Kamis, 22 Mei 2014

KEPRIBADIAN DAN KELUARGA: Pendidikan Keluarga Sebagai Peletak Dasar Pembentukan Kepribadian

Standard
 KEPRIBADIAN DAN KELUARGA:
Pendidikan Keluarga Sebagai Peletak Dasar Pembentukan Kepribadian Anak

                              Maharani Sekar Kinanti        (B03212014)
                                    Rahmawati                               (B03212020)

                                    M. Yusuf Ardianto                   (B33212048)                                        Noor Dewi Marwanty              (B53212091)
 
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.      TEORI PSIKOLOGI KEPRIBADIAN
      Teori psikologi kepribadian melalui pemahaman tentang kepribadian. Teori psikologi kepribadian melahirkan konsep-konsep seperti dinamika pengaturan tingkahlaku, pola tingkahlaku, model tingkah laku dan perkembangan repertoir tingkahlaku, dalam rangka mengurai kompleksitas tingkahlaku manusia. Ahli-ahli psikologi kepribadian melakukan riset yang cermat untuk menguji konsep-konsep itu, memakai kaidah-kiadah ilmiah untuk menegakkan teori yang andal; yakni teori yang dapat mengemban fungsi deskriptif dan prediktif dalam kerangkah pendekatan psikologi untuk memahami manusia sebagai individu.
     Teori psikologi kepribadian bersifat deskriptif dalam ujud penggambaran organisasi tingkahlaku secara sistematis dan mudah difahami. Tidak ada tingkahlaku yang terjadi begitu saja tanpa alasan; pasti ada sebab-musabab, pendorong, motivator, sasaran-tujuan, dan atau latar belakangnya. Faktor-faktor itu hars diletakkan dalam suatu kerangka saling hubungan yang bermakna, agar kesemuanya terjamin mendapat tilikan yang cermat dan teliti ketika dilakukan pendiskripsian tinkahlaku, dan agar deskripsi dilakukan memakai sistematik yang ajeg dan komunikatif. Teori tentu bukan hanya mendiskripsi kejadian masa lalu dan sekarang, tetapi juga mampu meramalkan kejadian yang akan datang. Sifat prediktif dari teori psikologi kepribadian pada sisi lain justru menjadi bukti bahwa konsep-konsep itu teruji kebenarannya. Secara umum fungsi aplikasi dari ilmu psikologi membutuhkan keterandalan dari prediksi- prediksi yang dilakukan oleh teori psikologi kepribadian. Tentu saja ada prediksi yang 100% benar, tetapi saran-saran psikologi kepribadian dapat membantu proses pengambilan keputusan. Nilai prediksi itu dapat menjadi andal manakala terus menerus dilakukan riset empirik dalam bidang ilmu kepribadian.
    Kepribadian adalah ranah kajian psikologi; pemahaman tingkahlaku-fikiran-perasaan- kegiatan manusia, memakai sistematik, metoda, dan rasional ppsikologik. Pemahaman dengan memakai sistematik, metoda dan rasional disiplin ilmu yang lain, separti ilmu ekonomi, biologi atau sejarah, bukan teori psikologi kepribadian. Teori psikologi kepribadian itu mempelajari individu secara spesifik; siapa dia, apa yag dimilikinya, dan apa yang dikerjakannya. Analisis terhadap selain individu (misalnya kelompok, bangsa, binatang, atau mesin) berarti memandang mereka sebagai individu, bukan sebaliknya.
    Kepribadian adalah suatu bagan dari jiwa yang membangun keberadaan manusia menjadi satu kesatuan, tidak terpecah-belah dalam fungsi-fungsi. Memahami kepribadian berarti memahami aku, diri, self, atau memahami manusia seutuhnya. Hal terpenting yang harus diketahui berkaitan dengan pemahaman kepribadian adalah; bahwa pemahaman itu sangat dipengaruhi paradigma yang dipakai keprbadian yang dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan teori itu sendiri. Para ahli kepribadian ternyata menyakini paradigma yang brbeda-beda, yang mempengaruhi secara sistematik seluruh pola pemikirannya tentang kepribadian manusia. Paradigma itu pada sebagian ahli kepribadian dikemukakan secara tegas, pada sebagian yang lain paradiganya tersamar dan dikenali melalui model analisisnya. Paradigma yang berbeda-beda yang digunakan oleh ahli-ahli kepribadian untuk mengembangkan teorinya akan menghasilkan teori yang berbeda, tidak saling berhubungan, bahkan saling berlawanan. Teori-teori kepribadian itu dapat dibedakan atau dikelompok- kelompokkan berdasarkan paradigma yang dipakai untk mengembangkannya. Paradigma tersebut dapat diruntut sumbernya dari sejarah perkembangan psikologi kepribadian.[1]
Ø  ASPEK – ASPEK KEPRIBADIAN
     Klages mengemukakan, bahwa ada 3 aspek kepribadian itu, yaitu:
     1)        Materi atau bahan (Stoff)
     2)        Struktur (Serutur),
     3)        Kualitas atau sifat (Artung).
     4)        Teknologi atau bangunan.[2]

