MAKALAH
Sejarah Dan Peradaban Islam pada Masa Dinasti Umayyah
Diajukan
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
“SEJARAH
PERADABAN ISLAM”
Dosen Pembimbing :
M.
Lukman Fahmi
Disusun Oleh :
Abdulloh Faqih (B03212001)
Ach.
Kholil (B03212002)
Dewi
Mei Sinta (B03212006)
Ida
Ayu Kusumawati (B03212008)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendirian Dinasti Bani Umayyah.
1.1. Asal Mula Dinasti Bani Umayyah.
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams
bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah
Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan,
cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra.
Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah
mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan
dan kekuasaan. Umayyah selalu bersaing dengan Pamannya yaitu Hasyim bin Abdu Manaf dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[1] Sesudah datang Agama Islam
persaingan yang dulunya merebut kehormatan
menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang
Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim
menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau
yang belum. Bani Umayyah adalah
orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu
musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam. Setelah itu sekumpulan Bani
Umayyah masuk islam.
Jadi, nama
Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd Al- Syam, kakek Abu
Sofyan. Sedangkan Muawiyah bin Abi
Sofyan berasal dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari suku Quraisy.[2]
Proses terbentuknya
kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M, sa’at khalifah Utsman bin Affan
membaca Al-qur’an. Pada saat itu
khalifah Utsman bin Affan dianggap terlalu Nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya
sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan
Islam.
Awal kedaulatan bagi Dinasti Bani Umayyah adalah sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan, lalu dipimpin
kholifah Ali bin Abi Thalib, dan Hasan bin Ali. Barulah Dinasti Bani
Umayyah muncul, dengan dipimpin oleh khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang dulunya gubenur Syam dan tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat.
Sebelum Dinasti Bani Umayyah muncul sebagai khalifah. Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar
seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin
Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima
tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar tadi yaitu Thalhah bin
Ubaidillah dan Zubair bin Awwam merasa tenang, dan kemudian mereka dan para
shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tahun 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini
mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali
bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat
menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah keempat oleh
masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah, ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa
dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi
Sufyan gubernur Damaskus dan Syiria, serta Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Khalifah Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris
khalifah.
Dalam suatu catatan yang di
peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu
dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang
berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya
terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung
pada pertempuran di Shiffin dan
dikenal dengan perang Siffin,
Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dengan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini
terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan Umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah wafatnya khalifah Utsman
bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah pengganti
Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah
tidak punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas
segala perintahnya. Tetapi Muawiyah menolak
kepemimpinan tersebut karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan
baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan pada waktu itu.
Muawiyah mengancam agar tidak mengakui (bai’at)
kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan,
dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk
dihukum. Namun Khalifah
Ali bin Abi Thalib berjanji akan
menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi
dan kondisi di dalam Negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil
individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian
kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah
mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah,
dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair ketika bertemu di Bashrah.
Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan,
dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu,
khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi
Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah
menuduh Ali bin Abi Thalib berada di
balik kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Tuduhan ini tentu saja
tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua
putranya yaitu Hasan dan Husein serta para
shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa
yang mendatangi kediaman khalifah Utsman bin Affan.
Sejarah mencatat justru
keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang
berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi
seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan
masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan
banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya
sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur
Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat
Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga
mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan
para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan
istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada
Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu
Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk
menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa
surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan
kebijakan yang
mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan
demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem
pemerintahan yang dianggap sangat sarat dengan kolusi
dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera
menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera melepaskan jabatan.
Persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga
tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak
dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah,
sehingga khalifah Utsman bin Affan terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang
diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan
sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal
bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah
Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan
pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di
sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat
peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
1.2. Usaha Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin
Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh
tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kuffah, oleh kelompok khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam,
menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya
para pengikut setia khalifah Ali bin Abi Thalib yaitu Syi’ah. Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’ah) melakukan sumpah setia (bai’at) atas Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti khalifah Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu
dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah
yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali
mengangkat sumpah setia adalah Qays bin
Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib (Syi’ah).
