Sabtu, 07 Juni 2014

Eksensial Humanistik

Standard

BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Hakikat Manusia
          Pendekatan eksistensial humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang-orang dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi pertanyaan dasar, kebutuhan yang unik dan menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha membantu individu dalam menghadapi pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan manusia.[1] Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak  bisa  lari  dari  kebebasan  dan  bahwa  kebebasan  dan  tanggung  jawab berkaitan. Pendekatan Eksisteneial Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli.
          Pendekatan terapi eksistensial humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Terapi Eksistensial Humanistik lebih memusatkan perhatian pada pengalaman-pengalaman sadar dan juga lebih memusatkan perhatian pada apa yang dialami pasien pada masa sekarang bukan pada masa lampau. Pada dasarnya terapi Eksistensial memiliki tujuan untuk meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
          Dalam buku Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi oleh Gerald Corey pada tahun 1999, terapi eksistensial juga bertujuan membantu klien menghadapi kecemasan sehubungan dengan pemilihan nilai dan kesadaran bahwa dirinya bukan hanya sekedar korban kekuatan-kekuatan determinisik dari luar dirinya. Terapi Eksistensial memiliki cirinya sendiri oleh karena pemahamannya bahwa tugas manusia adalah menciptakan Eksistensinya yang bercirikan integritas dan makna.
          Gerakan Eksistensial berarti rasa hormat pada seseorang, menggali aspek baru dari perilaku manusia dan metode memahami manusia yang beraneka ragam. Falsafah Eksistensial memberikan landasan bagi pendekatan terapiutik yang memfokuskan pada individu-individu yang terpecah serta bersikap asing antara satu dengan yang lain yang tidak melihat adanya makna dalam lingkungan keluarga serta system sosial yang ada pada waktu itu. Falsafah itu timbul dari keinginan untuk menolong orang dalam mengarahkan perhatian pada tema dalam hidup. Yang diperhatikan adalah orang-orang yang mengalami kesulitan dalam hal mendapatkan makna dari tujuan hidup dan dalam hal mempertahankan identitas dirinya (Holt, 1986).
          Pandangan eksistensial akan sifat manusia ini sebagian dikontrol oleh pendapat bahwa signifikansi dari keberadaan kita ini tak pernah tetap, melainkan kita secara terus menerus mengubah diri sendiri melalui proyek-proyek kita. Manusia adalah makhluk yang selalu dalam keadaan transisi, berkembang, membentuk diri dan menjadi sesuatu. Menjadi seseorang berarti pula bahwa kita menemukan sesuatu dan menjadikan keberadaan kita sebagai sesuatu yang wajar.
Pandangan manusia menurut teori Eksistensial Humanistik:[2]
a)      Filsafat Eksistensialis memandang manusia sebagai indvidu dan merupakan problema yang unik dari Existensi kemanusiaan. Manusia merupakan seorang yang ada, yang sadar dan waspada akan keberadaanya sendiri. Setiap orang menciptakan tujuannya sendiri dengan segala kreatifitasnya, menyempurnakan esensi dan fakta eksistensinya.
b)      Bahwa manusia sebagai makhluk hidup, menentukan apa yang ia kerjakan dan yang tidak ia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Jadi yang pokok adalah apakah seorang berkeinginan atau tidak sebab filsafat Eksistensialis percaya bahwa setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya. Dengan kata lain setiap individu merupakan penentu utama akan tingkah laku dan pengalamannya.
c)      Teori Eksistensial Humanistik mendasar pendapat bahwa manusia tidak pernah statis , ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, untuk menjadi sesuatu ini maka manusia mesti berani menghancurkan pola – pola lama, berdiri pada kaki sendiri dan mencari jalan, kearah manusia yang baru dan lebih besar menuju aktualisasi diri.
d)     Menekankan pada kesadaran manusia, pengalaman personal yang berhubungan dengan Eksistensi dalam dunia orang lain.
Para Ahli Teori Eksistensial Humanistik memiliki pandangan Optimistik terhadap Hakikat Manusia. Mereka meyakini bahwa :
a)      Manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri
b)      Manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, dalam hal ini manusia bukan pion yang diatur sepenuhnya oleh lingkungan
c)      Manusia adalah Mahluk Rasional dan Sadar, tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irrasional, dan Konflik.
          Para Ahli Teori ini juga berpendapat bahwa pandangan manusia tentang dunia bersifat subjektif lebih penting dari realitas Objektif. Psikologi Eksistensial Humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan Eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Psikologi Eksistensial Humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih–alih suatu system teknik–teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Pendekatan terapi eksistensial bukan suatu pendekatan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi–terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep–konsep dan asumsi–asumsi tentang manusia. Teori dan Pendekatan Konseling Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia.
          Terapi Eksistensial Humanistik menekankan kondisi-kondisi inti manusia dan menekankan kesadaran diri sebelum bertindak. Kesadaran diri berkembang sejak bayi.Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan keunikan masing-masing individu. Berfokus pada saat sekarang dan akan menjadi apa seseorang itu, yang berarti memiliki orientasi ke masa depan. Maka dari itu, akan lebih meningkatkan kebebasan konseling dalam mengambil keputusan serta bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang di ambilnya.
Menurut Gerald Corey, ada beberapa konsep utama dari pendekatan Eksistensial Humanistik   yaitu:[3]