1.        Materi Kepribadian

Materi atau bahan, merupakan salah satuaspek daripada kepribadian berisikan semua kemampuan (daya) pembawaan beserta talent – talentnya (keistimewaan - keistimewaan). Materi ini merupakan modal pertama yang disediakan oleh kodrat untuk dipergunakan dan diperkembangkan oleh manusia.

2.        Struktur Kepribadin
       Dalam uraiannya mengenai sruktur ini Klages bermula dengan memberikan pengertian tentang istilah struktur. Istilah ini adalah sebagai pelengkap daripada istilah materi. Bila materi dipandang sebagai isi, bahan (der Stoff), maka struktur dipandang sebagai sifat – sifat bentuknya atau sifat – sifat formalnya (fomele eienschappen).

3.        Kualitas Kepribadian (Sistem Dorongan - dorongan)
       Antara kemauan dan perasaan terjadilah perlawanan atau kebalikan yang sedalam – dalamnya. Perlawanan (antagonisme inilah yang menjadi dasar daripada sistem dorongan – dorongan Klages.
Adapun pertimbangan Klages sebagai berikut :
       Dalam kemauan menonjol aktivitas, bangunannya Sang “aku” mempertahankan diri sekuat tenaga; sedang dalam perasaan tersembunyilah hal melupakan diri, meniadakan diri, meleburkan diri. Dalam bahasa sehari – hari perbedaan itu didapatkan juga misalnya: kemampuan mendorong saya, perasaan mecekam saya; kebencian membutakan, kemarahan membakar, singkat – singkatnya: perasaan itu seakan – akan merupakan sesuatu yang tidak saya kenal, yang terletak di luar daerah “AKU” yang sebenarnya, mengerakkan saya.
   Kemauan dapat mengikuti atau melawanperasaan, tetapi tak dapat memanggilnya atau menimbulkannya. Perasaan baru dapat dibangkitkan bilamana kemauan dilumpuhkan atau ditundukkan. Sifat kemauan adalah aktivitas, kebebasan, sedangkan sifat perasaan adalah bergantung, berhubungan. Dalam kemauan “AKU” berkuasa, dalam perasaan “AKU’ dikuasai oleh “sesuatu”. Dalam tiap – tiap tindakan yang dilakukan dalam keadaan sadar, “AKU” memisahkan dunia menjadi “subyek” dan “obyek” sebagai sesuatu yang mengalami. Hasrat yang mendalam adalah melangsungkan hidup, kemauan adalah pernyataan nafsu mempertahankan diri.
     Tentang perasaan, merupaakn hal yang sama sekali berbeda dari yang telah dikemukakan itu. Perasaan orang tengelam dalam apa yang sedang dihadapinya. Kesadaran akan “AKU”nya menjadi kabur, makin dalam ketenggelaman itu, makan-makin hilanglah ke”pribadi”an dan menjadi satu dengan dunia yang dihadapi. Kalau kemauan itu didorong oleh nafsu mempertahankan “AKU” (diri), maka perasaan didorong oleh nafsu untuk melemahkan atau melepaskan “AKU” , menyerahkan “AKU” (diri) kepada yang dihadapi.
     Jadi ada dua nafsu, yaitu mempertahankan diri dan nafsu menyerahkan diri. Yang mmendaji pendukung prinip ke “AKU”an, daya persepsi tindkaan uyang menarik garis pemisa antara subyek dan obyek adalah roh (Geist), yang menempatkan diri berhadapan dengan dnia sekitarnya, sedangkan yang menjadi pendukung perasaan disebut oleh Klages jiwa (Seele). Roh adalah representasi daripada anasir kehidupan. Antara jiwa dan tubuh tak ada pertentangan; dalam kehidupan hayati kedua hal tak terpisahkan, sedangkan antara jiwa dan roh teradi ketegangan yang tiada henti – hentinya.
Jadi di dalam kepribadian terdapatlah dua prinsip pokok:
a)        Kepribadian yang kuasi oleh roh (der Geist) dan
b)        Kepribadian yang dikuasai oleh jiwa (die Seele).
   Kepribadian bentuk pertama menunjukkan kepribadian yang meninjau segala sesuatu secara transendetal; bentuk kedua diwakili oleh para mistikus, orang – orang yang mabuk akan penyerahan diri.
       Disamping hal – hal yang telah dikemukakan itu Klages mengadakan pembagian – pembagian lain yang lebih teliti. Pembagian mengenai soal ini, yang biasa dikenal sebagai sistem dorongan – dorongan, berkisar pada tiga pengertian besar, yaitu:
1)        Penguasaan diri,
2)        Nafsu rohaniah,
3)        Hawa nafsu.
       Penguasa diri akan ada apabila “AKU” yang lebih stabil menguasai “AKU” yang lebih stabil itu disebut “AKU” yang umum” atau roh (Geist). Apabila roh itu setujuh kepada penyerahan diri terjadilah nafsu rohaniah; sdangkan klau menunjukan ke penyerahan diri itu adalah “Aku pribadi” (aku yang labil) terjadilah hawa nafsu.
       Apabila roh menunjukan ke pertahanan diri terjadilan keinsyafan (redelijkheid), sedangkan kalau yang menunju kepertahanan diri itu “Aku pribadi” terjadi egoisme.[3]

