lebih disebabkan oleh kepentingan seseorang aataupun kelompok yang enggan menerima kebenaran, setidaknya menghargai kebenaran dari orang lain. Kebanran hukum berimplikasi pada sanksi hukum laya diberi sanksi hukum, yang artinya orang yang telah divonis salah oleh hukum layak diberi sanksi. Karen a itu, kebenaran bisa dibagi menjadi empat bagian, yakni:
             1.         Kebenaran hukum (benar dan salah)
             2.         Kebenaran ilmiah (terbukti atau tidaak terbukti)
             3.         Kebenaran teologis (yakin dan tidak yakin)
             4.          Kebenaran etika (baik dan buruk)
Dengan dasar ini,  ketegangan antara politikus dan ilmuwan, politikus dan para teolog, dan para politikus dan para pakar hukum islam pada Dinasti Abbasiyah.[20] 
 
3.    Integrasi dan Politik
Perkembangan kekuasaan Dinasti Abbasiyah mengalami dua bentuk perubahan, yakni pra al-Mutawakkil (749-874 M = 98 tahun) dan pascaal-Mutawakkil (849-974 M =  127 tahun).[21] Orang itu, selama dua setengah abad dipertahankan sebagai boneka oleh para Sultan Mamluk.[22]Khalifah al-mutawakkil merupakan biang keladi kemerosotan Dinasti Abbasiyah, akibat karakternya yang buruk.[23] Sedangkan dalam perkembangan awalnya, Dinasti Abbasiyah (pra al-mutawakkil), model hukum dan politik yang terwujud dalam hubungan harmonis antara pakar hukum islam – baik ulama kultural maupun struktural dengan khalifah.
Hukum Islam di Masa Stagnasi
Yang ketiga adalah orang laki-laki yang melihat kepada perempuan-perempuan muhrimnya atau budak perempuan yang dinikahinya. (Orang laki-laki tersebut) diperbolehkan melihatnya pada selain bagian tubuh antara pusar dan lutut. Beberapa kalimat yang dikutip langsung dari kitab al-taqrib karya Abu Syuja’ ini menimbulkan masalah hukum islam, bagaimanakah hukumnya saudara muhrim melihat aurat saudarinya yang telah dewasa selain bagian antara pusar dan lutut?Akibat adanya beberapa silang pendapat, maka konstruksi pemikiran madzab ini menjadi kebutuhan di zaman stagnasi.
           Ada tiga penyebab stagnasi pemikiran umat islam yakni, aktor politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman, dan kelemahan posisi ulama dalam kekuasaan kehakiman, dan kelemahan posisi ulama dalam menghadapi pemerintah. Sedangkan menurut Abd al-Wahhab Khallaf, peneyebab kebekuan pemikiran umat islam adalah
  1. Terpecahanya kekuasaan umat islam menjadi negara-negara kecil hingga uamt islam disibukkan dengan eksistensi politik 
  2. Terbaginya para pakar hukum islam tingakat mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar 
  3.  Menyebarnya para ulama yang memberi fatwa berdasarkn petunjuk penguasa 
  4.   Menyebarnya penyakit akhlak, seperti hasud, egoisme, di kalangan ulama
Berikut ini, kami paparkan karakteristik dari masa stagnasi yakni, berbagai ilmu islam dibukukan dan tidak disampaikan lagi, muncul bentuk ikhtisar atas kaya-karya tertentu, umat islam terlena dengan prestasi ulama terdahulu, dan pada periode ini tidak melahirkan mujtahid (orang islam yang berupaya menggali hukum islam) yang independen, berkembang tradisi diskusi madzab. Berikut ini akan Kami jelaskan beberapa hukum islam di masa Arab modern:
      1.      Hukum Islam di negara modern
Kelompok pemikir yang hanya mengakui sifat rasion-ilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecendrungan mistik yang tidak berdasarkan nalar praktis.[24] Ada dua paradigma yang diterapkan dalam negara-negara modern, yakni:  
  •  Mengedepankan cara akomodatif  
  • Memepertahankan paradigma hukum islam semula dan mendesakkannya dalam sistem hukum modern, baik secara ideologis maupun praksis
      2.      Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat
Sebelum dapat bersatunya antara hukum islam, hukum barat, dan hukum islam ini telah terjadi ketidaksesuaian atau ksulitan untuk menyatukannya. Hal ini dikareanakan adanya dua macam hukum yang berlaku dan saling berinteraksi, layaknya hukum barat dengan hukum islam. Meskipun hukum barat telah mampu diasimilasikan  di berbagai daerah islam, namun hal ni tidak berlaku untuk penyatuannya dengan hukum adat yang seperinya sulit untuk digabungkan. Namun, pada akhirnya ketiga hukum tersebut dapat disatukan kemudian.
      3.      Ijtihad Kolektif: Trend Hukum Islam Modern
Ijtihad kolektif merupakan kesepakatan beberapa pakar hukum islam, sehingga dilakukan oleh sekelompok ulama dan menghasilkan keputusan kolektif. Masyarakat modernpun menjunjung tinggi demokratisasi lebih percaya pada keputusan kolektif. Dengan demikian, pengambilan hukum islam secara kolektif dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat relevan dengan pemikiran masyarakat modern.[25]


DAFTAR PUSTAKA
 
                   Bosworth, Ge, Dinasti-Dinasti Islam, Bandung: PT. Mizan 1993
                   Hitty, Philip K, History Of The Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta 2013           http://gubukhukum.blogspot.com/2013/01/perkembangan-metode-studi-islam_9545.html
           http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/11/hukum-islam-pada-masa-keemasan-dinasti.html
           Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam, Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press 2012


[1] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya : IAIN Sunan Ampel Press 2012) h. 118
[2] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 119
[3] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 120
[4] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 121
[5] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 122
[6] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 123
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 125
[10] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 126
[11] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 127
[12] ibid
[13] Ge Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: PT. Mizan 1993)h. 29
[14] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 134
[15] Ibid
[16] Ibid
[18] Ibid
[19] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 135
[20] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam.
[21] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 139
[22] Philip K. Hitti, History Of The Arabs (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta 2013) h. 622
[23] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 139
[25] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 164

0 komentar:

Posting Komentar