Sejarah Perkembangan Studi Hukum Islam Pasca
Khulafaur Rasyidin
Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Studi Hukum Islam”
Dosen Pembimbing :
Drs. H. Munir Mansyur,
M.Ag
Disusun Oleh :
Kelompok 2/4C1
1.
Alif
Mardiana Devi B03212005
2.
Dewi
Mei Sinta B03212006
3.
Ida
Ayu Kusumawati B03212008
4.
Ika
Nur Halimah B03212009
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Studi Hukum Islam Pasca Khulafaur Rasyidin
Pasca pemerintahan para khulafaur
rasyidin, perkembangan tentang studi islam kemudian dilanjutkan oleh para
politikus pada masa tersebut. Perkembangan studi hukum islam juga semakin
kompleks dengan muncunya beberapa kerajan atau yang lebih akrab kita kenal
sebagai dinasti. Akibat adanya perluasan wilayah kekuasaan atas kepentingan
politik, maka antara praktek Nabi Muhammad dengan praktek umat islam generasi
berikutnya ini terjadi distorsi. Inilah yang menjadi asal muasal
munculnya panglima pada masa Dinasti Umayyah atas nama politik. Apalagi islam
semakin luas dan peradabannya sampai di luar dari Arab. Berikut dua pemikiran
yang mendasari corak pemikiran islam pada masa Dinasti Umayyah.
1. Pergulatan
Hukum dan Politik di Masa Dinasti Umayyah
Pembentukan
pemerintah islam sebagian besar merupakan prestasi kekhalifahan yang pertama,
yakni Dinasti Umayyah.[1]
Dinasti ini dengan serius menangani visi sosial yang merupakan penawaran dari
Nabi, sehingga para khalifahnya dijuluki sebagai khalifah-khalifah Tuhan yang
merupakan seorang eksekutor. Dalam bidang hukum, kontribusi besarDinasti
Umayyah adalah pembentukkan sistem peradilan kekhalifahan yang baru.[2]
Qadi merupakan gelar untuk para hakim dalam pemerintahan ini. Berikut ini
beberapa kedudukan para qadi dalam buku Studi Hukum Islam yang dikarang
oleh Tim MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya 2012:
a. Sebagai
pembawa otoritas khalifah dalam wilayah
peradilan
b. Sebagai
wakil khalifah atau gubernur propinsi, sehingga bisa diangkat atau
diberhentikan sekehendak penguasa mereka
Selain beberapa kedudukan tersebut,
para qadi juga mampu melakukan praktek hukum umayyah (menurut sejawan hukum
islam, Joseph Schacht) lewat langkah pengambilan keputusan kumulatif yang
menghasilkan himpunan besar preseden-preseden hukum. Hukum islam tidak muncul
dari lingkungan kekuasaan ataupun dari para hakim, melainkan dari para ulama
yang tidak memiliki hubungan resmi dengan rezim kekuasaan.Bangunan hukum islam
didasarkan pada pragmatisme hukum agar mudah dipraktekkan oleh umat islam,
bukan didasarkan pada idealisme hukum.[3]
Dalam masyarakat islam yang
berkembang, otoritas cepat menjadi terikat dengan pengetahuan religius dan
kesalehan individual, tidak dengan kekuasaan.[4]
Sehingga perkembangan yang demikian ini mempunyai akarnya pada masa-masa islam
paling awal dan mendapatkan momentumnya selama penaklukan-penaklukan. Peranan
para ulama tidak sekedar sebagai pakar hukum islam, melainkan juga menangani
kasus hukum (sesuatu yang jangkauannya meliputi keseluruhan cara hidup,