Ø  KEPRIBADIAN DALAM AL-QUR’AN DAN SUNNAH

       Allah telah menggambarkan kepribadian manusia dalam Al-Qur’an dan keistimewaan yang dimilikinya serta membedakannya dari semua makhluk Allah lainnya.
Allah telah menciptakan manusia dari unsur materi dan ruh. Setelah debu mengalami beberapa fase pembentukan, ia pun menjadi gumpalan tanah, lalu menjadi lumpur hitam dan akhirnya menjadi tanah liat seperti tembikar. Allah pun lalu mengembuskan ruh ciptaan-Nya dan terciptanlah Adam.[4]
 
Ø  KESEIMBANGAN KEPRIBADIAN

       Sesungguhnya Islam menyeru manusia agar ia dapat mewujudkan keseimbangan antara kebutuhan biologis dan spiritual dalam kehidupannya, dengan cara menghindari keberlebihan dalam pemenuhan salah satu dari keduanya dengan mengabaikan yang lainnya. Islam tidak pernah menyeru manusia kepada konsep kerahiban yang mengekang kebutuhan biologis, dan Islam pun tidak pernah menyeru manusia kepada konsep materialis yang mengabaikan kebutuhan spiritual. Islam menyeru manusia untuk memenuhi kebutuhannya, baik biologis maupun spiritualnya, sesuai kadar dan porsinya.
       Apabila manusia sudah menyeimbangkan kebutuhan tubuh dan ruhnya, maka pada saat itulah ia telah mewujudkan hakikatnya sebagai manusia yang sempurna.[5]

Ø  MODEL-MODEL KEPRIBADIAN

       Pembagian manusia dalam Al-Qur’anul-Karim, dilihat dari akidahnya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: golongan kaum beriman, golongan kaum kafir, dan golongan kaum munafik.[6]

