SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Studi Hukum Islam
Oleh kelompok IV:
Maharani
Sekar Kinanti (B03212014)
Meyta Dewi Anggarwaty (B03212015)
Millaty Nuzula Al- Anshori (B03212016)
M.
Rosyid Habiburrohman (B03212017)
Dosen
Pembimbing:
Drs. H. M. Munir Mansyur, M.Ag.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Islam di
Indonesia
Dalam membicarakan hukum islam di Indonesia, pusat
perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum islam dalam system hukum Indonesia. Yang di maksud hukum islam
adalah sistem hukum yang
berlaku di Indonesia. System hukum Indonesia
adalah system hukum yang majemuk, karena
ditanah air berlaku berbagai system hukum yakni adat, islam dan barat (continental). Untuk itu
akan di bicarakan (1) hukum adat, hukum islam, hukum barat, (2) hubungan hukum adat dengan hukum islam, (3) hukum islam dalam tata Indonesia, (4) hukum islam dan
pembinaan hukum nasional,
(5) peradilan agama, (6) kompilasi hukum islam.
- Hukum adat, hukum Islam dan hukum barat
Di dunia sekurang-kurang nya ada 5
sistem hukum besar yang
hidup dan berkembang. System-sistem hukum tersebut adalah (1) system commn law yang di anut di
inggris dan bekas jajahannya yang ini, pada umumnya, bergabung dalam Negara
persemakmuran, (2) sistem civil law yang
berasal dari hukum romawi,
yang dianut di eropa barat continental dan di bawah ke negeri-negeri jajahan atau bekas jajahannya
oleh pemerintah colonial barat, (3) system hukum-hukum adat yang ada di Negara-negara asia dan afrika,
(4) system hukum islam yang
di anut oleh orang-orang islam di manapun mereka berada, baik di Negara-negara
islam maupun di negra-negara lain yang penduduknya beragama islam di afrika
utara, timur, timur tengah, (asia barat) dan asia, dan (5) system hukum
komunis/sosialis yang di laksanakan di Negara-negara komunis/ sosialis seperti
uni soviet dan satelit-satelitnya dahulu. Pada waktu ini, tiga dari system ke
lima tersebut terdapat di tanah air kita yakni system-sistem hukum adat, hukum islam, dan
hukum barat.
Ø
Keadaanya
Ketiga sistim tersebut telah berlaku di
Indonesia walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidak lah
sama.
Hukum adat telah lama berlaku di tanah air
kita. Bila mulai berlakunya tidak dapat ditentukan dengan pasti, tetapi dapat di katakana bahwa,
jika di bandingkan kedua system hokum lainya, hokum adatlah yang paling tertua
umumnya. Hokum islam baru dikenal di Indonesia setelah agama islam disebarkan
di tanah air kita. Bila islam dating di tanah air kita belum ada sepakat di
anatara para ahli Indonesia. Hokum barat di perkenalkan di Indonesia bersamaan
dengan kedatangan orang-orang belanda untuk berdagang di nusantara ini. Hukum adat dan hokum islam adalah hokum
bagi orang-orang indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumi
putera. Keadaan itu di atur oleh keadaan hindia belanda dahulu, sejak tahun
1954 sampai dengan mereka meninggalkan Indonesia pada tahun 1942.[1]
- Hubungan hukum adat dengan hukum islam
Hubungan hukum adat dengan hukum
islam dalam makna kontak anatara kedua system hukum itu telah lama berlangsung
ditanah air kita. hubungan akrab dalam masyarakat itu tercermin dalam berbagai
pepatah dan ungkapan dibebarapa daerah, misalnya ungkapan dalam bahasa aceh
yang berbunyi : hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon si peut artinya
hokum islam dengan hokum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali
hubungannya seperti zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Dalam hubung
ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan
atau memakai syarak itu dalam masyarakat. Dalam masyarakat muslim Sulawesi
selatan adat dengan hokum islam dapat dilihat dalam ungkapan yang berbunyi, “ adat hula-hula to syaraa, syara hula-hula
to adati “ .artinya, kurang lebih,
adat bersendi syarak dan syarak bersendi adat. Hubungan adat dan islam erat
juga dijawa ini yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat jawa, terutama didaerah
pedesaan.
Agar adat dapat dijadikan hokum islam,
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Menurut sobhi mahmasani, syarat-syarat
tersebut adalah :
a.
