KEPEMIMPINAN
WANITA SEBAGAI KEPALA NEGARA
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
”Study
Hukum Islam”
DosenPembimbing :
Drs.H.M Munir Mansyur, M.Ag
Oleh:
Dyah
Ekawati Putri B53212090
Noor Dewi Marwanty B53212091
Anugrah Ragil Putri B73212095
Ana Rosyidah An-Nur B73212094
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepemimpinan
Dalam agama Islam terkenal dengan sebutan
imamah yang menurut bahasa berarti “kepemimpinan”, seperti ketua atau yang
lainnya baik ia memberi petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut
khalifah, yaitu penguasa atau pemimpin tertinggi rakyat.
Dalam kontek keislaman, arti pemimpin dalam
konsepsi lughah sering disebut dengan berbagai kata atau sebutan, beberapa diantaranya :
Imam
Asal kata dari “Amama” karena ia
berada di depan (amam), mengasuh (ummah), menyempurnakan (atammah), menenangkan
(yanamma ). Menurut Imam Al Jauhari, Imam adalah orang yang memberi petunjuk.
Dalam Alqur’an kata imam ada dalam Q.S. 16/An-Nahl;120, “Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada
Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan” . Kata yang pengertiannya imam juga terdapat dalam Q.S.
2/Al-Baqarah;124, dan Q.S. 25/Al-Furqaan;74.
Amir (Ulil Amri)
Amir atau Ulil Amri diartikan “Pemimpin yang memberi
petunjuk”, seperti dalam Q.S. 32/As-Sajadah: Ayat 24, “Dan Kami jadikan di
antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. Atau baca
Q.S. Al-Anbiyaa: 73. Ayat lain yang berkenaan dengan kata Ulil Amri terdapat
dalam Q.S. An-Nisaa:59.
Sulthan
Penggunaan kata Sulthan untuk
pemimpin didasarkan kepada penafsiran Q.S. Al-Hasyr, 101:6 yang artinya,
“Dan apa saja harta rampasan
yang diberikan Allah kepada RasulNya mereka, maka untuk mendapatkan itu
kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan seekor untapun, tetapi Allah
yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang
dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Kemudian lihat
Q.S. An-Nissa:90, Q.S. 17/Al-Israa’:33 dan 80.
Dari penggunaan kata Sulthan ini dapat dipahami
berkonotasi sosiologis dalam arti berkenaan dengan kemampuan mengatasi orang
lain. Maka bisa diartikan, seorang pemimpin harus memiliki atau berkemampuan
mengatasi persoalan yang menyangkut rakyatnya.
Al-Mulk
Pengertian Pemimpin dengan istilah Al-Mulk atau Pemilik
Kekuasaan dan Malik atau Raja dapat dilihat dalam Q.S. Al-Baqoroh:247 yang
artinya, Al-Mulk yang dimaksud dalam ayat di atas pada pokoknya mengandung
makna keabsahan atau legalitas, pengetahuan dan kemampuan. Dikaitkan
dengan kekuasaan politik, ini berarti seorang pemimpin harus memiliki legalitas
atau pengakuan dalam pengertian atas izin-Nya dan kepercayaan rakyat.
Seorang pemimpin juga dituntut memiliki pengetahuan yang relevan dengan amanat
kepemimpinannya agar memiliki kemampuan melaksanakan amanat tersebut. Seorang
pemimpin diisyaratkan memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan (pengambil
keputusan) dengan prinsif kebenaran dan keadilan bagi sepenuhnya untuk
kemashlahatan rakyat yang dipimpinnya. Ayat yang mengejawantahkan maksud
tersebut dapat ditemukan dalam Q.S. Al-Qalam: 36-41, Q.S. Yunus: 35, Q.S.
Ash-Shaaffaat: 154.
Khalifah
Para fuqaha mendefinisikan suatu kepemimpinan
umum yang mencakup urusan keduniaan dan urusan keakheratan. Pengertian Khalifah
di dalamnya mengadung arti adanya proses regenerasi sebagaimana tertera dalam
Q.S. 19/Maryam: Ayat 44-49 dan Q.S. 7/Al-A’raaf: Ayat 143. Khalifah juga
mengandung pengertian yang berfungsi sebagai penegak hukum (kebenaran dan
keadilan), tidak memperturutkan hawa nafsu dan berakibat sanksi berat bagi
pemimpin yang melakukan penyimpangan (Q.S. 38/Saad: Ayat 26).
