MAKALAH
JUAL BELI DALAM ISLAM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
STUDI HUKUM ISLAM
Dosen Pembimbing:
Drs. M. H. Munir Mansyur, M.Ag
Oleh Kelompok 7:
1.
Nailin
Nuha Salsabila (B33212049)
2.
Ni’matus Sholikha (B33212050)
3.
Ragina
Zahara (B33212053)
4.
Ujang Abdul Basir (B33212056)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jual-Beli
Jual beli atau
perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut
etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikannya
secara Bahasa dengan “menukar sesuatu dengan yang lain”.[1]
Kata al-ba’I dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya,
yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-ba’i
berarti jual, tetapi sekaligus berarti beli.
Secara terminologi,
terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh,
sekalipun subtansi dan tujuan masing-masing definisi sama. Sayyid Sabiq,
mendefinisikan dengan:
مبا
د لة مال بما ل على سبيل الترا ضى , او نقل ملك بعوض على الو جه المأ ذون فيه .
“Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling
merelakan”. Atau, “memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan”.
Dari pengertiannya
Sayyid Sabiq dapat diambil empat kata kunci yaitu, “harta”, “milik”, ganti”,
dan “dapat dibenarkan”. Dari kata kunci “harta” ini dimaksudkan harta dalam
definisi di atas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan
yang bukan milik dan tidak bermanfaat; yang dimaksud milik agar dapat dibedakan
dengan yang bukan milik; yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan
hibah (pemberian); sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan agar dapat
dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
Sedangkan definisi
menurut ulama Hanafi yang yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily, jual beli
adalah:
مبا
د لة مال بمال على و جه مخصو ص , أو مبا د لة شيئ مر غو ب فيه بمثل على و جه مقيد
مخصوص .
“ Saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu”. Atau, “tukar-menukar
sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang
bermanfaat”.
Dalam definisi ini
terkandung pengertian “cara yang khusus” yang dimaksudkan ulama Hanafiyah
dengan kata kunci tersebut adalah melalui ijab Kabul, atau juga boleh melalui
saling memberikan barang dengan harga dari penjual dan pembeli. Disamping itu
harta yang diperjual-belikan harus bermanfaat bagi manusia, sehingga bangkai,
minuman keras, dan darah tidak termasuk diperboleh jual belikan, karena
benda-benda itu tidak bermanfaat bagi muslim. Apabila barang-barang tersebut
masih tetap diperjual-belikan, menurut ulama Hanafiyah, jual-belinya tidak sah.[2]
Ada lagi yang memberi
definisi lain mengenai arti jual-beli, seperti yang di kemukakan oleh Ibn
Qudamah (salah seorang ulama Malikiyah), jual beli adalah:
مبا
د لة الما ل بالما ل تمليكا و تمالكا .
“Saling menukar harta
dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilik”.
Dalam definisi ini ditekankan kata “milik dan pemilik”,
karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti
sewa-menyewa (al-ijarah).
Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa
jual-beli (al-ba’i) yaitu tukar-menukar
harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Dan
menurut pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, ba’i adalah
jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang.[3]
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka pada intinya
jual-beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktekan oleh
masyarakat primitive ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar
barang, yaitu dengan system barter yang didalam terminology fiqh disebut
dengan ba’i al-muqayyadah.
B.
Dasar
Hukum Jual Beli
Jual Beli sebagai sarana tolong menolong
antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan
sunah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an dan sunah Rasulullah
saw. Yang berbicara tentang jual beli, antara lain:
1.
Surat al-Baqarah ayat 275:[4]
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
2.
Surat an-Nisa ayat 29
029. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
Dasar hukum Jual Beli
berdasarkan sunah Rasulullah, antara lain:
1.
Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa,ah Ibn
Rafi’;
سئل
النبي صلى الله عليه وسلم : أي الكسب أطيب ؟ فقال : عمل الر جل بيده و كل بيع مبر
و ر . (رواه ابزار و الحا كم)
“Rasulullah saw. Ditanya salah seorang
sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik? Rasulullah saw,
menjawab: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”
(HR.Al-Bazzar dan Al-Hakim)
2.
Hadis yang diriwayatken al-Tirmizi,
Rasulullah saw bersabda:
ألتا
جر الصد وق الأ مين مع النبيين والصد يقين والشهدا ء . (رواه التر مذ ى)
“Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar
(tempatnya di surga) dengan para nabi, shaddiqin, dan syuhada”.[5]
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual Beli mempunyai rukun dan syarat
yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’[6].
Rukun jual beli ada
empat, yaitu:
1.
Pelaku transaksi, yaitu penjual dan
pembeli.
2.
Objek transaksi, barang.
3.
Akad transaksi, (shighat) yaitu segala
tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukan mereka sedang melakukan
transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun perbuatan.
4.
Ada nilai tukar pengganti barang
Syarat sahnya jual beli
yaitu suatu jual beli tiadak sah bila
tidak terpenuhi dalam suatu akad tujuh syarat, yaitu:
1.
Saling rela antara kedua belah pihak.
Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlak
keabsahannya, berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nisaa 29 dan Hadis Nabi
Riwayat Ibnu Majah: “Jual beli haruslah atas dasar kerelaan (suka sama suka).”
2.
Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan
melakukan akad, yaitu orang yang telah balig, berakal, dan mengerti.
3.
Harta yang menjadi objek transaksi telah
dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak
4.
Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan
agama.
5.
Objek transaksi adalah barang yang biasa
diserahterimakan.
6.
Objek jual beli diketahui oleh kedua
belah pihak saat akad.Maka tidak sah menjual barang yang tidak jelas.