Adat itu
dapat ditrima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum.
b.
Sudah
berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang
bersangkutan.
c.
Telah ada
pada waktu transaksi dilangsungkan.
d.
Tidak ada persetujuan atau pilihan lain
antara kedua belah pihak.
e.
Tidak bertentangan dengan Nas (kata,
sebutan yang jelas dalam) Al Qur`an dan sunnah nabi Muhammad. Atau dengan kata
lain,tidak bertentangan dengan syari`at islam.[2]
3.
Hukum islam
dalam tata Indonesia
Sistem hukum di
Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya bersifat majmuk. Disebut
demikian karena sampai sekarang di Indonesia terdapat beberapa sistem hukum
yang mempunyai corak dan susunan sendiri. Yang dimaksud adalah sistem hukum
adat, sistem hukum islam dan hukum barat. Ke-3 sistem hukum itu mulai berlaku
di Indonesia padawaktu berlainan. Hukum adat telah lama berada di Indonesia,
walaupun sebagai sistem hukum baru dikenal pada permulaan abad ke-20 . hukum
islan telah ada di kepulauwan Indonesia ini sejak orang islam datang dan
bermukim di Nusantara ini.
4.
Hukum islam
dan pembinaan hukum nasional
Hukum islam adalah hukum
yang bersifat universal, karna ia merupakan bagian dari agama islam yang
universal sifatnya, hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa
tertentu di suatu negara Nasional tertentu.
Untuk membangun dan
membina hukum Nasional diperlukan politik hukum tertentu. Politik hukum
nasional di Indonesia pokok-pokoknya ditetapkan digaris-garis besar haluan
Negara, dirinci lebih lanjut ole mentri kehakiman Republik Indonesia.
Untuk mewujudkan suatu hukum
Nasional bagi bangsa indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan
kebudayaan dan agama yang berbeda ditambah lagi dengan keaneka ragaaman hukum
yang ditinggalkan oleh penguasa kolonial dahulu, bukan lah pekerjaan yang
mudah. Pembengunan hukum nasional yang akan berlaku bagi emua warga Negara
tanpa memandang agama yang dipeluknya haruslah dilakukan dengan hati-hati,
karena diantara agama yang dipeluk oleh warga Indonesia ada agama yang tidak
bisa dicerai beraka oleh hukum. Misalnya agama islam. Karena eratnya hubungan
antara agama (dalam arti sempit) dengan hukum dala islam.
5.
Peradilan
agama
Peradilan adalah proses
pemberian keadilan disuatu lembaga yang disebut pengadilan. Pengadilan adalah
lembaga atau badn yang bertugas menerima, memriksa, mengadili, dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan.
Dalam “ mengadili dan menyelesaikan suaru perkara “ itulah terletak
proses pemberian keadilan yang diberikan oleh hakim baik tunggal maupun majlis.
Oleh karena itu hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam
menyelenggarakan keadilan.
Peradilan agama adalah
proses pemberian keadilan brdasarkan hukum agama islam pada orang-orang islam
yang dilakukan dipengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Pengadilan
agama, dalam sistem peradilan sisten Indonesi, dismping peradilan umum,
peradian militer dan peradilan tata usaha Negara, merupakan salah satu
pelaksana pengusaan penghakiman di Indonesia. Ke-4 lembaga peradilan itu
mempunyai kedudukan yang sama, sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
Peradilan agama yang telah
ada sejak agama islam datang ke indonesia itulah yang kemudian diakui dan
dimantapkan kedudukannya di jawa dan madura tahun 1882, disebagian besar
residensi kalimantan selatan dan timur tahun 1937 dan diluar kedua wilayah itu
tahu 1957 dengan peraturan perundang-undangan perbntukannya.
6.
Kompilasi
hukum islam.
Rancangan KHI yang
terdiri dari 3 buku yaitu a) tentang hukum perkawinan, buku b) buku hukum kewarisan, c) buku hukum
perwakafan, selaras dengan wewenang utama peradilan agama, yang telah di terima
baik para ulama dan sarjana hukum islam seluruh indonesia dalam lokakarya yang
di selenggaraka di jakarta. Menteri agama, sbagai pembantu presiden, dalam
surat keputusannya nomer 154 tahun 1991 tanggal 22 juli tahun 1991, dalam
rangka menerima intruksi presiden tersebut, meminta kepada seluruh intansi
departemen agama,termasuk peradilan
agama di dalamnya, dan
intansi pemerintah lainnya yang terkait menyebar luaskan kompilasi hukum islam.
