Rabu, 21 Mei 2014

KEPEMIMPINAN WANITA SEBAGAI KEPALA NEGARA

Standard




KEPEMIMPINAN WANITA SEBAGAI KEPALA NEGARA
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
”Study Hukum Islam


DosenPembimbing :
Drs.H.M Munir Mansyur, M.Ag
Oleh:
                                     Dyah Ekawati Putri                            B53212090
                                     Noor Dewi Marwanty                         B53212091
                                     Anugrah Ragil Putri                            B73212095
                                     Ana Rosyidah An-Nur                        B73212094
 




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kepemimpinan
            Dalam agama Islam terkenal dengan sebutan imamah yang menurut bahasa berarti “kepemimpinan”, seperti ketua atau yang lainnya baik ia memberi petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah, yaitu penguasa atau pemimpin tertinggi rakyat.
Dalam kontek keislaman, arti pemimpin dalam konsepsi lughah sering disebut dengan berbagai kata atau sebutan, beberapa diantaranya :
Imam
            Asal kata dari  “Amama”  karena ia berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan (yanamma ). Menurut Imam Al Jauhari, Imam adalah orang yang memberi petunjuk. Dalam Alqur’an kata imam ada dalam Q.S. 16/An-Nahl;120, “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan” . Kata yang pengertiannya imam juga terdapat dalam Q.S. 2/Al-Baqarah;124, dan Q.S. 25/Al-Furqaan;74.
Amir (Ulil Amri)
            Amir atau Ulil Amri diartikan “Pemimpin yang memberi petunjuk”, seperti dalam Q.S. 32/As-Sajadah: Ayat 24, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. Atau baca Q.S. Al-Anbiyaa: 73. Ayat lain yang berkenaan dengan kata Ulil Amri terdapat dalam Q.S. An-Nisaa:59.
Sulthan
            Penggunaan kata Sulthan untuk pemimpin didasarkan kepada penafsiran Q.S. Al-Hasyr, 101:6 yang artinya,

Dan apa saja harta rampasan   yang diberikan Allah kepada RasulNya  mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan  seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Kemudian lihat Q.S. An-Nissa:90, Q.S. 17/Al-Israa’:33 dan 80.
            Dari penggunaan kata Sulthan ini dapat dipahami berkonotasi sosiologis dalam arti berkenaan dengan kemampuan mengatasi orang lain. Maka bisa diartikan, seorang pemimpin harus memiliki atau berkemampuan mengatasi persoalan yang menyangkut rakyatnya.
Al-Mulk
            Pengertian Pemimpin dengan istilah Al-Mulk atau Pemilik Kekuasaan dan Malik atau Raja dapat dilihat dalam Q.S. Al-Baqoroh:247 yang artinya, Al-Mulk yang dimaksud dalam ayat di atas pada pokoknya mengandung makna keabsahan atau legalitas, pengetahuan dan kemampuan. Dikaitkan dengan kekuasaan politik, ini berarti seorang pemimpin harus memiliki legalitas atau pengakuan dalam pengertian atas izin-Nya dan kepercayaan  rakyat. Seorang pemimpin juga dituntut memiliki pengetahuan yang relevan dengan amanat kepemimpinannya agar memiliki kemampuan melaksanakan amanat tersebut. Seorang pemimpin diisyaratkan memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan (pengambil keputusan) dengan prinsif kebenaran dan keadilan bagi sepenuhnya untuk kemashlahatan rakyat yang dipimpinnya. Ayat yang mengejawantahkan maksud tersebut dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Qalam: 36-41, Q.S. Yunus: 35, Q.S. Ash-Shaaffaat: 154.
Khalifah
            Para fuqaha mendefinisikan suatu kepemimpinan umum yang mencakup urusan keduniaan dan urusan keakheratan. Pengertian Khalifah di dalamnya mengadung arti adanya proses regenerasi sebagaimana tertera dalam Q.S. 19/Maryam: Ayat 44-49 dan Q.S. 7/Al-A’raaf: Ayat 143. Khalifah juga mengandung pengertian  yang berfungsi sebagai penegak hukum (kebenaran dan keadilan), tidak memperturutkan hawa nafsu dan berakibat sanksi berat bagi pemimpin yang melakukan penyimpangan (Q.S. 38/Saad: Ayat 26).
            Pemimpin adalah orang yang mempunyai pengikut, yang mengatur dan mengkoordinasikan aktifitas groupnya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan dalam Islam dikenal dengan istilah khalifah. Pemimpin untuk mencapai tujuan yang diinginkan membutuhkan staf dan anggota yang kemudian muncul istilah yang dikenal dengan kepemimpinan.
            Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau pengikut-pengikutnya sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut.[1]