7.
Harga harus jelas saat transaksi. Maka
tidak sah jual beli di mana penjual mengatakan: “Aku jual mobil ini kepadamu
dengan harga yang akan kita sepakati nantinya.” Hal ini berdasarkan Hadis
Riwayat Muslim tersebut.
D. Manfaat dan Hikmah Jual Beli
1. Manfaat jual beli:
a.
Jual beli dapat menata struktur
kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.[7]
b.
Penjual dan pembeli dapat memenuhi
kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
c.
Masing-masing pihak merasa puas.
d.
Dapat menjauhkan diri dari memakan atau
memiliki barang yang haram (batil).
e.
Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari
Allah swt.
f.
Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
2. Hikmah Jual Beli
Hikmah jual beli
dalam garis besarnya sebagai berikut:
Allah swt.
Mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada
hamba-hamba-nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa
sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama
manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri,
karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini,
taka ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, di mana
seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu
yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Jadi pada
intinya hikmah adanya jual-beli adalah dapat memudahkan urusan dan kebutuhan
orang lain.
E.
Bentuk-Bentuk
Jual Beli yang Dilarang
Jual beli yang dilarang terbagi dua:
pertama, jual beli yang dilarang dan hukumannya tidak sah (batal), yaitu jual
beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua, jual beli yang hukumnya
sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya,
tetapi ada beberapa faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.[8]
1.
Jual beli terlarang karena tidak memenuhi
syarat dan rukun. Bentuk jual beli yang termasik kedalam katagori ini sebagai
berikut:
a.
Jual beli yang zatnya haram, najis, atau tidak
boleh diperjual belikan. Contohnya seperti babi, berhala, bangkai, dan khamar.
Rasulullah bersabda
Artinya: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan memakan
sesuatu maka Dia mengharamkan juga memperjual belikannya”. (HR. Abu Daud
dan Ahmad).
b.
Jual beli yang belum jelas
Sesuatu yang
bersifat spekulatif atau samar-samar haram untuk diperjual-belikannya, karena
dapat merugukan salah satu pihak, baik penjual, maupun pembeli. Yang dimaksud
dengan samar-samar adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa
pembayarannya, maupun ketidak jelasan yang lainnya. Misalnya: Jual beli
buah-buahan yang belum tampak hasilnya, jual beli barang yang belum tampak.
c.
jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan
dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya jual beli atau ada
unsur-unsur merugikan yang dilarang oleh agama. Misalnya: “baik, mobil mu akan
ku beli 450 juta dengan syarat anak perawanmu harus menjadi istri ku”.
d.
Jual beli yang menimbulkan kemudaratan.
Misalnya: jual beli patung, salib, buku-buku bacaan porno.
e.
Jual beli yang dilarang karena
dianiyaya. Misalnya: menjual anak binatang yang masih menyusu kepada ibunya.
f.
Jual beli muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman
yang masih hijau (belum pantas dipanen) seperti: menjual rambutan yang masih
hijau.[9]
g.
Jual beli mulamasah, yaitu jual beli
secara sentuh menyentuh. Misalnya, seorang menyentuh sehelai kain dengan
tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti
telah membeli kain itu.
h.
Jual beli munabadzah. Yaitu jual beli
secara lempar-melempar. Seperti seorang berkata “lemparkan kepada ku apa yang
ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”.
i.
Jual beli muzabanah, yaitu menjual buah
yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran
padi basah sedang ukurannya dengan ditimbang sehingga akan merugikan pemilik
padi kering.
2.
Jual beli terlarang karena ada faktor
lain yang merugikan pihak-pihak terkait.[10]
a.
Jual beli dari orang yang masih tawar
menawar.
b.
Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota/pasar.
c.
Membeli barang dengan memborong untuk di
timbun.
d.
Jual beli barang rampasan atau curian.
DAFTAR PUSTAKA
Insan,
Wildan Fauzi, FIKIH Untuk Kelas IX MTs,
Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008
Mardani, FIQIH Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2012
Nawawi, Ismail, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: CV Dwiputra
Pustaka Jaya, 2010
Rahman, Abdul G, Ghufran Ihsan, Sapiudin
Shidiq, Fiqih Muamalat, Jakarta:
Kencana Perdana Media Group, 2010
Ramadhan SayidAl-Buthy, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah, Ma’a Mujaz
Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah, Damaskus, Darul Fikr, 2009
Suhendi, Hendi, Fiqh Mu;amalah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 2005
Yendra, Melvi, Mira Rainayati, Ensiklopedia Anak-anak Muslim, Bandung:
PT. Grasindo, 2007
[1] Abdul Rahman G, Ghufran Ihsan,
Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat,
(Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2010) hal 67
[2] Wildan Insan Fauzi, FIKIH Untuk Kelas IX MTs, (Bandung:
Grafindo Media Pratama, 2008) hal 30
[3] Ibid hal 70
[4] Mardani, FIQIH Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group,
2012) hal 103
[5] Sayid Ramadhan Al-Buthy, Fiqh
as-Sirah an-Nabawiyah, Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah, (Damaskus,
Darul Fikr, 2009) hal 226
[6]Hendi Suhendi, Fiqh Mu;amalah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 2005) hal 70-71
[7] Melvi Yendra, Mira Rainayati, Ensiklopedia Anak-anak Muslim, (Bandung:
PT. Grasindo, 2007) hal 35
[8] Abdul Rahman G, Ghufran Ihsan,
Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat,
(Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2010) hal 85
[9] Ismail Nawawi,
Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2010) hal 138
0 komentar:
Posting Komentar