BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Manusia
Pendekatan
eksistensial humanistik menyajikan suatu landasan filosofis bagi orang-orang
dalam hubungan dengan sesamanya yang menjadi ciri khas, kebutuhan yang unik dan
menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha
membantu individu dalam menghadapi pertanyaan dasar, kebutuhan yang unik dan
menjadi tujuan konselingnya, dan yang melalui implikasi-implikasi bagi usaha
membantu individu dalam menghadapi pertanyaan dasar yang menyangkut keberadaan
manusia.[1] Terapi
eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa lari dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab
berkaitan. Pendekatan Eksisteneial Humanistik dalam konseling menggunakan
sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli.
Pendekatan
terapi eksistensial humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu
pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan
konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Terapi Eksistensial Humanistik lebih
memusatkan perhatian pada pengalaman-pengalaman sadar dan juga lebih memusatkan
perhatian pada apa yang dialami pasien pada masa sekarang bukan pada masa
lampau. Pada dasarnya terapi Eksistensial memiliki tujuan untuk meluaskan
kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni
bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
Dalam buku
Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi oleh Gerald Corey pada tahun 1999,
terapi eksistensial juga bertujuan membantu klien menghadapi kecemasan
sehubungan dengan pemilihan nilai dan kesadaran bahwa dirinya bukan hanya
sekedar korban kekuatan-kekuatan determinisik dari luar dirinya. Terapi
Eksistensial memiliki cirinya sendiri oleh karena pemahamannya bahwa tugas
manusia adalah menciptakan Eksistensinya yang bercirikan integritas dan makna.
Gerakan
Eksistensial berarti rasa hormat pada seseorang, menggali aspek baru dari
perilaku manusia dan metode memahami manusia yang beraneka ragam. Falsafah
Eksistensial memberikan landasan bagi pendekatan terapiutik yang memfokuskan
pada individu-individu yang terpecah serta bersikap asing antara satu dengan
yang lain yang tidak melihat adanya makna dalam lingkungan keluarga serta
system sosial yang ada pada waktu itu. Falsafah itu timbul dari keinginan untuk
menolong orang dalam mengarahkan perhatian pada tema dalam hidup. Yang
diperhatikan adalah orang-orang yang mengalami kesulitan dalam hal mendapatkan
makna dari tujuan hidup dan dalam hal mempertahankan identitas dirinya (Holt,
1986).
Pandangan
eksistensial akan sifat manusia ini sebagian dikontrol oleh pendapat bahwa
signifikansi dari keberadaan kita ini tak pernah tetap, melainkan kita secara
terus menerus mengubah diri sendiri melalui proyek-proyek kita. Manusia adalah
makhluk yang selalu dalam keadaan transisi, berkembang, membentuk diri dan
menjadi sesuatu. Menjadi seseorang berarti pula bahwa kita menemukan sesuatu
dan menjadikan keberadaan kita sebagai sesuatu yang wajar.
Pandangan manusia menurut teori Eksistensial
Humanistik:[2]
a)
Filsafat Eksistensialis memandang manusia
sebagai indvidu dan merupakan problema yang unik dari Existensi kemanusiaan.
Manusia merupakan seorang yang ada, yang sadar dan waspada akan keberadaanya
sendiri. Setiap orang menciptakan tujuannya sendiri dengan segala
kreatifitasnya, menyempurnakan esensi dan fakta eksistensinya.
b)
Bahwa manusia sebagai makhluk hidup,
menentukan apa yang ia kerjakan dan yang tidak ia kerjakan, dan bebas untuk
menjadi apa yang ia inginkan. Jadi yang pokok adalah apakah seorang berkeinginan
atau tidak sebab filsafat Eksistensialis percaya bahwa setiap orang bertanggung
jawab atas segala tindakannya. Dengan kata lain setiap individu merupakan
penentu utama akan tingkah laku dan pengalamannya.
c)
Teori Eksistensial Humanistik mendasar
pendapat bahwa manusia tidak pernah statis , ia selalu menjadi sesuatu yang
berbeda, untuk menjadi sesuatu ini maka manusia mesti berani menghancurkan pola
– pola lama, berdiri pada kaki sendiri dan mencari jalan, kearah manusia yang
baru dan lebih besar menuju aktualisasi diri.
d)
Menekankan pada kesadaran manusia, pengalaman
personal yang berhubungan dengan Eksistensi dalam dunia orang lain.
Para Ahli Teori Eksistensial Humanistik memiliki pandangan
Optimistik terhadap Hakikat Manusia. Mereka meyakini bahwa :
a)
Manusia memiliki dorongan bawaan untuk
mengembangkan diri
b)
Manusia memiliki kebebasan untuk merancang
atau mengembangkan tingkah lakunya, dalam hal ini manusia bukan pion yang
diatur sepenuhnya oleh lingkungan
c)
Manusia adalah Mahluk Rasional dan Sadar,
tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irrasional, dan Konflik.