  • Golongan Kaum Beriman
Ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Ciri khas dari sisi akidah, diantaranya beriman kepada Allah, rasul-Nya, kitab-Nya, malaikat-Nya, surga, neraka, hal-hal ghaib dan takdir, yang baik maupun yang buruk.
b.     Ciri khas dari sisi ibadah, diantaranya beriman kepada Allah dengan mengerjakan rukun Islam, jihad di jalan Allah dengan harta dan juga jiwa.
c. Ciri khas dari sisi interaksi sosial, diantaranya menjaga hubungan baik dengan sesama, menghormati, berbuat baik, saling menolong, saling bersaudara dan bersatu, menyeru kepada kebaikan dan melarang akan kemungkaran, suka memaafkan, menjadi teladan baik dan juga menghindarkan diri dari sikap main-main.
d.   Ciri khas dari sisi interaksi keluarga, diantaranya berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada kerabat, mempergauli pasangan dengan baik, mengasuh anak dengan baik dan mendidik mereka serta memberikan nafkah kepada mereka.
e.       Ciri khas akhlak, diantaranya sabar, lemah lembut, jujur, adil, amanah, menunaikan janji kepada Allah dan juga kepada manusia, menjaga kesucian diri, rendah diri, membela kebenaran karena Allah, menjaga kemuliaan diri, memiliki keinginan yang kuat dan juga dapat mengendalikan syahwat dan hawa nafsunya.
f.      Ciri khas emosi, diantaranya cinta Allah cinta rasul-Nya, cinta manusia dan cinta kebaikan bagi mereka, takut Allah dan azab-Nya, mengharap rahmat Allah, menahan amarah, maupun mengendalikan amarah, tidak sewenang-wenang kepada orang lain, tidak menyakiti sesama, idak mendengki, bersikap penuh kasis sayang, mencela dan menyesal apabila telah melakukan kesalahan lalu berobat dan meminta ampun kepada-Nya.
g.    Ciri khas akal, diantaranya berfikir akas penciptaan alam semesta dan seluruh penciptaan-Nya, mencari ilmu pengetahuan, tidak menyandarkan sesuatu pada prasangka belaka, meneliti suatu kebenaran dan juga memiliki kebebasan berfikir dan berakidah.
h.   Ciri khas kehidupan keseharian dan pekerjaan, diantaranya ikhlas dalam mencari ilmu, dan memahaminya denan benar serta bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah kehidupan.
i.    Ciri khas fisik, diantaranya kuat, sehat, bersih dan suci. Sesungguhnya akal yang sehat berada dalam tubuh yang kuat.[7]
  • Golongan Kaum Kafir
Ciri khas kaum kafir, di antaranya:
a.       Dari sisi akidah, diantaranya tidak melakukan rukun iman.
b.     Dari sisi ibadah, diantaranya menyembah kepada selain Allah, yang sama sekali tidak membawa manfaat bagi mereka dan juga tidak membahayakan mereka.
c.     Dari interaksi sosial, diantaranya suka melakukan tindakan zalim, menyebarkan permusuhan kepada orang-orang yang beriman serta menyeru kepada kemungkaran dan melarang kepada kebaikan.
d.      Dari interaksi dengan keluarga, diantaranya memutuskan tali silaturahmi dengan tidak menyambungkannya kembali.
e.       Dari akhlak, diantaranya menyalahi janji, berbohong, mengikuti syahwat dan hawa nafsu, suka melakukan tipu daya dan sombong.
f.       Dari emosi, di antaranya benci kepada orang-orang beriman, dan juga menyimpan kedengkian dan iri hati.
g.      Dari akal, di antaranya memiliki pemikiran yang statis dan sulit mengerti hingga seolah hati mereka telah ditutup serta suka meniru buta atas keyakinan pendahulu mereka, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 7, “Allah tlah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”[8]
  • Golongan kaum munafik
       Mereka adalah orang yang tidak memiliki kepribadian dan tidak bisa mengambil posisi dan terus terang, khususnya dalam menyangkut keimanan kepada Allah. Allah telah menjelaskan posisi mereka di neraka kelak dengan firman-Nya,
       “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.’ (an-nisaa:145)
Ciri khas kaum munafik adalah sebagai berikut:
a.       Sisi akidah, diantaranya menampakkan Islam ketika berada dalam golongan Islam, begitupun sebaliknya. Menampakkan Islam namun menyembunyikan kekafiran dalam hati.
b.      Sisi ibadah, diantaranya mengerjakan ibadah dengan tujuan ingin dipuji dan dengan tidak memuaskan dan ikhlas, apabila mereka shalat, layaknya orang malas.
c.       Sisi interaksi sosial, diantaranya menyebarkan fitnah di antara kaum muslim dengan isu-isu tidak benar, cenderung memperdaya manusia, bermanis ucapan, banyak berjajni dengan bermanis wajah untuk menarik perhatian.
d.      Sisi akhlak, diantaranya kurang percaya diri, suka melanggar janji, suka membangga-banggakan diri, pengecut, pembohong, pelit, eksploitasi, berlebihan dan juga suka mengikuti hawa nafsu.
e.       Sisi emosi, diantaranya takut kepada kaum muslimin dan juga kaum kafir, takut kematian hingga mereka menghindari jihad serta membenci dan iri kepada kaum muslimin.
f.       Sisi akal, diantaranya ragu dalam mengambil keputusan, tidak bisa berfikir jernih hingga al-Qur’an menganggap pikiran dan hati mereka telah tertutup dan cenderung membela diri atas sesuatu perbuatan mereka.[9]