1.      Kesadaran diri
          Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk memilih alternative – alternatif yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para Eksistensialis menekankan bahwa Manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan Nasibnya.
2.      Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
          Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab dapat menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati. Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi – potensinya.
3.      Penciptaan Makna
          Manusia itu unik, dalam artian bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Pada hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna dapat menimbulkan kondisi-kondisi keterasingan dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi – potensi manusiawinya sampai taraf tertentu.
Dalil-Dalil Utama Eksistensial Humanistik[4]
·    Dalil  1: Kesadaran diri
          Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari diri yang menjadikannya mampu melampaui situasi sekarang dan membentuk basis bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang khas manusia. “ semakin tinggi kesadaran, maka semakin utuh diri sesorang”.
·    Dalil  2: Kebebasan dan tanggung jawab
          Manusia pada dasarnya adalah bebas, oleh karenanya harus bertanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya sendiri. Manusia adalah Mahluk yang menentukan diri.
·    Dalil 3: Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain
          Individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan dan keterpusatannya, tetapi sekaligus memiliki kebutuhan untuk keluar dari diri sendiri, berhubungan dengan orang lain dan lingkungan.
1.      Keberanian untuk ada.
2.      Pengalaman kesendirian.
3.      Pengalaman keberhubungan.
·    Dalil 4: Pencarian Makna.
          Salah satu  karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya untuk merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian Makna dan identitas Pribadi.
·    Dalil 5: Kecemasan sebagai syarat hidup.
          Kecemasana bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan adalah suatu Karakteristik dasar Manusia. Kecemasan tidak perlu merupakan suatu yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan.
Kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas tanggung jawab untuk memilih.
·    Dalil 6: Kesadaran atas kematian dan Non-ada.
          Kesadaran atas kematian adalah Kondisi manusia yang mendasar yang memberikan makna kepada Hidup. Para Eksistensialis tidak memandang kematian secara negative, menurut mereka, karakteristik yang khas pada manusia adalah kemampuan untuk memahami konsep masa depan dan tak bisa dihindarkannya kematian. Justru kesadaran atas akan terjadinya ketiadaan memberikan makna kepada keberadaan sebab hal itu menjadikan setiap tindakan manusia itu berarti. Para Eksistensialis mengungkapkan bahwa, Hidup menjadi bermakna karena memiliki pembatasan waktu.
·    Dalil 7: Perjuangan untuk aktualisasi diri
          Manusia berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk menjadi apa saja yang mereka mampu.
Setiap Orang memiliki dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecenderungan ke arah pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh.
Konsep dasar menurut Akhmad Sudrajat adalah :
a)      Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
b)      Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri.
c)      Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.
          Menurut Akhmad Sudrajat individu yang salah asuh tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan kata lain, pengalamannya tertekan. Sasaran eksistensial adalah mengembangkan konsep yang komperehensif tentang manusia dan memahami manusia dalam keseluruhan realitas eksistensialnya, misalnya pada kesadaran, perasaan-perasaan, suasana-suasana perasaan, dan pengalaman-pengalaman pribadi individual yang berkaitan dengan keberadaan individualnya dalam dunia dan diantara sesamanya.
      1.      Manusia Sehat
          Pribadi yang sehat menurut pandangan eksistensial-Humanistik yaitu mampu memfungsikan dimensi-dimensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kesadaran bisa berfungsi secara penuh.[5] Ciri-ciri pribadi yang sehat menurut Abraham maslow:[6]