Pemimpin adalah
orang yang mempunyai pengikut, yang mengatur dan mengkoordinasikan aktifitas
groupnya untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan dalam Islam dikenal dengan
istilah khalifah. Pemimpin untuk mencapai tujuan yang diinginkan membutuhkan
staf dan anggota yang kemudian muncul istilah yang dikenal dengan kepemimpinan.
Kepemimpinan
(leadership) adalah kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain atau
pengikut-pengikutnya sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana
yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut.[1]
B. Kriteria Seorang Pemimpin
1.
Beriman dan Beramal Shaleh Ini sudah
pasti tentunya. Kita harus memilih pemimpin orang yang beriman, bertaqwa,
selalu menjalankan perintah Allah dan rasulnya. Karena ini merupakan jalan
kebenaran yang membawa kepada kehidupan yang damai, tentram, dan bahagia dunia
maupun akherat. Disamping itu juga harus yang mengamalkan keimanannya itu yaitu
dalam bentuk amal soleh.
2.
Niat yang Lurus. Hendaklah saat
menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang
telah Allah perintahkan. Karena suatu amalan itu bergantung pada niatnya, itu
semua telah ditulis dalam H.R bukhari-muslim Dari Amīr al-Mu’minīn, Abū Hafsh
‘Umar bin al-Khaththāb r.a, dia menjelaskan bahwa dia mendengar Rasulullah
s.a.w bersabda:
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung
pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan
niatnya.
3.
Laki-Laki . syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang laki-laki untuk menjadi pemimpin, yaitu bersikap adil, memiliki ilmu
yang memungkinkan untuk melakukan ijtihad, sehat jasmani, tidak cacat tubuh,
mampu mengatur, gagah berani, dan berasal dari keturunan suku Qurays (watak
yang dimiliki).
4. Tidak meminta jabatan. Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu, ”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah
kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan
kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian,
dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka
kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
5.
Berpegang pada Allah. Ini salah satu
kewajiban utama seorang pemimpin.
Allah berfirman, ”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Allah berfirman, ”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
6. Memutuskan perkara dengan
adil. Rasulullah
bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang
dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan
oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi
dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
7.
Menasehati Rakyat. Rasulullah bersabda, ”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum
Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali
pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
8. Tidak menerima hadiah. Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti
mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati.Oleh
karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.
Rasulullah bersabda, ” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah
pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
9. Tegas. Ini merupakan
sikap seorang pemimpin yang selalu di idam-idamkan oleh rakyatnya. Tegas bukan
berarti otoriter, tapi tegas maksudnya adalah yang benar katakan benar dan yang
salah katakan salah serta melaksanakan aturan hukum yang sesuai dengan Allah,
SWT dan rasulnya.
10.
Lemah lembut. Doa Rasullullah : "Ya Allah,
barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka
persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah
lembut kepada mereka, maka berlemah lembut kepada mereka “.
Setelah kita mengetahui
sebagian ciri- ciri pemimpin menurut islam. Marilah kita memilih dan membuat
diri kita mendekati bahkan jika bisa menjadi seperti ciri- ciri pemimpin diatas
karena kita merupakan Mahasiswa dan sebagai penerus bangsa.[2]
C. Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Wanita
muslimah adalah mitra kerja pri dalam memakmurkan bumi sesempurna mungkin.
Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah saw. dalam hadits ini : “kaum
wanita adalah saudara kandung kaum pria”. (Shahih al-Jami ash-Shaghhir
no.1979). karena itu, wanita haruslah ikut serta dengan serius dan terhormat
dalam berbagai lapangan kehidupan. Mengingat lapangan kehidupan itu lazimnya
tidak lepas dari keberadaan kaum laki-laki, bahkan kaum laki-lakiah yag
menguasai mayoritas peranan penting dalam masyarakat, syariat Allah tidak
menghalangi wanita bertemu dengan kaum laki-laki dan melihatnya, atau
sebaliknya. Begitu pula dalam berbicara dan bertukar pikiran, atau bekerjasama
untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan catatan mereka tetap memperthatikan
ketentuan-ketentuan agama.[3]
Dalam pembahasan ini ada 2 hal yang harus
diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah
individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah
system pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu
kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak
dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa laki-laki
dibolehkan.
Berikut Pro Kontra
terhadap kepemimpinan wanita sebagai kepala negara :
a. Pendapat yang tidak memperbolehkan wanita sebagai kepala negara
1. Al-Qur’an
a. QS. An-Nisaa’[4]: 34
ٱلرِّجَالُ
قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ
وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ
لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ
أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا
كَبِيرٗا ٣٤
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu. Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar”
Al-Maududi
berkata : Sesungguhnya Al-Qur’an tidak membatasi kepemimpinan laki-laki atas
perempuan di dalam rumah, dan memimpin negara lebih berbahaya dan lebih berat
tanggung jawabnya dibandingkan memimpin sebuah rumah. Dengan demikian
bertolaklah pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan ayat itu berhubungan
dengan kehidupan berumah tangga, tidak dengan politik sebuah negara. Begitu pula fatwa dari universitas al-Azhar
menyatakan bahwa islam tidak memberiakn untuk wanita ikut serta dalam
berpolitik, dengan dalih bahwa dibalik hak ikut serta dalam pemilu itu, ada tujuan
agar perempuan dapat membuat satu undang-undang yang menetapkan dan mengakui
keanggotaan perempuan.[4]
b. QS. Al-Baqarah [2] : 282
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kami ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya”
Sebab “kurang” sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat
diatas adalah perempuan sering lupa dalam keadaan biologis yang khusus pada
mereka yang telah ditetapkan oleh keputusan Allah dalam penciptaan dan
kehidupan, tidak seperti laki-laki.
Contoh
makna Ad-Darajah (tingkatan lebih), yang dijadikan ntuk kaum laki-laki atas
kaum wanita dengan firmann-NYA : kaum laki-laki (suami) mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada kaum wanita (istri)”
Maksud ayat ini dalam tafsir al-Manar, menuturkan bahwa
perempuan sama dengan laki-laki dalam semua hak, kecuali satu perkara yang
diungkapkan ayat diatas. Ayat ini mewajibkan satu hal atas perempuan dan
mewajibkan beberapa hal atas laki-laki. Sebab “ tingkatan kelebihan” ini adalah
tingkatan kelebihan politik.[5]
c. QS. Al-Ahzab [33]: 33
“Dan
hendaklah kamu tetap dirumahmu, dan janganlah kamu berhias danbertingkah laku
seperti orang-orang jahiliyah terdahulu” . Wanita diharuskan selalu tinggal
dirumahnya dan tidak boleh keluar kecuali karena suatukepentingan yang
mendesak. Sebagaimana halnya wanita diharuskan tidak berhias, menutup diri dari
kaum laki-laki, dan tidak bergaul bersama mereka. Inilah yang kemudian berpengaruh
terhadap kehidupan politik pada umumnya.[6]
Pandangan
ini diperkuat oleh hadits yang menyebutkan bahwa Allah telah menetapkan empat
rumah bagi eorang perempuan : rahim ibunya, rumah orang tuanya yang menjadi
tempat tinggalnya sampai ia menikah, rumah suaminya yang tidak boleh ia
tinggalkan tanpa izin yang bersangkutan dan yang terakhir adalah maqam atau
kuburannya.[7]
2. Sunnah
Hadits abi Bakrah yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Turmudzi. Bahwa Rasulullah bersabda:
“ Tidak akan beruntung suatu kaum, jika yang mengurusi
urusan mereka adalah perempuan”
Latar belakang turunnya hadits ini memang
ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada
seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu
kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” ini memberikan
makna umum (‘aam). Artinya kata qaum diatas berlaku untuk semua kaum, termasuk
kaum muslim didalamnya
Hadits
ini sangat sering di ucapkan oleh mereka yang berpendapat bahwa islam tidak
menyetujui persamaan perempuan dan laki-laki dalam hak-jhak politik.