Ø  PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN PADA ANAK
       Sesungguhnya waktu strategis dalam pembentukan pendidikan dan kepribadian sesorang adalah masa terpanjang dalam fase kehidupan manusia. Perbedaan yang tampak antara anak-anak dan orang dewasa adalah perangainya dan kejernihan fitrahnya.
       Masa kanak-kanak adalah masa yang panjang dan cukup bagi seorang pendidik untuk menanamkan apapun yang diinginkan pada diri anak. Pada masa itu pula, seorang pendidik dapat mengarahkannya sesuai dengan gambaran yang ada padanya. Selama seorang anak ditopang dengan asuhan yang baik, arahan yang mendidik, maka pada saat itulah telah terbentang masa depan cerah yang akan dihadapinya.[10]
Hal terpenting yang dibutuhkan dalam membentuk kepribadian anak adalah sebagai berikut:
1.      Pembentukan Akidah
a.       Mendiktekan kalimat tauhid, “Tiada Tuhan sekalian dan Muhammad utusan Allah.”
b.      Menanamkan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya serta keluarganya dalam diri sang anak.
c.       Mengajarkan anak Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah.
d.      Mendidik anak untuk yakin dengan akidahnya dan rela berkorban untuknya.

2.      Pembentukan Ibadah
       Sesungguhnya pembentukan ibadah adalah pelengkap dari adanya pembentukan akidah pada anak. Sesungguhnya ibadah suatu bentuk aplikasi dan visualisasi dari akidah yang dianut.

3.      Pembentukan Interaksi Sosial
 a.       Selalu menemani anak ketika hadir dalam forum dewasa. Seperti halnya menghadiri majlis ta’lim.
b.      Membiasakan anak untuk membantu dalam urusan rumah tangga. Anak akan memiliki kemampuan, keahlian, dan rasa percaya diri yang tinggi.
c.       Membiasakan anak dalam memberikan salam.
d.      Mengunjungi anak ketika sakit. Ini akan menimbulkan pengaruh besar atas kejiwaan anak dan juga kesembuhannya, dengan izin Allah.
e.       Memilihkan teman yang baik bagi anaknya.
f.       Membiasakan anak untuk berlatih tata cara jula beli. Dengan anak mempelajari jual beli, maka anak pun secara tidak langsung belajar untuk menumbuhkan rasa percaya dirinya dalam berinteraksi dengan orang banyak.
g.      Mengajak anak untuk menghadiri acara yang disyariatkan. Seperti seminar, diskusi, kajian akhlak, pesta prnikahan dan juga acara-acara yang berhubungan dengan hari besar kaum muslimin.
h.      Mengajak anak menginap di rumah kerabat yang shaleh.

4.      Pembentukan Akhlak
a.       Mengajarkan etika kesopanan.
b.      Mengajarkan kejujuran.
c.       Mengajarkan etika menjaga rahasia.

5.      Pembentukan Emosi
a.       Bersikap lemah lembut pada anak dengan memeluk dan menciumnya.
b.      Bercengkrama denan anak dan mengusap kepalanya.
c.       Memberikan hadiah pada anak.
Rasulullah bersabda, “ Hendaknya kalian saling memberikan hadiah hingga akan ada kecintaan di antara kalian.”
d.      Menerima anak apa adanya dan selalu merasa rindu akan keadaan mereka.
e.       Adanya keseimbangan dalam melimpahkan cinta kasih pada anak.

6.      Pembentukan Fisik
       Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Hal tersebut sudah Allah jadikan tabiat pada diri anak-anak hingga fisik mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan kuat. Dengan demikian anak belajar dan bermain dengan waktu yang bersamaan, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Hak anak untuk belajar berenang, memanah, menunggang kuda dan berbagai jenis olahraga yang bermanfaat untuk pertumbuhan anak.
b.      Menggelar perlombaan olahraga bagi anak-anak dan menumbuhkan suasana persaingan yang sportif.
c.       Membuat acara yang membuat orang dewasa dan anak-anak dapat berpartiisipasi bersama hingga tumbuh rasa kecintaan dan kasih sayang yang kuat di antara mereka.
d.      Membuat anak bisa bermain dengan teman sebayanya dan mengawasi proses interaksi mereka dengan sebayanya hingga tidak ada yang menyakiti.

