Senin, 19 Mei 2014

Unsur-Unsur Dalam Bimbingan Konseling Sosial

Standard
MAKALAH
Unsur-Unsur Dalam Bimbingan Konseling Sosial
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
BIMBINGAN KONSELING SOSIAL”


Dosen Pembimbing :
Dra. Faizah Noer Laela, M.Si
Disusun Oleh:
Abdulloh Faqih                                   (B03212001)
Ahmad Fikri Haikal                           (B03212004)
M. Irsyadul Ibad                                 (B93212104)
Idlan Farid bin Noor Iskandar            (43212060)



BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENGERTIAN KONSELOR.
1.1         Konselor
Berbicara mengenai disiplin ilmu tentang bimbingan dan konseling, paling tidak  dikenal dua istilah, yakni Penasihat atau yang lebih dikenal dengan istilah Konselor dan seorang Klien atau Konseli.
Penasihat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Konselor adalah seseorang yang memberikan bantuan terhadap orang lain yang disebut Konseli baik berupa nasehat, masukan ataupun arahan. Sedangkan Konseli adalah orang yang menerima bantuan atau nasihat dari konselor.
Dalam literatur yang lain telah dijelaskan bahwa Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling, sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling. Dan secara arti luas, konselor dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien.[1]
Dalam melakukan proses konseling, konselor harus dapat menerima kondisi klien apa adanya. Konselor harus dapat menciptakan suasana yang kondusif saat proses konseling berlangsung, posisi konselor sebagai pihak yang membantu, harus dapat menempatkan dirinya pada posisi yang benar benar dapat memahami dengan baik permasalahan yang dihadapi oleh klien agar proses konseling dapat berjalan dengan lancar.
Untuk itu dalam bahasan Bimbimban dan Konseling, konselor yang bisa dikatakan profesional adalah konselor yang memenuhi syarat syarat konselor, kewajiban, dan karakteristik konselor.