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak
tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para
pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah
yang menjabat sebagai gubernur Damaskus
juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Muawiyah
sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi
dalam dunia Islam pada saat itu.
Namun Hasan bin Ali sosok yang jujur dan lemah
secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin Negara (khalifah). Ia lebih memilih mementingkan persatuan
umat. Hal ini dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap Hasan bin Ali. Sehingga
banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan
yang didalangi oleh Muawiyah bin Abi
Sufyan.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah bapak pendiri Dinasti Umayyah. Dialah tokoh
pembangunan yang besar. Namanya disejajarkan dalam deretan Khulafaur Rasyidin.
Bahkan kesalahanya yang menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat
(demokrasi) dengan diganti sistem Monarchi,
dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan politiknya yang
mengagumkan. Mu’awiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan bin Ali bin
Abi Thalib berdamai denganya pada tahun 41 H. Umat Islam sebagianya membaiat
Hasan setelah Ayahnya itu wafat. Namun, Hasan menyadari kelemahanya sehingga ia
berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada Mu’awiyah sehingga tahun itu
dinamakan ‘amul jama’ah (Tahun
Persatuan).
Menghadapi situasi yang
demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan
lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah.
Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr
bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa
dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan dengan syarat antara lain:
1.
Agar Muawiyah menyerahkan Harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2.
Agar Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
3.
Agar Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia
dan daerah dari Bijinad kepada Hasan bin Ali
setiap tahun.
4.
Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak
dari pemberian kepada Bani Abdis Syams.[3]
5.
Muawiyah tidak boleh menarik sesuatu apapun dari
penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak.
Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua
persyaratan, Hasan bin Ali mengutus
seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits
bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan
semua syarat yang di ajukan oleh Hasan
mengutus orang-orang kepercayaannya
seperti Abdullah bin Amir bin
Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai
ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat
dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki
jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk
melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia
kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam Berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus,
hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya yaitu Hasan bin Ali.
Penyerahan kekuasaan
pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal
berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah
di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah
ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan
dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan
sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi
seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai
khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak
mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi
umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah Dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah
(661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan
Raja-Raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara
turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan
khalifah yang didasari asas “demokrasi” (Musyawaroh) untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi
pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani
umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus,
tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.
Namun perlawanan terhadap
bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein bin Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan
bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada
tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan golongan syi’ah yang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka
Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di
Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara Husein kalah dan Husein sendiri
mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya
dikubur di Karbela.
B. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah.
Dinasti Bani Umaiyah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun (41- 132 H/661-750 M). Setelah
Muawiyah memindahkan pusat pemerintahan dari kota Madinah (Kuffah
ke Damaskus, maka pemerintahan Muawiyah berubah bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi
(kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid
sebagai putra mahkota. Kebajikan yang dilakukan oleh Muawiyah ini dipangaruhi
oleh tradisi yang terdapat dibekas wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama
dikuasai oleh Muawiyah, semenjak dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umar Ibn Khatab di Suriah. Setelah Muawiyah
meninggal dunia orang-orang keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Muawiyah
menjadi Khalifah sebagai pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan
Bani umayyah memakai sistim turun-temurun
sampai kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam
pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750
M. dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani
Abbasiyah
setelah memerintah lebih kurang 90 tahun.
Atas perubahan bentuk pemerintahan dari demokrasi
ke munarchi, menimbulkan pertentangan dua tokoh, yakni Husen bin Ali dengan Abdullah
bin Zuber sehingga mumbuat Husen dan Abdullah meninggalkan kota Madinah. Adapun
khalifah-khalifah terbesar Bani Umayyah adalah Muawiyah bin Abi Sofyan (661-680 M), Abd Al-Malik bin Marwan (685-750 M), Al-Walid bin
Abdul Malik (705-715), Umar bin Abdul Azis (717-720 M), Hasyim bin Abdul Malik
(720-743 M), puncak kejayaan Dinasti Bani Umayyah terjadi pada masa Umar bin
Abdul Aziz (717-720 M), setelah itu merupakan masa keruntuhannya.
