KEPRIBADIAN DAN KELUARGA:
Pendidikan
Keluarga Sebagai Peletak Dasar Pembentukan Kepribadian Anak
Maharani Sekar
Kinanti (B03212014)
Rahmawati (B03212020)
M. Yusuf
Ardianto (B33212048) Noor Dewi
Marwanty (B53212091)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TEORI PSIKOLOGI
KEPRIBADIAN
Teori psikologi kepribadian melalui
pemahaman tentang kepribadian. Teori psikologi kepribadian melahirkan
konsep-konsep seperti dinamika pengaturan tingkahlaku, pola tingkahlaku, model
tingkah laku dan perkembangan repertoir tingkahlaku, dalam rangka mengurai
kompleksitas tingkahlaku manusia. Ahli-ahli psikologi kepribadian melakukan
riset yang cermat untuk menguji konsep-konsep itu, memakai kaidah-kiadah ilmiah
untuk menegakkan teori yang andal; yakni teori yang dapat mengemban fungsi
deskriptif dan prediktif dalam kerangkah pendekatan psikologi untuk memahami
manusia sebagai individu.
Teori psikologi kepribadian bersifat
deskriptif dalam ujud penggambaran organisasi tingkahlaku secara sistematis dan
mudah difahami. Tidak ada tingkahlaku yang terjadi begitu saja tanpa alasan;
pasti ada sebab-musabab, pendorong, motivator, sasaran-tujuan, dan atau latar
belakangnya. Faktor-faktor itu hars diletakkan dalam suatu kerangka saling
hubungan yang bermakna, agar kesemuanya terjamin mendapat tilikan yang cermat
dan teliti ketika dilakukan pendiskripsian tinkahlaku, dan agar deskripsi
dilakukan memakai sistematik yang ajeg dan komunikatif. Teori tentu bukan hanya
mendiskripsi kejadian masa lalu dan sekarang, tetapi juga mampu meramalkan
kejadian yang akan datang. Sifat prediktif dari teori psikologi kepribadian
pada sisi lain justru menjadi bukti bahwa konsep-konsep itu teruji
kebenarannya. Secara umum fungsi aplikasi dari ilmu psikologi membutuhkan
keterandalan dari prediksi- prediksi yang dilakukan oleh teori psikologi
kepribadian. Tentu saja ada prediksi yang 100% benar, tetapi saran-saran
psikologi kepribadian dapat membantu proses pengambilan keputusan. Nilai
prediksi itu dapat menjadi andal manakala terus menerus dilakukan riset empirik
dalam bidang ilmu kepribadian.
Kepribadian adalah ranah kajian
psikologi; pemahaman tingkahlaku-fikiran-perasaan- kegiatan manusia, memakai
sistematik, metoda, dan rasional ppsikologik. Pemahaman dengan memakai
sistematik, metoda dan rasional disiplin ilmu yang lain, separti ilmu ekonomi,
biologi atau sejarah, bukan teori psikologi kepribadian. Teori psikologi
kepribadian itu mempelajari individu secara spesifik; siapa dia, apa yag
dimilikinya, dan apa yang dikerjakannya. Analisis terhadap selain individu
(misalnya kelompok, bangsa, binatang, atau mesin) berarti memandang mereka
sebagai individu, bukan sebaliknya.
Kepribadian
adalah suatu bagan dari jiwa yang membangun keberadaan manusia menjadi satu
kesatuan, tidak terpecah-belah dalam fungsi-fungsi. Memahami kepribadian
berarti memahami aku, diri, self, atau memahami manusia seutuhnya. Hal
terpenting yang harus diketahui berkaitan dengan pemahaman kepribadian adalah;
bahwa pemahaman itu sangat dipengaruhi paradigma yang dipakai keprbadian yang
dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan teori itu sendiri. Para ahli
kepribadian ternyata menyakini paradigma yang brbeda-beda, yang mempengaruhi
secara sistematik seluruh pola pemikirannya tentang kepribadian manusia.
Paradigma itu pada sebagian ahli kepribadian dikemukakan secara tegas, pada
sebagian yang lain paradiganya tersamar dan dikenali melalui model analisisnya.