termasuk kedetailan kehidupan sehari-hari yang melampaui wilayah). Pada
beberapa , pemakaian islam mendapatkan suatu kata untuk mengungkapkan totalitas
norma-norma hukum, moral, dan ritual.[5]
Sedangkan untuk istilah syari’ah, ulama’ seringkali untuk mrngungkapkan
totalitas kehidupan tersebut. Oleh karena itu, hukum merupakan bagian dari
syari’ah, di mana syari’ah mencakup keseluruhan norma, sehingga tidak tepat
pula untuk menyamakan antara syari’ah dan hukum. Dengan demikian, praktek hukum
umayyah merupakan objek utama dari perhatian mereka.[6]
Para ulama’pun menggelompok menjadi beberapa madzab untuk mengajukan
konsep-konsep tandingan terhadap pemerintahan Umayyah, sehingga dengan ini
sebagai munculnya madzab-madzab hukum pertama dalam islam. Dinasti Umayyahpun
ditumbangkan oleh kekuatan besar yakni kaum ulama’ (sebagai perancang pola
negara dan masyarakat) dan Dinasti Abbasiyah ((berjanji akan melaksanakan
rancangan ini). Atas pengaruh politik, pendekatan hukum mereka bersifat
religius-idealistik-akademistik yang lebih tertarik mengembangkan sistem ibadah
dalam dunia hukum. Sedangkan Dinasti Umayyah sendiri dalam pragmatismenya lebih
menitikberatkan pada analisa hukum terhadap praktek peradilan. Akibatnya,
timbul kesenjangan antara konsep hukum yang dikemukakan kaum ulama’ dengan praktek
hukum di peradilan.[7] Inilah
ciri utama hukum islam pada masa itu.[8]
2. Skripturalis
Versus Rasionalis
Pada
masa murid sahabat, terdapat tiga pembagian geografis yang besar, yakni Irak
(Bashrah dan Kufah), Hijaz (Makkah dan Madinah), dan Mesir (tidak mempunyai
wilayah karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri).
Para
pakar hukum islam yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk menggunakan
penalaran rasional dalam skala yang cukup luas, karena memandang hukum islam
dalam takaran rasionalitas. Pemikiran hukum islam pada masa murid sahabat
(tabi’in) mengarah kepada dua bentuk, yakni:
1. Lebih
menggunakan riwayat dibanding penalaran akal, dengan tokohnya Sa’id bin
al-Musayyab di Madinah (Aliran Madinah)
2. Lebih
banyak menggunakan penalaran rasional dibandingkan dengan penalaran riwayat,
dengan tokohnya Ibrahin an-Nakha’i (Aliran Kufah)
Ada dua kecenderungan
penting pada kedua madzab di atas:[9]
1. Lahir
bentu metode deduksi-logis dalam bentuk qiyas (analogi)
2. Makin
diperkokohnya konsep sunnah yang cenderung mengklaim generasi terdahulu sebagai
sumber dalam rangka mengkokohkan suatu tradisi
Kesamaan keduanya terletak pada
metode dan garis perkembangan yang sama, yakni meninjau praktek hukum dan
politik setempat dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam al-Qur’an.[10]
Pada posisi ini seringkali terjadi ketidaksamaan hukum antara aliran Madinah
dan aliran Kufah baik secara psikologis maupun geografis, serta madzab yang
mereka berdua anut. Madzab Malik menjadi madzab Madinah, sedangkan madzab Kufah
menjad madzab Hanafi.[11]
Hal ini merupakan salah satu ciri tidak adanya keseragaman hukum yan merupakan
ciri utama hukum di masa itu.
