Selasa, 06 Mei 2014

JUAL BELI DALAM ISLAM

Standard




MAKALAH
JUAL BELI DALAM ISLAM
Diajukan  Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
STUDI HUKUM ISLAM
Dosen Pembimbing:
Drs. M. H. Munir Mansyur, M.Ag


Oleh Kelompok 7:
                                               1.      Nailin Nuha Salsabila   (B33212049) 
                       2.      Ni’matus Sholikha         (B33212050) 
                       3.      Ragina Zahara                (B33212053)
                       4.      Ujang Abdul Basir           (B33212056)



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jual-Beli

Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-ba’i yang menurut etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara Bahasa dengan “menukar sesuatu dengan yang lain”.[1] Kata al-ba’I dalam Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-syira’ (beli). Dengan demikian, kata al-ba’i berarti jual, tetapi sekaligus berarti beli.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqh, sekalipun subtansi dan tujuan masing-masing definisi sama. Sayyid Sabiq, mendefinisikan dengan:

مبا د لة مال بما ل على سبيل الترا ضى , او نقل ملك بعوض على الو جه المأ ذون فيه .
Jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan”. Atau, “memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan”.
Dari pengertiannya Sayyid Sabiq dapat diambil empat kata kunci yaitu, “harta”, “milik”, ganti”, dan “dapat dibenarkan”. Dari kata kunci “harta” ini dimaksudkan harta dalam definisi di atas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat; yang dimaksud milik agar dapat dibedakan dengan yang bukan milik; yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian); sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
Sedangkan definisi menurut ulama Hanafi yang yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaily, jual beli adalah:

مبا د لة مال بمال على و جه مخصو ص , أو مبا د لة شيئ مر غو ب فيه بمثل على و جه مقيد مخصوص .
Saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu”. Atau, “tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.
Dalam definisi ini terkandung pengertian “cara yang khusus” yang dimaksudkan ulama Hanafiyah dengan kata kunci tersebut adalah melalui ijab Kabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dengan harga dari penjual dan pembeli. Disamping itu harta yang diperjual-belikan harus bermanfaat bagi manusia, sehingga bangkai, minuman keras, dan darah tidak termasuk diperboleh jual belikan, karena benda-benda itu tidak bermanfaat bagi muslim. Apabila barang-barang tersebut masih tetap diperjual-belikan, menurut ulama Hanafiyah, jual-belinya tidak sah.[2]
Ada lagi yang memberi definisi lain mengenai arti jual-beli, seperti yang di kemukakan oleh Ibn Qudamah (salah seorang ulama Malikiyah), jual beli adalah:

مبا د لة الما ل بالما ل تمليكا و تمالكا .
        Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilik”.
        Dalam definisi ini ditekankan kata “milik dan pemilik”, karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (al-ijarah).
         Adapun menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa jual-beli (al-ba’i) yaitu tukar-menukar harta dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Dan menurut pasal 20 ayat 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang.[3]
        Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka pada intinya jual-beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktekan oleh masyarakat primitive ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan system barter yang didalam terminology fiqh disebut dengan ba’i al-muqayyadah.

B.     Dasar Hukum Jual Beli
        Jual Beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. Yang berbicara tentang jual beli, antara lain:

1.      Surat al-Baqarah ayat 275:[4]
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
2.      Surat an-Nisa ayat 29
029. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Dasar hukum Jual Beli berdasarkan sunah Rasulullah, antara lain:
1.      Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa,ah Ibn Rafi’;

سئل النبي صلى الله عليه وسلم : أي الكسب أطيب ؟ فقال : عمل الر جل بيده و كل بيع مبر و ر . (رواه ابزار و الحا كم)
Rasulullah saw. Ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan (profesi) apa yang paling baik? Rasulullah saw, menjawab: Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati” (HR.Al-Bazzar dan Al-Hakim)
2.      Hadis yang diriwayatken al-Tirmizi, Rasulullah saw bersabda:

ألتا جر الصد وق الأ مين مع النبيين والصد يقين والشهدا ء . (رواه التر مذ ى)
Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi, shaddiqin, dan syuhada”.[5]

C.    Rukun dan Syarat Jual Beli
          Jual Beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’[6].
Rukun jual beli ada empat, yaitu:
1.      Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli.
2.      Objek transaksi, barang.
3.      Akad transaksi, (shighat) yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun perbuatan.
4.      Ada nilai tukar pengganti barang
Syarat sahnya jual beli yaitu  suatu jual beli tiadak sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad tujuh syarat, yaitu:
1.      Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya, berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nisaa 29 dan Hadis Nabi Riwayat Ibnu Majah: “Jual beli haruslah atas dasar kerelaan (suka sama suka).”
2.       Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah balig, berakal, dan mengerti.
3.      Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak
4.       Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama.
5.      Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan.
6.      Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad.Maka tidak sah menjual barang yang tidak jelas.
7.      Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual beli di mana penjual mengatakan: “Aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan kita sepakati nantinya.” Hal ini berdasarkan Hadis Riwayat Muslim tersebut.