Paradigma yang berbeda-beda yang digunakan oleh ahli-ahli kepribadian untuk
mengembangkan teorinya akan menghasilkan teori yang berbeda, tidak saling
berhubungan, bahkan saling berlawanan. Teori-teori kepribadian itu dapat
dibedakan atau dikelompok- kelompokkan berdasarkan paradigma yang dipakai untk
mengembangkannya. Paradigma tersebut dapat diruntut sumbernya dari sejarah
perkembangan psikologi kepribadian.[1]
Ø ASPEK – ASPEK KEPRIBADIAN
Klages mengemukakan, bahwa ada 3 aspek
kepribadian itu, yaitu:
1)
Materi atau
bahan (Stoff)
2)
Struktur
(Serutur),
3)
Kualitas atau
sifat (Artung).
4)
Teknologi atau
bangunan.[2]
1.
Materi
Kepribadian
Materi atau
bahan, merupakan salah satuaspek daripada kepribadian berisikan semua kemampuan
(daya) pembawaan beserta talent – talentnya (keistimewaan - keistimewaan).
Materi ini merupakan modal pertama yang disediakan oleh kodrat untuk dipergunakan
dan diperkembangkan oleh manusia.
2.
Struktur
Kepribadin
Dalam uraiannya mengenai sruktur ini
Klages bermula dengan memberikan pengertian tentang istilah struktur. Istilah
ini adalah sebagai pelengkap daripada istilah materi. Bila materi dipandang
sebagai isi, bahan (der Stoff), maka struktur dipandang sebagai sifat – sifat
bentuknya atau sifat – sifat formalnya (fomele eienschappen).
3.
Kualitas
Kepribadian (Sistem Dorongan - dorongan)
Antara kemauan dan perasaan terjadilah
perlawanan atau kebalikan yang sedalam – dalamnya. Perlawanan (antagonisme
inilah yang menjadi dasar daripada sistem dorongan – dorongan Klages.
Adapun
pertimbangan Klages sebagai berikut :
Dalam kemauan menonjol aktivitas,
bangunannya Sang “aku” mempertahankan diri sekuat tenaga; sedang dalam perasaan
tersembunyilah hal melupakan diri, meniadakan diri, meleburkan diri. Dalam
bahasa sehari – hari perbedaan itu didapatkan juga misalnya: kemampuan
mendorong saya, perasaan mecekam saya; kebencian membutakan, kemarahan membakar,
singkat – singkatnya: perasaan itu seakan – akan merupakan sesuatu yang tidak
saya kenal, yang terletak di luar daerah “AKU” yang sebenarnya, mengerakkan
saya.
Kemauan dapat mengikuti atau
melawanperasaan, tetapi tak dapat memanggilnya atau menimbulkannya. Perasaan
baru dapat dibangkitkan bilamana kemauan dilumpuhkan atau ditundukkan. Sifat
kemauan adalah aktivitas, kebebasan, sedangkan sifat perasaan adalah
bergantung, berhubungan. Dalam kemauan “AKU” berkuasa, dalam perasaan “AKU’
dikuasai oleh “sesuatu”. Dalam tiap – tiap tindakan yang dilakukan dalam
keadaan sadar, “AKU” memisahkan dunia menjadi “subyek” dan “obyek” sebagai
sesuatu yang mengalami. Hasrat yang mendalam adalah melangsungkan hidup,
kemauan adalah pernyataan nafsu mempertahankan diri.
Tentang perasaan, merupaakn hal yang sama
sekali berbeda dari yang telah dikemukakan itu. Perasaan orang tengelam dalam
apa yang sedang dihadapinya. Kesadaran akan “AKU”nya menjadi kabur, makin dalam
ketenggelaman itu, makan-makin hilanglah ke”pribadi”an dan menjadi satu dengan
dunia yang dihadapi. Kalau kemauan itu didorong oleh nafsu mempertahankan “AKU”
(diri), maka perasaan didorong oleh nafsu untuk melemahkan atau melepaskan
“AKU” , menyerahkan “AKU” (diri) kepada yang dihadapi.
Jadi ada dua nafsu, yaitu mempertahankan
diri dan nafsu menyerahkan diri. Yang mmendaji pendukung prinip ke “AKU”an,
daya persepsi tindkaan uyang menarik garis pemisa antara subyek dan obyek
adalah roh (Geist), yang menempatkan diri berhadapan dengan dnia sekitarnya,
sedangkan yang menjadi pendukung perasaan disebut oleh Klages jiwa (Seele). Roh
adalah representasi daripada anasir kehidupan. Antara jiwa dan tubuh tak ada
pertentangan; dalam kehidupan hayati kedua hal tak terpisahkan, sedangkan
antara jiwa dan roh teradi ketegangan yang tiada henti – hentinya.