Kesimpulannya, meskipun pemikiran
para murid sahabat mengikuti cara berpikir para sahabat di masing-masing kota,
namun, dalam beberapa hal, mereka berbeda pendapat dengan gurunya, bahkan
berbeda dengan apa yang berlaku pada zaman Nabi.[12]
Instrumen Hukum Dinasti ‘Abbasiyah
Abbasiyah berasal dari keluarga
paman Nabi yang bernama al-Abbas, dari golongan Hasyim di Mekkah.[13]
Sistem hukum pada masa Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan dengan kekeuatan
tertinggi di bidang kehakiman adalah hakim agung (qadli al-qudlah). Untuk
menjaga kewibawaan hukum, para khalifah ‘Abbasiyah melakukan seleksi hakim
agung secara ketat.[14]
Semua instrumen kehakiman terfokus pada diri hakim agung.[15]
Pada masa Dinasti Abbasiyah, wacana hukum sangat maju, karena tidak sedikit
khalifahnya yang memiliki perhatian kepada ilmu pengetahuan.[16]
Sejarah juga mencatat periode ini sebagai suatu fase dimana fiqih tidak sekedar
berputar di sekitar masalah-masalah pengambilan hukum atau fatwa-fatwa fuqaha
sahabat, seperti yang menjadi concern fuqaha sebelumnya, tetapi merambah ke dalam
persoalan-persoalan metodologis
dan kemungkinan pencarian “rumusan
alternatif” bagi pengembangan kajian fiqh.. [17]Ada
beberapa faktor yang mempunyai andil dalam menghantarkan fiqih menuju era
keemasan. Faktor-faktor itu di antaranya :[18]
1. Adanya
perhatian para khalifah Bani Abbas terhadap fiqh dan para fuqahanya.
Berbeda
dengan Khulafa’ Bani Umayyah yang “memasung” para fuqaha membatasi gerak mereka
yang berani menantang kebijaksanaan pemerintah. Khulafa’ Bani Abbas malah
mendekati para fuqaha dan meletakkan mereka pada posisi yang terhormat.
Perhatian yang begitu besar, misalnya dapat dilihat ketika khalifah Harun
al-Rasyid memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab Muwattha’ kepada kedua
putranya, al-Amin dan al-Makmun.
2. Kebebasan
berpendapat
Perhatian
khulafa’ Bani Abbas yang besar terhadap fiqih dan fuqaha juga tergambar dalam
kebebasan berpendapat dan berbagai stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan
keberanian berijtihad para fuqaha. Pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak ikut
campur dalam urusan fiqh, misalnya dengan meletakkan peraturan yang mengikat
kebebasan berpikir dan tidak pula membatasi madzhab tertentu yang mengikat para
hakim, mufti atau ahli fiqh memiliki kebebasan untuk menentukan hukum sesuai
dengan metodologi dan kaidah-kaidah
ijtihad yang mereka gunakan.
3. Banyaknya
fatwa pada periode ini
4. Kodifikasi
ilmu
5. Tersebarnya
perdebatan dan tukar pikiran diantara para Faqihi
Pada
permulaan masa ini, mulailah timbul munadzarah (pertukaran fikiran) dan
perselisihan paham yang meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah
baru dalam mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ itu. Terjadinya perselisihan
paham di masa sahabat itu adalah karena perbedaan paham diantara mereka dan
perbedaan nash yang sampai kepada mereka, karena pengetahuan mereka dalam soal
hadis tidak bersamaan dan pula karena perbedaan pandangan tentang mashlahah
yang menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum, disamping itu juga adalah karena
berlainan tempat.
6. Pembukuan
fiqh / hukum Islam
Gagasan
penulisan hukum-hukum fiqhiyah sebenarnya sudah muncul pada akhir pemerintahan
Bani Umayyah, yaitu ketika beberapa ulama mulai menulis fatwa-fatwa diantara
syeikh mereka karena khawatir lupa atau hilang. Sejak saat itu inisiatif untuk
menulis hukum-hukum syar’iyah terus berkembang. Beberapa fuqaha Madinah mulai
mengumpulkan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in seperti Siti Aisyah, Ibnu Umar dan
Ibnu Abbas sebagaimana terlihat dalam kitab Muwattha’, karya monumental Imam
Malik.
Akan tetapi, tidak jarang pemikiran
para ulama bergesekan dengan kepentingan khalifah, sehingga terjadi ketegangan
antara keduanya.