(Muawiyah ibn Abi Sufyan) berkata : Aku tidak akan menggunakan pedang jika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan
cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun
antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka
menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka
mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras.
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn
Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang
negarawan yang mampu membangun peradaban
besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu
bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang
pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar
biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha
dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya
dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah
(41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi
Heredity (Kerajaan/Dinasti), yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah
diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau
suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya,
Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah
Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk
mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh
Allah.
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak
dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah,
melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661M)
akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan berkembangnya corak baru yang
sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam. Diantaranya
pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah
sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah
berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah
bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan/Dinasti dengan menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan
menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran
Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern
umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat
Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah
kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at)
dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini
bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam
yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan,
pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya
masalah Baitulmal. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap
warga Negara memiliki hak yang sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak
pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan,
Baitulmal beralih kedudukannya
menjadi harta kekayaan keluarga Raja seluruh
penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar
bin Abdul Aziz (717-720 M).
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa :
1.
Muawiyah bin Abi
Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.
Yazid bin
Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3.
Muawiyah bin
Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.
Marwan bin Hakam
(64-65 H/683-685 M)
5.
Abdul Malik bin
Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.
Walid bin Abdul
Malik (86-96 H/705-715 M)
7.
Sulaiman bin
Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.
Umar bin Abdul
Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.
Yazid bin Abdul
Malik (101-105 H/720-724)
10.
Hisyam bin Abdul
Malik (105-125 H/724-743 M)
11.
Walid bin Yazid
(125-126 H/743-744 M)
12.
Yazid bin Walid
(126-127 H/744-745 M)
13.
Ibrahim bin
Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)
Para Sejarawan umumnya sependapat bahwa para khalifah terbesar dari Daulah
Bani Umayyah adalah Mu’awiyah, Abdul
Malik, dan Umar bin Abdul Aziz.
C. Khalifah Terbesar dari Dinasti
Bani Umayyah.
1.1. Muawiyah bin Abi Sufyan
Pada Masa Muawiyah inilah, Ekspansi besar-besaran dilakukan, Muawiyah juga
mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap ditiap
pos. dan awal pendirian sebuah sitem Dinasti. Ia juga berjasa mendirikan Kantor
Cap (percetakan Mata Uang), dan lain-lain.
Pada Masa pemerintahan Muawiyah diraih kemajuan besar dalam perluasan
wilayah, meskipun pada beberapa tempat masih bersifat rintisan. Peristiwa
paling mncolok adalah keberanianya mengepung Kota Konstatinopel melalui
Ekspedisi yang dipusatkan di Kota pelabuhan Dardanela.
Muawiyah dibaiat oleh umat islam di Kuffah (Madinah), Muawiyah wafat pada
tahun 60 H, di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya, yazid yang
telah ditetapkanya sebagai Putra Mahkota sebelumya. Yazid tidak sekuat Ayahnya
dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah
membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal
Muawiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu
Rosulullah SAW itu. Yazid menghadapi para pemberontak di Makkah dan Madinah
dengan keras. Dinding Ka’bah runtuh dikarenakan terkena lemparan Manjaniq , alat pelempar batu ke arah
lawan. Peristiwa itu merupakan aib besar pada masanya.
Yazid Wafat pada tahun 64 H, setelah memerintah 4 Tahun dan digantikan oleh
Anaknya, Muawiyah II bin Yazid.
