BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sumber
Hukum Islam
Secara
etimologi sumber berasal dari bahasa arab yaitu masdar. Artinya asal dari sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fiqih
kata masdar al-ahkam al-syari’ah berarti rujukan utama dalam menetapkan
hukum islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits.
Sedangkan “dalil” (dari Bahasa Arab: al-dalil, jamaknya: al-adil-lah), secara etimologi berarti:
1لها دي الي اي شي ء حسي او معنوي
Petunjuk kepada sesuatu, baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).
Secara termonologi, dalil mengandung pengertian:
ما يتو صل بصحيح
انظر فية الي حكم شر عي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh
hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’i (pasti) maupun zhanni
(relatif).[1]
Dalam kaitannya dengan
dengan pengertian dalil yang dikemukakan di atas, al qur’an dan hadits juga
disebut sebagai “dalil hukum islam”. Artinya ayat-ayat al qur’an dan hadits
Nabi SAW, disamping sebagai sumber hukum islam, sekaligus dalil (alasan dalam
penetapan hukum islam).
Yang dimaksud dengan
sumber hukum islam adalah dalil-dalil syar’iyah (al-adillat
al-syar’iyah) yang dari padanya di
istimbatkan hukum-hukum syar’iyah. Istimbat adalah menentukan
atau menceritakan hukum sesuatu dari suatu dalil tertentu. Sudah disepakati
oleh kaum muslimin tiap-tiap peristiwa tertentu ada ketentuan hukumnya baik itu
berupa nas yang tegas maupun yang tidak tegas.[2]
Sumber-sumber hukum
tersebut baik yang sudah disepakati
maupun yang belum apabila kita sebutkan semua ada 12 sumber yaitu;
al-Qur’an, al-Hadist, Qiyas, ijma’, istihsan, maslahat al- mursalah, istihsab,
‘urf, syari’at umat sebelum kita, pendapat sahabat, sadd al-dhari’ah, dalalat
al-iqtiran.
Dari kedua belas tersebut
dapt di kelompokkan dalam ;[3]
- Sumber yang berupa nas dan sumber yang tidak berupa nas,
- Sumber yang berdasarkan naqli dan sumber yang berdasarkan aqli,
- Sumber yang sudah disepakati dan sumber yang belum disepakati,
- Sumber-sumber pokok dan sumber tambahan,
- Sumber-sumber dari syara’(al-Qur’an dan al-Hadist) dan sumber dari fiqh.
B. Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur’an
Al-qur’an dalam kajian
Ushul Fiqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam
memecahkan suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut
istilah Ushul Fiqh Al-Qur’an berarti “kalam” (perkataan) Allah yang
diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW
dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.[4]
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi
manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum
yang wajib dipatuhi, karena Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang
diturunkannya dengan jalan qath’i dan
tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah
menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat
yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang
menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’an adalah bahasanya, yaitu
bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ
عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ
بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: Sesungguhnya
apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang serupa dengan
Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.” (QS. Al-Israa: 88)
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ وَلَن تَفْعَلُواْ
فَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“(Dan) apabila kamu tetap
dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami
(Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Al-qur’an adalah sumber
hukum yang utama dalam Islam, sebagaimana dalam firman Allah :
إِنَّا
أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ
الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا
اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلا تَخْشَوُا
النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَمَنْ لَمْ
يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤)
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut
kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (٣٦)
Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada
al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang
kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadits serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi
tiga macam:[5]- Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam
- Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
- Hukum-hukum yang menyangkut tindak-tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
- Hukum amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua :[6]
1) Hukum yang
mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya dengan
Allah SWT, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Hukum ini disebut hukum
ibadah dalam arti khusus.
2)
Hukum-hukum
yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia
atau alam sekitarnya; seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya.
Hukum-hukum ini disebut hukum
mu’amalah dalam arti umum
2. Al-Hadits
Al-Hadits menurut bahasa berarti “perilaku seseorang
tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut istilah
ushul fiqih hadits Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku
Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (hadits
Qauliyah), perbuatan (hadits Fi’liyah), atau pengakuan (hadits
Taqririyah).”[7]
Secara umum
fungsi hadits adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim (menjelaskan
ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa fungsi hadits
terhadap Alquran, yaitu : [8]
a.
Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan merinci
ayat-ayat global
b. Membuat
aturan-aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang
disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
c. Menetapkan
hukum yang belum disinggung dalam Alquran.
3. Ijma’ Sahabat
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan. Firman
Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan umat
Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu :
- Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
- Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
- Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya
- Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
- Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis
- Alasan Ijma’ sahabat dijadikan sumber hukum islam
Banyaknya pujian kepada
para Sahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS. Al-Fath: 29, QS.
At-Taubah: 100, QS. Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya aku
telah memilih para sahabat-ku atas segenap makhluk, selain para nabi.” (HR Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain)
“Para sahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian
turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr).
Petunjuk Allah dan
Rasul-Nya terhadap para sahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran
dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi)
sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar
kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para sahabat tersebut
bersifat qath’i sehingga kita bisa
menentukan bahwa ijma’ sahabat dapat
digunakan sebagai dalil syara’.
Sesungguhnya para sahabat
merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’an
beserta Hadits pada generasi berikutnya. Di samping itu para sahabat merupakan
orang-orang yang hidup semasa Rasulullah saw, hidup bersama, mengalami
kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan,
dimana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan.