Ketegangan Hukum dan Politik
Sepanjang sejarah islam, hukum
merupakan tataran idealitas hukum yang disusun oleh apara ulama (law in book),
sedangkan politik adalah realitas hukum yang lahir ditengah masyarakat (law society).[19]
Dari kedua istialh tersebut bisa menimbulkan sebuah ketegangan yang berupa
konflik antara ulama’ dan umara’. Sehingga dalam hal ini ada dua macam ulama,
yaitu ulama sebagai cendikiawan yang
berpikir bebas dan ulama yang menjadi pejabat negara. Selain itu ada juga
pembagian mengenai ulama berdasarkan langkah kerjanya, yakni ulama kultural
(memberikan fatwa) dan ulama strruktural (melahirkan yurisprudensi). Bentuk
dari ketegangan hukum dan politik bisa berupa pertentangan antara kepentingan
pejabat dengan yurisprudensi maupun dengan fatwa ulama.
Polemik hukum dan politik lebih
disebabkan oleh kepentingan seseorang aataupun kelompok yang enggan menerima
kebenaran, setidaknya menghargai kebenaran dari orang lain. Kebanran hukum
berimplikasi pada sanksi hukum laya diberi sanksi hukum, yang artinya orang
yang telah divonis salah oleh hukum layak diberi sanksi. Karen a itu, kebenaran
bisa dibagi menjadi empat bagian, yakni:
1.
Kebenaran hukum (benar
dan salah)
2.
Kebenaran ilmiah
(terbukti atau tidaak terbukti)
3.
Kebenaran teologis
(yakin dan tidak yakin)
4.
Kebenaran etika (baik dan buruk)
Dengan
dasar ini, ketegangan antara politikus
dan ilmuwan, politikus dan para teolog, dan para politikus dan para pakar hukum
islam pada Dinasti Abbasiyah.[20]
3. Integrasi
dan Politik
Perkembangan kekuasaan Dinasti
Abbasiyah mengalami dua bentuk perubahan, yakni pra al-Mutawakkil (749-874 M =
98 tahun) dan pascaal-Mutawakkil (849-974 M =
127 tahun).[21]
Orang itu, selama dua setengah abad dipertahankan sebagai boneka oleh para
Sultan Mamluk.[22]Khalifah
al-mutawakkil merupakan biang keladi kemerosotan Dinasti Abbasiyah, akibat
karakternya yang buruk.[23]
Sedangkan dalam perkembangan awalnya, Dinasti Abbasiyah (pra al-mutawakkil),
model hukum dan politik yang terwujud dalam hubungan harmonis antara pakar
hukum islam – baik ulama kultural maupun struktural dengan khalifah.
Hukum
Islam di Masa Stagnasi
Yang ketiga adalah orang laki-laki
yang melihat kepada perempuan-perempuan muhrimnya atau budak perempuan yang
dinikahinya. (Orang laki-laki tersebut) diperbolehkan melihatnya pada selain
bagian tubuh antara pusar dan lutut. Beberapa kalimat
yang dikutip langsung dari kitab al-taqrib karya Abu Syuja’ ini menimbulkan
masalah hukum islam, bagaimanakah hukumnya saudara muhrim melihat aurat
saudarinya yang telah dewasa selain bagian antara pusar dan lutut?Akibat adanya
beberapa silang pendapat, maka konstruksi pemikiran madzab ini menjadi
kebutuhan di zaman stagnasi.