B.    KARAKTERISTIK KONSELOR.
2.1. Syarat-Syarat Konselor.
Konselor merupkan seseorang yang mempunyai wewenang dan keahlian untuk memberikan bimbingan kepada orang lain( konseli ) yang sedang menghadapi kesulitan atau masalah yang tidak dapat dihadapinya sendiri. Menurut Thohari Musnamar dalam bukunya “Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam”, persyaratan menjadi konselor antara lain:
a.              Kemampuan Profesional
b.              Sifat kepribadian yang baik
c.              Kemampuan kemasyarakatan (Ukhuwah Islamiyah)
d.             Ketakwaan kepada Allah.
         Sedangkan menurut H. M. Arifin, syarat-syarat untuk menjadi seorang konselor adalah :[2]
a.  Menyakini akan kebenaran Agama yang dianutnya, menghayati, serta    mengamalkannya.
b.    Memiliki sifat dan kepribadian yang menarik.
c.    Memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.
d.   Memiliki kematangan jiwa dalam menghadapi permasalahan yang sedang dihadapi oleh kliennya.
e.    Mempunyai keyakinan bahwa kliennya memiliki kemampuan dasar yang baik, dan dapat dibimbing menuju arah perkembangan yang optimal.
f.     Memiliki rasa cinta terhadap kleinnya.
g.    Memiliki ketangguhan, kesabaran serta keuletan dalam menjalankan tugasnya.
h.    Memiliki watak dan kepribadian yang familiar.
i.      Memiliki jiwa yang progresif (ingin maju dalam karirnya)
j.      Memiliki pengetahuan teknis termasuk metode tentang bimbingan dan konseling serta dapat menerapkannya.
2.2. Kewajiban Konselor.
Di Indonesia terdapat sebuah wadah yang disebut Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) yang telah menyepakati bahwa konselor adalah sebutan bagi pihak yang membantu terhadap konseli.
Dalam kode etik yang terdapat dalam asosiasi tersebut, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang konselor, kewajiban kewajiban tersebut adalah:[3]
a.    Konselor berkewajiban untuk terus menerus berusaha mengembangkan dan menguasai dirinya.
b.    Konselor berkewajiban memperlihatkan sifat sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib dan hormat.
c.    Konselor wajib mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi, termasuk keuntungan material, finansial dan popularitas.
d.   Konselor wajib memiliki ketrampilan menggunakan teknik dan prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar wawasan yang luas dan kaidah kaidah ilmiah.
e.    Konselor wajib memiliki rasa tanggung jawab terhadap saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya.
2.3. Karakteristik Konselor.
Setelah kita mengetahui siapa itu konselor, apa saja syarat syarat yang harus dipenuhi oleh seorang konselor dan kewajiban kewajiban konselor, maka pembahasan selanjutnya adalah pembahasan mengenai karakteristik seorang, konselor.
Sebagai seorang konselor sudah seharusnya seorang konselor memilki karakteristik dan kepribadian yang baik, dikarenakan konselor merupakan pihak yang hendak membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh konselinya.
Menurut Carl Rogers sebagai peletak dasar konsep konseling, ada tiga karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang konselor, karakteristik tersebut adalah : congruence, unconditional positive regard, dan empathy.[4]
a.    Kongruen
Kongruen adalah karakteristik yang harus dimiliki seorang konselor yang berarti seorang konselor harus dapat memahami dirinya sendiri. Antara pikiran, perasaan, dan pengalamannya harus serasi.tidak boleh menutupi kekurangan yang ada pada dirinya.
b.    Unconditional positive regard
Adalah karakteristik yang ke dua yang harus dimiliki oleh seorang konselor, karakteristik ini menerangkan bahwa seorang konselor harus dapat menerima/respek terhadap klien walaupun dengan keadaan klien yang tidak dapat diterima oleh lingkungan. misalnya, apabila ada seorang klien yang datang dengan keluhan selalu melakukan masturbasi, konselor tidak langsung sinis atau bahkan menolaknya. Akan tetapi konselor harus tetap bersikap terbuka dan berfikir positif bahwa tingkah laku kliennya tersebut dapat diubah menjadi lebih baik.
c.    Empati
Empati disini maksudnya adalah memahami orang lain dari sudut kerangka berfikirnya. Konselor harus dapat menyingkirkan nilai nilainya sendiri tetapi tidak boleh ikut terlarut didalam nilai nilai kliennya.
Thohari Musnamar mengemukakan sifat kepribadian konselor sosial yang baik adalah Akhlaqul Karimah yang ditunjukkan dengan:
1.      Siddiq, mencintaidan menguatkan kebenaran
2.      Amanah, dapat dipercaya
3.      Tabligh, mau menyampaikan apa yang harus disampaikan
4.      Fathonah, cerdas atau berpengetahuan
5.      Mukhlish / Ikhlas dalam menjalankan tugas
6.      Sabar, maksudnya ulet, tabah dan tidak mudah putus asa, tidak mudah marah dan mau mendengarkan keluh kesah klien dengan penuh perhatian
7.      Tawadlu’, rendah hati tidak sombong
8.      Soleh, maksudnya mencintai, melakukan, membina dan menyokong kebaikan
9.      Adil, mampu menempatkan persoalan secara proposional dan
10.  Mampu mengendalikan diri, maksudnya menjaga kehormatan diri dan kliennya.[5]

C.    PENGERTIAN KLIEN/KONSELI.
Willis mendefinisikan klien adalah setiap individu yang diberikan bantuan profesional oleh seorang konselor atas permintaan dirinya sendiri atau orang lain. Pengertian hampir sama juga di ungkapkan oleh Rogers yang mengartikan klien sebagai individu yang datang kepada konselor dalam keadaaan cemas dan tidak kongruensi[6].
Sebagai mana telah di uraikan pada sasaran bimbingan koneling social, bahwa yang menjadi klien dalam bimbingan konseling social antara lain:
    1. Individu yang mengalami kesulitan bersosialisasi.
    2. Kelompok yang mengalami stagnasi social.
Individu yang mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, individu disini yang dimaksudkan dapat berarti individu secara perorangan atau sebuah keluarga yang mengalami kesulitan dalam bersosialisasi diantara anggota-anggotanya. Individu yang mengalami kesulitan dalam bersosialisasi ada tiga:
1.      Individu non social, adalah individu yang tidak mau menyesuaikan diri dengan ligkunganya, hal ini dapat dilihat dari dua sisi idividu atau keluarga yang bersangkutan dan dari sisi lingkungan dimana individu atau keluarga berada. Dari sisi individu hal ini dapat disebabkan karena ada factor penghalang dari individu atau keluarga yang bersangkutan, misalnya ada perasaan: minder atau takut dicemooh, malu dan lain sebagainya. Dari lingkungan dimana individu atau keluarga tersebut tinggal, hal ini dapat disebabkan karena lingkungan yang kurang dapat mereduksi keinginan-keinginan dari anggotanya.terjadinya persaingan yang kurang sehat dan lain-lain.
2.      Individu social, adalah individu atau keluarga yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada ,individu atau keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya bukan karena factor tidak mamapu tapi factor “relatifitas” dan bersifat subyektif.
3.      Individu atau keluarga anti social. Adalah individu yang sebenarnya mampu untuk menyesuaikan diri pada lingkungan atau dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada dalama masyarakat, tetapi individu tersebut melawan atau menentang dengan lingkungn sekitarnya.

