Senin, 05 Mei 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Standard


SEJARAH PERKEMBANGAN STUDI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Studi Hukum Islam


Oleh kelompok IV:
     Maharani Sekar Kinanti                 (B03212014) 
      Meyta Dewi Anggarwaty                 (B03212015) 
      Millaty Nuzula Al- Anshori             (B03212016)
    M. Rosyid Habiburrohman            (B03212017)

 Dosen Pembimbing:
Drs. H. M. Munir Mansyur, M.Ag.



BAB II
PEMBAHASAN

      A.    Hukum Islam di Indonesia
Dalam membicarakan hukum islam di Indonesia, pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum islam dalam system hukum Indonesia. Yang di maksud hukum islam adalah sistem hukum yang berlaku di Indonesia. System hukum Indonesia adalah system hukum yang majemuk, karena ditanah air berlaku berbagai system hukum yakni adat, islam dan barat (continental). Untuk itu akan di bicarakan (1) hukum adat, hukum islam, hukum barat, (2) hubungan hukum adat dengan hukum islam, (3) hukum islam dalam tata Indonesia, (4) hukum islam dan pembinaan hukum nasional, (5) peradilan agama, (6) kompilasi hukum islam. 

  1. Hukum adat, hukum Islam dan hukum barat 
      Di dunia sekurang-kurang nya ada 5 sistem hukum besar yang hidup dan berkembang. System-sistem hukum tersebut adalah (1) system commn law yang di anut di inggris dan bekas jajahannya yang ini, pada umumnya, bergabung dalam Negara persemakmuran, (2) sistem civil law yang berasal dari hukum romawi, yang dianut di eropa barat continental dan di bawah ke  negeri-negeri jajahan atau bekas jajahannya oleh pemerintah colonial barat, (3) system hukum-hukum adat yang ada di Negara-negara asia dan afrika, (4) system hukum islam yang di anut oleh orang-orang islam di manapun mereka berada, baik di Negara-negara islam maupun di negra-negara lain yang penduduknya beragama islam di afrika utara, timur, timur tengah, (asia barat) dan asia, dan (5) system hukum komunis/sosialis yang di laksanakan di Negara-negara komunis/ sosialis seperti uni soviet dan satelit-satelitnya dahulu. Pada waktu ini, tiga dari system ke lima tersebut terdapat di tanah air kita yakni system-sistem hukum adat, hukum islam, dan hukum barat.
Ø  Keadaanya
Ketiga sistim tersebut telah berlaku di Indonesia walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya  tidak lah sama. 
 Hukum adat telah lama berlaku di tanah air kita. Bila mulai berlakunya tidak dapat ditentukan  dengan pasti, tetapi dapat di katakana bahwa, jika di bandingkan kedua system hokum lainya, hokum adatlah yang paling tertua umumnya. Hokum islam baru dikenal di Indonesia setelah agama islam disebarkan di tanah air kita. Bila islam dating di tanah air kita belum ada sepakat di anatara para ahli Indonesia. Hokum barat di perkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang-orang belanda untuk berdagang di nusantara ini.       Hukum adat dan hokum islam adalah hokum bagi orang-orang indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumi putera. Keadaan itu di atur oleh keadaan hindia belanda dahulu, sejak tahun 1954 sampai dengan mereka meninggalkan Indonesia pada tahun 1942.[1] 

  1. Hubungan hukum adat dengan hukum islam  
     Hubungan hukum adat dengan  hukum islam dalam makna kontak anatara kedua system hukum itu telah lama berlangsung ditanah air kita. hubungan akrab dalam masyarakat itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan dibebarapa daerah, misalnya ungkapan dalam bahasa aceh yang berbunyi : hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon si peut artinya hokum islam dengan hokum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Dalam hubung ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai syarak itu dalam masyarakat. Dalam masyarakat muslim Sulawesi selatan adat dengan hokum islam dapat dilihat dalam ungkapan yang berbunyi, “ adat hula-hula to syaraa, syara hula-hula to adati “  .artinya, kurang lebih, adat bersendi syarak dan syarak bersendi adat. Hubungan adat dan islam erat juga dijawa ini yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat jawa, terutama didaerah pedesaan.
Agar adat dapat dijadikan hokum islam, beberapa syarat yang harus dipenuhi. Menurut sobhi mahmasani, syarat-syarat tersebut adalah :
a.       Adat itu dapat ditrima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum.
b.      Sudah berulangkali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan.
c.       Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan.
d.       Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antara kedua belah pihak.
e.   Tidak bertentangan dengan Nas (kata, sebutan yang jelas dalam) Al Qur`an dan sunnah nabi Muhammad. Atau dengan kata lain,tidak bertentangan dengan syari`at islam.[2]