1.  Menerima realitas secara tepat : Orang-orang yang sangat sehat mengamati objek-objek dan orang-orang di dunia sekitarnya secara objektif, teliti terhadap arang lain, mampu menemukan denagn cepat penipuan dan ketidakjujuran. 
2.  Menerima diri dan orang lain apa adanya : Orang-orang yang mengaktualisasikan diri menerima diri mereka. Kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atas kesusahan. 
3.  Bertidak secara spontan dan alamiah, tidak dibuat-buat : Pengaktualisasian diri bertingkah laku secara terbuka dan langsung tanpa berpura-pura. Kita dapat mengatakan bahwa orang-orang ini bertingkah laku secara kodrati yakni sesuai dengan kodrat mereka. 
4.  Memusatkan pada masalah-masalah bukan pada perseorangan : Orang yang mengaktualisasikan diri mencintai pekerjaan mereka dan berpendapat bahwa pekerjaan itu tentu saja cocok untuk mereka. 
5.  Memiliki kekuasaan dan tidak bergantung pada orang lain:Orang-orang yang mengaktualisasikan diri memiliki suatu kebutuhan yang kuat untuk pemisahan dan kesunyian. Mereka tidak tergantung pada orang-orang lain untuyk kepuasan mereka dan dengan demikian mungkin mereka menjauhkan diri dan tidak ramah. Tingkah laku dan perasaan meeka sangatt egosentris dan terarah kepada dir mereka sendiri 
6. Memiliki ruang untuk diri pribadi:Pengaktualisasian diri untuk berfungsi secara otonom terhadap lingkungan social dan fisik. Kepribadian-kepribadian yang sehat dapat berdiri sendiri dan tingkat otonomi mereka yang tinggi menaklukan mereka, agak tidak mempan terhadap krisis atau kerugian. 
7.   Menghargai dan terbuka akan pengalaman-pengalaman dan kehidupan baru:Menghargai pengalaman-pemgalaman tertentu bagaimanapun seringnya pengalaman itu terulang, dengan suatu perasaan kenikmatan yang segar, perasaan terpesona dan kagum. 
8.   Memiliki pengalaman-pengalaman yang memuncak : Dimana orang-orang yang mengaktualisasikan diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang hebat dan meluap-luap, sama seperti pengalaman-pengalaman keagamaan yang mendalam. 
9.  Memiliki identitas sosial dan minat sosial yang kuat : Pengaktualisasian diri memiliki perasaan empati dan afeksi yang sangat kuat dan dalam terhadap semua manusia, juga suatu keinginan untuk membantu kemanusiaan. 
10. Memiliki relasi yang akrab dengan beberapa teman: Mampu mengadakan hubungan yang lebih kuat dengan orang- orang lain daripada orang- orang yang memiliki kesehatan jiwa yang biasa. 
11.Mengarah pada nilai-nilai demokratis: Orang yang sehat membiarkan dan menerima semua orang tanpa memperhatkan kelas social, tingkat pendidikan, golongan politik atau agama, ras, atau warna kulit.mereka sangat siap mendengarkan atau belajar dari dari siapa saja yang dapat mengajarkan sesuatu kepada mereka. 
12.Memiliki nilai-nilai moral yang tangguh: Dapat membedakan dengan jelas antara sarana dan tujuan. Bagi mereka, tujuan atau cita- cita jauh lebih penting daripada sarana untuk mencapainya.mereka juga sanggup membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah. 
13.Memiliki rasa humor yang tinggi 
14. Menemukan hal-hal baru, ide-ide segar, dan kreatif : Kreatifitas merupakan suatu sifat yang diharapkan seseorang dari pengaktualisasi- pengaktualisaasi diri mereka adalah asli, inventif, dan inovatif, meskipun tidak selalu dalam pengertian menghasilkan suatu karya seni. 
15. Memiliki integritas tinggi yang total
     2.      Manusia Tidak sehat
Pribadi yang bermasalah menurut pandangan eksistensial-Humanistik yaitu tidak mampu memfungsikan dimensi-dimensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kesadaran tidak berfungsi secara penuh. Diantaranya ; inkongruen, negatif, tidak dapat dipercaya, tidak dapat memahami diri sendiri, bermusuhan dan kurang produktif.
Ciri-ciri pribadi tidak sehat menurut Abraham Maslow:[7]
1.      Menolak realitas secara tepat
          Kepribadian-kepribadian yang tidak sehat mengamati dunia menurut ukuran-ukuran subyektif mereka sendiri, memaksa dunia untuk mencocokannya dengan bentuk ketakutan-ketakutan, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai.
2.      Menolak diri dan orang lain
          Orang-orang neurotis dilumpuhkan oleh persaan malu atau perasaan salah atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan mereka, begitu di hantui sehingga mereka mengalihkan waktu dan energi dari hal-hal yang lebih konstuktif.
3.      Memiliki rasa humor yang rendah
4.      Memiliki nilai –nilai moral yang rendah
          Orang yang kurang sehat kerapkali bingung atau tidak konsisten dalam hal- hal etis, terombang- ambing, atu berganti-ganti antara benar dan salah menurut keuntungannya.
5.      Memiliki kekuasaan dan bergantung pada orang lain
Orang-orang neuorotis biasanya sangat emosional tergantung pada orang-orang lain untuk kepuasan dimana mereka tidak mampu menghasilkan untuk diri mereka.