Jadi
di dalam kepribadian terdapatlah dua prinsip pokok:
a)
Kepribadian
yang kuasi oleh roh (der Geist) dan
b)
Kepribadian
yang dikuasai oleh jiwa (die Seele).
Kepribadian bentuk
pertama menunjukkan kepribadian yang meninjau segala sesuatu secara
transendetal; bentuk kedua diwakili oleh para mistikus, orang – orang yang
mabuk akan penyerahan diri.
Disamping hal – hal yang telah
dikemukakan itu Klages mengadakan pembagian – pembagian lain yang lebih teliti.
Pembagian mengenai soal ini, yang biasa dikenal sebagai sistem dorongan –
dorongan, berkisar pada tiga pengertian besar, yaitu:
1)
Penguasaan
diri,
2)
Nafsu rohaniah,
3)
Hawa nafsu.
Penguasa diri akan ada apabila “AKU” yang
lebih stabil menguasai “AKU” yang lebih stabil itu disebut “AKU” yang umum”
atau roh (Geist). Apabila roh itu setujuh kepada penyerahan diri terjadilah
nafsu rohaniah; sdangkan klau menunjukan ke penyerahan diri itu adalah “Aku
pribadi” (aku yang labil) terjadilah hawa nafsu.
Apabila roh menunjukan ke pertahanan diri
terjadilan keinsyafan (redelijkheid), sedangkan kalau yang menunju kepertahanan
diri itu “Aku pribadi” terjadi egoisme.[3]
Ø KEPRIBADIAN DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH
Allah telah menggambarkan kepribadian
manusia dalam Al-Qur’an dan keistimewaan yang dimilikinya serta membedakannya
dari semua makhluk Allah lainnya.
Allah telah menciptakan manusia dari unsur materi dan ruh. Setelah
debu mengalami beberapa fase pembentukan, ia pun menjadi gumpalan tanah, lalu
menjadi lumpur hitam dan akhirnya menjadi tanah liat seperti tembikar. Allah
pun lalu mengembuskan ruh ciptaan-Nya dan terciptanlah Adam.[4]
Ø KESEIMBANGAN KEPRIBADIAN
Sesungguhnya Islam menyeru manusia agar
ia dapat mewujudkan keseimbangan antara kebutuhan biologis dan spiritual dalam
kehidupannya, dengan cara menghindari keberlebihan dalam pemenuhan salah satu
dari keduanya dengan mengabaikan yang lainnya. Islam tidak pernah menyeru
manusia kepada konsep kerahiban yang mengekang kebutuhan biologis, dan Islam
pun tidak pernah menyeru manusia kepada konsep materialis yang mengabaikan
kebutuhan spiritual. Islam menyeru manusia untuk memenuhi kebutuhannya, baik
biologis maupun spiritualnya, sesuai kadar dan porsinya.
Apabila manusia sudah menyeimbangkan
kebutuhan tubuh dan ruhnya, maka pada saat itulah ia telah mewujudkan
hakikatnya sebagai manusia yang sempurna.[5]
Ø MODEL-MODEL KEPRIBADIAN
Pembagian manusia dalam
Al-Qur’anul-Karim, dilihat dari akidahnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
golongan kaum beriman, golongan kaum kafir, dan golongan kaum munafik.[6]
- Golongan Kaum Beriman
Ciri-cirinya
sebagai berikut:
a. Ciri khas dari
sisi akidah, diantaranya beriman kepada Allah,
rasul-Nya, kitab-Nya, malaikat-Nya, surga, neraka, hal-hal ghaib dan takdir,
yang baik maupun yang buruk.
b.
Ciri khas dari
sisi ibadah, diantaranya beriman kepada Allah
dengan mengerjakan rukun Islam, jihad di jalan Allah dengan harta dan juga
jiwa.
c. Ciri khas dari
sisi interaksi sosial, diantaranya
menjaga hubungan baik dengan sesama, menghormati, berbuat baik, saling
menolong, saling bersaudara dan bersatu, menyeru kepada kebaikan dan melarang
akan kemungkaran, suka memaafkan, menjadi teladan baik dan juga menghindarkan
diri dari sikap main-main.
d. Ciri khas dari
sisi interaksi keluarga, diantaranya
berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada kerabat, mempergauli pasangan
dengan baik, mengasuh anak dengan baik dan mendidik mereka serta memberikan
nafkah kepada mereka.
e.