Dari
hadits ini dapat disimpulkan menurut pendapat ini bahwa perempuan tidak boleh
menduduki jabatan umum apa pun. Sebab, dalam hal itu tidak ada kemenangan dan
kesuksesan. Maka dalam kemenangannya pun ada kerugian.
Adapun hadits lain dari Nabi, “Aku tidak pernah melihat
diantara orang-orang yang kurang akalnya dan agamanya dapat lebih menarik hati
laki-laki dari kalian(para perempuan)” (Hr. Bukhari).
Makna
harfiah hadis ini sendiri, bagaimana pandangan para penganut pendapat ini
adalah perempuan mempunyai kekurangan dalam akal dan agamanya. Selama
keadaannya seperti itu ia tidak diperkenankan menduduki jabatan. [8]
3. Ijma’
Yang
dimaksud ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan kaum muslim pada
suatu zaman untuk menetapkan suatu syariat. Pendapat inipun didasarkan pada
ijma untuk menguatkan pendapat mereka dan mereka mengatakan bahwa hal itu sudah
dipraktekkan pada beberapa masa. Atau setidaknya pada Rasulullah dan Khulafaur
Rasyiddin yang berlaku tanpa kesertaan wanita dalam kehidupan politik negara.
Kendati ada sejumlah besar kaum wanita yang yang terlibat dibidang budaa dan
intelektual pada masa awal islam, seperti istri-istri Nabi Muhammad saw. tetapi
mereka tidak berpartisipasi dalam masalah-masalah kenegaraan. Merekapun tidak
meminta untuk berpartisipasi dalam masalah itu.
4. Qiyas
Yang
dimaksud dengan qiyas adalah mengikutkan suatu perkara yang tidak tercantum
ketentuannya dalam Al-Qur’an, Sunnah atau Ijma pada perkara lain yang diatur
ketentuannya pada sumber-sumber diiatas karena ada kesamaan illat hukumnya.
Dalam
bersandar pada qiyas para pencetus pendapat ini melihat perbedaan antara
laki-laki dan perempuan oleh karena itu memungkinkan dilakukan qiyas dalam hal
itu. Diantara adalah :
1. Tidak adanya perkenaan untuk menjadi pemimpin
bagi masyarakat umum dalam shalat lima waktu, shalat jum’at, dan Id.
2. Wanita tidak mempunyai hak menentukan talak
yang ditetapkan syariat melekat pada laki-lak, bukan pada wanita.
3. Perempuan tidak boleh bepergian sendiri tanpa
disertai muhrimnya.
4. Perempua tidak diwajibkan shalat jum’at dalam
jamaah.
Jika ketentuan ini dalam kaitannya dengan wanita termasuk
dalam masalah-masalah sederhana, maka perbedaan antara wanita dan laki-laki
dalam hak politik dan menduduki jabatan sudah bisa terlihat.[9]
b. Pendapat yang memperbolehkann wanita sebagai
kepala negara
1. Al-Qur’an
QS.
An-Nisaa’ [4]: 34 , saya melihat bahwa kepemimpinan dalam ayat ini adalah
kepemimpinan suami untuk mendidik istrinya dalam kasus nusyuz. Hal itu kita
ketahui setelah merujuk pada sebab turunnya ayat ini. surat ini turun berkenaan
dengan kasusu istri Sa’ad bin al-Rabi yang tidak taat pada suaminya. Ayat
tersebut turun karena sebab khusus, yaitu berkenaan dengan kasus keluarga, dan
tidak ada keterkaitan dengan keterlibatan wanita dalam politik.
QS.
