“ GHULUW DALAM SYARI’AH ”
(Muslim
Pembuat/Pengamal Bid’ah Dan Muslim Fasiq/Pendosa)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ghuluw dalam Syari’ah.
Ghuluw, dalam bahasa
Arab bermakna: berlebihan,
naik, atau
melampaui batas.[1] Dalam terminologi syariat, ghuluw bermakna
berlebih-lebihan dalam suatu perkara dan bersikap ekstrem padanya dengan melampaui batas yang telah disyariatkan.[2]
Ghuluw secara umum terbagi menjadi
dua macam: ghuluw dalam hal aqidah (keyakinan) dan ghuluw dalam hal amalan.[3] Rinciannya sangat banyak. Di antaranya
ghuluw dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, adat (kebiasaan), suluk (budi
pekerti), ghuluw terhadap sosok tertentu, terhadap pepohonan, bebatuan,
tempat-tempat (yang dikeramatkan), kubur-kubur, dan lain sebagainya.[4] Adapun ijtihad yang bermakna
bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kebenaran, tidak termasuk dari ghuluw. Kecuali jika maksud dari ijtihad tersebut
adalah berbanyak-banyakan dalam ketaatan di luar batas yang telah disyariatkan,
maka bisa termasuk ke dalam ghuluw.[5]
Banyak
sekali dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah yang memperingatkan dan mengharamkan
ghuluw atau sikap melampaui batas tersebut. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". [al-Mâ`idah/5:77]
Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs
Radhiyallahu anhu, dia berkata: "Pada
pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berada di atas kendaraan, beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa
buah batu untukku!” Maka
aku pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan digunakan melontar
jumrah. Kemudian beliau berkata:
أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.”
أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.”
- Beberapa istilah untuk sikap (berlebih-lebihan) dalam agama.
Ada beberapa
ungkapan lain yang digunakan oleh syariat selain ghuluw ini, di antaranya:[6]
1. Tanaththu’ (Sikap Ekstrem).
`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakalah orang-orang yang
ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”
2. Tasyaddud
(Memberat-Beratkan Diri).
Anas
bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
"Janganlah
kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan
memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu
Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu
saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan
rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas
mereka."
Dalam hadits
lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ الدِّيْنَ إِنَّ
"Sesungguhnya agama ini mudah.
Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia
pasti kalah (gagal)."
3. I’tidâ’ (Melampaui Ketentuan
Syariat).
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [al-Baqarah/2:190].
Dalam
ayat lain Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا
“Itulah batasan-batasan hukum Allah, maka janganlah kalian melampauinya.” [al-Baqarah/2:187]
4. Takalluf (Memaksa-Maksa Diri).
Allah Azza wa
Jalla berfirman:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad):
"Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku
termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” [Shâd/38:86].
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu
ia berkata, “Kami dilarang bersikap takalluf
(memaksa-maksa diri).”
- Sebab munculnya sikap ghuluw.
Sebab-sebab
munculnya sikap ghuluw ini bermacam-macam, di antaranya:
1. Kebodohan dalam agama. Ini meliputi
kebodohan terhadap tujuan inti syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta
kebodohan dalam memahami nash-nash al-Qur'ân dan Sunnah. Sehingga kita lihat
sebagian pemuda yang memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan
ilmunya terjebak dalam sikap ghuluw ini.
2. Taqlîd
(ikut-ikutan). Taqlîd hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk
di antaranya adalah mengikuti secara membabi-buta adat istiadat manusia yang
bertentangan dengan syariat Islam serta mengikuti tokoh-tokoh adat yang
menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam agama yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat berpangkal dari sebab ini.
3. Mengikuti hawa nafsu. Timbangan hawa
nafsu ini adalah akal dan perasaan. Sementara akal dan perasaan tanpa bimbingan
wahyu akan bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.
4. Berdalil dengan hadits-hadits lemah dan
palsu. Hadits-hadits lemah dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum
syar’i. Dan pada umumnya hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat
bertujuan menambah semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan
sesat.
B. Muslim Pembuat/Pengamal Bid’ah.
Muslim pembuat ataupun Pengamal Bid’ah, merupakan Orang
yang teralau berlebih-lebihan dalam beragama (Syari’at). Perbuatan Ghuluw ini
salah satu perbuatan yang melampaui batas bagi diri seorang Muslim. Karena
dalam beramal/bersyari’at selalu
mengadakan/membuat perkara baru yang tidak pernah dibuat oleh Nabi Muhammad
SAW.
Dalam pembahasan ini, ada Pendapat yang menyatakan bahwa
perbuatan Ghuluw yang ini ada 2
Kategori.
Berikut
perkataan Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah
selengkapnya
ﺍَﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ
ﺑِﺪْﻋَﺘَﺎﻥِ : ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩَﺓٌ ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٌ, ﻓَﻤَﺎ
ﻭَﺍﻓَﻖﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩٌ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻡٌ
”Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah
yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan
semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.” (HR.
Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/113).
Semakna
dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i
(1/469) bahwa beliau berkata:
َﻟْﻤُﺤْﺪَﺛَﺎﺕُ
ﺿَﺮْﺑَﺎﻥِ : ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﺃَﻭْ ﺳُﻨَّﺔً ﺃَﻭْ ﺃَﺛَﺮًﺍ
ﺃَﻭْﺇِﺟْﻤَﺎﻋًﺎ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﺑِﺪْﻋَﺔُ ﺍﻟﻀَّﻼَﻝِ, ﻭَﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻻَ
ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٍ
“Perkara yang
baru ada dua bentuk: (Pertama) Apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau
sunnah atau atsar atau ijma’, inilah
bid’ah yang sesat. Dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan
yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru
yang tidak tercela”.
Dari pernyataan diatas, menyatakan bahwa pelaku Bid’ah
yang tercela (Bid’ah Dholalah) merupakan salah satu penyakit dari diri seorang
muslim (Patologi Muslim).
Bid’ah berarti Ikhtira’
yaitu segala sesuatu yang belum pernah terjadi pada masa Rosulullah.
Ibadah
ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat.
Sikap
ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama adalah sikap yang
tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan
bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan.
Terlebih lagi dalam urusan agama.
Rosulullah, Sahabat dan orang-orang yang mengikuti ajaran
mereka telah memperingatkan kaumnya untuk tidak menciptakan Bid’ah (sesuatu
yang baru dalam urusan Agama).
C. Muslim Fasiq/Pendosa.
Orang
fasiq adalah orang yang melakukan dosa besar dan tidak bertaubat darinya, atau
orang yang melakukan dosa kecil secara terus menerus.
Dalam Patologi
Muslim, seorang fasiq merupakan salah satu yang ada didalamnya. Karena fasiq
merupakan satu hal penyakit yang terkadang dimiliki oleh seorang Muslim.
Ada dua kategori
mungkin, yaitu mukmin saleh dan mukmin fasiq. Mukmin saleh adalah mukmin yang
taat menjalankan semua perintah Allah, dan menjauhi semua larangan-Nya dengan
penuh keikhlasan. Sedang orang mukmin fasiq adalah oarang yang suka melanggar
hukum-hukum Allah padahal ia mengimaninya. Menurut Al-Qur`an, ada tiga
ciri-ciri utama orang yang fasiq, yaitu sebagai berikut :
Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang
yang fasiq, (yaitu) orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah
Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada
mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka
Itulah orang-orang yang rugi.
Penjelasan dari firman Allah Swt diatas adalah sebagai
brikut :
- Melanggar (membatalkan) janji; terutama janji mereka terhadap Allah, yaitu ikrar dua kalimat syahadat, sebagai ikatan perjanjian mereka dengan Allah untuk senantiasa akan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta menaati semua peraturan-Nya sejalan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah.
- Memutuskan ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang sudah diikat oleh tali akidah. Akibatnya, mereka tidak pernah peduli lagi dengan apasaja yang dialami umat islam.[7]
- Karena ikatan akidahnya yang sudah longgar, semua perbuatannya selalu bernuansa merusak islam, bahkan menjadi penyebab kerusakan dibumi bahkan dalam segala aspek kehidupan.
Oleh karena itu, setiap pribadi fasiq ini harus selalu di
waspadai, karena mereka akan selalu menularkan penyakitnya pada orang-orang
saleh.
Jika seorang mukmin membrikan cintanya kpada orang-orang
fasiq, akan timbul akibat-akibat berikut :
1.
Secara
tidak langsung ia sudah termasuk golongan orang yang fasiq karena berserikat
dalam kemaksiatan, meskipun ia tidak melakukannya. Rasulullah Saw bersabda:
من اعان علي معصية ولو بشطر كلمة كان شريكا فيها
“ Barang siapa membantu suatu kemaksiatan, walaupun hanya dengan satu patah
kata, maka dia (ikut) bersama-sama (dalam) kemaksiatan itu.“
Padahal
sekecil apapun maksiat, seorang mukmin bertanggung jawab untuk meluruskannya;
bukan malah memberi dukungan.
1.
Secara
tidak disadari ia ikut memusuhi Allah, Rasulullah Saw bersabda:
لاتقولواللمنافق سيدفانه ان تك سيدا فقد اسخطتم الله
“ janganlah kamu sebut-sebut orang munafik (fasiq)
sebagai tuan. Jika kamu menjadikannya benar-benar jadi tuan (dalam keduniaan),
berarti kamu sudah (ikut) membenci Allah. “ (Hadis).
Orang-orang fasiq yang jadi pemimpin atau pembesar,
tidaka akan mengajak bawahan dan masyarakatnya kejalan yang benar dan diridhoi
Allah.
2.