Ciri khas
akhlak, diantaranya sabar, lemah lembut, jujur, adil, amanah, menunaikan
janji kepada Allah dan juga kepada manusia, menjaga kesucian diri, rendah diri,
membela kebenaran karena Allah, menjaga kemuliaan diri, memiliki keinginan yang
kuat dan juga dapat mengendalikan syahwat dan hawa nafsunya.
f. Ciri khas
emosi, diantaranya cinta Allah cinta rasul-Nya, cinta manusia dan cinta
kebaikan bagi mereka, takut Allah dan azab-Nya, mengharap rahmat Allah, menahan
amarah, maupun mengendalikan amarah, tidak sewenang-wenang kepada orang lain,
tidak menyakiti sesama, idak mendengki, bersikap penuh kasis sayang, mencela
dan menyesal apabila telah melakukan kesalahan lalu berobat dan meminta ampun
kepada-Nya.
g. Ciri khas akal, diantaranya berfikir akas penciptaan alam semesta dan seluruh
penciptaan-Nya, mencari ilmu pengetahuan, tidak menyandarkan sesuatu pada
prasangka belaka, meneliti suatu kebenaran dan juga memiliki kebebasan berfikir
dan berakidah.
h. Ciri khas
kehidupan keseharian dan pekerjaan,
diantaranya ikhlas dalam mencari ilmu, dan memahaminya denan benar serta
bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah kehidupan.
i. Ciri khas
fisik, diantaranya kuat, sehat, bersih dan suci. Sesungguhnya akal yang
sehat berada dalam tubuh yang kuat.[7]
- Golongan Kaum Kafir
Ciri khas kaum kafir, di antaranya:
a. Dari sisi akidah, diantaranya
tidak melakukan rukun iman.
b. Dari sisi ibadah, diantaranya
menyembah kepada selain Allah, yang sama sekali tidak membawa manfaat bagi
mereka dan juga tidak membahayakan mereka.
c. Dari interaksi sosial,
diantaranya suka melakukan tindakan zalim, menyebarkan permusuhan kepada
orang-orang yang beriman serta menyeru kepada kemungkaran dan melarang kepada
kebaikan.
d. Dari interaksi dengan keluarga,
diantaranya memutuskan tali silaturahmi dengan tidak menyambungkannya kembali.
e. Dari akhlak, diantaranya
menyalahi janji, berbohong, mengikuti syahwat dan hawa nafsu, suka melakukan
tipu daya dan sombong.
f. Dari emosi, di antaranya
benci kepada orang-orang beriman, dan juga menyimpan kedengkian dan iri hati.
g.
Dari akal, di antaranya memiliki pemikiran yang statis dan sulit mengerti
hingga seolah hati mereka telah ditutup serta suka meniru buta atas keyakinan
pendahulu mereka, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 7,
“Allah tlah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka
ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”[8]
- Golongan kaum munafik
Mereka adalah orang
yang tidak memiliki kepribadian dan tidak bisa mengambil posisi dan terus
terang, khususnya dalam menyangkut keimanan kepada Allah. Allah telah
menjelaskan posisi mereka di neraka kelak dengan firman-Nya,
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan paling bawah dari neraka.
Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.’
(an-nisaa:145)
Ciri khas kaum munafik adalah sebagai berikut:
a.
Sisi akidah, diantaranya menampakkan Islam ketika berada dalam golongan Islam,
begitupun sebaliknya. Menampakkan Islam namun menyembunyikan kekafiran dalam
hati.
b.
Sisi ibadah, diantaranya mengerjakan ibadah dengan tujuan ingin dipuji dan
dengan tidak memuaskan dan ikhlas, apabila mereka shalat, layaknya orang malas.
c.
Sisi interaksi
sosial, diantaranya menyebarkan fitnah di antara kaum muslim dengan
isu-isu tidak benar, cenderung memperdaya manusia, bermanis ucapan, banyak
berjajni dengan bermanis wajah untuk menarik perhatian.
d.
Sisi akhlak, diantaranya kurang percaya diri, suka melanggar janji, suka
membangga-banggakan diri, pengecut, pembohong, pelit, eksploitasi, berlebihan
dan juga suka mengikuti hawa nafsu.
e.
Sisi emosi, diantaranya takut kepada kaum muslimin dan juga kaum kafir, takut
kematian hingga mereka menghindari jihad serta membenci dan iri kepada kaum
muslimin.
f.