Al-Baqarah [2]: 282 , dalam ayat ini derjat yang dimiliki laki-laki bukanlah
derajat keutamaan dan keunggulan, melainkan derajat kepemimpinan sebagaimana
disebutkan dalam ayat sebelumnya. Kaum laki-laki pemimpin bagi kaum wanita
dalam masalah keluarga yang memikul tanggungjawab untuk menafkahinya.dari sudut
pandang tersebut mempertegas bahwa ketika merujuk pada ayat-ayat yang turun
sebelumnya berkenaan dengan keluarga begitu pula ayat sesudahnya. Dengan adanya
keterkaitan antara ayat-ayat itu, sama sekali tidak berkaitan dengan ketiadaan
peran politik dan partisispasi wanita dalam urusan-uruan umum negara.
QS.
Al-Ahzab [33] : 33 , ayat ini berkenaan khusus dengan istri-istri Nabi, oleh
karena itu hukum tersebut terbatas pada mereka saja. Namun bukan berarti wanita
lain punya hak untu keluar rumah. Yang dimaksud adalah istri-istri nabi tinggal
didalam rumah agar dapat dibedakan dengan wanita lain serta hikmag tetap
tinggalnya mereka di dalam rumah kenabian semampu mereka agar lebih banyak
mengambil sunnah dan mengajarkannya pada manusia.
2. Sunnah
“ Tidak
akan beruntung suatu kaum, jika yang mengurusi urusan mereka adalah perempuan”.
Hadis ini khusus berkenaan dengan suatu kasus bangsa persia karena tidak ada
laki-laki yang bisa diangkat sebagai raja. Selainitu hadis ini juga berkenaan
dengan jawaban Allah atas do’a Nabi ketika Kisra menyobek surat beliau yang
dikirim kepadanya.oleh karena itu hadis ini berlaku khusus bukan umum. Hadis
ini termasuk hadis-hadis ahad, hadis ahad tidak mendatangkan keyakinan
melainkan hanya mendatangkan dugaan kuat.oleh karena itu tidak boleh bersandar
dalam hadis ahad dalam hukum-hukum yang sangat penting. Serta banyak negara
yang dipimpin wanita, tetapi negara itu mengalami banyak kemajuan, salah
satunya yaitu dalam Al-Qur’an memaparkan kisah
seorang Ratu yang memimpin kerajaan besar, yaitu Ratu Balqis, di negeri Saba’,
hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat as-Saba’ ayat 15.
Adapun
hadits berikut, “Aku tidak pernah melihat diantara orang-orang yang kurang
akalnya dan agamanya dapat lebih menarik hati laki-laki dari kalian(para perempuan)”
(Hr. Bukhari).
Dalam
konteks ini, kekurangan akal artinya kesaksian perempuan adalah separo dari
kesaksian laki-laki. Sebabnya adalah karena menurut sifat biologisnya wanita
itu cepat terpengaruh emosi. Perasaannya seringkali berpengaruh terhadap
kehidupannya. Sedangkan kekurangannya dalam agama adalah karena perempuan
dihadapkan pada kodrat alami seperti haid setiap bulan yang menghalanginya
menunaikan sebagian ibadah fardhu seperti puasa dan shalat.
Berdasarkan
hal ini, tidak berarti kekurangan akal dan agama adalah sedikitnya pengetahuan
dan kelemahan daya nalar wanita. Konsekuensinya tidak boleh bersandar pada
hadits itu untuk membuktikan larangan pada wanita untuk berpartisipasi dalam
mengatur kepentingan sosial dan menggunakan hak-hak politik.
3. Ijma
Mereka
memandang bahwa secara peraktis berlaku pada berbagai zaman atau setidaknya
pada zaman Rasulullah saw. dan Khulafaur tidak partisipasi kaum wanita dalam
kehidupan politik dalam negara.
Namun
saya melihat bahwa pada kenyataannya, hal itu tidaklah benar. Jelas-jelas
Rasulullah saw. dan Khulafaur mengajak kaum wanita bermusyawarah tentang berbagai
hal. Sebagai contoh perhatikanlah beberapa peristiwa di bawah ini :
1. Dalm perang Hudaibiyah, Rasulullah saw.
memerintahkan para sahabat agar mencukur rambut dan menyembelih hewan qurban,
akan tetapitidak segera dilaksanakan karena memandang perdamaian itu merupakan
suatu kerugian. Maka Nabi mendatangi Ummu Salamah dan mengajaknya
bermusyawarah. Hasil dari musyawarah itu ialah Nabi mencukur rambutnya dan
menyembelih hewan qurban. Ketika sahabat melihatnya merekapun mengikutinya.