B.     Kriteria  Seorang Pemimpin
1.      Beriman dan Beramal Shaleh Ini sudah pasti tentunya. Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman, bertaqwa, selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu dalam bentuk amal soleh.
2.      Niat yang Lurus. Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Karena suatu amalan itu bergantung pada niatnya, itu semua telah ditulis dalam H.R bukhari-muslim Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh ‘Umar bin al-Khaththāb r.a, dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah s.a.w bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya.
3.      Laki-Laki .  syarat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki untuk menjadi pemimpin, yaitu bersikap adil, memiliki ilmu yang memungkinkan untuk melakukan ijtihad, sehat jasmani, tidak cacat tubuh, mampu mengatur, gagah berani, dan berasal dari keturunan suku Qurays (watak yang dimiliki).
4. Tidak meminta jabatan. Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,  ”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim). 
5.      Berpegang pada Allah. Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.
Allah berfirman, ”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
6.  Memutuskan perkara dengan adil. Rasulullah bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir). 
7.      Menasehati Rakyat. Rasulullah bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
8.    Tidak menerima hadiah. Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya. Rasulullah bersabda, ” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani). 
9.   Tegas.  Ini merupakan sikap seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah, SWT dan rasulnya.
10.  Lemah lembut. Doa Rasullullah :  "Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembut kepada mereka “.
           Setelah kita mengetahui sebagian ciri- ciri pemimpin menurut islam. Marilah kita memilih dan membuat diri kita mendekati bahkan jika bisa menjadi seperti ciri- ciri pemimpin diatas karena kita merupakan Mahasiswa dan sebagai penerus bangsa.[2]