Sisi akal, diantaranya ragu dalam mengambil keputusan, tidak bisa berfikir
jernih hingga al-Qur’an menganggap pikiran dan hati mereka telah tertutup dan
cenderung membela diri atas sesuatu perbuatan mereka.[9]
Ø PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN PADA ANAK
Sesungguhnya waktu
strategis dalam pembentukan pendidikan dan kepribadian sesorang adalah masa terpanjang
dalam fase kehidupan manusia. Perbedaan yang tampak antara anak-anak dan orang
dewasa adalah perangainya dan kejernihan fitrahnya.
Masa kanak-kanak adalah masa yang panjang
dan cukup bagi seorang pendidik untuk menanamkan apapun yang diinginkan pada
diri anak. Pada masa itu pula, seorang pendidik dapat mengarahkannya sesuai
dengan gambaran yang ada padanya. Selama seorang anak ditopang dengan asuhan
yang baik, arahan yang mendidik, maka pada saat itulah telah terbentang masa
depan cerah yang akan dihadapinya.[10]
Hal
terpenting yang dibutuhkan dalam membentuk kepribadian anak adalah sebagai
berikut:
1.
Pembentukan
Akidah
a. Mendiktekan kalimat tauhid, “Tiada Tuhan sekalian dan Muhammad
utusan Allah.”
b. Menanamkan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya serta keluarganya
dalam diri sang anak.
c. Mengajarkan anak Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah.
d. Mendidik anak untuk yakin dengan akidahnya dan rela berkorban
untuknya.
2.
Pembentukan
Ibadah
Sesungguhnya pembentukan ibadah adalah
pelengkap dari adanya pembentukan akidah pada anak. Sesungguhnya ibadah suatu
bentuk aplikasi dan visualisasi dari akidah yang dianut.
3.
Pembentukan
Interaksi Sosial
a.
Selalu menemani
anak ketika hadir dalam forum dewasa. Seperti halnya menghadiri majlis ta’lim.
b.
Membiasakan
anak untuk membantu dalam urusan rumah tangga. Anak akan memiliki kemampuan,
keahlian, dan rasa percaya diri yang tinggi.
c.
Membiasakan
anak dalam memberikan salam.
d.
Mengunjungi
anak ketika sakit. Ini akan menimbulkan pengaruh besar atas kejiwaan anak dan
juga kesembuhannya, dengan izin Allah.
e.
Memilihkan
teman yang baik bagi anaknya.
f.
Membiasakan
anak untuk berlatih tata cara jula beli. Dengan anak mempelajari jual beli,
maka anak pun secara tidak langsung belajar untuk menumbuhkan rasa percaya
dirinya dalam berinteraksi dengan orang banyak.
g.
Mengajak anak
untuk menghadiri acara yang disyariatkan. Seperti seminar, diskusi, kajian
akhlak, pesta prnikahan dan juga acara-acara yang berhubungan dengan hari besar
kaum muslimin.
h.
Mengajak anak
menginap di rumah kerabat yang shaleh.
4.
Pembentukan Akhlak
a.
Mengajarkan
etika kesopanan.
b.
Mengajarkan
kejujuran.
c.
Mengajarkan
etika menjaga rahasia.
5.
Pembentukan
Emosi
a.
Bersikap lemah
lembut pada anak dengan memeluk dan menciumnya.
b.
Bercengkrama
denan anak dan mengusap kepalanya.
c.
Memberikan
hadiah pada anak.
Rasulullah
bersabda, “ Hendaknya kalian saling memberikan hadiah hingga akan ada
kecintaan di antara kalian.”
d.
Menerima anak
apa adanya dan selalu merasa rindu akan keadaan mereka.
e.
Adanya
keseimbangan dalam melimpahkan cinta kasih pada anak.
6.
Pembentukan Fisik
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Hal
tersebut sudah Allah jadikan tabiat pada diri anak-anak hingga fisik mereka
bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan kuat. Dengan demikian anak belajar
dan bermain dengan waktu yang bersamaan, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Hak anak untuk
belajar berenang, memanah, menunggang kuda dan berbagai jenis olahraga yang
bermanfaat untuk pertumbuhan anak.
b.
Menggelar
perlombaan olahraga bagi anak-anak dan menumbuhkan suasana persaingan yang
sportif.
c.
Membuat acara
yang membuat orang dewasa dan anak-anak dapat berpartiisipasi bersama hingga
tumbuh rasa kecintaan dan kasih sayang yang kuat di antara mereka.
d.
Membuat anak
bisa bermain dengan teman sebayanya dan mengawasi proses interaksi mereka
dengan sebayanya hingga tidak ada yang menyakiti.