3.      Hukum islam dalam tata Indonesia 
Sistem hukum di Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya bersifat majmuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di Indonesia terdapat beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan susunan sendiri. Yang dimaksud adalah sistem hukum adat, sistem hukum islam dan hukum barat. Ke-3 sistem hukum itu mulai berlaku di Indonesia padawaktu berlainan. Hukum adat telah lama berada di Indonesia, walaupun sebagai sistem hukum baru dikenal pada permulaan abad ke-20 . hukum islan telah ada di kepulauwan Indonesia ini sejak orang islam datang dan bermukim di Nusantara ini. 

4.      Hukum islam dan pembinaan hukum nasional
Hukum islam adalah hukum yang bersifat universal, karna ia merupakan bagian dari agama islam yang universal sifatnya, hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara Nasional tertentu.
Untuk membangun dan membina hukum Nasional diperlukan politik hukum tertentu. Politik hukum nasional di Indonesia pokok-pokoknya ditetapkan digaris-garis besar haluan Negara, dirinci lebih lanjut ole mentri kehakiman Republik Indonesia.
Untuk mewujudkan suatu hukum Nasional bagi bangsa indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kebudayaan dan agama yang berbeda ditambah lagi dengan keaneka ragaaman hukum yang ditinggalkan oleh penguasa kolonial dahulu, bukan lah pekerjaan yang mudah. Pembengunan hukum nasional yang akan berlaku bagi emua warga Negara tanpa memandang agama yang dipeluknya haruslah dilakukan dengan hati-hati, karena diantara agama yang dipeluk oleh warga Indonesia ada agama yang tidak bisa dicerai beraka oleh hukum. Misalnya agama islam. Karena eratnya hubungan antara agama (dalam arti sempit) dengan hukum dala islam.

5.      Peradilan agama
Peradilan adalah proses pemberian keadilan disuatu lembaga yang disebut pengadilan. Pengadilan adalah lembaga atau badn yang bertugas menerima, memriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan.  Dalam “ mengadili dan menyelesaikan suaru perkara “ itulah terletak proses pemberian keadilan yang diberikan oleh hakim baik tunggal maupun majlis. Oleh karena itu hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam menyelenggarakan keadilan.
Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan brdasarkan hukum agama islam pada orang-orang islam yang dilakukan dipengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Pengadilan agama, dalam sistem peradilan sisten Indonesi, dismping peradilan umum, peradian militer dan peradilan tata usaha Negara, merupakan salah satu pelaksana pengusaan penghakiman di Indonesia. Ke-4 lembaga peradilan itu mempunyai kedudukan yang sama, sederajat dengan kekuasaan yang berbeda.
Peradilan agama yang telah ada sejak agama islam datang ke indonesia itulah yang kemudian diakui dan dimantapkan kedudukannya di jawa dan madura tahun 1882, disebagian besar residensi kalimantan selatan dan timur tahun 1937 dan diluar kedua wilayah itu tahu 1957 dengan peraturan perundang-undangan perbntukannya.