       B.     Tokoh-Tokoh Teori Eksistensial Humanistik serta Pemikirannya
          Tokoh-tokoh dari Eksistensial Humanistik antara lain adalah Ludwig Binswanger, Medard Boss, Abraham Malow, Carl H. Rogers, Victor Frankl, Holo May, Bagental, Irvin Yalom, Yourard dan Arbuckle. 
          Diantara para Ahli Teori ini yang dipandang paling berpengaruh adalah: Carl R. Rogers dan Abraham Maslow. Carl Rogers lebih pada Teori Humanistik dan Abraham Maslow lebih menekankan pada Teori Eksistensial Humanistik. Namun, ada pandangan lain yang menyatakan bahwa Rollo May seorang Psikologi Amerika juga merupakan Tokoh Eksistensial Humanistik.[8]
1.      Abraham Maslow
          Abraham Maslow yang terkenal dengan teori aktualisasi diri di lahirkan di  New York pada tahun 1908. Ia meninggal di Calivornia pada tahun1907.Maslow seorang anak yang pandai mejalani hubungan yang baik dengan ibunya yang otoriter yang sering kali melakukan tindakan aneh. Ia menggambarkan dirinya pada masa kecil sebagai seorang yang pemalu, kutu buku dan neurotic. Tetapi, maslow tidak selamanya menjadi neurotic dan benci pada dirinya sendiri. Ia sepenuhnya menyadari potensinya, dan menjadi psikilog humanisme terkenal yang mengispirasi banyak perubahan masyarakat kea rah yang positif.
          Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang: self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya.
          Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan.
          Dari pemikiran Abraham Maslow yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Menurut Maslow, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit”. Pendekatan ini melihat kejadian bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Menurut Maslow hirarkhi kebutuhan manusia ini dapat dikerucutkan menjadi lima kebutuhan. Manurutnya, terdapat lima lapisan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan keamanan, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan untuk mngaktualisasikan diri.[9]
Being Needs