D.    KARAKTERISTIK KLIEN/KONSELOR.
Klien adalah semua individu yang diberi bantuan profesional seorang konselor atas permintaan sendiri atau orang lain. Klien yang datang atas kemauannya sendiri karena dia membutuhkan bantuan. Dia sadar bahwa dalam dirinya ada masalah yang memerlukan bantuan seorang ahli. Sedangkan klien yang datang atas permintaan orang lain misalnya orang tua atau guru, dia tidak sadar akan masalah yang dialami dirinya karena kurangnya kesadaran diri. Apabila klien sudah sadar akan diri dan masalahnya, maka dia mempunyai harapan terhadap konselor dan proses konseling.
Shertzer and Stone (1987) mengemukakan bahwa keberhasilan dan kegagalan proses konseling ditentukan oleh tiga hal yaitu :
1.    Kepribadian Klien
Kepribadian klien cukup menentukan keberhasilan proses konseling. Aspek-aspek kepribadian klien adalah : sikap, emosi, intelektual, dan motivasi.[7]
2.    Harapan Klien
Harapan klien mengandung makna adanya kebutuhan yang ingin terpenuhi melalui proses konseling. Harapan klien adalah untuk memperoleh informasi, menurunkan kecemasan, memperoleh jalan keluar dari persoalan yang dialami dan mencari upaya bagaimana dirinya supaya lebih baik. Seringkali harapan klien terlalu tinggi terhadap proses konseling, sedangkan kenyataannya konseling tidak dapat memenuhi harapan tersebut, sehingga terjadilah diskretansi antara harapan dan kenyataan yang dapat membuat klien kecewa dan bisa membuat dia putus hubungan dengan konseling[8]
3.    Pengalaman dan Pendidikan Klien
Pengalaman dan pendidikan klien sangan menentukan keberhasilan proses konseling sebab dengan  pengalaman dan pendidikan tersebut klien akan mudah menggali  dirinya sehingga upaya pemecahan masalah makin terarah. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman dalam konseling, wawancara, berkomunikasi, keterbukaan, ceramah, pidato, mengajar, dan demokratis. Seorang klien yang berpengalaman dalam diskusi, pidato, atau ceramah, biasanya lebih mudah mengungkapkan perasaannya.

E.                 MACAM-MACAM KLIEN/KONSELI.
Setelah memahami klien, maka kita akan memahami macam-macam klien, karena tidak ada dua klien yang sama persis[9], diantaranya :
1.    Klien Sukarela
Klien sukarela adalah klien yang datang pada konselor atas kesadaran diri sendiri karena memiliki maksud dan tujuan tertentu[10], Ciri-ciri klien sukarela :
1.    Mudah terbuka;
2.    Hadir atas kehendak sendiri;
3.    Dapat menyesuaikan diri dengan konselor;
4.    Bersedia mengungkapkan rahasia;
5.    Bersikap sahabat;
6.    Mengikuti proses konseling.
2.    Klien terpaksa
Apabila klien sukarela datang pada konselor atas kemauannya sendiri, maka klien terpaksa adalah klien yang datang pada konselor bukan atas kemauannya sendiri melainkan atas dorongan teman atau keluarga[11], Ciri-cirinya :
1.    Bersifat tertutup;
2.    Enggan berbicara;
3.    Curiga kepada konselor;
4.    Kurang bersahabat;
5.    Menolak secara halus bantuan konselor.[12]
3.    Klien Enggan
Klien yang enggan adalah klien yang datang pada konselor bukan untuk dibantu menyelesaikan masalahnya, melainkan karena senang berbincang-bincang dengan konselor. Klien ini enggan dibantu.
4.    Klien bermusuhan/Menentang
Klien Bermusuhan/Menentang merupakan kelanjutan dari klien terpaksa yang bermasalah dengan cukup serius. Adapun sifat-sifatnya :
1.    Tertutup; 2. Menentang; 3. Bermusuhan; 4. Menolak secara terbuka.
5.    Klien Krisis
Merupakan klien yang mendapat musibah seperti kematian orang-orang terdekat, kebakaran, dan pemerkosaan, Perilaku Klien krisis adalah :
1.    Tertutup;
2.    Emosional;
3.    Kurang mampu berpikir rasional;
4.    Tidak mampu mengurus diri dan keluarganya;
5.    Membutuhkan orang yang amat dipercayai.[13]