7.      Pembentukan Pola Pikir
       Tidak ada satu agamapun yang memperhatikan pendidikan anak dengan porsi yang sangat besar kecuali agama Islam, hal ini di akui oleh banyak masyarakat non muslim. Diantara rumusan tersebut adalah:
a.       Menanamkan kecintaan pada ilmu pengetahuan dan mengajarkan etika dalam mendapatkannya pada diri anak.
b.      Membiasakan anak untuk menghafal al-Qur’an dan Sunnah Nabawiah, karena keduanya adalah sumber ilmu pengetahuan yang mampu memercikkan kekuatan pada akal.
c.       Memilihkan sekolah yang bermutu dan guru yang shaleh untuk anak.
d.      Membuat anak mahir berbahasa Arab. Sesungguhnya bahasa Arab adalah kunci dari semua ilmu pengetahuan.
e.       Mengarahkan anak sesuai dengan kecenderungan yang dimilikinya, sejalan dengan kemampuan berfikir dan fisiknya.
f.       Mendirikan perpustakaan keuarga di rumah dan melengkapi perpustakaan dengan semua rujukan dan refrensi yang dibutuhkan anak.
g.      Mengisahkan anak akan tokoh-tokoh ulama terdahulu yang shaleh dan gigih dalam mencari ilmu dan semangat dalam mencari ilmu dan menghafal al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, dimana mereka belu mencapai sepuluh tahun.

8.      Pengendalian Motivasi Seksual pada Anak
       Arahan-arahannya sebagai berkut:
a.       Membiasakan anak untuk minta izin ketika masuk ke dalam rumah hingga dia tidak melihat aurat orang yang tidak selayaknya dilihat.
b.      Membiasakan anak untuk menundukkan andangannya dan menutup aurat.
c.       Memisahkan anak dalam tempat tidurnya setelah berumur sepuluh tahun hingga birahi nafsunya terkendali karenanya.
d.      Mengajarkan anak untuk tidur menghadap ke kanan dan melarang untuk tidur dengan sanggahan perutnya hingga anak akan terhindar dari godaan seksual saat tidurnya.
e.       Menjauhkan anak dari pergaulan bebas. Hendaknya tidak sering bergabung dengan wanita.
f.       Mengajarkan anak etika mandi.
g.      Meneragkan pada anak permulaan surat an-Nuur dan mengarahkan pada anak untuk menghafalnya hingga menjadi perisai baginya, khususnya bagi wanita. Juga memperingati mereka untuk waspada terhadap perzinaan dan percintaan sejenis.
h.      Menganjurkan anak untuk menikah dini, maka dengannya maka kesucian anak akan lebih terjaga dan anakpun akan lebih dapat menghindar dari semua yang diharamkan. (Manhaj Tarbiyah Nabawiyah Litthifl, bitasarruf)[11]

B.       PENDIDIKAN KELUARGA SEBAGAI PELETAK DASAR PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK

Ø  Peran Keluarga Dalam Pendidikan
       Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan yang utama, karena sebagaian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.
       Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagaian besar diambil dari kedua orang tuanya dan dati anggota keluarga yang lain.[12]
       Anak lahir dalam keadaan fitrah. Keluarga dan lingkungan anaklah yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian, perilaku, dan kecenderungannya sesuai dengan bakat yang ada dalam dirinya. Tetapi pengaruh yang cukup kuat adalah kejadian dan pengalamab pada masa kecil sang anak yang tumbuh dari suasana keluarga yang ia tempati.
       Seorang anak akan mencontoh kebijaksanaan dan kebiasaan keluarganya. Hal ini tidak sekedar pada ucapan-ucapan saja tetapi melebar sampai pada hal-hal yang ada di luarnya, misalnya makna-makna, petunjuk-petunjuk, dan pengalaman-pengalaman.[13]