Deficit Needs
2.      Rollo May
          Rollo May lahir pada 21 April 1909 di Ohio, dan dibesarkan di Marine City, Minchingan Amerika Serikat. Ia hidup di tengah sikap anti intelektual dari sang ayah. Ayahnya berkali-kali berkomentar bahwa gangguan fisik yang fialami oleh kakaknya adalah akibat terlalu banyak belajar. Mungkin merasa bahwa pernyataan ayahnya tidak manusiawi dan merusak, iapun membenci penyakit antiintelektualisme, meskipun ia melihat bahwa untuk hal-hal lain ayahnya adalah laki-laki yang sangat simpatik.[10]
          Selepas lulus dari Oberlin College di Ohio, dia menyelesaiakn BA (Bachelar of Arts) atau sarjana muda pada 1930, ia mendapatkan pengalaman unik yang begitu mendalam, yaitu ketilka melihat garis-garis sederhana pada sebuah vas bunga antik dari Yunani yang ada di atas meja pada salah satu runag kelas, ia begitu kagum dengan kesederhanaan dan keindahan garis-garis tersebut sehingga ia bertekad untuk pergi ke Yunani.
          Sepulang dari Yunani dia memutuskan untuk bertemu dengan Alfred di Wina guna mempelajari psikoanalisis. Dia juga bertekad untuk menjadi seorang pendeta, bukan karena benar-benar ingin, tapi hanya ingin sekedar mengungkap jawaban mengapa orang-orang seringkali putus asa dan mengambil tindakan bunuh diri. Selain itu, dia juga ingin mempelajari mengenai kebaranian, kegembiraan, dan intensitas hidup. Dan waktu di Union itu juga, ia berhasil menghasilkan sebuah karya buku yang berjudul The Arta of Counseling. Seketika pada waktu itu juga kedua orangnyapun bercerai
          Di samping itu, ia juga sempat menjadi seorang konselor di sekolah, menteri Paroki Montclair, New Jersey sebelum kembali ke New York untuk belajar psikoanalisis samapi mendapat gelar Ph.D pertama dalam bidang psikiatri. Kehidupan Rollo berubah drastis saat ia terkena TBC, karena belum ditemukannya obat yang mujarab. Selama tiga tahun ia harus beristirahat di Sanatorium TB saranac, bagian utara New York. Namun, dari hal itu ia memaknai bahawa sakit yang dideritanya telah membantunya untuk menghargai akan pentingnya sudut pandang eksistensial sendiri.
          Pandangan pokok Rollo May terhadap individu Manusia adalah bahwa setiap individu mempunyai kesadaran sebagai pusat diri yang subjektif. Atas kesadaran atas diri sendiri itu, membuat individu mengadakan peneguhan terhadap keunikan dan keberadaan-nya. Setiap individu mampu untuk meneguhkan keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.[11]
Kecenderungan wajar individu adalah tumbuh dan berkembang untuk mempertahankan keunikan Eksistensinya, sehingga setiap gangguan terhadap pusat diri dianggap oleh individu sebagai ancaman terhadap eksistensinya yang mendasar itu. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa setiap individu mempunyai sifat memperkuat diri dan mempertahanan dirinya sebagai pusat (centeredness). Dan individu mempunyai kemampuan itu, serta adanya keberanian yang dibarengi kehendak menerima tanggung jawab atas keputusan dan pilihan-pilihanya sendiri.
Beberapa konsep utama yang dikembangkan oleh Rollo May ada sebagai berikut:
1.      Sikap Eksistensial
2.      Keadaan Sulit (Pradicament)
3.      Ketidakberdayaan
4.      Kecemasan
5.      Nilai yang hilang
6.      Menemukan kembali (Rediscovering) Perasaan
7.      Empat tahap kesadaran diri
8.      Tujuan integrasi
9.      The daimonic
10.     Kekuasaan
11.     Cinta dan seks
12.     Intensionalitas
13.      Kebebasan dan Takdir (Destiny)
14.      Keberanian dan kreativitas
15.     Mitos