Carl R. Rogers menyatakan bahwa konseling yang berpusat pada klien haruslah dilandasi pada pemahaman klien tentang dirinya. Atau dengan kata lain pendekatan Rogers ini menitikberatkan pada kemampuan klien untuk menentukan sendiri masalah-masalah yang penting bagi dirinya dan memecahkan sendiri masalahnya. Campur tangan konselor sedikit sekali. Konseli akan mampu menghadapi sifat-sifat dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan terancam dan cemas, sehingga ia maju kearah menerima dirinya dan nilai-nilai yang selama ini dimiliki dianutnya, serta mampu mengubah aspek-aspek dirinya sebagai sesuatu yang dirasa perlu diubah.[14] Jadi, tujuan konseling dengan sendirinya ada dan ditentukan oleh konseli itu sendiri[15].

Dengan demikian, pada layanan Bimbingan dan Konseling Sosial, konselor dan konseli lebih dihadapkan pada cara untuk mengembangkan diri konseli menjadi manusia seutuhnya. Baik secara konseling perseorangan (individual) maupun secara kelompok. Konseli lebih dibekali seperangkat cara (metode) untuk memecahkan permasalahannya sendiri ketimbang mencari pemecahan atas masalah konseli. Hal ini yang membedakan layanan pribadi dengan layanan sosial.
Setidaknya ada 4 bagaimana (cara), yang merupakan bahasan dari layanan Bimbingan dan Konseling Sosial antara lain[16]:
1.      Bagaimana konseli dapat menempatkan diri dalam lingkungan sosial. Individu sebagai makhluk sosial, sehingga konseli ditumbuhkan pemahamannya mengenai hakekat kemanusiaannya.
2.      Bagaimana konseli bersikap baik dan semestinya terhadap lingkungan sosial menurut standar moral, hukum dan agama yang berlaku setempat. Misalnya sopan santun, tata krama, rasa menghormati dan menghargai orang lain.
3.      Bagaimana mendidik perilaku konseli yang tidak normative menjadi lebih normatif.
4.      Bagaimana agar konseli dapat belajar dari lingkungan sosialnya, yang baik diambil, yang jelek dibuang.
5.      Bagaimana membuat konseli dapat memahami perbedaan lingkungan sosial budaya, mengenal perbedaan lingkungan budaya yang multikultural dan dapat menyesuaikan diri baik dalam lingkungan yang berbeda maupun dnegan orang yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda dengan dirinya.


[1]  Namora Lumongga Lubis. 2011, memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik.   (Jakarta: kencana Prenada Media Group, hal: 21-22).

[3] Gantina Komalasari dan Eka Wahyuni. 2011, teori dan teknik konseling. (Jakarta: PT.Indeks, hal:10-11)
[4] Namora Lumongga Lubis. 2011, memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. (Jakarta: kencana Prenada Media Group, hal: 22-24).
[5] Thohari Musnamar dalam Syamsu yusuf. Landasan Bimbingan dan Konseling. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008)
[6] Ibid, Hal 46
[7] Fenti Hikmawati, Hal 39
[8] Ibid, hal 40
[9] Shahudi Siradj, 2012, Pengantar Bimbingan Konseling, [Surabaya, PT Revka Petra Media]. Hal 137
[10] Namora Lumongga Lubis, Hal 48
[11] Ibid, hal 49
[12] Fenti Hikmawati, hal 41
[13] Ibid, hal 43
[14] Dewa Ketut Sukardi, 2008,  Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah [Jakarta:PT Rineka cipta]. Hal 123
[15] Ibid, hal 128 
[16] Hallen A. Bimbingan dan Konseling Sosial, (Jakarta : Ciputat Press, 2002).hal 19

0 komentar:

Posting Komentar