2. Khalifah Ustman bin Affan bermusyawarah dengan
istrinya , Na’ilah dalam berbagai masalah. Pada suatu hari Na’ilah mendengar
Marwan bin Hakkam mengajukan pendapat yang tidak benar, lalu ia ikut dalam
perbincangan itu dan mengajukan pendapat yang lain. Maka Marwan berkata
kepadanya “diamlah, engkau tidak punya urusan dalam masalah ini”. akan tetapi,
Utsman berkata kepada Marwan “Biarkanlah,
karena ia memberi nasihat kepadaku yang lebih baik ketimbang kamu”
3. Aisyah ra. Keluar rumah memimpin pasukan perang
yangjumlahnya mencapai 3.000 prajurit dari Makkah ke Basrah untuk menuntut
balas kematian Utsma,menolak baiat Ali bin Abi Thalib ra. Dan mengembalikan
kepemimpinan pada musyawarah diantara kaum muslimin.
4. Qiyas
Penetapan
hukum dengan qiyas hanya berlaku pada masalah yang hanya memiliki illat hukum
yang sama dan serupa dengan masalah pokok. Jika hal itu tidak terpenuhi maka
qiyas itu menjadi qiyas al-fariq. Ini terjadi dalam qiyas yang sedang kita
bahas ini. qiyas musyarikah tidak boleh dilakukan dalam masalah- masalah
politik terhadap masalah-masalah agama yang berkaitan dengan ibadah. Salat
adalah ibadah memiliki syarat-syarat khusus. Sementara keikutsertaan dalam
politik memiliki ketentuan yang berbeda. Tidak boleh melakukan qiyas ketiadaan
partisipasi wanita dalam masalah-masalah politik pada ketidakbolehan wanita
mengimami, sebagaimana larangan wanita menjatuhkan talak, dan ketidakbolehan ia
bepergian sendiri tanpa disertai muhrim yang dikemblikan pada kodrat
kewanitaannya. Kodrat inilah yang dalam Islam menyebabkan perbedaan antara
wanita dan laki-laki dalam beberapa hukum sebagai pengecualian yang keluar dari
prinsip umum.[10]
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Abu.
1999. Kepemimpinan Pria dan Wanita. Bandung : Rosda Karya
Syuqqah, Abdul Halim Abu. 1997. Kebebasan Wanita (Jilid 2). Jakarta
:Gema Insani Press
Khaliq , Farid
Abdul. 2005. Fikih Politik Islam. Jakarta : Amzah
Fauzi, Ikhwan.
2002. Perempuan dan Kekuasaan. Jakarta : Sinar Grafika Offset
Musdah mulia , Siti. 2005. Muslimah Perempuan Pembaru Keagamaan Reformis.
Bandung : Mizan Media Utama
http://www.jurukunci.net/2012/07/10-kriteria-pemimpin-menurut-ajaran.html
[1]
Abu Ahmadi, Kepemimpinan Pria dan
Wanita, (Bandung : Rosda Karya, 1999), hal 123
[2]
http://www.jurukunci.net/2012/07/10-kriteria-pemimpin-menurut-ajaran.html
[3]
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan
Wanita (Jilid 2), (Jakarta :Gema Insani Press, 1997), hal 1
[4]
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik
Islam, (Jakarta : Amzah , 2005), hal 123
[5]
Ibid, hal 129-145
[6]
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan
Kekuasaan, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2002), hal 41
[7]
Siti Musdah Mulia, Muslimah
Perempuan Pembaru Keagamaan Reformis, (Bandung : Mizan Media Utama, 2005),
hal 305
[8]
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik
Islam, (Jakarta : Amzah , 2005), hal 126
[9]
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan
Kekuasaan, (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2002), hal 44-46
[10]
Ibid, hal 53-70
artikel agan sangat mudah dipahami makasih atas apreasi dalam menulis postingan yang baik dan benar semoga jadi amal ibadah buat agan :D
BalasHapusyo dari Tutorial Blogger | SEO