Kamis, 22 Mei 2014

PERNIKAHAN

Standard
BAB I
                                                          DEFINISI
1.      Pengertian Nikah
   Secara bahasa nikah mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau    bersenggama (wath’i). Sedang  menurut istilah adalah suatu perjanjian atau aqad antara seorang pria dengan wanita untuk menghalalkan hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syari’at islam.
Ijab ialah suatu pernyataan berupa penyerahan dari seorang wali perempuan atau wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupum syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’.
Qabul ialah suatu peryataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataaan wali perempuan atau wakilnya sebagaimana yang dimaksud di atas.
Kebanyakan orang ingin menikah disebabkan oleh:
a.       Karena mengaharapkan harta benda
Sabda Rasulullah saw:
مَن تزوّجَ إمراةً لِمالها لم نزده إلّا فقرًا  
“ Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena kekayannya, niscaya tidak akan bertambah kekayaaannya, bahkan sebaliknya kemiskinan yang akan didapatinya.”
b.      Karena mengaharapkan kebangsawaannya.
Sabda Rasulullah saw:
مَن تزوّج إمراةً لِعزّها لم نزده إلّا ذلّا
“ Barang siapa menikahi seorang perempuan karena kebangsawaannya, niscaya Allah tidak akan menambah kecuali kehinaan.”
c.       Karena kecantikannya.
d.      Karena agamanya
Sabda Rasulullah saw:
مَن نكحها لِد ينهَا رِزقه الله مالها      
“ Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena agamanya, niscaya Allah mengaruniainya dengan harta.”
Dalam pernikahan, jumhur ulama menetapkan hukum-hukum pernikahan :

a.       Sunnah
Jumhur ulama sepakat bahwa hukum asal pernikana adalah sunah. Mereka beralasan antara lain kepada firman Allah swt, yang artinya :
 “ Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, da juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu  yang laki-laki dan perempuan; jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka atas karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) , Maha Kuasa.,(QS. An-Nur /24 :32)
Rasulullah saw bersabda, yang artinya:
“Wahai pemuda, siapa di anatara kamu yang sudah mempunyai kemampuan untuk menikah, maka nikahlah, karena menikah itu lebih memelihara pandangan mata dan mengendalikan nafsu seksual. Siapa yang belum memiliki kemampuan, hendaklah ia berpuasa, karena puasamerupakan penjagaan baginya.”
( Muttafaq ‘alaih)
b.      Mubah (boleh)
Hukum menikah menjadi boleh bagi orang yang tidak mempunyai factor pendorong atau factor yang melarang untuk menikah.
c.       Wajib
Hukum menikah menjadi wajib bagi orang yang secara jasmaniyah sudah layak untuk menikah, secara rohaniyah sudah dewasa dan matang sera memiliki kemampuan biaya untuk menikah dan menghidupi keluarganya.
d.      Makruh
Hukum nikah menjadi makruh bagi laki-laki yang secara jasmaniyahsudah layak untuk menikah, kedewasaan rohaninya sudah matang, tetapi tidak mempunyai biaya untuk menikah dan bekal hidup rumha tangga.
e.       Haram
Hukum menkah menjadi haram bagi laki-laki yang menikahi wanita dengan maksud menyakiti dan mepermainkannya. 

2.      Pengertian dan Hukum Khitbah
Khitbah atau melamar adalah pernyataan atau ajakan untuk menikah dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya dengan cara yang baik.
Hukum meminang adalah mubah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Perempuan yang akan dipinang harus memenuhi syarat:
a.       Tidak terikat oleh akad pernikahan.
b.      Tidak berada dalam masa iddah talak raj’i.
c.       Bukan pinangan laki-laki lain.
2.      Cara mengajukan pinangan:
a.       Secara terang-terangan.
b.      Pinangan kepada janda yang masih dalam masa iddah talak bain yang ditinggal wafat suaminya , hanya boleh dilakukan secara sindiran saja.
Allah SWT. Berfirman:
وَلا جُناح عليكم فِيما عَرضتم بِه مِن خطبة النّساء أوأكننتم في أ نفسكم
Artinya:
“ dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati.” (البقرة :230 )

3.      Pengertian Mahram
Mahram adalah perempuan-perempuan yang haram atau tidak boleh dinikahi. Disebabkan:
a.       Faktor keturunan
1)      Ibu.
2)      Nenek, dan seterusnya ke atas.
3)      Anak, cucu, dan seterusnya ke bawah.
4)      Saudara perempuan sekandung, seayah, dan seibu.
5)      Saudara perempuan ayah.
6)      Saudara peraempua ibu.
7)      Anak perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan, dan seterusnya ke bawah.
b.      Faktor persusuan:
1)      Ibu yang menyusui.
2)      Saudara perempuan sepersusuan.
c.       Faktor perkawinan
1)      Ibu dari istri (mertua).
2)      Anak tiri jika ibunya sudah digauli.
3)      Istri dari anak (menantu).
4)      Istri bapak (ibu tiri)[1]