C.  TEKNIK-TEKNIK EKSISTENSIAL HUMANISTIK
          Menurut pandangan eksistensialis manusia memiliki kesadaran akan dirinya sendiri. Ini merupakan kemampuan yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya yang membuat manusia mengenang dan mengambil keputusan. Dengan kesadaran, manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan tentang cara hidup, dan bertanggung jawab terhadap pilihan yang dibuatnya. Dapat dikatakan bahwa manusialah yang menentukan nasibnya sendiri, dialah sebagai penulis atau pengkreasi atau sebagai arsitek bagi kehidupannya.
Ada beberapa tahapan teknik yang dilakukan oleh konselor eksistensial, antara lain :
1.   Tahap pertama, konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka terhadap dunia. Konseli diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
2.    Pada tahap kedua, konseli didorong agar bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari sistem mereka. Semangat ini akan memberikan konseli pemahaman baru dan restrukturisasi nilai dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
3.   Tahap ketiga berfokus pada untuk bisa melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Konseli didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit. Konseli biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang alat untuk membuat konseli sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab atas penggunaaan kebebasan pribadinya.
          Teori Eksistensial tidak membatasi konselor untuk menggunakan teknik dan invensi tertentu. Teknik dalam pendekatan Eksistensial ini lebih sedikit daripada model konseling lainnya. Pendekatan eksistensial humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat.Prosedur-prosedur terapeutik bisa dipungut dari beberapa pendekatan terapi lainnya. Metode-metode yang berasal dari teori Gestalt dan analisis transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa di integrasikan ke dalam pendekatan eksistensial humanistik. Buku The Search For Authenticity (1965) dari Bugental adalah sebuah karya lengkap yang mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-prosedur psikoterapi eksistensial yang berlandasan model psikoanalitik. Bugental menunjukkan bahwa konsep inti psikoanalisis tentang resistensi dan tranferensi bisa diterapkan pada filsafat dan praktek terapi eksistensial.Yang menggunakan kerangka psikoanalitik untuk menerangkan fase kerja terapi yang berlandaskan konsep-konsep eksistensial seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan, kecemaan eksistensial, dan neurosis eksistensial.[1]
          Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang menempati kedudukan sentral dalam terapi adalah:[2]
  1. Seberapa besar saya menyadari siapa saya ini?
  2. Bisa menjadi apa saya ini?
  3. Bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali identitas diri saya yang sekarang?
  4. Seberapa besar kesanggupan saya untuk menerima kebebasan memilih jalan hidup saya sendiri?
  5. Bagaimana saya mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh kesadaran atas piliha-pilihan?
  6. Sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri saya sendiri?
  7. Apa yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini?
  8. Apa saya menjalani hidup ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya?
  9. Apa yang saya lakukan untuk mebentuk identitas pribadi yang saya inginkan? 

D.     TUJUAN-TUJUAN TERAPEUTIK

Menurut Gerald Corey, (1988:56) ada beberapa tujuan terapeutik yaitu :
a.   Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi – potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Keotentikan sebagai “urusan utama psikoterapi” dan “nilai eksistensial pokok”.
Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik 
1.      Menyadari sepenuhnya keadaan sekarang,
2.      Memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan
3.      Memikul tanggung jawab untuk memilih.

b. Meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
c.  Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar korban kekuatan – kekuatan deterministic di luar dirinya.
Tujuan Konseling menurut Akhmad Sudrajat yaitu :
1.  Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya.
2.  Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.
3.  Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.
4.  Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya. 

