Rabu, 30 April 2014

Sumber Hukum Islam

Standard
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sumber  Hukum Islam
Secara etimologi sumber berasal dari bahasa arab yaitu masdar. Artinya asal dari sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fiqih kata masdar al-ahkam al-syari’ah berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Sedangkan “dalil” (dari Bahasa Arab: al-dalil, jamaknya: al-adil-lah), secara etimologi berarti:
1لها دي الي اي شي ء حسي او معنوي
Petunjuk kepada sesuatu, baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).
Secara termonologi, dalil mengandung pengertian:
ما يتو صل بصحيح انظر فية الي حكم شر عي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif).[1]
Dalam kaitannya dengan dengan pengertian dalil yang dikemukakan di atas, al qur’an dan hadits juga disebut sebagai “dalil hukum islam”. Artinya ayat-ayat al qur’an dan hadits Nabi SAW, disamping sebagai sumber hukum islam, sekaligus dalil (alasan dalam penetapan hukum islam).
Yang dimaksud dengan sumber hukum islam adalah dalil-dalil syar’iyah (al-adillat al-syar’iyah) yang dari padanya di istimbatkan hukum-hukum syar’iyah. Istimbat adalah menentukan atau menceritakan hukum sesuatu dari suatu dalil tertentu. Sudah disepakati oleh kaum muslimin tiap-tiap peristiwa tertentu ada ketentuan hukumnya baik itu berupa nas yang tegas maupun yang tidak tegas.[2]
Sumber-sumber hukum tersebut baik yang sudah disepakati  maupun yang belum apabila kita sebutkan semua ada 12 sumber yaitu; al-Qur’an, al-Hadist, Qiyas, ijma’, istihsan, maslahat al- mursalah, istihsab, ‘urf, syari’at umat sebelum kita, pendapat sahabat, sadd al-dhari’ah, dalalat al-iqtiran.
Dari kedua belas tersebut dapt di kelompokkan dalam ;[3]
  1. Sumber  yang berupa nas dan sumber yang tidak  berupa nas,
  2. Sumber yang berdasarkan naqli dan sumber yang berdasarkan aqli,
  3. Sumber yang sudah disepakati dan sumber yang belum disepakati,
  4. Sumber-sumber pokok dan sumber tambahan,
  5. Sumber-sumber dari syara’(al-Qur’an dan al-Hadist) dan sumber dari fiqh.

B.     Sumber Hukum Islam
      1.      Al-Qur’an
Al-qur’an dalam kajian Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqh Al-Qur’an berarti “kalam” (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.[4]
         Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.” (QS. Al-Israa: 88)
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ وَلَن تَفْعَلُواْ فَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Al-qur’an adalah sumber hukum yang utama dalam Islam, sebagaimana dalam firman Allah :
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤)
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.

     Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadits serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:[5]
  1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam 
  2.  Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”. 
  3.  Hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”. 
  4. Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua :[6]
1) Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti khusus.
2)  Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya; seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hukum ini disebut hukum mu’amalah dalam arti umum

       2.   Al-Hadits
   Al-Hadits menurut bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih hadits Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (hadits Qauliyah), perbuatan (hadits Fi’liyah), atau pengakuan (hadits Taqririyah).”[7]
   Secara umum fungsi hadits adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa fungsi hadits terhadap Alquran, yaitu : [8]
a.       Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
b.  Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
c.       Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Alquran.
      3.  Ijma’ Sahabat
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan. Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
   Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu :
  1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid 
  2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut 
  3.  Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya 
  4.  Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ 
  5.  Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis 
  • Alasan Ijma’ sahabat dijadikan sumber hukum islam 
     Banyaknya pujian kepada para Sahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS. Al-Fath: 29, QS. At-Taubah: 100, QS. Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya aku telah memilih para sahabat-ku atas segenap makhluk, selain para nabi.” (HR Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain) 
“Para sahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr).
     Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para sahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para sahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ sahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’
    Sesungguhnya para sahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an beserta Hadits pada generasi berikutnya. Di samping itu para sahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah saw, hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Hadits Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para sahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat? 
     Memang tidak mustahil para sahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan menuturkan hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ sahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i.
  • Contoh Ijma’ Sahabat
Salah satu ijma’ sahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf. Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’) para sahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
           
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9)

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.” (QS. Fushilat: 42)

     Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada kini yang merupakan ijma’ para sahabat dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para sahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ sahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi.
     Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ sahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ sahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang masyhur tentang ijma’ sahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para sahabat tatkala Rasulullah saw wafat.

      4.   Qiyas
       Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya[9]. Qiyas menurut berarti, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
      Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqih qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.[10]
     Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur’an, As-Hadits dan ijma’. Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam nash.
  والقياس هو ما طلب الدلائل الموافقة على خبر المتقدم من الكتاب والسنة
Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-Qur’an dan hadits”.
      Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti illat yang ada pada kasus yang tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa illat yang ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan  keadaan illat.
 Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur  berikut:
a.    Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (الاصل) atau maqis ‘alaih (المقيس عليه) atau musyabbah bih (مشبه به).
b.     Far’u (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u (الفرع) atau al-maqis (المقيس) atau al-musyabbah (المشبه).
c.    Hukum ashal (حكم الاصل); yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.
d.  Illat (العلة); yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far’.
Syarat-syarat illat antara lain adalah:
1.      Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra
2.   Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah
3.      Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian antara hukum dan sifatnya
4.      Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan asli
      Qiyas digunakan sebagai sumber dalil syar’i karena dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama.
     Maka bila illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat yang sama terkandung dalam Hadits dan Ijma’ Sahabat maka yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut.
      Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
“Seorang wanita kepada Rasulullah dan berkata: Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan membayar hutangnya? Jawabnya:Benar. Maka bersabda Rasulullah saw: Maka puasalah untuk (memenuhi) nadzar ibumu.” 
      Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku harus menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu punya hutang, apakah kamu harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.”
       Dalam dua hadits tersebut Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang sama-sama harus dipenuhi
Sebagai contoh dari permasalahan qiyas, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumuah: 9)
     Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Oleh karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.
      Berdasarkan kaidah syara: ”Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-reka, semua ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi ruang lingkup daripada qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang memiliki kesamaaan illat di dalamnya. Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan, minuman, ibadah dan akhlak di dalamnya tidak mempunyai illat, karena masalah ini sudah jelas nash syara’nya sehingga tidak bisa diqiyaskan.

 DAFTAR PUSTAKA

Anhari, Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya : Diantama, 2008
Efendi, Satria,  Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Media Group, 2009.
Haroen, Nasrun , Ushul Fiqih 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nur, Ma’mun Efendi,  Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang : Bima Sejati, 2006.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash- Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999.
Saebani, Ahmad,  Ilmu Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, 2008.
Umar, Muin, dkk. Ushul Fiqh 1. Jakarta : Departemen Agama, 1986.


[1]Nasrun  Haroen, Ushul Fiqih 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 15
[2]Masykur Anhari, Ushul Fiqh, (Surabaya : Diantama, 2008), h. 41-43
[3]Ibid.  h.44
[4]Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Media Group, 2009), h. 79.
[5] H. Ma’mun Efendi Nur, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, (Semarang: Bima Sejati, 2006), h. 23-24
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 36-37.
[7]Satria Efendi, M. Zein, M.A, Ushul Fiqh,h. 112
[8]Ibid. 125
[9] Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh.(Bandung : Pustaka Setia, 2008), h.172
[10]Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1. (Jakarta : Departemen Agama, 1986), h.107

0 komentar:

Posting Komentar