7.
Pembentukan
Pola Pikir
Tidak ada satu agamapun yang
memperhatikan pendidikan anak dengan porsi yang sangat besar kecuali agama
Islam, hal ini di akui oleh banyak masyarakat non muslim. Diantara rumusan
tersebut adalah:
a.
Menanamkan
kecintaan pada ilmu pengetahuan dan mengajarkan etika dalam mendapatkannya pada
diri anak.
b.
Membiasakan
anak untuk menghafal al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah, karena keduanya adalah
sumber ilmu pengetahuan yang mampu memercikkan kekuatan pada akal.
c.
Memilihkan
sekolah yang bermutu dan guru yang shaleh untuk anak.
d.
Membuat anak
mahir berbahasa Arab. Sesungguhnya bahasa Arab adalah kunci dari semua ilmu
pengetahuan.
e.
Mengarahkan
anak sesuai dengan kecenderungan yang dimilikinya, sejalan dengan kemampuan berfikir
dan fisiknya.
f.
Mendirikan
perpustakaan keuarga di rumah dan melengkapi perpustakaan dengan semua rujukan
dan refrensi yang dibutuhkan anak.
g.
Mengisahkan
anak akan tokoh-tokoh ulama terdahulu yang shaleh dan gigih dalam mencari ilmu
dan semangat dalam mencari ilmu dan menghafal al-Qur’an dan sunnah Rasulullah,
dimana mereka belu mencapai sepuluh tahun.
8.
Pengendalian
Motivasi Seksual pada Anak
Arahan-arahannya sebagai berkut:
a.
Membiasakan
anak untuk minta izin ketika masuk ke dalam rumah hingga dia tidak melihat
aurat orang yang tidak selayaknya dilihat.
b.
Membiasakan
anak untuk menundukkan andangannya dan menutup aurat.
c.
Memisahkan anak
dalam tempat tidurnya setelah berumur sepuluh tahun hingga birahi nafsunya
terkendali karenanya.
d.
Mengajarkan
anak untuk tidur menghadap ke kanan dan melarang untuk tidur dengan sanggahan
perutnya hingga anak akan terhindar dari godaan seksual saat tidurnya.
e.
Menjauhkan anak
dari pergaulan bebas. Hendaknya tidak sering bergabung dengan wanita.
f.
Mengajarkan
anak etika mandi.
g.
Meneragkan pada
anak permulaan surat an-Nuur dan mengarahkan pada anak untuk menghafalnya
hingga menjadi perisai baginya, khususnya bagi wanita. Juga memperingati mereka
untuk waspada terhadap perzinaan dan percintaan sejenis.
h.
Menganjurkan
anak untuk menikah dini, maka dengannya maka kesucian anak akan lebih terjaga
dan anakpun akan lebih dapat menghindar dari semua yang diharamkan. (Manhaj
Tarbiyah Nabawiyah Litthifl, bitasarruf)[11]
B.
PENDIDIKAN KELUARGA SEBAGAI PELETAK DASAR PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN
ANAK
Ø Peran Keluarga
Dalam Pendidikan
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan
pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama
mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan yang utama, karena
sebagaian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga
pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.
Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan
anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup
keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagaian besar diambil dari kedua orang
tuanya dan dati anggota keluarga yang lain.[12]
Anak lahir dalam keadaan fitrah. Keluarga
dan lingkungan anaklah yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian, perilaku,
dan kecenderungannya sesuai dengan bakat yang ada dalam dirinya. Tetapi
pengaruh yang cukup kuat adalah kejadian dan pengalamab pada masa kecil sang
anak yang tumbuh dari suasana keluarga yang ia tempati.
Seorang anak akan mencontoh kebijaksanaan
dan kebiasaan keluarganya. Hal ini tidak sekedar pada ucapan-ucapan saja tetapi
melebar sampai pada hal-hal yang ada di luarnya, misalnya makna-makna,
petunjuk-petunjuk, dan pengalaman-pengalaman.[13]
Ø Fungsi dan
Peranan Pendidikan Keluarga
a.
Pengalaman
pertama masa kanak-kanak
Lembaga
pendidikan keluarga memberikan pengalaman pertama yang merupakan faktor penting
dalam perkembangan pribadi anak. Suasana pendidikan keluarga ini sangat penting
diperhatikan, sebab dari sinilah keseimbangan jiwa di dalam perkembangan
individu selanjutnya ditentukan.