6.      Kompilasi hukum islam.  
      Rancangan KHI yang terdiri dari 3 buku yaitu a) tentang hukum perkawinan,  buku b) buku hukum kewarisan, c) buku hukum perwakafan, selaras dengan wewenang utama peradilan agama, yang telah di terima baik para ulama dan sarjana hukum islam seluruh indonesia dalam lokakarya yang di selenggaraka di jakarta. Menteri agama, sbagai pembantu presiden, dalam surat keputusannya nomer 154 tahun 1991 tanggal 22 juli tahun 1991, dalam rangka menerima intruksi presiden tersebut, meminta kepada seluruh intansi departemen agama,termasuk peradilan
agama di dalamnya, dan intansi pemerintah lainnya yang terkait menyebar luaskan kompilasi hukum islam.
Selain tersebar 13 kitab fiqih tercantum dalm surat daran biru peradilan agama itu, hasil penalaran fuqoha dalam kitab-kitab dimaksud juga berbeda satu dengan yang lain walaupun mereka berbeda dalam satu aliran atau mazhab yang sama: syafi’i.
Kompilasi hukum islam, yakni kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum islam yang disusun secara sistematis tersebut diatas terdiri dari tiga buku, masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal.

B.     Hukum Islam, Undang-undang Peradilan Agama dan Masalahnya
                  Di Indonesia berlaku hukum adat, hukum islam dalam hukum barat. Hukum islam yang berlaku di Indonesia dapat dibagi dua. Pertama hukum islam yang beraku (1) secara yuridis formal, yang kedua hukum islam yang berlaku (2) secara normatif.
Untuk menegakkan hukum yang berlaku secara yuradis formal di Negara Republik Indonesia, pada tanggal 8 Desember 1988 presiden Repubik Indonesia menyampaikan rencana Undang-Undang peradilan Agama yang tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman 1970.[1][3]
Setelah dibicarakan secara mendalam, dibahas dan diuji sebagai wawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinegara kita, akhirnya pada hari kamis tanggal 14 Desmber 1989, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama itu disetujui oleh dewan  perwakilan rakyat  menjadi Undang-Undang Republik Indonesia tentang  peradilan Agama. Lima belas hari kemudian yaitu pada tanggal 29 Desember 1989, Undang-Undang tersebut disahkan menjadi Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 oleh presiden Republik Indonesia, diundangkan pada tanggal yang sama oleh Mentri Sekertaris Negara dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989.
Pengesahan undang-undang peradilan agama itu merupakan peristiwa penting bukan hanya bagi pembagunan perangkat hukum nasional, tetapi juga bagi umat islam di indonesia. Sebabnya adalah, dengan di sahkannya undang-undang itu semakin mantaplah kedudukan peradilan agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum islam bagi pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasit, hibah, wakaf, dan sadaqah yang telah menjadi hukum positif di tanah air kita. Pemeluk agama islam yang menjadi bagian penduduk indonesia, dengan undang-undang itu, diberi kesempatan untuk menaati hukum islam yang menjadi bagian mutlak ajaran agamanya, sesuai jiwa pasal 29 undang-undang dasar 1945 terutama ayat (2) nya.
Undang-undang peradilan agama yang telah disahkan dan diundangkan itu terdiri dari VII bab, 108 pasal dengan sistematika dan garis-garis besar isinya sebagi berikut: bab I tentang ketentuan umum, bab II sampai dengan bab III mengenai suasana dan kekuasan peradilan agama, bab IV tentang hukum acara, bab V ketentuan-ketentuan lain, bab VI ketentuan peralihan dan bab VII ketentuan penutup (undang-undang no.7:1989), (seperti diuraikan dalam bab mengenai undang-undang peradilan agama, di depan).[2][4]
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa beberapa bagian hukum islam di bidang mu’amalah berdasarkan peraturan perundang-undangan republik  indonesia, secara yuridis formal, telah menjadi hukum positif kita. Untuk menegakaknnya telah pula dimantapkan eksistensi peradilan agama yang menjadi bagian sistem perdilan nasional, salah satu pelaksana kekuasan kehakiman di indonesia. Namun, perlu segera dicatata bahwa baik mengenai hukum islam maupun mengenai undang-undang peradilan agama itu sendiri terdapat masalah dalam pelaksanannya. Dalam uraian berikut akan disebutkan beberapa diantaranya.
Mengenai hukum islam, masalahnya dapat timbul  dari luar dan dapat pula muncul dari dalam. Yang timbul dari luar antara lain dapat dikemukakan misalnya kendala yang datang dari penganut teori resepsi yang masih terdapat dalam masarakat indonesia. Menurut teori hukum islam bukanlah hukum dan tidak dapat diterima sebagai hukum kalau tidak dikehendaki dan belum diresepsi oleh hukum adat. Selain itu, yang merupakan kendala juga adalah pendapat kelompok orang-orang dalam masyarakat indonesia yang tidak setuju hukum islam berlaku bagi umat islam di indonesia dan tidak setuju tranformasi norma-norma hukum islam ke dalam hukum nasional kita.
Situasi hukum islam yang sedemikian, perlu dibenahi dan ditata kembali, agar kaidah-kaidahnya jelas dibacakan dan dapat diterapkan pada keadaan yang nyata di tanah air kita. Itulah mungkin, salah satu pertimbagan surat keputusan bersaman mentri agama dan ketua mahkama agung republik indonesia tanggal 21 maret 1985 untuk membuat kompilasi ( kumpulan kaidah-kaidah hukum dalam sebuah kitab yang disususn secara sistematis) hukum perdata islam yang telah menjadi hukum positif di tanah air kita. Dengan kompilasi itu, mudah-mudahan, citra hukum islam di tanah air kita menjadi semakin nyata dan dapat ditegakkan dengan baik oleh peradilan agama yang menjadi salah satu unsur pelaksana kekuasan kehakiman dalam sistem peradilan nasional kita.