Selain tersebar 13 kitab
fiqih tercantum dalm surat daran biru peradilan agama itu, hasil penalaran
fuqoha dalam kitab-kitab dimaksud juga berbeda satu dengan yang lain walaupun
mereka berbeda dalam satu aliran atau mazhab yang sama: syafi’i.
Kompilasi hukum islam,
yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum islam yang disusun secara
sistematis tersebut diatas terdiri dari tiga buku, masing-masing buku dibagi ke
dalam beberapa bab dan pasal.
B. Hukum Islam, Undang-undang Peradilan Agama dan Masalahnya
Di Indonesia berlaku hukum adat, hukum islam dalam hukum barat. Hukum islam
yang berlaku di Indonesia dapat dibagi dua. Pertama hukum islam yang beraku (1)
secara yuridis formal, yang kedua hukum islam yang berlaku (2) secara normatif.
Untuk menegakkan hukum
yang berlaku secara yuradis formal di Negara Republik Indonesia, pada tanggal 8
Desember 1988 presiden Repubik Indonesia menyampaikan rencana Undang-Undang
peradilan Agama yang tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.[1][3]
Setelah dibicarakan secara
mendalam, dibahas dan diuji sebagai wawasan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dinegara kita, akhirnya pada hari kamis tanggal 14 Desmber 1989,
Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu disetujui oleh dewan perwakilan rakyat menjadi Undang-Undang Republik Indonesia
tentang peradilan Agama. Lima belas hari
kemudian yaitu pada tanggal 29 Desember 1989, Undang-Undang tersebut disahkan
menjadi Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 oleh presiden Republik Indonesia,
diundangkan pada tanggal yang sama oleh Mentri Sekertaris Negara dan dimuat
dalam Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.
Pengesahan undang-undang
peradilan agama itu merupakan peristiwa penting bukan hanya bagi pembagunan
perangkat hukum nasional, tetapi juga bagi umat islam di indonesia. Sebabnya
adalah, dengan di sahkannya undang-undang itu semakin mantaplah kedudukan
peradilan agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang
mandiri di tanah air kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum islam bagi pencari
keadilan yang beragama islam mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan,
kewarisan, wasit, hibah, wakaf, dan sadaqah yang telah menjadi hukum positif di
tanah air kita. Pemeluk agama islam yang menjadi bagian penduduk indonesia,
dengan undang-undang itu, diberi kesempatan untuk menaati hukum islam yang
menjadi bagian mutlak ajaran agamanya, sesuai jiwa pasal 29 undang-undang dasar
1945 terutama ayat (2) nya.
Undang-undang peradilan
agama yang telah disahkan dan diundangkan itu terdiri dari VII bab, 108 pasal
dengan sistematika dan garis-garis besar isinya sebagi berikut: bab I tentang
ketentuan umum, bab II sampai dengan bab III mengenai suasana dan kekuasan
peradilan agama, bab IV tentang hukum acara, bab V ketentuan-ketentuan lain,
bab VI ketentuan peralihan dan bab VII ketentuan penutup (undang-undang
no.7:1989), (seperti diuraikan dalam bab mengenai undang-undang peradilan
agama, di depan).[2][4]
Dari uraian diatas
dapatlah disimpulkan bahwa beberapa bagian hukum
islam di bidang mu’amalah berdasarkan peraturan perundang-undangan
republik indonesia, secara yuridis
formal, telah menjadi hukum positif kita. Untuk menegakaknnya telah pula
dimantapkan eksistensi peradilan agama yang menjadi bagian sistem perdilan
nasional, salah satu pelaksana kekuasan kehakiman di indonesia. Namun, perlu
segera dicatata bahwa baik mengenai hukum islam maupun mengenai undang-undang peradilan agama itu sendiri terdapat masalah dalam pelaksanannya. Dalam uraian berikut akan disebutkan
beberapa diantaranya.
Mengenai hukum islam, masalahnya
dapat timbul dari luar
dan dapat pula muncul dari dalam. Yang timbul dari luar antara lain dapat dikemukakan misalnya kendala yang datang dari penganut teori resepsi yang masih
terdapat dalam masarakat indonesia. Menurut teori hukum islam bukanlah hukum
dan tidak dapat diterima sebagai hukum kalau tidak dikehendaki dan belum
diresepsi oleh hukum adat. Selain itu, yang merupakan kendala juga adalah
pendapat kelompok orang-orang dalam masyarakat indonesia yang tidak setuju
hukum islam berlaku bagi umat islam di indonesia dan tidak setuju tranformasi
norma-norma hukum islam ke dalam hukum nasional kita.