Ada tiga penyebab stagnasi
pemikiran umat islam yakni, aktor politik, campur tangan penguasa dalam
kekuasaan kehakiman, dan kelemahan posisi ulama dalam kekuasaan kehakiman, dan
kelemahan posisi ulama dalam menghadapi pemerintah. Sedangkan menurut Abd
al-Wahhab Khallaf, peneyebab kebekuan pemikiran umat islam adalah
- Terpecahanya kekuasaan umat islam menjadi negara-negara kecil hingga uamt islam disibukkan dengan eksistensi politik
- Terbaginya para pakar hukum islam tingakat mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar
- Menyebarnya para ulama yang memberi fatwa berdasarkn petunjuk penguasa
- Menyebarnya penyakit akhlak, seperti hasud, egoisme, di kalangan ulama
Berikut ini, kami paparkan
karakteristik dari masa stagnasi yakni, berbagai ilmu islam dibukukan dan tidak
disampaikan lagi, muncul bentuk ikhtisar atas kaya-karya tertentu, umat islam
terlena dengan prestasi ulama terdahulu, dan pada periode ini tidak melahirkan
mujtahid (orang islam yang berupaya menggali hukum islam) yang independen,
berkembang tradisi diskusi madzab. Berikut ini akan Kami jelaskan beberapa
hukum islam di masa Arab modern:
1. Hukum
Islam di negara modern
Kelompok
pemikir yang hanya mengakui sifat rasion-ilmiah dan menolak cara pandang agama
serta kecendrungan mistik yang tidak berdasarkan nalar praktis.[24]
Ada dua paradigma yang diterapkan dalam negara-negara modern, yakni:
- Mengedepankan cara akomodatif
- Memepertahankan paradigma hukum islam semula dan mendesakkannya dalam sistem hukum modern, baik secara ideologis maupun praksis
2. Hukum
Islam, Hukum Barat, Hukum Adat
Sebelum
dapat bersatunya antara hukum islam, hukum barat, dan hukum islam ini telah
terjadi ketidaksesuaian atau ksulitan untuk menyatukannya. Hal ini dikareanakan
adanya dua macam hukum yang berlaku dan saling berinteraksi, layaknya hukum
barat dengan hukum islam. Meskipun hukum barat telah mampu diasimilasikan di berbagai daerah islam, namun hal ni tidak
berlaku untuk penyatuannya dengan hukum adat yang seperinya sulit untuk
digabungkan. Namun, pada akhirnya ketiga hukum tersebut dapat disatukan
kemudian.
3. Ijtihad
Kolektif: Trend Hukum Islam Modern
Ijtihad
kolektif merupakan kesepakatan beberapa pakar hukum islam, sehingga dilakukan
oleh sekelompok ulama dan menghasilkan keputusan kolektif. Masyarakat modernpun
menjunjung tinggi demokratisasi lebih percaya pada keputusan kolektif. Dengan
demikian, pengambilan hukum islam secara kolektif dengan mempertimbangkan
keadaan masyarakat relevan dengan pemikiran masyarakat modern.[25]
DAFTAR PUSTAKA
Bosworth,
Ge, Dinasti-Dinasti Islam, Bandung: PT. Mizan 1993
Hitty, Philip K, History
Of The Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta 2013 http://gubukhukum.blogspot.com/2013/01/perkembangan-metode-studi-islam_9545.html
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/11/hukum-islam-pada-masa-keemasan-dinasti.html
Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam, Surabaya :
IAIN Sunan Ampel Press 2012
[1] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam (Surabaya : IAIN Sunan Ampel
Press 2012) h. 118
[2] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 119
[3] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 120
[4] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 121
[5] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 122
[6] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 123
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 125
[10] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 126
[11] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 127
[12] ibid
[13] Ge Bosworth,
Dinasti-Dinasti Islam (Bandung: PT. Mizan 1993)h. 29
[14] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 134
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/11/hukum-islam-pada-masa-keemasan-dinasti.html diakses pada 24 mar 2014
pukul 07.59
[18] Ibid
[19] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 135
[20] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam.
[21] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 139
[22] Philip K. Hitti, History
Of The Arabs (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta 2013) h. 622
[23] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 139
[24] http://gubukhukum.blogspot.com/2013/01/perkembangan-metode-studi-islam_9545.html diakses pada 24 mar 2014
pukul 07.51
[25] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel Surabaya, Studi Hukum Islam. h. 164
0 komentar:
Posting Komentar