1.2. Abdul Malik bin Marwan
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para
khalifah Bani Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu
agamanya, terutama dibidang Fiqh. Ia telah berhasil mengembalikan sepenuhnya
integritas wilayah dan wibawa kekuasaan Bani Umayyah dari segala pengacau
negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan separatis
Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan Khawarij, sampai
kepada Aksi teror yang dilakukan oleh Al-Mukhtar bin Ubaid As-Saqafy di wilayah
Kuffah, dan pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak. Ia juga
menundukkan tentara Romawi yang sengaja membuat keguncangan sendi-sendi
pemerintahan Umayyah. Ia memrintahkan pengguna’an Bahasa Arab sebagai bahasa
administrasi diwilayah Umayyah, yang sebelumnya masih bermacam-macam, seperti
bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia, dan Bahasa Qibti di Mesir. Ia
juga memerintahkan untuk mencetakuang secara teratur, membangun beberaapa
gedung, dan masjid serta saluran-saluran air. Dan lain-lain.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan memerintah paling lama, yakni 21 tahun.
1.3. Umar bin Abdul Aziz.
Adapun khalifah besar yang ketiga adalah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa
pemerintahanya sangat singkat, namun Umar
bin Abdul Aziz merupakan “Lembaran Putih” Bani Umayyah dan sebuah periode
yang berdiri sendiri. Mempunyai karakter yang terpengaruh oleh berbagai
kebijaksana’an daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan
personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang
sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Umar bin Abdul Aziz adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir. Umar bin Abdul Aziz pantas diberi
gelar khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya.
Sebelum ia diangkat menjadi khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang
kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka berpoya-poya dan
menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah
total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur. Karena
kesholihannya, ia dianggap sebagai seorang sufistik
pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya
relatif singkat, yaitu sekitar tiga
tahunan, namun banyak perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan
komunikasi politik dengan semua kalangan, termasuk mengadakan perdamaian antara
Amawiyah, Syi’ah serta
Khawarij, menghentikan peperangan dan mencegah caci maki terhadap Khalifah Ali
bin Abi Thalib. Ia mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya
untuk diserahkan hasil penjualanya ke Baitul Mal. Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun
sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh,
sehingga pada jamannya tidak ada lagi kemiskinan.
Pada masa pemerintahnnya,
tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi kebebasan
kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak
diperingan, kedudukan mawali
disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar lepas dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan
meninggalkan karakter pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua
golongan dan agama. Penerusnya nanti justru berbanding terbalik dengan karakter
kepemimpinannya.
Kekhalifahan Dinasti Umayyah mulai mundur sepeninggal Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
D. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah.
Ekspansi/perluasan yang terhenti pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dilanjutkan kembali oleh Dinasti ini. Di zaman Muawiyah, Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh kekhalifahan Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi
sungai Oxus dan dapat berhasil
menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab
sampai ke Maltan.
Pada masa pemerintahan
Muawiyyah terkenal sebagai era yang agresif karena perhatian terpusat kepada
perluasan wilayah, dan kemajuan besarpun hadir dengan berhasilnya perluasan
wilayah tersebut.
Ekspansi ke barat secara
besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan
ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang
berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada
tahun 711 M. setelah al-Jajair dan
Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin
ziyad, pemimpin pasukan Islam, menyeberangi
selat yang memisahkan antara Marokko
dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal
dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq).
Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran
ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova,
dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.[4]. Pada saat itu, Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat
kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan
ke Prancis melalui pegunungan Piranee.
Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai
menyerang Bordeau, Poitiers. Dari
sana ia menyerang Tours. Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah
tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di
zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi
ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Dalam jangka
90 tahun, banyak bangsa di empat penjuru mata angin beramai-ramai masuk kedalam
kekuasaan Islam, Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian
Asia Kecil, Persia, Afganistan, dan negeri-negeri yang sekarang dinamakan
Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Purkmenia, dan
Kirgiztan yang termasuk sovyet (Rusia). Sampai
akhirnya Dinasti ini dijuluki Dinasti Adi Kuasa.
Menurut Prof. Ahmad Syalabi,[5]
penaklukan militer di Zaman Umayyah mencakup 3 Front penting, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Front melawan bangsa Romawi di
Asia Kecil dengan sasaran utama pengepungan ke Ibu kota Konstantinopel, dan
penyerangan ke Pulau-pulau dilaut tengah.
Kedua, Front Afrika Utara. Selain
menundukkan daerah hitam Afrika, pasukan muslim juga menyebrangi Selat
Gibraltar, lalu masuk ke Spanyol.