   C.    Dimensi Pengembangan Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam di Indonesia menempati posisi sebagai hukum yang ada di masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan tiga faktor:

      1.      Dipandang dari sudut dasar filosofis.
Substansi segi-segi normatif ajaran Islam di Indonesia melahirkan sikap epistemologis yang mempunyai sumbangan besar bagi tumbuhnya pandangan hidup cita moral dan cita hukum dalam kehidupan sosio cultural masyarakat. Proses demikian berjalan sesuai dengan tingkat pemahaman keagamaan sehingga memantulkan korelasi antara ajaran Islam dan realitas social dan fenomena keislaman itu telah melahirkan norma fundamental Negara.
      2.      Dari sudut dasar sosiologis.
Sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukkan bahwa cita dan kesadaran hokum dalam kaitannya dengan kehidupan keislaman memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan seperti adanya gejala mentahkimkan permasalahan kepada orang yang difigurkan sebagai muhakkam dan akhirnya terkristalisasi menjadi suatu tradisi tauliyah. Akibatnya, saat ini dimensi lain pengaruh epistemology keislaman menyebar sampai aspek kehidupan sehingga tingkat religiusitasnya yang kuat dipertahankan secara berkesinambungan.
     3.      Dari sudut dasar yuridis.
Sejarah Hukum Islam menunjukkan bahwa validitas fenomena yuridis yang mampu mengungkap perjalanan tata hukum kolonialisme yang sarat dengan cita kolonialismenya tetap saja tidak mampu membendung arus tuntutan layangan masyarakat Islam sehingga pada akhirnya mengakui Hukum Islam diberi tempat dalam tata hukumnya. Eksistensi hukum Islam tersalurkan sacara konstitusional melalui pasal II aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.[1]
Dengan memperhatikan ketiga faktor di atas, pada dasarnya pengembangan hukum dapat dibentuk oleh perilaku dalam suatu kelompok masyarakat itu sendiri. Sumber daya manusia yang ada dalam masyarakat tersebut benar-benar dipersiapkan dan sanggup untuk mensosialisasikan serta melaksanakan dan mematuhi hukum itu sendiri, di samping seperti telah diungkapkan sebelumnya faktor politik pun, dalam hal ini kekuasaan, benar-benar mendukung sagala upaya pengembangan hukum Islam itu. Begitu pula sebaliknya, apabila salah satunya tidak dapat berjalan secara bersamaan, upaya pengembangan hukum Islam seperti yang diharapkan pun tidak akan tercapai.[2]
Penerapan dan pengembangan konsepsi hukum Islam di Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa cara pelaksanaanya.
Pertama, melalui jalur iman dan takwa, yaitu pemeluk agama Islam dalam Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian agama islam, khususnya masalah ibadah. Intensitas pelaksanaanya bergantung pada kualitas keimanan dan ketakwaan yang ada pada diri muslim yang bersangkutan. Apanila imannya baik dan takwanya itu benar, hokum Islam akan berjalan pada masyarakat muslim yang anggotanya beriman dan bertakwa, dan begitu pula sebaliknya.[3][7]