C.    Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
      Wanita muslimah adalah mitra kerja pri dalam memakmurkan bumi sesempurna mungkin. Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam hadits ini : “kaum wanita adalah saudara kandung kaum pria”. (Shahih al-Jami ash-Shaghhir no.1979). karena itu, wanita haruslah ikut serta dengan serius dan terhormat dalam berbagai lapangan kehidupan. Mengingat lapangan kehidupan itu lazimnya tidak lepas dari keberadaan kaum laki-laki, bahkan kaum laki-lakiah yag menguasai mayoritas peranan penting dalam masyarakat, syariat Allah tidak menghalangi wanita bertemu dengan kaum laki-laki dan melihatnya, atau sebaliknya. Begitu pula dalam berbicara dan bertukar pikiran, atau bekerjasama untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan catatan mereka tetap memperthatikan ketentuan-ketentuan agama.[3]
Dalam pembahasan ini ada 2 hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah system pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa laki-laki dibolehkan.
Berikut Pro Kontra terhadap kepemimpinan wanita sebagai kepala negara :
a.      Pendapat yang tidak memperbolehkan wanita sebagai kepala negara
1.      Al-Qur’an
a.      QS. An-Nisaa’[4]: 34
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu. Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”
         Al-Maududi berkata : Sesungguhnya Al-Qur’an tidak membatasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan di dalam rumah, dan memimpin negara lebih berbahaya dan lebih berat tanggung jawabnya dibandingkan memimpin sebuah rumah. Dengan demikian bertolaklah pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan ayat itu berhubungan dengan kehidupan berumah tangga, tidak dengan politik sebuah negara.  Begitu pula fatwa dari universitas al-Azhar menyatakan bahwa islam tidak memberiakn untuk wanita ikut serta dalam berpolitik, dengan dalih bahwa dibalik hak ikut serta dalam pemilu itu, ada tujuan agar perempuan dapat membuat satu undang-undang yang menetapkan dan mengakui keanggotaan perempuan.[4]
b.      QS. Al-Baqarah [2] : 282
        “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kami ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”
Sebab “kurang” sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat diatas adalah perempuan sering lupa dalam keadaan biologis yang khusus pada mereka yang telah ditetapkan oleh keputusan Allah dalam penciptaan dan kehidupan, tidak seperti laki-laki.
           Contoh makna Ad-Darajah (tingkatan lebih), yang dijadikan ntuk kaum laki-laki atas kaum wanita dengan firmann-NYA : kaum laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada kaum wanita (istri)”
Maksud ayat ini dalam tafsir al-Manar, menuturkan bahwa perempuan sama dengan laki-laki dalam semua hak, kecuali satu perkara yang diungkapkan ayat diatas. Ayat ini mewajibkan satu hal atas perempuan dan mewajibkan beberapa hal atas laki-laki. Sebab “ tingkatan kelebihan” ini adalah tingkatan kelebihan politik.[5]
c.       QS. Al-Ahzab [33]: 33
           “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu, dan janganlah kamu berhias danbertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu” . Wanita diharuskan selalu tinggal dirumahnya dan tidak boleh keluar kecuali karena suatukepentingan yang mendesak. Sebagaimana halnya wanita diharuskan tidak berhias, menutup diri dari kaum laki-laki, dan tidak bergaul bersama mereka. Inilah yang kemudian berpengaruh terhadap kehidupan politik pada umumnya.[6]
           Pandangan ini diperkuat oleh hadits yang menyebutkan bahwa Allah telah menetapkan empat rumah bagi eorang perempuan : rahim ibunya, rumah orang tuanya yang menjadi tempat tinggalnya sampai ia menikah, rumah suaminya yang tidak boleh ia tinggalkan tanpa izin yang bersangkutan dan yang terakhir adalah maqam atau kuburannya.[7]
2.      Sunnah
Hadits abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Turmudzi. Bahwa Rasulullah bersabda:
“ Tidak akan beruntung suatu kaum, jika yang mengurusi urusan mereka adalah perempuan”
   Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qaum diatas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim didalamnya      
      Hadits ini sangat sering di ucapkan oleh mereka yang berpendapat bahwa islam tidak menyetujui persamaan perempuan dan laki-laki dalam hak-jhak politik.
     Dari hadits ini dapat disimpulkan menurut pendapat ini bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan umum apa pun. Sebab, dalam hal itu tidak ada kemenangan dan kesuksesan. Maka dalam kemenangannya pun ada kerugian.
Adapun hadits lain dari Nabi, “Aku tidak pernah melihat diantara orang-orang yang kurang akalnya dan agamanya dapat lebih menarik hati laki-laki dari kalian(para perempuan)” (Hr. Bukhari).
           Makna harfiah hadis ini sendiri, bagaimana pandangan para penganut pendapat ini adalah perempuan mempunyai kekurangan dalam akal dan agamanya. Selama keadaannya seperti itu ia tidak diperkenankan menduduki jabatan. [8]
3.      Ijma’
           Yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan kaum muslim pada suatu zaman untuk menetapkan suatu syariat. Pendapat inipun didasarkan pada ijma untuk menguatkan pendapat mereka dan mereka mengatakan bahwa hal itu sudah dipraktekkan pada beberapa masa. Atau setidaknya pada Rasulullah dan Khulafaur Rasyiddin yang berlaku tanpa kesertaan wanita dalam kehidupan politik negara. Kendati ada sejumlah besar kaum wanita yang yang terlibat dibidang budaa dan intelektual pada masa awal islam, seperti istri-istri Nabi Muhammad saw. tetapi mereka tidak berpartisipasi dalam masalah-masalah kenegaraan. Merekapun tidak meminta untuk berpartisipasi dalam masalah itu.
4.      Qiyas
           Yang dimaksud dengan qiyas adalah mengikutkan suatu perkara yang tidak tercantum ketentuannya dalam Al-Qur’an, Sunnah atau Ijma pada perkara lain yang diatur ketentuannya pada sumber-sumber diiatas karena ada kesamaan illat hukumnya.
           Dalam bersandar pada qiyas para pencetus pendapat ini melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan oleh karena itu memungkinkan dilakukan qiyas dalam hal itu. Diantara adalah :
1.      Tidak adanya perkenaan untuk menjadi pemimpin bagi masyarakat umum dalam shalat lima waktu, shalat jum’at, dan Id.
2.      Wanita tidak mempunyai hak menentukan talak yang ditetapkan syariat melekat pada laki-lak, bukan pada wanita.