Situasi hukum islam yang sedemikian, perlu dibenahi dan ditata kembali, agar kaidah-kaidahnya jelas
dibacakan dan dapat diterapkan pada keadaan yang nyata di tanah air kita.
Itulah mungkin, salah satu pertimbagan surat keputusan bersaman mentri agama
dan ketua mahkama agung republik indonesia tanggal 21 maret 1985 untuk membuat kompilasi
( kumpulan kaidah-kaidah hukum dalam sebuah kitab yang disususn secara
sistematis) hukum perdata islam yang telah menjadi hukum positif di tanah air
kita. Dengan kompilasi itu, mudah-mudahan, citra hukum islam di tanah air kita
menjadi semakin nyata dan dapat ditegakkan dengan baik oleh peradilan agama
yang menjadi salah satu unsur pelaksana kekuasan kehakiman dalam sistem
peradilan nasional kita.
C.
Dimensi Pengembangan Hukum Islam di
Indonesia
Hukum Islam di Indonesia menempati posisi sebagai hukum yang ada di masyarakat. Hal ini
dapat dibuktikan dengan tiga faktor:
1.
Dipandang dari sudut dasar
filosofis.
Substansi
segi-segi normatif ajaran Islam di Indonesia melahirkan sikap epistemologis
yang mempunyai sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan hidup cita moral dan
cita hukum dalam kehidupan sosio cultural masyarakat. Proses demikian berjalan
sesuai dengan tingkat pemahaman keagamaan sehingga memantulkan korelasi antara
ajaran Islam dan realitas social dan fenomena keislaman itu telah melahirkan
norma fundamental Negara.
2.
Dari sudut dasar sosiologis.
Sejarah
masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita dan kesadaran hokum dalam
kaitannya dengan kehidupan keislaman memiliki tingkat aktualitas yang
berkesinambungan seperti adanya gejala mentahkimkan permasalahan kepada orang
yang difigurkan sebagai muhakkam dan akhirnya terkristalisasi menjadi suatu
tradisi tauliyah. Akibatnya, saat ini dimensi lain pengaruh epistemology
keislaman menyebar sampai aspek kehidupan sehingga tingkat religiusitasnya yang
kuat dipertahankan secara berkesinambungan.
3.
Dari sudut dasar yuridis.
Sejarah
Hukum Islam menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis yang mampu mengungkap
perjalanan tata hukum kolonialisme yang sarat dengan cita kolonialismenya tetap
saja tidak mampu membendung arus tuntutan layangan masyarakat Islam sehingga
pada akhirnya mengakui Hukum Islam diberi tempat dalam tata hukumnya.
Eksistensi hukum Islam tersalurkan sacara konstitusional melalui pasal II
aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.[1]
Dengan memperhatikan ketiga faktor di atas, pada dasarnya
pengembangan hukum
dapat dibentuk oleh perilaku dalam suatu
kelompok masyarakat itu sendiri. Sumber daya manusia yang ada dalam masyarakat
tersebut benar-benar dipersiapkan dan sanggup untuk mensosialisasikan serta
melaksanakan dan mematuhi hukum itu sendiri, di samping seperti telah
diungkapkan sebelumnya faktor politik pun, dalam hal ini kekuasaan, benar-benar
mendukung sagala upaya pengembangan hukum Islam itu. Begitu pula sebaliknya,
apabila salah satunya tidak dapat berjalan secara bersamaan, upaya pengembangan
hukum Islam seperti yang diharapkan pun tidak akan tercapai.[2]
Penerapan dan pengembangan konsepsi hukum Islam di Indonesia
dapat digolongkan dalam beberapa cara pelaksanaanya.
Pertama, melalui jalur iman dan takwa,
yaitu pemeluk agama Islam dalam Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan
hukum Islam yang merupakan bagian agama islam, khususnya masalah ibadah.