BAB II
SYARAT DAN RUKUN

Rukun nikah terdiri dari lima:
a.       Calon suami,dengan syarat:
1.      Muslim.
2.      Merdeka.
3.      Berakal.
4.      Benar-benar laki-laki.
5.      Adil.
6.      Tidak beristri empat.
7.      Bukan mahram calon istri.
8.      Tidak sedang ihram haji atau umrah.
b.      Calon istri, dengan syarat:
1.      Muslimah.
2.      Benar-benar perempuan.
3.      Telah mendapat izin dari walinya.
4.      Tidak besuami atau dalam masa iddah.
5.      Bukan mahram calon suami.
6.      Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
c.       Shigat (ijab dan qabul), dengan syarat:
1.    Lafal ijab dan qabul harus lafal nikah atau tazwij dan bukan kata-kata kinayahcatau   kiasan.
2.       Lafal ijab qabul tidak dikaitkan dengan syarat tertentu.
3.    Lafal ijab qabul harus terjadi pada satu majlis.
d.      Wali calon pengantin perempuan, dengan syarat:
1.      Muslim.
2.      Berakal.
3.      Tidak fasik.
4.      Laki-laki.
5.      Mempunyai hak untuk menjadi wali.
Susunan wali:
1.      Bapaknya.
2.      Kakeknya.
3.      Saudara laki-lakinya sekandung.
4.      Saudara laki-laki sebapak.
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7.      Paman dari bapak.
8.      Anak laki-lakinya paman dari bapak.
9.      Hakim.
e.       Dua orang saksi, dengan syarat:
1.      Muslim.
2.      Berakal.
3.      Baligh.
4.      Merdeka.
5.      Laki-laki.
6.      Adil.
7.      Pendengaran dan penglihatannya sempurna.
8.      Memahami bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul.
9.      Tidak sedang ihram haji atau umrah.[2]



BAB II
PRINSIP PERNIKAHAN

A.    ASAS-ASAS DAN PRINSIP PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM.
Dalam ajaran islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam pernikahan, yaitu :
1.  Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan pernikahan. Caranya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melakukan pernikahan atau tidak.
2.    Tidak semua wanita dapat dinikahi oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan pernikahan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.
3.      Pernikahan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyartan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan pernikahan itu sendiri.
4.   Pernikahan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga yang tentram, damai, dan kekal untuk selama-lamanya.
5.  Hak dan kewajiban suami isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.
B.     ADAPUN PRINSIP-PRINSIP ATAU ASAS-ASAS PERNIKAHAN MENURUT UNANG-UNDANG PERNIKAHAN, DISEBUTKAN DIDALAM PENJELASAN UMUMNYA SEBAGAI BERIKUT.
1.  Tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu  antara suami dan isteri perlu untuk saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan sepiritual dan material.
2.  Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu pernikahan dinyatakan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu tiap-tiap pernikahan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pencatatan tiap-tiap pernikahan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogomi, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dikarenakan hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya maka seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang, namun pernikahan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila telah terpenuhi beberapa persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
4.  Undang-undang ini mengandung prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan. Agar dapat mewujudkan pernikahan yang baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, harus ada pencegahan terhadap pernikahan dibawah umur. Karena pernikahan itu memiliki hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk memperlambat lajunya pernikahan yang semakin pesat harus ada pencegahan terhadap pernikahan dibawah umur. Sebab batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, untuk itu Undang-Undang pernikahan menentukan batas umur untuk menikah bagi pria maupun wanita, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
5.    Karena tujuan pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk memprsulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu ( Pasal 19 Peraturan Pemerintah N.9 1975 ) serta harus dilakukan di depan sidang Pengailan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negri bagi golongan non islam.
6.   Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam kehidupan rumah tangga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami isteri. Jika kita bandingkan antara prinsip-prinsip pernikahan menurut hukum Islam dengan prinsip-prinsip pernikahan menurut Undang-Undang pernikahan maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil dan mendasar.[3]