Menjerumuskan
diri dalam azab dunia dan akhirat. Allah berfirman:
١١٣. وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ
فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللّهِ مِنْ أَوْلِيَاء ثُمَّ لاَ
تُنصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang zalim[740] yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan
sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah,
kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”(Q.S. Hud, 113)
Sikap
tercela ini muncul disebabkan oleh hal-hal berikut :
- Cinta dunia yang menyeret sesorang memberikan cinta dan loyalitasnya kepada orang-orang fasiq yang menjadi penguasa dalam hal dunianya.
- Ketahanan iman dan takwa yang sangat lemah.
- Pengaruh dominasi orang-orang fasiq atas diri sesorang yang begitu kuat sehingga dia tepengaruh.
Adapun
cara untuk menylamatkan diri dari penyakit ini diantaranya sebagai berikut:
- Sejak dini anak-anak harus dikenalkan dengan figur-figur saleh dan mengidolakannya serta diberi bimbingan untuk mengikuti bimbingan-bimbingannya.
- Melatih hati ini ntuk dapat mencintai dan membenci seseorang atas dasar karena Allah.
- Senantiasa berusaha mengingkari sekecil apapun kegiatan mumgkar, meskipun belum mampu mengubahnya, sehingga tidak timbul simpati pada orang-orang fasiq yang menjadi pelakunya.
- Patalogi Muslim dalam Lingkup Fiqih.
- Fiqih Muamalah.
Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan
berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa
keyakinan maupun perbuatan.[8]
Muamalah adalah
secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau
saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling
berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan,
perdata dsb).
Contoh Fiqih Mu’amalah: Jual-Beli.
Dalam Kategori Patologi Muslim mengadakan sesuatu yang
baru (Bid’ah) yang tercela/melanggar etika jual-beli yang diajarkan Islam, ini
disebut orang fasiq.
- Fiqih Ubudiyah.
Fiqih Ubudiyah,
secara Harfiah bermakna Ibadah. Dalam Patologi ,uslim, Fiqih Ubudiyah ini
meliputi sesuatu perkara yang salah dalam beribadah. Baik Sholat, Puasa, Haji,
dll, yang tidak sesuai dengan Syari’at Islam.
Ini termasuk
Bid’ah/mengadakan dan membuat hal yang baru dalam ibadah yang berlebih-lebihan
(Ghuluw) yang tercela. Perbuatan ini juga termasuk perbuatan orang Fasiq/orang
yang berpenyakit dalam Agama (Patologi Muslim).
- Fiqih Munakahah.
Secara, harfiah Munakahah, terambil dari kata “Nakaha” dalam bahasa arab, yang artinya
Nikah.
Secara terminologi,
Fiqih Munakahah. Berarti Fiqih dalam lingkup pernikahan.
Ada beberapa hal
yang termasuk bid’ah syi’ah dalam nikah, yang mana itu termasuk Patologi
Muslim, yang ada pada diri Muslim. Seperti Mandi
Bunga 7 rupa dalam budaya Jawa,
dll.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Hasan, Ali `Abdil Hamîd. 1987. Mawâridul
Amân al-Muntaqâ min Ighâtsatil Lahfân, Jakarta: Pustaka Jaya.
As-Syuyuti, Imam, Asbab
al-Nuzul, Egypt: Dar al-Ghadd al-Gadid, 2002
Syarbani,
Muhammad al-Khatib asy. 1998. Mughni
al-Muhtaj. Surabaya: al-Hidayah.
Husaini,
Ibrahim bin Muhammad. 1991. Al-bayan wa
Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis as-Syarif. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi.
Zuhdi, Achmad.
2007. Fiqih Moderat. Surabaya: PT.
Al-Mawardi Prima.
Qasimi,
Jamaluddin. 2005. Bid’ah dalam Syari’at. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Abd. Al-Salam,
Muhammad Ahmad. 2003. Ghuluw dalam
Syari’at Islam. Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya.
[1]
(Al-Mu’jamul Wasith, 2/232.
Lihat pula Ash-Shihah, 2/24, dan Lisanul Arab, 15/131)
[2] (Lihat Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
t, 13/291 dan I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, 1/479)
[3] (Lihat
Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, 1/253)
[4] (Lihat
Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin t, 1/234, I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, 1/480)
[5]
(Al-Qaulul Mufid Ala
Kitabit Tauhid, 1/244)
[6] Muhammad Ahmad Abd. Al-Salam. Ghuluw dalam Syari’at Islam. (Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya.
2003)
[7] Husaini, Ibrahim bin Muhammad. Al-bayan wa Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis as-Syarif. (Beirut: Dar
al-Kutub al-Arabi, 1991)Hal. 56-58
[8] Syarbani, Muhammad al-Khatib asy, Mughni al-Muhtaj. (Surabaya: al-Hidayah, 1998).Hal. 15-20
0 komentar:
Posting Komentar