Merekalah yang mengetahui Hadits Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri
kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu
adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini
selain mereka (para sahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih
baik dan lebih kuat?
Memang tidak mustahil para
sahabat pun melakukan kesalahan, sebab mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau
berijma’ atas suatu
kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat
kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’an dan
menuturkan hadits Rasulullah
saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang
memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ sahabat adalah mustahil terjadi
secara syar’i.
- Contoh Ijma’ Sahabat
Salah satu ijma’
sahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf. Al-Qur’an dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil
kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami
benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9)
لَا يَأْتِيهِ
الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan maupun
dari belakangnya.” (QS. Fushilat: 42)
Dari kedua ayat tersebut,
Allah memastikan bahwa mushaf
Al-Qur’an yang ada kini yang merupakan ijma’
para sahabat dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para
sahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam
ijma’ sahabat, berarti ada
kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil
terjadi.
Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan
dalam ijma’ sahabat. Inilah dalil
yang pasti bahwa ijma’ sahabat
merupakan dalil syar’i. Contoh
lain yang masyhur tentang ijma’ sahabat adalah keharusan adanya
seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum
muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia,
sebagaimana yang dilakukan para sahabat tatkala Rasulullah saw wafat.
4. Qiyas
Qiyas dalam bahasa Arab
berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur, menyamakan dan
ukuran. Secara etimologi qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya
atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya[9]. Qiyas menurut berarti, membandingkan atau mengukur, seperti
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama,
bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti
mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain.
Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari
persamaan-persamaannya.
Sedangkan menurut ulama’ ushul fiqih qiyas berarti menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.[10]
Jadi qiyas merupakan
mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur’an, As-Hadits dan ijma’. Yakni
cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal
yang memiliki kesamaan illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya
dalam nash.
والقياس هو ما
طلب الدلائل الموافقة على خبر المتقدم من الكتاب والسنة
“Qiyas adalah metode berfikir untuk
menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam
al-Qur’an dan hadits”.
Adapun cara
mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada
pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti illatnya.
Selanjutnya kita cari dan teliti illat yang ada pada kasus yang tidak
disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa illat yang
ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan
hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan illat.
Dari pengertian qiyas yang
dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri
atas empat unsur berikut:
a. Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran
atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal (الاصل) atau maqis ‘alaih (المقيس عليه) atau musyabbah bih (مشبه به).
b. Far’u (cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yang
diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’u (الفرع) atau al-maqis (المقيس) atau al-musyabbah (المشبه).
c. Hukum ashal (حكم الاصل); yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian
akan menjadi hukum pula bagi cabang.
d. Illat (العلة); yaitu sebab yang menyambungkan
pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang
dicari pada far’.
Syarat-syarat illat antara
lain adalah:
1. Illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra
2. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan
berwujudnya pada furu’ dan tidak mudah berubah
3. Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian antara hukum dan sifatnya
4. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud
pada beberapa satuan hukum yang bukan asli
Qiyas digunakan sebagai
sumber dalil syar’i karena
dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan
hukum adalah illatnya, maka apabila
ada kesamaan illat antara suatu
masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang
baru tersebut menjadi sama.
Maka bila illat yang sama
terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah
Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat
yang sama terkandung dalam Hadits dan Ijma’
Sahabat maka yang menjadi dalil qiyas adalah kedua hal tersebut.
Disamping itu ada beberapa
hadits Rasulullah yang
mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
“Seorang wanita kepada
Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa
nadzar, apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya,
apakah kamu akan membayar hutangnya?’
Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah saw: ‘Maka
puasalah untuk (memenuhi) nadzar ibumu’.”
Dan Imam
Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan
mengatakan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia berkewajiban menunaikan
ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku harus menghajikan bapakku?’ Maka
Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu punya hutang, apakah kamu harus
membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah
untuknya’.”
Dalam dua hadits tersebut Rasulullah
mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang
sama-sama harus dipenuhi
Sebagai contoh dari permasalahan qiyas, mengadakan transaksi
jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan
dalam nash, yaitu haram,
berdasarkan ayat:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ
اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada
hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan
tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumuah: 9)
Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Oleh
karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang
mempunyai kesamaan illat, yaitu
melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan
jual beli di atas, yaitu haram.
Berdasarkan kaidah syara: ”Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah,
makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-reka, semua
ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi
ruang lingkup daripada qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang memiliki
kesamaaan illat di dalamnya.
Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan, minuman, ibadah dan akhlak di
dalamnya tidak mempunyai illat,
karena masalah ini sudah jelas nash syara’nya
sehingga tidak bisa diqiyaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Anhari,
Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya : Diantama, 2008
Efendi,
Satria, Ushul Fiqh, Jakarta:
Kencana Media Group, 2009.
Haroen, Nasrun
, Ushul Fiqih 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nur, Ma’mun
Efendi, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang : Bima
Sejati, 2006.
Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi Ash- Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang :
Pustaka Rizki Putra, 1999.
Saebani,
Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung :
Pustaka Setia, 2008.
Umar, Muin,
dkk. Ushul Fiqh 1. Jakarta : Departemen Agama, 1986.
0 komentar:
Posting Komentar