Ketiga, Front Timur menghadapi wilayah
yang sangat luas, sehingga operasi ke jalur ini dibagi menjadi dua arah. Yang
satu menuju utara ke daerah-daerah disebrang sungai jihun (Ammu Darya), sedangkan lainya ke arah selatan menyusuri Sind,
wilayah India bagian Barat.
·
Sebab-Sebab
Kemunduran Dinasti Umayyah.
Meskipun kejayaan telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak bertahan
lebih lama, dikarenakan kelamahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya
tekanan dari pihak luar.
Kemunduran Bani
Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor, yakni:
- Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinansti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Mutholib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah. Dan kaum Mawali (non-Arab) yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Bani Umayyah. Mereka orang non-Arab derajatnya dianggap lebih rendah, misalkan ada tunjangan dari negara maka tunjangan mereka harus lebih sedikit dari orang Arab.
- Pada Masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum islam semakin runcing. Perselisian ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan timur lainya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada Masa Bani Umayyah.
- Kelalaian kholifah dalam urusan administratif dan tidak adanya perhatian terhadap tugas-tugas Negara membuat Bani Uamayah sangat tidak disukai. Para pejabatnya banyak yang koruposi, banyak yang mementingkan diri sediri dan akibatnya pemerintahan menjadi lamban dan tidak efisien. Persaingan antar suku yang sudah lama, tidak semakin membaik tetapi malah semakin buruk banyak penentangan dari kaum Syiah yang tidak melupakan tragedi Karbala. Ketidakacuan serta perlakuan kejam terhadap keluarga Nabi, kutukan terhadap khutbah-khutbah dan propaganda anti Bani Ali memeperkuat Bani Umayyah. Kaum Syiah memperoleh simpati rakyat karena kecintaan mereka yang sepenuh hati terhadap keturunan Nabi.
- Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik politik yang terjadi di Masa Ali. Sisa-sisa Syi’ah (Para Pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di Masa awal dan Akhir maupun secara tersembunyi seperti di Masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
- Sistem pergantian Khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi Tradisi Arab, yang lebih menentukan aspek senioritas, pengaturanya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan Anggota keluarga istana.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga
akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya
kekuasaan Orang-orang Bani Abbasiyah yang menjalar-jalar dan membunuh setiap
orang dari Bani Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang
berangsur-angsur melemah. Kekhalifahan sesudahnya dipengaruhi oleh
pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah
diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyah pada Masa Khalifah Marwan bin Muhammad
pada tahun 127 H/744 M, (Khalifah terakhir dari Bani Umayyah).[6]
E. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah.
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer
dimasanya, baik dalam tatanan sosial,
politik, ekonomi, teknologi,
maupun sosial kebudayaan. Berikut
Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Dinasti Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara
lain:
Bidang Politik : Bani Umayyah menyusun tata
pemerintahan yang sama sekali baru, untuk memenuhi tuntutsn perkembangan
wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin kompleks. Selain mengangkat
Majelis Penasehat sebagai pendamping, Khalifah Bani Umayyah dibantu oeh
beberapa orang sekertaris untuk membantu pelaksanaan tugas, yang meliputi :
1. Katib Ar-Rasa’il, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
administrasi dan surat-menyurat dengan para pembesar setempat.
2. Katib Al-Kharraj, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
penerimaan dan pengeluaran negara.
3. Katib Al-Jundi, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
berbagai hal yang berkaitan dengan ketentraman.
4. Katib Asy-Syurtah, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum.
5. Katib Al-Qudat, sekertaris yang bertugas menyelenggarakan
tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat.[7]
Bidang Sosial Budaya : Bani Umayyah telah membuka
terjadinya kontak antar bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri
taklukan yang terkenal memiliki tradisin yang luhur seperti ; Persia, Mesir,
Eropa, dan sebagainya. Hubungan tersebut lalu melahirkan kreatifitas baru yang
menakjubkan dibidang seni dan ilmu pengetahuan. Di Bidang Seni terutama seni
bangunan (arsitektur), Bani Umayyah mencatat suatu pencapaian yang gemilang,
seperti Home Of The Rock (Qubah
Ash-Shakhra) di Yerussalem menjadi monumen terbaik yang hingga kini tak
henti-hentinya dikagumi orang. Perhatian terhadap seni sastra juga meningkat
dizaman ini, terbukti dengan lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Al-Ahtal, Farazdag, Jurair, dll.