Ø  Fungsi dan Peranan Pendidikan Keluarga
a.       Pengalaman pertama masa kanak-kanak
Lembaga pendidikan keluarga memberikan pengalaman pertama yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak. Suasana pendidikan keluarga ini sangat penting diperhatikan, sebab dari sinilah keseimbangan jiwa di dalam perkembangan individu selanjutnya ditentukan.
Orang tua adalah tempat menggantungkan diri secara wajar. Oleh karena ituorang tua berkewajiban memberikan pendidikan pada anaknya dan yang paling utama dimana hubungan orang tua dengan anaknya bersifat alami dan kodrati.
b.        Menanamkan dasar pendidikan moral
Didalam keluarga juga merupakan penanaman utama dasar-dasar moral bagi anak, yang biasanya tercermin dalam sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh anak. Memang biasanya tingkah laku, cara berbuat dan berbicara akan ditiru oleh anak. Dengan teladan ini, melahirkan gejala identifikasi positif, yakni penyamaan diri dengan orang yang ditiru, dan hal ini penting sekali dalam rangka pembentukan kepribadian.
Segala nilai yang dikenal anak akan melekat pada orang-orang yang disenang dan dikaguminya, dan dengan melalui inilah salah satu proses yang dirempuh anak dalam mengenal nilai.
c.       Memberikan dasar pembentukan sosoial
Didalam kehidupan keluarga, merupakan basis yang sangat penting dalam peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Sebab pada dasarnya keluarga merupakan lembaga sosial resmi yang minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Perkembangan benih-benih kesadaran sosial pada anak-anak dapat dipupuk sedini mungkin, terutama lewat kehidupan keluarga yang penuh rasa tolong menolong, gotong royong secara kekeluargaan, menolong saudara atau tetangga yang sakit, bersama-sama menjaga ketertiban, kedamaian, kebersihan dan keserasian dalam segala hal.
d.        Peletakan dasar-dasar keagamaan
Masa kanak-kanak adalah masa yang paling baik untuk meresapkan dasar-dasar hidup beragama, dalam hal ini tentu saja terjadi dalam keluarga. Anak-anak seharusnya dibiasakan ikut serta ke masjid bersama-sama untuk menjalankan ibadah, mendengarkan khutbah atau ceramah-ceramah keagamaan, kegiatan seperti ini besar sekali pengaruhnya terhadap kepribadian anak.
Kenyataan membuktikan, bahwa anak yang semasa kecilnya tidak tahu menahu dengan hal-hal yang berhubungan dengan hidup keagamaan, tidak pernah pergi bersama orang tua ke masjid atau rumah ibadah untuk melaksanakan ibadah, mendengarkan khutbah atau ceramah-ceramah dan sebagainya, maka setelah dewasa mereka itu pun tidak ada perhatian terhadap hidup keagamaan. Kehidupan dalam keluarga hendaknya memberikan kondisi kepada anak untuk mengalami suasana hidup keagamaan.[14]