E.    PERAN KONSELOR
          Tidak ada aturan yang seragam untuk konselor eksistensial. Setiap klien dianggap unik. Oleh karena itu, konselor peka terhadap semua aspek karakter klien mereka, “seperti suara postur, ekspresi wajah, bahkan pakaian dan gerakan tubuh yang tidak disengaja. Konselor harus terlibat sebagai pribadi yang menyeluruh dengan klien, mengakui bahwa keputusan dan pilihan akhir tereletak di tangan klien, memberi kebebasan kepada klien untuk mengungkapkan pandangan, tujuan, dan nilainya sendiri, mengurangi ketergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.[3]
          Pada dasarnya, konselor berkonsentrasi untuk bersikap autentik terhadap klien dan masuk kedalam hubungan yang lebih dalam dan personal dengannya. “konselor berusaha untuk selalu bersama klien dan memahami serta merasakan kondisi emosi dan mental lainnya.  Untuk melakukan hal ini, konselor perlu mengekspresikan perasaannya sendiri”. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh bagi konselor eksisitensial untuk berbagi pengalaman pribadi dengan klien, guna memperdalan hubungan dan membantu klien untuk menyadari perjuangan dan sisi kemanusiaannya. Buhler dan Allen menyarankan agar konselor eksisitensial memusatkan diri pada hubungan orang yang menekankan kebersamaan, kesatuan, dan pertumbuhan. Konselor yang mempraktekkan logo terapi frankl adalah Socratic dalam berdialog dengan mereka.[4]
          Dalam pandangan eksistensialis, tugas utama dari seorang konselor adalah mengeksplorasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketakberdayaan, keputusasaan, ketakbermaknaan, dan kekosongan eksistensial serta berusaha memahami keberadaan konseli dalam dunia yang dimilikinya. May (1981), memandang bahwa tugas konselor bukanlah untuk merawat atau mengobati konseli, akan tetapi diantaranya adalah membantu konseli agar menyadari tentang apa yang sedang mereka lakukan, dan untuk membantu mereka keluar dari posisi peran sebagai korban dalam hidupnya dalam keberadaanya di dunia.
          Menurt Buhler dan Allen, para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut :
1. Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2. Menyadari dari peran dari tangung jawab konselor.
3.  Mengakui sifat timbal balik dari hubungan konseling.
4.  Berorientasi pada pertumbuhan.
5.  Menekankan keharusan konselor terlibat dengan konseli sebagai suatu pribadi yang menyeluruh.
6.  Mengakui bahwa putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak ditangan konseli.
7.  Memandang konselor sebagai model, dalam arti bahwa konselor dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia bisa secara implisit menunjukkan kepada konseli potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
8.  Mengakui kebebasan konseli untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
9.  Bekerja kearah mengurangi kebergantungan konseli serta meningkatkan kebebasan konseli.
Jika konseli mengungkapkan perasan-perasaannya kepada konselor pada pertemuan konseling, maka konselor sebaiknya bertindak sebagai berikut:
1.    Memberikan reaksi-reaksi pribadi dalam kaitan dengan apa yang dikatakan oleh konseli.
2.    Terlibat dalam sejumlah pernyataan pribadi yang relevan dan pantas tentang pengalaman-pengalaman yang mirip dengan yang dialami oleh konseli.
3.     Meminta kepada konseli untuk bisa mengungkapkan ketakutannya terhadap keharuan memilih dalam dunia yang tak pasti.
4.     Menantang konseli untuk melihat seluruh cara dia menghindari pembuatan putusan-putusan, dan memberikan penilaian terhadap penghindaran itu.
5.     Mendorong konseli untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak mulai konseling dengan bertanya.
6.     Beri tahu kepada konseli bahwa ia sedang mempelajari apa yang dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang khas sebagai manusia. Bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus memutuskan untuk dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan atas ketidakpastian putusan-putusan yang dia buat, dan bahwa dia akan berjuang untuk menetapkan makna kehidupannya di dunia yang sering tampak tak bermakna.
F.    HUBUNGAN ANTARA TERAPIS DAN KLIEN dan BENTUK  MODEL KONSELING
          Hubungan terapeutik sangat penting bagi terapis eksistensial. Penekanan diletakkan pada pertemuan antar manusia dan perjalanan bersama alih – alih pada teknik-teknik yang mempengaruhi klien. Isi pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang, bukan “masalah” klien. Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik difokuskan kepada “di sini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan hanya penting bila waktunya berhubungan langsung[5] (Gerald Corey.1988:61).
-  Pola hubungan :
1.  Hubungan klien adalah hubungan kemanusiaan. Konselor berstatus sebagai partner klien, setara dengan klien sehingga hubungannnya berada dalam situasi bebas tanpa tekanan.
2.  Klien sebagai subjek bukan obyek yang dianalisis dan didiagnosis.
3.  Konselor harus terbuka baik kepribadiannya dan tidak pura – pura.
-  MODEL PENAMPILAN
-    Dimensi I :
1.   Konselor hendaknya selalu menghargai dan menghormati klien apa adanya.
2.   Konselor mampu untuk menjadikan dirinya sebagai alat perubah pribadi klien dengan jalan membuka pengalaman terhadap konsep diri klien.
3.  Menghilangkan kepura – puraan, dan bersifat otentik  
-    Dimensi II :
1.  Konselor memegang kunci bahwa pendekatan terapi berpusat pada pribadi yang difokuskan secara bertanggung jawab.
2.  Konselor menekankan pada sikap klien untuk menerima dan memahami dirinya.
-  MODEL ANALISIS DAN DIAGNOSIS MASALAH
      Model Analisis dan diagnosis masalah sebagai berikut :
1.  Klien mulai sadar dan dapat menemukan alternative tentang pandangan yang riil.
2.   Klien aktif untuk mengetahui penyebab dari kecemasan dan ketakutan.
3.   Klien berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab penuh.
-  MODEL PERAN KONSELING
            Model peran konseling sebagai berikut :
1.   Memahami dunia klien dan membantu klien untuk berfikir dan mengambil keputusan atas pilihannya yang sesuai dengan keadaan sekarang.
2.   Mengembangkan kesadaran, keinsafan tentang keberadaannya sekarang agar klien memahami dirinya bahwa manusia memiliki keputusan diri sendiri.
3.  Konselor sebagai fasilitator memberi dorongan dan motivasi agar klien mampu memahami dirinya dan bertanggung jawab menghadapi reality.
4.      Membentuk kesempatan seluas – luasnya kepada klien, bahwa putusan akhir pilihannya terletak ditangan klien.
          Dalam buku Gerald Corey, May ( 1961 ) memandang tugas terapis diantaranya adalah membantu klien agar menyadari keberadaanya dalam dunia : “Ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia yang mengancam dan sebagai subyek yang memiliki dunia”.
          Frankl ( 1959 ) menjabarkan peran terapis sebagai ”spesialis mata ketimbang pelukis”, yang bertugas memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien sehingga secara keseluruhan dari makna dan nilai – nilai menjadi disadari dan dapat diamati oleh pasien..