Kedua, pelaksanaan hukum Islam melalui jalur undang-undang, yaitu dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah ditunjuk berbagai tata cara pelaksanaan penerapan hukum Islam (seperti perkawinan, kewarisan, dan perwakafan) sebagai hukum yang berlaku bagi umat islam. Selanjutnya, dalam praktiknya Pengadilan Agama sebagai suatu lembaga berusaha menerapkan syariat umat dalam pengertian hukum syara’ yang siap pakai maupun menggali hukum yang belum jelas ditetapkan oleh syara’. Selain itu, perangkat Pengadilan Agama, dalam hal ini para hakimnya, diwajibkan untuk berijtihad ketika menghadapi kasus seperti ini.
Ketiga, dengan jalur pilihan hukum, yaitu dengan melakukan  perbuatan atau transaksi tertentu di Bank Muamalah, Badan Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah, dan asuransi takaful yang telah memilih muamalah dengan cara-cara alami.
Keempat, dengan jalan melalui Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), yang emlalui badan Arbitrase yang didirikan oleh MUI pusat ini, para pengusaha, pedagang, dan industri atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan).
Kelima, menerapkan hokum Islam dilakukan oleh Lembaga Pusat penelitian Obat/Kosmetika dan Makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majlis Ulama Indonesia. Lembaga ini menentukan apakah suatu produk obat-obatan, kosmetik, makanan dan minuman itu dihukumi halal atau haram untuk dikonsumsi oleh Umat Islam.[4]
Keenam, adalah pembinaan atau pembangunan hokum nasional melalui unsure-unsur asas dan norma hokum Islam akan berlaku dan dilaksanakan bukan hanya dan bagi umat Islam saja, tetapi juga oleh penduduk Indonesia.[5]
Analisisi lain ditambahkan oleh Cik Hasan Bisri bahwa pengembangan Hukum Islam bias ditempuh dengan Sembilan dimensi:
1.      Dimensi Syariah (sumber hukum)
2.      Dimensi Ilmu (sesuai dengan standar ilmiah)
3.      Dimensi Fiqh (produk penalaran ulama)
4.      Dimensi Fatwa (putusan ulama)
5.      Dimensi Nizham (tatanan atau system hukum)
6.      Dimensi Qanun (perundang-undangan)
7.      Dimensi Idarah (proses administrasi pemerintahan)
8.      Dimensi Qadha (putusan pengadilan)
9.      Dimensi Adat
Semua dimensi atau cara yang diuraikan di atas harus ditopang oleh patokan hokum Islam, yakni kebenaran dan keadilan (Q.S. 2:176, 2:213, 4:170, 9:45). Kedua nilai tersebut dikembangkan dalam sikap, ucapan, perilaku dan pengambilan keputusan. Kedua nilai ini harus diberlakukan untuk semua orang, sekalipun terhadap musuh. Kewajiban-kewajiban yang dituntut hokum Islam dari setiap manusia adalah kewajiban individual (fardhu’ain). Di samping itu, dituntut juga kewajiban-kewajiban bersama untuk memenuhi kepentingan bersama, yaitu kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[6]


[1] Daud Ali.1990.hukum Islam. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Hal. 210
[1] Daud Ali. 1990. Hukum Islam. Hal. 230.
[1] Daud ali. 1997. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Hal.187.
[1] Ibid.hal 201
[1] Abdul Gani Abdullah, “Hukum Islam dalam system masyarakat Indonesia”, dalam jurnal bulanan mimbar Hukum No. 30 Tahun VIII/1997. Hal.7-8.
[1] Dedi Supriyadi,2010.  Sejarah Hukum Islam. CV PUSTAKA SETIA: Bandung. Hal.320
[1] Mohammad Daud Ali, hal. 8.
[1] Ibid

[1] ibid
[1] Lihat Ali Yafi, “Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Umat” dalam dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Amrullah Ahmad: Editor), Gema Insani Press, 1996, hlm.94.

0 komentar:

Posting Komentar