Pada masa itu Abul Aswad Ad-Duali (w. 681 M/62 H) Ulama’ (Bukan Sahabat), menyusun
gramatika Arab dengan memberi titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak
bertitik 9 (Wadi’un Nuqod ‘Alal Qulub).
Usaha ini besar artinya dalam mengembangkan dan memperluas bahasa Arab, serta
memudahkan orang membaca, mempelajari, dan menjaga barisan yang menentukan
gerak kata dan bunyi suara serta ayunan iramanya, hingga dapat diketahui
maknanya. Kerajaan inipun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu
pengetahuan dengan mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen
Mesir).[8]
Sudah ada titiknya tapi masih banyak orang non-Arab yang masih belum bisa
membaca, maka Imam Kholil bin Ahmad Al-Farohidi membuat Sakl, Fathah, kasroh, dhommah, fathahtein, sukun,dll, (w. 165 H).
Abu ‘Ubaid Qosim bin Salam (w. 224 H), membuat Tajwid.
Dalam Bidang Peradaban Dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih
luas ke arah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan,
dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa
kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai
berikut:
1. Pengembangan Bahasa Arab.
Para Penguasa Dinasti Umayyah
telah menjadikan Islam sebagai Daulah (Negara), kemudian dikuatkanya dan
dikembangkanlah Bahasa Arab dalam wilayah Kerajaan Islam. Upaya tersebut
dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai Bahasa Resmi dalam tata usaha
negara dan pemerintah sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan
bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia di
daerah-daerah bekas jajahan mereka dan di Persia sendiri.
2. Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu.
Dinasti Umayyah juga mendirikan
sebuah Kota kecil sebagai pusat kegiatan IlmuPengetahuan dan Kebudayaan. Pusat
kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus.
Di Kota Marbad inilah berkumpul para pejangga, filsuf, ulama, penyair, dan
cendikiawan lainya, sehingga kota ini diberi gelar Ukadz-nya Islam.
3. Ilmu Qiraat.
Ilmu Qiraat adalah ilmu seni baca
Al-Qur’an. Ilmu Qiraat merupakan ilmu Syariat tertua, yang telah dibina sejak
Zaman Khulafaur Rasyidin. Kemudian pada Masa Dinasti Umayyah dikembangluaskan
sehingga menjadi Cabang ilmu Syariat yang sangat penting. Pada masa ini lahir
para Ahli Qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin
Abi Nujud (w. 127 H).
4. Ilmu Tafsir.
Untuk memahami Al-qur’an sebagai
kitab Suci diperlukan interprestasi peahaman secara komprehensif.
5. Ilmu Hadits.
Ketika Kaum Muslimin telah
berusaha memahami Al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang juga sangat mereka
butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut Hadits. Oleh karena itu
timbullah usaha untuk mengumpulkan Hadits, menyelidiki asal-usulnya, sehingga
akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan Ilmu Hadits.
Diantara para Ahli Hadits pada Masa Dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman
bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan
Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil (w. 104 H).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memanggil salah satu orang yang bernama Shihabuddin
Romahurmuuzi, untuk membuat ilmu yang digunakan untuk menyeleksi Hadits,
namanya : ilmu Mustholahul Hadits,
6. Ilmu Fiqh.
Setelah Islam menjadi Daulah,
maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi
pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah. Mereka kembali kepada Al-Qur’an
dan Hadits dan mengeluarkan Syariat dari kedua sumber tersebut untuk mengatur
pemerintahan dan memimpin rakyat. Al-qur’an adalah dasar Fiqh Islam, dan pada
zaman ini ilmu Fiqh telah menjadi satu cabang ilmu Syariat yang berdiri
sendiri. Diantara ahli Fiqh yang terkenal adalah Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin
Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah, dan Kharijah.
