Sabtu, 14 Juni 2014

GHULUW DALAM SYARI’AH

Standard

GHULUW DALAM SYARI’AH ”
(Muslim Pembuat/Pengamal Bid’ah Dan Muslim Fasiq/Pendosa)
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Ghuluw dalam Syari’ah.
    Ghuluw, dalam bahasa Arab bermakna: berlebihan, naik, atau melampaui batas.[1] Dalam terminologi syariat, ghuluw bermakna berlebih-lebihan dalam suatu perkara dan bersikap ekstrem padanya dengan melampaui batas yang telah disyariatkan.[2] 
Ghuluw secara umum terbagi menjadi dua macam: ghuluw dalam hal aqidah (keyakinan) dan ghuluw dalam hal amalan.[3] Rinciannya sangat banyak. Di antaranya ghuluw dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, adat (kebiasaan), suluk (budi pekerti), ghuluw terhadap sosok tertentu, terhadap pepohonan, bebatuan, tempat-tempat (yang dikeramatkan), kubur-kubur, dan lain sebagainya.[4] Adapun ijtihad yang bermakna bersungguh-sungguh untuk mendapatkan kebenaran, tidak termasuk dari ghuluw. Kecuali jika maksud dari ijtihad tersebut adalah berbanyak-banyakan dalam ketaatan di luar batas yang telah disyariatkan, maka bisa termasuk ke dalam ghuluw.[5]
Banyak sekali dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah yang memperingatkan dan mengharamkan ghuluw atau sikap melampaui batas tersebut. Allah Azza wa Jalla berfirman:

  Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". [al-Mâ`idah/5:77]
Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, dia berkata: "Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas kendaraan, beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah batu untukku!” Maka aku pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan digunakan melontar jumrah. Kemudian beliau berkata:

أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

“Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.”
  • Beberapa istilah untuk sikap (berlebih-lebihan) dalam agama.
Ada beberapa ungkapan lain yang digunakan oleh syariat selain ghuluw ini, di antaranya:[6]
1.     Tanaththu’ (Sikap Ekstrem).
`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”
2.     Tasyaddud (Memberat-Beratkan Diri).
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
"Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka."
Dalam hadits lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ
الدِّيْنَ إِنَّ
"Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)."
3.    I’tidâ’ (Melampaui Ketentuan Syariat).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
[al-Baqarah/2:190].
Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا

“Itulah batasan-batasan hukum Allah, maka janganlah kalian melampauinya.” [al-Baqarah/2:187]
4.    Takalluf (Memaksa-Maksa Diri).
Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” [Shâd/38:86].
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami dilarang bersikap takalluf (memaksa-maksa diri).”
  •   Sebab munculnya sikap ghuluw.
Sebab-sebab munculnya sikap ghuluw ini bermacam-macam, di antaranya:
1.  Kebodohan dalam agama. Ini meliputi kebodohan terhadap tujuan inti syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta kebodohan dalam memahami nash-nash al-Qur'ân dan Sunnah. Sehingga kita lihat sebagian pemuda yang memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan ilmunya terjebak dalam sikap ghuluw ini.
2.  Taqlîd (ikut-ikutan). Taqlîd hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti secara membabi-buta adat istiadat manusia yang bertentangan dengan syariat Islam serta mengikuti tokoh-tokoh adat yang menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam agama yang berlaku di tengah-tengah masyarakat berpangkal dari sebab ini.
3.    Mengikuti hawa nafsu. Timbangan hawa nafsu ini adalah akal dan perasaan. Sementara akal dan perasaan tanpa bimbingan wahyu akan bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.
4.   Berdalil dengan hadits-hadits lemah dan palsu. Hadits-hadits lemah dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Dan pada umumnya hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat bertujuan menambah semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan sesat.