Intensitas pelaksanaanya bergantung pada kualitas keimanan dan ketakwaan yang
ada pada diri muslim yang bersangkutan. Apanila imannya baik dan takwanya itu
benar, hokum Islam akan berjalan pada masyarakat muslim yang anggotanya beriman
dan bertakwa, dan begitu pula sebaliknya.[3][7]
Kedua, pelaksanaan hukum Islam melalui
jalur undang-undang, yaitu dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah
ditunjuk berbagai tata cara pelaksanaan penerapan hukum Islam (seperti
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan) sebagai hukum yang berlaku bagi umat
islam. Selanjutnya, dalam praktiknya Pengadilan Agama sebagai suatu lembaga
berusaha menerapkan syariat umat dalam pengertian hukum syara’ yang siap pakai
maupun menggali hukum yang belum jelas ditetapkan oleh syara’. Selain itu,
perangkat Pengadilan Agama, dalam hal ini para hakimnya, diwajibkan untuk
berijtihad ketika menghadapi kasus seperti ini.
Ketiga, dengan jalur pilihan hukum, yaitu dengan melakukan perbuatan atau transaksi tertentu di Bank
Muamalah, Badan Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah, dan asuransi takaful yang
telah memilih muamalah dengan cara-cara alami.
Keempat, dengan jalan melalui Badan Arbitrase Muamalah Indonesia
(BAMUI), yang emlalui badan Arbitrase yang didirikan oleh MUI pusat ini, para
pengusaha, pedagang, dan industri atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum
Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan).
Kelima, menerapkan hokum Islam dilakukan
oleh Lembaga Pusat penelitian Obat/Kosmetika dan Makanan (LPPOM) yang juga
didirikan oleh Majlis Ulama Indonesia. Lembaga ini menentukan apakah suatu
produk obat-obatan, kosmetik, makanan dan minuman itu dihukumi halal atau haram
untuk dikonsumsi oleh Umat Islam.[4]
Keenam, adalah pembinaan atau pembangunan
hokum nasional melalui unsure-unsur asas dan norma hokum Islam akan berlaku dan
dilaksanakan bukan hanya dan bagi umat Islam saja, tetapi juga oleh penduduk
Indonesia.[5]
Analisisi lain ditambahkan oleh Cik Hasan Bisri bahwa
pengembangan Hukum Islam bias ditempuh dengan Sembilan dimensi:
1. Dimensi Syariah (sumber hukum)
2. Dimensi Ilmu (sesuai dengan standar
ilmiah)
3. Dimensi Fiqh (produk penalaran
ulama)
4. Dimensi Fatwa (putusan ulama)
5. Dimensi Nizham (tatanan atau system
hukum)
6. Dimensi Qanun (perundang-undangan)
7. Dimensi Idarah (proses administrasi
pemerintahan)
8. Dimensi Qadha (putusan pengadilan)
9. Dimensi Adat
Semua dimensi atau cara yang diuraikan di atas harus
ditopang oleh patokan hokum Islam, yakni kebenaran dan keadilan (Q.S. 2:176,
2:213, 4:170, 9:45). Kedua nilai tersebut dikembangkan dalam sikap, ucapan,
perilaku dan pengambilan keputusan. Kedua nilai ini harus diberlakukan untuk
semua orang, sekalipun terhadap musuh. Kewajiban-kewajiban yang dituntut hokum
Islam dari setiap manusia adalah kewajiban individual (fardhu’ain). Di samping
itu, dituntut juga kewajiban-kewajiban bersama untuk memenuhi kepentingan
bersama, yaitu kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[6]
[1] Daud Ali.1990.hukum Islam. PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta. Hal. 210
[1] Daud Ali. 1990. Hukum Islam. Hal. 230.
[1] Daud ali. 1997. Hukum Islam dan Peradilan
Agama. Hal.187.
[1] Ibid.hal 201
[1] Abdul Gani Abdullah, “Hukum
Islam dalam system masyarakat Indonesia”, dalam jurnal bulanan mimbar Hukum No. 30 Tahun VIII/1997. Hal.7-8.
[1] Dedi Supriyadi,2010. Sejarah Hukum Islam. CV PUSTAKA SETIA:
Bandung. Hal.320
[1] Mohammad Daud Ali, hal. 8.
[1] Ibid
[1] ibid
[1] Lihat Ali Yafi, “Fungsi
Hukum Islam dalam Kehidupan Umat” dalam dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional (Amrullah Ahmad: Editor), Gema Insani Press, 1996, hlm.94.
0 komentar:
Posting Komentar