7. Ilmu Nahwu.
Pada Masa Dinasti Umayyah karena
wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu
Nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang Ajam (Non-Arab) yang masuk Islam,
sehingga keberadaan Bahasa Arab sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
dibukukanlah ilmu Nahwu dan berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk
mempelajari berbagai ilmu Agama Islam.[9]
Contoh, membaca : Innallaha barii’um minal musyriki wa
Rosuulih, (Salah), yang artinya: “sesungguhnya
Allah tidak melindungi orang Musyrik dan tidak melindungi Rosulullah”. Yang benar: “Innallaha Barii’um minal Musyriki wa
Rosuuluh”, yang artinya: sesungguhnya Allah tidak melindungi Orang Musyrik,
dan Rosulullah pun tidak melindungi (Kata:
wa Rosuuluh).
8. Ilmu Jughrafi dan Tarikh.
Jughrafi dan Tarikh pada Masa
Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu
Tarikh (ilmu Sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya.
Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh
menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu Jughrafi (Ilmu Bumi atau Geografi),
demikian pula ilmu tarikh. Ilmu Jughrafi dan Ilmu Tarikh lahir pada masa
Dinasti Umayyah, barulah berkembang menjadi suatu ilmu yang betul-betul berdiri
sendiri pada masa ini.
9. Usaha Penerjemahan.
Untuk kepentingan pembinaan
Dakwah Islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah dimulai pula penerjemahan buku-buku
ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian,
jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru
berkembang secara pesat pada zaman Dinasti Abbasiyah. Adapun yang mula-mula
melakukan usaha penerjemahan yaitu Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang
sangat cerdas dan ambisius.
-
Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap
dengan peralatannya di sepanjang jalan.
-
Menertibkan angkatan bersenjata. Masa
pemerintahan Muawiyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan
dalam negeri dengan membasmi para pemberontak.
-
Muawiyah
bin Sufyan berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya mencapai
kemakmuran dan kekayaan yang melimpah.
-
Pencetakan mata uang oleh Abdul
Malik, mengubah mata uang Byzantium
dengan Persia yang dipakai di
daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M
dengan memakai kata dan tulisan Arab.
-
Jabatan khusus bagi seorang Hakim (
Qodli) menjadi profesi sendiri.
-
Keberhasilan kholifah Abdul Malik
melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan
memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid
Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras dan berkemampuan
melaksanakan pembangunan.
-
Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat
dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara pada
waktu itu.
-
Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan satu daerah dengan daerah
lainnya.
-
Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang
megah.
-
Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu (Abu
Aswat Ad-du’aili), Sharaf, Balaghah, bayan,
badi’, Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan
orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam
rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-qur’an
dan As-sunnah).
Pada masa Bani Umayah ini merupakan
peletak dasar pembangunan peradaban Islam yang nanti pada masa Bani Abasiyah merupakan puncak dari peradaban
Islam. Pada masa Bani Umayah Ilmu
Naqliyah mulai berkembang. Perkembangan yang lebih menonjol adalah ilmu tafsir dan ilmu hadist. Khalifah Umar Bin Abdul Azis sangat menaruh
perhatian yang besar kepada pengumpulan Hadist.
Pengumpulan hadist dilaksanakan oleh ‘Asim
al-Anshari. Pada masa ini muncul
ahli-ahli hadist seperti Abu bakar Muhammad bin Muslim bin Abdillah
al-Zuhri dan Hasan Basri.
Disamping itu muncul pula ilmu tata
bahasa Arab (Nahwu), Sibaweih menyusun Kitab tersebut untuk mempelajari bahasa Arab bagi
orang yang tidak mengerti bahasa Arab. Ini muncul karena wilayah Islam telah
berkembang ke luar Jazirah Arab.