D.    Manfaat dan Hikmah Jual Beli
1.      Manfaat jual beli:
a.       Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.[7]
b.      Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
c.       Masing-masing pihak merasa puas.
d.      Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram (batil).
e.       Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt.
f.       Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
2.      Hikmah Jual Beli
Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut:
Allah swt. Mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hamba-nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia dituntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, di mana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Jadi pada intinya hikmah adanya jual-beli adalah dapat memudahkan urusan dan kebutuhan orang lain.

E.           Bentuk-Bentuk Jual Beli yang Dilarang
           Jual beli yang dilarang terbagi dua: pertama, jual beli yang dilarang dan hukumannya tidak sah (batal), yaitu jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua, jual beli yang hukumnya sah tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi ada beberapa faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.[8]
1.       Jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun. Bentuk jual beli yang termasik kedalam katagori ini sebagai berikut:
a.        Jual beli yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh diperjual belikan. Contohnya seperti babi, berhala, bangkai, dan khamar. Rasulullah bersabda
Artinya: “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan memakan sesuatu maka Dia mengharamkan juga memperjual belikannya”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).
b.      Jual beli yang belum jelas
Sesuatu yang bersifat spekulatif atau samar-samar haram untuk diperjual-belikannya, karena dapat merugukan salah satu pihak, baik penjual, maupun pembeli. Yang dimaksud dengan samar-samar adalah tidak jelas, baik barangnya, harganya, kadarnya, masa pembayarannya, maupun ketidak jelasan yang lainnya. Misalnya: Jual beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya, jual beli barang yang belum tampak.
c.       jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya jual beli atau ada unsur-unsur merugikan yang dilarang oleh agama. Misalnya: “baik, mobil mu akan ku beli 450 juta dengan syarat anak perawanmu harus menjadi istri ku”.
d.      Jual beli yang menimbulkan kemudaratan. Misalnya: jual beli patung, salib, buku-buku bacaan porno.
e.       Jual beli yang dilarang karena dianiyaya. Misalnya: menjual anak binatang yang masih menyusu kepada ibunya.
f.       Jual beli muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih hijau (belum pantas dipanen) seperti: menjual rambutan yang masih hijau.[9]
g.      Jual beli mulamasah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh. Misalnya, seorang menyentuh sehelai kain dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka orang yang menyentuh berarti telah membeli kain itu.
h.      Jual beli munabadzah. Yaitu jual beli secara lempar-melempar. Seperti seorang berkata “lemparkan kepada ku apa yang ada padamu, nanti kulemparkan pula kepadamu apa yang ada padaku”.
i.        Jual beli muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering. Seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah sedang ukurannya dengan ditimbang sehingga akan merugikan pemilik padi kering.
2.      Jual beli terlarang karena ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait.[10]
a.       Jual beli dari orang yang masih tawar menawar.
b.      Jual beli dengan menghadang  dagangan di luar kota/pasar.
c.       Membeli barang dengan memborong untuk di timbun.
d.      Jual beli barang rampasan atau curian.


DAFTAR PUSTAKA

Insan, Wildan Fauzi, FIKIH Untuk Kelas IX MTs, Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008
            Mardani, FIQIH Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2012
            Nawawi, Ismail, Fiqh Mu’amalah, Jakarta: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2010
            Rahman, Abdul G, Ghufran Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat, Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2010
             Ramadhan SayidAl-Buthy, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah, Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah, Damaskus, Darul Fikr, 2009  
            Suhendi, Hendi, Fiqh Mu;amalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005
            Yendra, Melvi, Mira Rainayati, Ensiklopedia Anak-anak Muslim, Bandung: PT. Grasindo, 2007   




[1] Abdul Rahman G, Ghufran Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2010) hal 67
[2] Wildan Insan Fauzi, FIKIH Untuk Kelas IX MTs, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2008) hal 30
[3] Ibid hal 70
[4] Mardani, FIQIH Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2012)  hal 103
[5] Sayid Ramadhan Al-Buthy, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah, Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah, (Damaskus, Darul Fikr, 2009) hal  226
[6]Hendi Suhendi, Fiqh Mu;amalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005) hal 70-71
[7] Melvi Yendra, Mira Rainayati, Ensiklopedia Anak-anak Muslim, (Bandung: PT. Grasindo, 2007) hal 35
[8] Abdul Rahman G, Ghufran Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2010) hal 85
[9] Ismail Nawawi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: CV Dwiputra Pustaka Jaya, 2010) hal 138
[10] Ibid, 87


0 komentar:

Posting Komentar