Orang
tua adalah tempat menggantungkan diri secara wajar. Oleh karena ituorang tua
berkewajiban memberikan pendidikan pada anaknya dan yang paling utama dimana
hubungan orang tua dengan anaknya bersifat alami dan kodrati.
b.
Menanamkan
dasar pendidikan moral
Didalam
keluarga juga merupakan penanaman utama dasar-dasar moral bagi anak, yang
biasanya tercermin dalam sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan yang
dapat dicontoh anak. Memang biasanya tingkah laku, cara berbuat dan berbicara
akan ditiru oleh anak. Dengan teladan ini, melahirkan gejala identifikasi
positif, yakni penyamaan diri dengan orang yang ditiru, dan hal ini penting
sekali dalam rangka pembentukan kepribadian.
Segala
nilai yang dikenal anak akan melekat pada orang-orang yang disenang dan
dikaguminya, dan dengan melalui inilah salah satu proses yang dirempuh anak
dalam mengenal nilai.
c.
Memberikan
dasar pembentukan sosoial
Didalam
kehidupan keluarga, merupakan basis yang sangat penting dalam peletakan
dasar-dasar pendidikan sosial anak. Sebab pada dasarnya keluarga merupakan
lembaga sosial resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Perkembangan
benih-benih kesadaran sosial pada anak-anak dapat dipupuk sedini mungkin,
terutama lewat kehidupan keluarga yang penuh rasa tolong menolong, gotong
royong secara kekeluargaan, menolong saudara atau tetangga yang sakit,
bersama-sama menjaga ketertiban, kedamaian, kebersihan dan keserasian dalam
segala hal.
d.
Peletakan
dasar-dasar keagamaan
Masa
kanak-kanak adalah masa yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup
beragama, dalam hal ini tentu saja terjadi dalam keluarga. Anak-anak seharusnya
dibiasakan ikut serta ke masjid bersama-sama untuk menjalankan ibadah,
mendengarkan khutbah atau ceramah-ceramah keagamaan, kegiatan seperti ini besar
sekali pengaruhnya terhadap kepribadian anak.
Kenyataan
membuktikan, bahwa anak yang semasa kecilnya tidak tahu menahu dengan hal-hal
yang berhubungan dengan hidup keagamaan, tidak pernah pergi bersama orang tua
ke masjid atau rumah ibadah untuk melaksanakan ibadah, mendengarkan khutbah
atau ceramah-ceramah dan sebagainya, maka setelah dewasa mereka itu pun tidak
ada perhatian terhadap hidup keagamaan. Kehidupan dalam keluarga hendaknya
memberikan kondisi kepada anak untuk mengalami suasana hidup keagamaan.[14]
Ø Pengaruh Metode
Pendidikan Anak pada Hubungan Keluarga
Metode
yang dipilih orang orang tua sebagai metode pendidikan anak, yaitu yang
otoriter, permisif atau demokratis, sebagaian akan bergantung pada cara mereka
sendiri dibesarkan, dan sebagaian pada apa yang berdasarkan pengalaman pribadi
atau pengalaman teman, diketahuinya akan menghasilkan hasil yang diinginkannya
untuk anaknya kelak.
Hubungan
orang tua-anak juga sangat dipengaruhi persepsi anak terhadap pelatihan yang
dialaminya dan interprestasinya terhadap motivasi hukuman dari orang tua.
Semakin otoriter pendidikan anak, semakin mendendam anak itu dan semakin besar
kemungkinan anak akan senang melawan dan tidak patuh secara sengaja. Perilaku
menentang sangat besar perannya dalam memburuknya hubungan orang tua-anak dengan
bertambahnya usua anak.
Jika
anak merasa bahwa antara orang tuanya tidak terdapat persetujuan mengenai
metode pendidikan atau pendisiplinan yang pantas, rasa hormat mereka mulai
hilang. Jika ibu disalahkan ayah karena tidak membesarkan anak secara benar,
anak akan kurang menghormati ibu mereka, tetapi juga akan memusuhi ayah karena
ia mengeritik ibu.
Walaupun
hubungan antar saudara kandung sering tegang, biasanya mereka akan bersatu
untuk membela saudara yang menurut
mereka diperlakukan tidak adil. Dan mereka membentuk front yang kokoh melawan
orang tua yang bersalah. Hal ini juga mengancam hubungan keluarga yang baik.[15]
Untuk
menekankan betapa pentingnya konsistensi untuk perkembangan moral anak Spock
telah menerangkan peran orang tua dalam memberikan disiplin yang konsisten bagi
anak-anaknya. Ia mengatakan “agar sistem berjalan baik, orang tua harus
mempunyai cita-cita tertentu. Mereka harus mengetahui apa yang diharapkan
mereka dari anak mereka dan mengkomunikasikannya pada mereka secara jelas.”