Orang belum mengenal bahasa Arab,
apalagi khalifah Abdul Malik bin
Marwan mengerakkan Politik
Arabisasi.
Ilmu
Aqliyah pada masa ini mulai dikenalkan. Khalifah Muawiyah memerintahkan supaya
diterjemahkan karya-karya Bangsa
Grek (Yunani) yang mengandung bermacam-macam ilmu.
Dengan demikkian orang Islam pada masa ini mulai mengetahui ilmu kedokteran, ilmu Kalam, Seni bangun dan
sebagainya. Ilmu Aqliyah
pada masa Khalifah Muawiyah baru bertingkat
permulaan dan pengenalan. Tingkat perkembangan adalah pada masa khalifah Abdul Malik.[10]
Salah satu
kemajuan yang paling menonjol pada masa pemerintahan dinasti Bani Umayyah
adalah kemajuan dalam system militer. Selama peperangan melawan kakuatan musuh,
pasukan arab banyak mengambil pelajaran dari cara-cara teknik bertempur
kemudian mereka memadukannya dengan system dan teknik pertahanan yang selama
itu mereka miliki, dengan perpaduan system pertahanan ini akhirnya kekuatan
pertahanan dan militer Dinasti Bani Umayyah mengalami perkembangan dan kemajuan
yang sangat baik dengan kemajuan-kemajuan dalam system ini akhirnya para
penguasa dinasti Bani Umayyah mampu melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke
Eropa.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Fuad Mohd Fachrudin. 1985. Perkembangan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ibnu Hisyam, 1937. Sirah
Ibnu Hisyam, Jilid IV. Mesir: Matba’ah Mustafa Al-Babi Al-Halabi wa
Auladuh.
Jalaludin As-Suyuti. 1979. Kitab Khulashotul Nuril Yaqin-45 Jilid Wa Tarikh Al-Khulafa. Beirut:
Darul Fikr.
Jurji Zaidan. 1999. Tarikh
Adab Lughah Al-Arabiyah, Jilid II, Cairo: Darul Hilal.
Kitab
Al-Kaamil Fit-taarikh lil Imam Ibnil Atsiir-13 jilid, wa Tarikh Ibnu Kholdun-14
Jilid, Tariikhul Umaamil wal Muluk li Abii ja’far Ibni At-thobari-10 Jilid,
Mas’ud, Abdurrahman. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH Press.
Mufrodi, Ali, 1997. Islam
di Kawasan Arab, Jakarta:
Logos.
Syalabi, Ahmad. 1983. Sejarah
dan Kebudayaan Islam/ Tariikhul Hadhoroh Islamiyah, Jilid II, Jakarta:
Pustaka Al-Husna.
Yatim, Badri. 1993. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
[1]
Ahmad Al-Usyairi, Sejarah Islam sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar, 2006, hal.181
[2]
Abd Chair, Dkk, Ensklopedi Tematis Dunia Islam.
(Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoseve, 2003) h. 67
[3]
Dr. Ali Mufrodi, Islam dan Kawasan
Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997)Hal. 73.
[4]
Hassan Ibrahim Hassan, op. Cit., 91
[5]
Prof.
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983)Hal. 124-139.
[6]
Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah
Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 2000)Hal. 48-49.
[7]
Joesoef Soe’yb, Sejarah Daulat
Umayyah I, Jakarta: Bulan Bintang, hal. 234. [8] Dr.
Fuad Mohd. Fachrudin. Perkembangan
Kebudayaan Isam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985. Hal 46.
[9] Kitab
Al-Kaamil Fit-taarikh lil Imam Ibnil Atsiir-13 jilid, wa Tarikh Ibnu Kholdun-14
Jilid, Tariikhul Umaamil wal Muluk li Abii ja’far Ibni At-thobari-10 Jilid,
[10]
Jurji Zaidan, Tarikh Adab Lughah
Al-Arabiyah, jilid II, Cairo: Darul Hilal, hal. 236-259.
makasih ya....
BalasHapusMakasih kawan
BalasHapusajibb banget min tulisannya
BalasHapusGw ganteng
BalasHapus