Ø  Pengaruh Metode Pendidikan Anak pada Hubungan Keluarga
Metode yang dipilih orang orang tua sebagai metode pendidikan anak, yaitu yang otoriter, permisif atau demokratis, sebagaian akan bergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan, dan sebagaian pada apa yang berdasarkan pengalaman pribadi atau pengalaman teman, diketahuinya akan menghasilkan hasil yang diinginkannya untuk anaknya kelak.
Hubungan orang tua-anak juga sangat dipengaruhi persepsi anak terhadap pelatihan yang dialaminya dan interprestasinya terhadap motivasi hukuman dari orang tua. Semakin otoriter pendidikan anak, semakin mendendam anak itu dan semakin besar kemungkinan anak akan senang melawan dan tidak patuh secara sengaja. Perilaku menentang sangat besar perannya dalam memburuknya hubungan orang tua-anak dengan bertambahnya usua anak.
Jika anak merasa bahwa antara orang tuanya tidak terdapat persetujuan mengenai metode pendidikan atau pendisiplinan yang pantas, rasa hormat mereka mulai hilang. Jika ibu disalahkan ayah karena tidak membesarkan anak secara benar, anak akan kurang menghormati ibu mereka, tetapi juga akan memusuhi ayah karena ia mengeritik ibu.
Walaupun hubungan antar saudara kandung sering tegang, biasanya mereka akan bersatu untuk membela saudara yang  menurut mereka diperlakukan tidak adil. Dan mereka membentuk front yang kokoh melawan orang tua yang bersalah. Hal ini juga mengancam hubungan keluarga yang baik.[15]
Untuk menekankan betapa pentingnya konsistensi untuk perkembangan moral anak Spock telah menerangkan peran orang tua dalam memberikan disiplin yang konsisten bagi anak-anaknya. Ia mengatakan “agar sistem berjalan baik, orang tua harus mempunyai cita-cita tertentu. Mereka harus mengetahui apa yang diharapkan mereka dari anak mereka dan mengkomunikasikannya pada mereka secara jelas.” Berikut beberapa cara-cara menanamkan disiplin terhadap anak:
Cara mendisiplin otoriter, Peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku yang diingikan meanndai semua jenis disiplin yang otoriter. Tekniknya mencakup hukuman yang berat bila terjadi kegagalan memenuhi standar dan sedikit atau sama sekali tidak adanya persetujuan, pujian atau tanda-tanda penghargaan lainnya bila anak memenuhi standar yang diharapkan.
Dalam keluarga dengan cara mendisiplin otoriter yang lebih wajar, anak tetap dibatasi dalam tindakan mereka, dan keputusan-keputusan diambil oleh orang tua. Namun keinginan mereka tidak seluruhnya diabaikan, dan pembatasan yang kurang beralasan, misalnya larangan melakukan apa yang dilakukan teman sebaya, berkurang.
Cara mendisiplin permisif, Disiplin permisif sebetulnya berarti sedikit disiplin atau tidak berdisiplin. Biasanya disiplin permisif tidak membimbing anak ke pola perilaku yang disetujui secara sosial dan tidak menggunakan hukuman. Beberapa orang tua yang menganggap kebebasan (permissiveness), membiarkan anak-anak dalam situasi yang terlalu sulit untuk ditanggulangi oleh mereka sendiri tanpa bimbingan atau pengendalian.
Bagi banyak orang tua, disiplin permisf merupakan protes terhadap disiplin yang kaku dan keras masa kanak-kanak mereka sendiri. Dalam hal seperti itu, anak sering tidak diberi batas-batas atau kendala yang mengatur apa saja yang boleh dilakukan. Mereka diizinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sekehendak mereka sendiri.
Cara mendisiplin demokratis, disiplin demokratis menggunakan hukuman dan penghargaan dengan penekanan yang lebih besar pada penghargaan. Hukuman tidak pernah keras dan biasanya tidak berbentuk hukuman badan. Hukuman hanya digunakan bila terdapat bukti bahwa anak-anak secara sadar menolak melakukan apa yang diharapkan dari mereka. Bila perilaku anak memenuhi standar yang diharapkan orang tua yang demokratis akan menghargainya dengan pujian atau pernyataan persetujuan yang lain.
Falsafah yang mendasari disiplin demokratis ini adalah falsafah bahwa disiplin bertujuan mengajak anak mengembangkan kendali atas perilaku mereka sendiri sehingga mereka akan melakukan apa yang benar, meskipun tidak ada penjaga yang mengancam mereka dengan hukuman bila mereka melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan. Pengendalian internal atas perilaku ini adalah hasil usaha mendidik anak untuk berperilaku menurut cara yang benar dengan memberi mereka penghargaan.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Elezabeth, Hurlock B. 1999. Perkembangan anak. Bandung: Erlangga.
Hasbullah. 1999. Dasar-dasar ilmu pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ma’ruf, Zurayk. 1997. Aku dan Anakku. Bandung: Al-Bayan.
Said bin Musfir. 2005. Konseling Terapi. Jakarta: Gema Insani.
Suryabrata, Sumadi. 2012. Teori Kepribadian Ludwig Klages.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

[1] Psikologo Kepribadian. 2009. Hal:2
[2] Sumadi Suryabrata, 2012. Teori Kepribadian Ludwig Klages. Hal: 96.
[3] Sumadi Suryabrata, 2012. Psikologi Kepribadian. Hal:118
[4] Musfir bin Said, 2005. Konseling Terapi. Hal: 402.
[5] Ibid, hal: 408.
[6] Ibid, hal: 411.
[7] Musfir bin Said, 2005. Konseling Terapi. Hal:412-413.
[8] Ibid. Hal: 416-417
[9] Ibid. Hal: 417-418.
[10] Ibid. Hal: 421.
[11] Ibid, hal: 421-438
[12] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 38.
[13] Ma’ruf Zurayk, Aku dan Anakku, Al-Bayan, Bandung, 1997, hlm. 21.
[14] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 39.
                                                       
[15] Elizabeth B Hurlock, Perkembangan Anak, Erlangga, jakarta, 1999, hlm. 205.
[16] Ibid, hlm. 93.

0 komentar:

Posting Komentar