F.     Kelebihan Dan Kekurangan Terapi Eksistensial-Humanistik
a) Kelebihan
1.    Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
2.    Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri
3.    Memanusiakan manusia
4.    Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
          Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa

b) Kelemahan
1.    Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
2.    Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas
3.    Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
4.    Memakan waktu lama.




[1] Gerald Corey, Theory and practice of conseling and psychoteraphy, diterjemah oleh E. Kswara, Teori dan praktek konseling dan psikoterapi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2013), h 63
[2]Ibid.,, h 63-64
[3] Dr. Naamora Lumongga Lubis, M.Sc.Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam teori dan praktik. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2011) Hal : 154
[4] WS. Winkel. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Hal: 249
[5] Prof.Dr.Syamsu Yusuf , Teori Kepribadian (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2008)hal.164

[1] Gerald Corey, Teoridan Praktek Konseling&Psikoterapi (Bandung, Revika aditama 2013) hal. 54
[2] Syamsu Yusuf, Juntika Nurihsan. Teori Kepribadian (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2008)hal.142
[3] E. Koswara, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Bandung, PT Refika Aditama, 2007)hal. 54-55
[4] Ibid. hal. 64-80
[7] Ibid.
[8] Sanapiah Faisal dan Andi Mappiare, Dimensi-dimensi Psikologi. (Surabaya: Usaha Nasional, 1998). Hal. 213-214.
[9] Hidayat, Dede Rahmat, Psikologi Kepribadian Dalam Konseling (Bogor, Penerbit Ghalia Indonesia, 2011) hal. 166
[10] Ibid. hal. 190
[11] Sanapiah Faisal dan Andi Mappiare, Dimensi-dimensi Psikologi.Hal. 213-214.

0 komentar:

Posting Komentar