Berikut beberapa cara-cara menanamkan disiplin terhadap anak:
Cara
mendisiplin otoriter, Peraturan dan
pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang diingikan meanndai semua
jenis disiplin yang otoriter. Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila
terjadi kegagalan memenuhi standar dan sedikit atau sama sekali tidak adanya
persetujuan, pujian atau tanda-tanda penghargaan lainnya bila anak memenuhi
standar yang diharapkan.
Dalam
keluarga dengan cara mendisiplin otoriter yang lebih wajar, anak tetap dibatasi
dalam tindakan mereka, dan keputusan-keputusan diambil oleh orang tua. Namun
keinginan mereka tidak seluruhnya diabaikan, dan pembatasan yang kurang
beralasan, misalnya larangan melakukan apa yang dilakukan teman sebaya,
berkurang.
Cara
mendisiplin permisif, Disiplin
permisif sebetulnya berarti sedikit disiplin atau tidak berdisiplin. Biasanya
disiplin permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara
sosial dan tidak menggunakan hukuman. Beberapa orang tua yang menganggap
kebebasan (permissiveness),
membiarkan anak-anak dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh
mereka sendiri tanpa bimbingan atau pengendalian.
Bagi
banyak orang tua, disiplin permisf merupakan protes terhadap disiplin yang kaku
dan keras masa kanak-kanak mereka sendiri. Dalam hal seperti itu, anak sering
tidak diberi batas-batas atau kendala yang mengatur apa saja yang boleh
dilakukan. Mereka diizinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat
sekehendak mereka sendiri.
Cara
mendisiplin demokratis, disiplin
demokratis menggunakan hukuman dan penghargaan dengan penekanan yang lebih
besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak berbentuk
hukuman badan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa anak-anak
secara sadar menolak melakukan apa yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku
anak memenuhi standar yang diharapkan orang tua yang demokratis akan
menghargainya dengan pujian atau pernyataan persetujuan yang lain.
Falsafah
yang mendasari disiplin demokratis ini adalah falsafah bahwa disiplin bertujuan
mengajak anak mengembangkan kendali atas perilaku mereka sendiri sehingga
mereka akan melakukan apa yang benar, meskipun tidak ada penjaga yang mengancam
mereka dengan hukuman bila mereka melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan. Pengendalian
internal atas perilaku ini adalah hasil usaha mendidik anak untuk berperilaku
menurut cara yang benar dengan memberi mereka penghargaan.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2009. Psikologi
Kepribadian. Malang: UMM Press.
Corey, Gerald. 2013. Teori dan
Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Elezabeth, Hurlock B. 1999. Perkembangan anak. Bandung: Erlangga.
Hasbullah. 1999. Dasar-dasar ilmu pendidikan. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Ma’ruf, Zurayk. 1997. Aku dan Anakku. Bandung: Al-Bayan.
Said bin Musfir. 2005. Konseling
Terapi. Jakarta: Gema Insani.
Suryabrata, Sumadi. 2012. Teori
Kepribadian Ludwig Klages.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1] Psikologo Kepribadian. 2009. Hal:2
[2] Sumadi Suryabrata, 2012. Teori Kepribadian Ludwig Klages. Hal:
96.
[3] Sumadi Suryabrata, 2012. Psikologi Kepribadian. Hal:118
[4] Musfir bin Said, 2005. Konseling Terapi. Hal: 402.
[5] Ibid, hal: 408.
[6] Ibid, hal: 411.
[7] Musfir bin Said, 2005. Konseling Terapi. Hal:412-413.
[8] Ibid. Hal: 416-417
[9] Ibid. Hal: 417-418.
[10] Ibid. Hal: 421.
[11] Ibid, hal: 421-438
[12] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 38.
[13] Ma’ruf Zurayk,
Aku dan Anakku, Al-Bayan, Bandung,
1997, hlm. 21.
[14] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 39.
[15] Elizabeth B
Hurlock, Perkembangan Anak, Erlangga,
jakarta, 1999, hlm. 205.
[16] Ibid, hlm. 93.
0 komentar:
Posting Komentar