BAB IV
POLIGAMI

Hukum asal poligami (untuk beristeri lebih dari satu) bagi lelaki yang mampu dan tidak ada rasa kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zhalim, (yang demikian itu) diperbolehkan karena hal itu mengandung banyak mashalat didalam memelihara kesucian dan kehormatan wanita-wanita yang dinikahi itu sendiri dan berbuat ihsan kepada mereka dan memperbanyakkan keturunan beragama Islam. Dalil poligami adalah
Surat an-Nisa ayat 3-4.
وإن خفتم ألّا تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ماطا ب لكم من النّساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألّاتعدلوا فواحدةً أوماملكت أيمانكم ذلك أدنى ألّاتعولوا . النساء
Apabila kamu khawatir tidak dapat berlaku adil pada (hak-hak) anak yatim tersebut (kalau kamu mengawininya ), maka kawinilah wanita-wanita ( lain ) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil maka kawinilah satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Mayoritaas orang meyakini bahwa ayat ini membawa kepada anjuran untuk poligami, berdasarkan qaidah ushul fiqh al-ashlu fil amri lil-wujub ( asal dari perintah itu wajib )
Al-Jashash (Ulama Ushul dari kalangan Hanafiyah) melihat status hukum poligami hanya sebatas boleh ( mubah ). Kebolehan yang disertai dengan syarat-syarat yang ketat. Bahkan Al-Maraghi menggarisbawahi syarat-syarat yang diperketat tersebut dalam keadaan yanug darurat, misalnya isteri mandul, suami memiliki kemampuan seks yang tinggi, kaya raya dan kalau jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki.
Lebih lanjut, Al-Qur’an langsung menindaklanjuti ayat yang memberi hak kepada ummat muslim untuk beristeri empat dengan kualifikasi yang harus dipertimbangkan dengan serius. Bila laki-laki tidak yakin bisa bertindak adil maka ia harus tetap monogami.
Di satu pihak Al-Qur’an membolehkan poligami sementara dalam kesempatan lain justru mengisyaratkan ketidakmampuan manusia untuk berlaku adil sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa: 129
وَلن تستطيعوا أن تعدلوا بين النّساء ولو حَرِصتم فلا تميلوا كلّ الميل فتذروها كالمعلقة وإن تصلحوا وتتّقوا  فإنّ الله كان غفورًا رَحيمًا.
Dan kamu sekali-kali tidak akan berlaku adil diantara isteri-isteri mu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Diceritakan bahwa beberapa orang sahabat mengatakan kepada nabi Muhammad : “ Aku akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur”. Yang satu lagi berkata “Aku akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka.” Yan satu lagi berkata “Aku tidak akan mengahwini wanita.”
Tatkala ucapan mereka sampai kepada nabi, beliau lansung berkhutbah di hadapan para sahabatnya, seraya memuji kepada Allah, kemudian beliau bersabda,
“Kaliankah tadi yang mengatakan, ‘Begini dan begitu?’ Demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian dan paling bertaqwa kepadaNya. Sekalipun begitu, aku juga berpuasa dan aku juga berbuka, aku salat malam dan akupun tidur, dan aku mengahwini wanita. Barang siapa yang tidak suka kepada sunnahku ini, maka ia bukan dari umatku.” [4]
Berpoligami itu sunnah bagi yang mampu. Karena berdasarkan ayat Quran Surat Al-Ahzab ayat 21 yang bermaksud :
Sesungguhnya telah ada bagi kamu (umat Islam) pada Rasulullah suri tauladan yang baik.”

BAB V
HIKMAH PERNIKAHAN

Pernikahan dalm Islam memiliki banyak hikmah. Oleh karena itu, Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan tidak hidup melajang. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang hidup sebagaimana manusia pada umumnya; hidup menikah dan tinggal bersama orang-orang yang dicintai. Berikut ini beberapa hikmah pernikahan dalam agama Islam :
1)     Menikah akan meninggikan harkat dan martabat manusia, Lihatlah bagaimana kehidupan manusia-manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tak bisa mereka kandangkan. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang, apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.
2)           Menikah memuliakan kaum wanita, Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarga.
3)           Menikah adalah cara melanjutkan keturunan;
4)          Wujud kecintaan Allah pada mahluk-Nya untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik;
Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahluk-Nya, dengan memberikan cara bagi mahluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi sorang mahluk. Dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang akan dirasakan melalui adanya pernikahan. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.
5)      Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat,
6)      Terwujudnya kehidupan yg tenang dan tentram, cinta dan kasih sayang diantara sesama,
7)      Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab, baik dalam hubungan suami istri maupun orang tua dan anak,
8)      Memperkokoh tali persaudaraan.[5]

Daftar Pustaka 
  1. Al-Jashash, Ahkam Al-Qur’an (Beirut: Dar al-kitab al-Islamiyah, tt) 
  2. Sri mulyani, Relasi Suami Isteri dalam Islam Pusat Study Wanita (PSW), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004 
  3. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, 1996 Jakarta 
  4. Syaikh Sa’ad bin Abdullah al-Buraik, Kitab Fatwa-Fatwa terkini, Darul Haq, Cetakan ke-8, April 2013 
  5. Amir Syarifuffin, Hukum Perkahwinan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group, 2006. 
  6. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta, Prenada Media Group, 200


[1] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, 1996 Jakarta
[2] Prof Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkahwinan Islam di Indonesia, 2004
[3] Dr. Sri mulyani, Editor, Relasi Suami Isteri dalam Islam Pusat Study Wanita (PSW), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004
[4]  (Riwayat Imam Al-Bukhari) Kitab Fatwa-Fatwa terkini, Syaikh Sa’ad bin Abdullah al-Buraik, Darul Haq, Cetakan ke-8, April 2013
[5] Al-Jashash, Ahkam Al-Qur’an (Beirut: Dar al-kitab al-Islamiyah, tt)

0 komentar:

Posting Komentar