B.           Muslim Pembuat/Pengamal Bid’ah.
Muslim pembuat ataupun Pengamal Bid’ah, merupakan Orang yang teralau berlebih-lebihan dalam beragama (Syari’at). Perbuatan Ghuluw ini salah satu perbuatan yang melampaui batas bagi diri seorang Muslim. Karena dalam beramal/bersyari’at selalu mengadakan/membuat perkara baru yang tidak pernah dibuat oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembahasan ini, ada Pendapat yang menyatakan bahwa perbuatan Ghuluw yang ini ada 2 Kategori.
Berikut perkataan Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah selengkapnya
ﺍَﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﺑِﺪْﻋَﺘَﺎﻥِ : ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩَﺓٌ ﻭَﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٌ, ﻓَﻤَﺎ ﻭَﺍﻓَﻖﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺤْﻤُﻮْﺩٌ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﺎﻟَﻒَ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔَ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻡٌ
Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/113).
Semakna dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:
َﻟْﻤُﺤْﺪَﺛَﺎﺕُ ﺿَﺮْﺑَﺎﻥِ : ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ ﺃَﻭْ ﺳُﻨَّﺔً ﺃَﻭْ ﺃَﺛَﺮًﺍ ﺃَﻭْﺇِﺟْﻤَﺎﻋًﺎ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﺑِﺪْﻋَﺔُ ﺍﻟﻀَّﻼَﻝِ, ﻭَﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻻَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬَﺬِﻩِ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٍ
“Perkara yang baru ada dua bentuk: (Pertama) Apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.
Dari pernyataan diatas, menyatakan bahwa pelaku Bid’ah yang tercela (Bid’ah Dholalah) merupakan salah satu penyakit dari diri seorang muslim (Patologi Muslim).
Bid’ah berarti Ikhtira’ yaitu segala sesuatu yang belum pernah terjadi pada masa Rosulullah.
Ibadah ghairu mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat.
Sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama adalah sikap yang tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam urusan agama.
Rosulullah, Sahabat dan orang-orang yang mengikuti ajaran mereka telah memperingatkan kaumnya untuk tidak menciptakan Bid’ah (sesuatu yang baru dalam urusan Agama). 

C.          Muslim Fasiq/Pendosa.
Orang fasiq adalah orang yang melakukan dosa besar dan tidak bertaubat darinya, atau orang yang melakukan dosa kecil secara terus menerus.
Dalam Patologi Muslim, seorang fasiq merupakan salah satu yang ada didalamnya. Karena fasiq merupakan satu hal penyakit yang terkadang dimiliki oleh seorang Muslim.
Ada dua kategori mungkin, yaitu mukmin saleh dan mukmin fasiq. Mukmin saleh adalah mukmin yang taat menjalankan semua perintah Allah, dan menjauhi semua larangan-Nya dengan penuh keikhlasan. Sedang orang mukmin fasiq adalah oarang yang suka melanggar hukum-hukum Allah padahal ia mengimaninya. Menurut Al-Qur`an, ada tiga ciri-ciri utama orang yang fasiq, yaitu sebagai berikut :

Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasiq, (yaitu) orang-orang yang melanggar Perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.

Penjelasan dari firman Allah Swt diatas adalah sebagai brikut :
  1. Melanggar (membatalkan) janji; terutama janji mereka terhadap Allah, yaitu ikrar dua kalimat syahadat, sebagai ikatan perjanjian mereka dengan Allah untuk senantiasa akan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta menaati semua peraturan-Nya sejalan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. 
  2. Memutuskan ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang sudah diikat oleh tali akidah. Akibatnya, mereka tidak pernah peduli lagi dengan apasaja yang dialami umat islam.[7] 
  3. Karena ikatan akidahnya yang sudah longgar, semua perbuatannya selalu bernuansa merusak islam, bahkan menjadi penyebab kerusakan dibumi bahkan dalam segala aspek kehidupan.
Oleh karena itu, setiap pribadi fasiq ini harus selalu di waspadai, karena mereka akan selalu menularkan penyakitnya pada orang-orang saleh.
Jika seorang mukmin membrikan cintanya kpada orang-orang fasiq, akan timbul akibat-akibat berikut :
1.    Secara tidak langsung ia sudah termasuk golongan orang yang fasiq karena berserikat dalam kemaksiatan, meskipun ia tidak melakukannya. Rasulullah Saw bersabda:

من اعان علي معصية ولو بشطر كلمة كان شريكا فيها                                                                           
“ Barang siapa membantu suatu kemaksiatan, walaupun hanya dengan satu patah kata, maka dia (ikut) bersama-sama (dalam) kemaksiatan itu.“
Padahal sekecil apapun maksiat, seorang mukmin bertanggung jawab untuk meluruskannya; bukan malah memberi dukungan.

        1.      Secara tidak disadari ia ikut memusuhi Allah, Rasulullah Saw bersabda:

لاتقولواللمنافق سيدفانه ان تك سيدا فقد اسخطتم الله

“ janganlah kamu sebut-sebut orang munafik (fasiq) sebagai tuan. Jika kamu menjadikannya benar-benar jadi tuan (dalam keduniaan), berarti kamu sudah (ikut) membenci Allah. “ (Hadis).
Orang-orang fasiq yang jadi pemimpin atau pembesar, tidaka akan mengajak bawahan dan masyarakatnya kejalan yang benar dan diridhoi Allah.