3.      Perempuan tidak boleh bepergian sendiri tanpa disertai muhrimnya.
4.      Perempua tidak diwajibkan shalat jum’at dalam jamaah.
Jika ketentuan ini dalam kaitannya dengan wanita termasuk dalam masalah-masalah sederhana, maka perbedaan antara wanita dan laki-laki dalam hak politik dan menduduki jabatan sudah bisa terlihat.[9]
b.      Pendapat yang memperbolehkann wanita sebagai kepala negara
1.      Al-Qur’an
           QS. An-Nisaa’ [4]: 34 , saya melihat bahwa kepemimpinan dalam ayat ini adalah kepemimpinan suami untuk mendidik istrinya dalam kasus nusyuz. Hal itu kita ketahui setelah merujuk pada sebab turunnya ayat ini. surat ini turun berkenaan dengan kasusu istri Sa’ad bin al-Rabi yang tidak taat pada suaminya. Ayat tersebut turun karena sebab khusus, yaitu berkenaan dengan kasus keluarga, dan tidak ada keterkaitan dengan keterlibatan wanita dalam politik.
           QS. Al-Baqarah [2]: 282 , dalam ayat ini derjat yang dimiliki laki-laki bukanlah derajat keutamaan dan keunggulan, melainkan derajat kepemimpinan sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya. Kaum laki-laki pemimpin bagi kaum wanita dalam masalah keluarga yang memikul tanggungjawab untuk menafkahinya.dari sudut pandang tersebut mempertegas bahwa ketika merujuk pada ayat-ayat yang turun sebelumnya berkenaan dengan keluarga begitu pula ayat sesudahnya. Dengan adanya keterkaitan antara ayat-ayat itu, sama sekali tidak berkaitan dengan ketiadaan peran politik dan partisispasi wanita dalam urusan-uruan umum negara.
           QS. Al-Ahzab [33] : 33 , ayat ini berkenaan khusus dengan istri-istri Nabi, oleh karena itu hukum tersebut terbatas pada mereka saja. Namun bukan berarti wanita lain punya hak untu keluar rumah. Yang dimaksud adalah istri-istri nabi tinggal didalam rumah agar dapat dibedakan dengan wanita lain serta hikmag tetap tinggalnya mereka di dalam rumah kenabian semampu mereka agar lebih banyak mengambil sunnah dan mengajarkannya pada manusia.
2.      Sunnah
           “ Tidak akan beruntung suatu kaum, jika yang mengurusi urusan mereka adalah perempuan”. Hadis ini khusus berkenaan dengan suatu kasus bangsa persia karena tidak ada laki-laki yang bisa diangkat sebagai raja. Selainitu hadis ini juga berkenaan dengan jawaban Allah atas do’a Nabi ketika Kisra menyobek surat beliau yang dikirim kepadanya.oleh karena itu hadis ini berlaku khusus bukan umum. Hadis ini termasuk hadis-hadis ahad, hadis ahad tidak mendatangkan keyakinan melainkan hanya mendatangkan dugaan kuat.oleh karena itu tidak boleh bersandar dalam hadis ahad dalam hukum-hukum yang sangat penting. Serta banyak negara yang dipimpin wanita, tetapi negara itu mengalami banyak kemajuan, salah satunya yaitu dalam Al-Qur’an memaparkan kisah seorang Ratu yang memimpin kerajaan besar, yaitu Ratu Balqis, di negeri Saba’, hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat as-Saba’ ayat 15.
           Adapun hadits berikut, “Aku tidak pernah melihat diantara orang-orang yang kurang akalnya dan agamanya dapat lebih menarik hati laki-laki dari kalian(para perempuan)” (Hr. Bukhari).
           Dalam konteks ini, kekurangan akal artinya kesaksian perempuan adalah separo dari kesaksian laki-laki. Sebabnya adalah karena menurut sifat biologisnya wanita itu cepat terpengaruh emosi. Perasaannya seringkali berpengaruh terhadap kehidupannya. Sedangkan kekurangannya dalam agama adalah karena perempuan dihadapkan pada kodrat alami seperti haid setiap bulan yang menghalanginya menunaikan sebagian ibadah fardhu seperti puasa dan shalat.
           Berdasarkan hal ini, tidak berarti kekurangan akal dan agama adalah sedikitnya pengetahuan dan kelemahan daya nalar wanita. Konsekuensinya tidak boleh bersandar pada hadits itu untuk membuktikan larangan pada wanita untuk berpartisipasi dalam mengatur kepentingan sosial dan menggunakan hak-hak politik.
3.      Ijma
           Mereka memandang bahwa secara peraktis berlaku pada berbagai zaman atau setidaknya pada zaman Rasulullah saw. dan Khulafaur tidak partisipasi kaum wanita dalam kehidupan politik dalam negara.
           Namun saya melihat bahwa pada kenyataannya, hal itu tidaklah benar. Jelas-jelas Rasulullah saw. dan Khulafaur mengajak kaum wanita bermusyawarah tentang berbagai hal. Sebagai contoh perhatikanlah beberapa peristiwa di bawah ini :
1.      Dalm perang Hudaibiyah, Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat agar mencukur rambut dan menyembelih hewan qurban, akan tetapitidak segera dilaksanakan karena memandang perdamaian itu merupakan suatu kerugian. Maka Nabi mendatangi Ummu Salamah dan mengajaknya bermusyawarah. Hasil dari musyawarah itu ialah Nabi mencukur rambutnya dan menyembelih hewan qurban. Ketika sahabat melihatnya merekapun mengikutinya.
2.      Khalifah Ustman bin Affan bermusyawarah dengan istrinya , Na’ilah dalam berbagai masalah. Pada suatu hari Na’ilah mendengar Marwan bin Hakkam mengajukan pendapat yang tidak benar, lalu ia ikut dalam perbincangan itu dan mengajukan pendapat yang lain. Maka Marwan berkata kepadanya “diamlah, engkau tidak punya urusan dalam masalah ini”. akan tetapi, Utsman berkata kepada Marwan  “Biarkanlah, karena ia memberi nasihat kepadaku yang lebih baik ketimbang kamu”
3.      Aisyah ra. Keluar rumah memimpin pasukan perang yangjumlahnya mencapai 3.000 prajurit dari Makkah ke Basrah untuk menuntut balas kematian Utsma,menolak baiat Ali bin Abi Thalib ra. Dan mengembalikan kepemimpinan pada musyawarah diantara kaum muslimin.
4.      Qiyas
         Penetapan hukum dengan qiyas hanya berlaku pada masalah yang hanya memiliki illat hukum yang sama dan serupa dengan masalah pokok. Jika hal itu tidak terpenuhi maka qiyas itu menjadi qiyas al-fariq. Ini terjadi dalam qiyas yang sedang kita bahas ini. qiyas musyarikah tidak boleh dilakukan dalam masalah- masalah politik terhadap masalah-masalah agama yang berkaitan dengan ibadah. Salat adalah ibadah memiliki syarat-syarat khusus. Sementara keikutsertaan dalam politik memiliki ketentuan yang berbeda. Tidak boleh melakukan qiyas ketiadaan partisipasi wanita dalam masalah-masalah politik pada ketidakbolehan wanita mengimami, sebagaimana larangan wanita menjatuhkan talak, dan ketidakbolehan ia bepergian sendiri tanpa disertai muhrim yang dikemblikan pada kodrat kewanitaannya. Kodrat inilah yang dalam Islam menyebabkan perbedaan antara wanita dan laki-laki dalam beberapa hukum sebagai pengecualian yang keluar dari prinsip umum.[10]


DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1999. Kepemimpinan Pria dan Wanita. Bandung : Rosda Karya
Syuqqah, Abdul Halim Abu. 1997. Kebebasan Wanita (Jilid 2). Jakarta :Gema Insani Press
Khaliq , Farid Abdul. 2005. Fikih Politik Islam. Jakarta : Amzah
Fauzi, Ikhwan. 2002. Perempuan dan Kekuasaan. Jakarta : Sinar Grafika Offset
Musdah mulia , Siti. 2005. Muslimah Perempuan Pembaru Keagamaan Reformis. Bandung : Mizan Media Utama
http://www.jurukunci.net/2012/07/10-kriteria-pemimpin-menurut-ajaran.html

 




[1] Abu Ahmadi, Kepemimpinan Pria dan Wanita, (Bandung : Rosda Karya, 1999), hal 123
[2] http://www.jurukunci.net/2012/07/10-kriteria-pemimpin-menurut-ajaran.html
[3] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita (Jilid 2), (Jakarta :Gema Insani Press, 1997), hal 1
[4] Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta : Amzah , 2005), hal 123
[5] Ibid, hal 129-145
[6] Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2002), hal 41
[7] Siti Musdah Mulia, Muslimah Perempuan Pembaru Keagamaan Reformis, (Bandung : Mizan Media Utama, 2005), hal 305
[8] Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta : Amzah , 2005), hal 126
[9] Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2002), hal 44-46

[10] Ibid, hal 53-70

1 komentar:

  1. artikel agan sangat mudah dipahami makasih atas apreasi dalam menulis postingan yang baik dan benar semoga jadi amal ibadah buat agan :D

    yo dari Tutorial Blogger | SEO

    BalasHapus