     2.      Menjerumuskan diri dalam azab dunia dan akhirat. Allah berfirman:
 ١١٣. وَلاَ تَرْكَنُواْ إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللّهِ مِنْ أَوْلِيَاء ثُمَّ لاَ تُنصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim[740] yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”(Q.S. Hud, 113)

Sikap tercela ini muncul disebabkan oleh hal-hal berikut :
  • Cinta dunia yang menyeret sesorang memberikan cinta dan loyalitasnya kepada orang-orang fasiq yang menjadi penguasa dalam hal dunianya. 
  • Ketahanan iman dan takwa yang sangat lemah. 
  • Pengaruh dominasi orang-orang fasiq atas diri sesorang yang begitu kuat sehingga dia tepengaruh.
Adapun cara untuk menylamatkan diri dari penyakit ini diantaranya sebagai berikut:
  • Sejak dini anak-anak harus dikenalkan dengan figur-figur saleh dan mengidolakannya serta diberi bimbingan untuk mengikuti bimbingan-bimbingannya. 
  • Melatih hati ini ntuk dapat mencintai dan membenci seseorang atas dasar karena Allah. 
  • Senantiasa berusaha mengingkari sekecil apapun kegiatan mumgkar, meskipun belum mampu mengubahnya, sehingga tidak timbul simpati pada orang-orang fasiq yang menjadi pelakunya.
  •    Patalogi Muslim dalam Lingkup Fiqih.
  •    Fiqih Muamalah.
    Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan.[8] 
   Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb).
Contoh Fiqih Mu’amalah: Jual-Beli.
Dalam Kategori Patologi Muslim mengadakan sesuatu yang baru (Bid’ah) yang tercela/melanggar etika jual-beli yang diajarkan Islam, ini disebut orang fasiq.
  • Fiqih Ubudiyah.
Fiqih Ubudiyah, secara Harfiah bermakna Ibadah. Dalam Patologi ,uslim, Fiqih Ubudiyah ini meliputi sesuatu perkara yang salah dalam beribadah. Baik Sholat, Puasa, Haji, dll, yang tidak sesuai dengan Syari’at Islam.
Ini termasuk Bid’ah/mengadakan dan membuat hal yang baru dalam ibadah yang berlebih-lebihan (Ghuluw) yang tercela. Perbuatan ini juga termasuk perbuatan orang Fasiq/orang yang berpenyakit dalam Agama (Patologi Muslim).
  •  Fiqih Munakahah.
Secara, harfiah Munakahah, terambil dari kata “Nakaha” dalam bahasa arab, yang artinya Nikah.
Secara terminologi, Fiqih Munakahah. Berarti Fiqih dalam lingkup pernikahan.
Ada beberapa hal yang termasuk bid’ah syi’ah dalam nikah, yang mana itu termasuk Patologi Muslim, yang ada pada diri Muslim. Seperti Mandi Bunga 7 rupa dalam budaya Jawa, dll.


DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasan, Ali `Abdil Hamîd. 1987. Mawâridul Amân al-Muntaqâ min Ighâtsatil Lahfân, Jakarta: Pustaka Jaya.
As-Syuyuti, Imam, Asbab al-Nuzul, Egypt: Dar al-Ghadd al-Gadid, 2002
Syarbani, Muhammad al-Khatib asy. 1998. Mughni al-Muhtaj. Surabaya: al-Hidayah.
Husaini, Ibrahim bin Muhammad. 1991. Al-bayan wa Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis as-Syarif. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi.
Zuhdi, Achmad. 2007. Fiqih Moderat. Surabaya: PT. Al-Mawardi Prima.
Qasimi, Jamaluddin. 2005. Bid’ah dalam Syari’at. Jakarta: Pustaka Azzam.
Abd. Al-Salam, Muhammad Ahmad. 2003. Ghuluw dalam Syari’at Islam. Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya.
 




[1] (Al-Mu’jamul Wasith, 2/232. Lihat pula Ash-Shihah, 2/24, dan Lisanul Arab, 15/131)
[2] (Lihat Fathul Bari karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t, 13/291 dan I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, 1/479)
[3] (Lihat Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, 1/253)
[4] (Lihat Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, 1/234, I’anatul Mustafid Bisyarhi Kitabit Tauhid, 1/480)
[5] (Al-Qaulul Mufid Ala Kitabit Tauhid, 1/244)
[6] Muhammad Ahmad Abd. Al-Salam. Ghuluw dalam Syari’at Islam. (Surabaya: PT. Karya Pembina Swajaya. 2003)

[7] Husaini, Ibrahim bin Muhammad. Al-bayan wa Ta’rif fi Asbab Wurud al-Hadis as-Syarif. (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1991)Hal. 56-58
[8] Syarbani, Muhammad al-Khatib asy, Mughni al-Muhtaj. (Surabaya: al-Hidayah, 1998).Hal. 15-20

0 komentar:

Posting Komentar