Para Ahli
Teori ini juga berpendapat bahwa pandangan manusia tentang dunia bersifat
subjektif lebih penting dari realitas Objektif. Psikologi Eksistensial
Humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun
1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan Eksistensialisme yang berkembang
pada abad pertengahan. Psikologi Eksistensial Humanistik berfokus pada kondisi
manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada
pemahaman atas manusia alih–alih suatu system teknik–teknik yang digunakan
untuk mempengaruhi klien. Pendekatan terapi eksistensial bukan suatu pendekatan
terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi–terapi yang
berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep–konsep dan asumsi–asumsi tentang
manusia. Teori dan Pendekatan Konseling Eksistensial-humanistik berfokus pada
diri manusia.
Terapi
Eksistensial Humanistik menekankan kondisi-kondisi inti manusia dan menekankan
kesadaran diri sebelum bertindak. Kesadaran diri berkembang sejak
bayi.Perkembangan kepribadian yang normal berlandaskan keunikan masing-masing
individu. Berfokus pada saat sekarang dan akan menjadi apa seseorang itu, yang
berarti memiliki orientasi ke masa depan. Maka dari itu, akan lebih
meningkatkan kebebasan konseling dalam mengambil keputusan serta bertanggung
jawab dalam setiap tindakan yang di ambilnya.
Menurut Gerald Corey, ada beberapa konsep
utama dari pendekatan Eksistensial Humanistik yaitu:[3]
1. Kesadaran
diri
Manusia
memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang
unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin
kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan
yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk memilih alternative – alternatif
yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek
yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai
tanggung jawab. Para Eksistensialis menekankan bahwa Manusia bertanggung jawab
atas keberadaan dan Nasibnya.
2. Kebebasan,
tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas
kebebasan dan tanggung jawab dapat menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut
dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran
atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati.
Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang,
sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia
memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi – potensinya.
3. Penciptaan
Makna
Manusia itu
unik, dalam artian bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan
menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Pada
hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam
suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagalan
dalam menciptakan hubungan yang bermakna dapat menimbulkan kondisi-kondisi
keterasingan dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni
mengungkapkan potensi – potensi manusiawinya sampai taraf tertentu.
· Dalil 1: Kesadaran diri
Manusia
memiliki kesanggupan untuk menyadari diri yang menjadikannya mampu melampaui situasi
sekarang dan membentuk basis bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang
khas manusia. “ semakin tinggi kesadaran, maka semakin utuh diri sesorang”.
· Dalil 2:
Kebebasan dan tanggung jawab
Manusia pada
dasarnya adalah bebas, oleh karenanya harus bertanggung jawab atas pengarahan
hidup dan penentuan nasibnya sendiri. Manusia adalah Mahluk yang menentukan
diri.
· Dalil 3:
Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain
Individu
memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan dan keterpusatannya, tetapi sekaligus
memiliki kebutuhan untuk keluar dari diri sendiri, berhubungan dengan orang
lain dan lingkungan.
1.
Keberanian untuk ada.
2.
Pengalaman kesendirian.
3.
Pengalaman keberhubungan.
· Dalil 4:
Pencarian Makna.
Salah
satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya untuk
merasakan arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian
Makna dan identitas Pribadi.
· Dalil 5:
Kecemasan sebagai syarat hidup.
Kecemasana
bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk pertumbuhan. Kecemasan
adalah suatu Karakteristik dasar Manusia. Kecemasan tidak perlu merupakan suatu
yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk
pertumbuhan.
Kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas
tanggung jawab untuk memilih.
· Dalil 6:
Kesadaran atas kematian dan Non-ada.
Kesadaran atas
kematian adalah Kondisi manusia yang mendasar yang memberikan makna kepada
Hidup. Para Eksistensialis tidak memandang
kematian secara negative, menurut mereka, karakteristik yang khas pada manusia
adalah kemampuan untuk memahami konsep masa depan dan tak bisa dihindarkannya
kematian. Justru kesadaran atas akan terjadinya ketiadaan memberikan makna
kepada keberadaan sebab hal itu menjadikan setiap tindakan manusia itu berarti. Para Eksistensialis mengungkapkan bahwa, Hidup menjadi
bermakna karena memiliki pembatasan waktu.
· Dalil 7:
Perjuangan untuk aktualisasi diri
Manusia
berjuang untuk aktualisasi diri, yakni kecenderungan untuk menjadi apa saja
yang mereka mampu.
Setiap Orang memiliki dorongan bawaan untuk
menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki kecenderungan ke arah
pengembangan keunikan dan ketunggalan, penemuan identitas pribadi, dan
perjuangan demi aktualisasi potensi-potensinya secara penuh.
Konsep dasar menurut Akhmad Sudrajat adalah :
a)
Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat
menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas
untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala
tindakannya.
b)
Manusia tidak pernah statis, ia selalu
menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani
menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri.
c)
Setiap orang memiliki potensi kreatif dan
bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan
yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.
Menurut Akhmad
Sudrajat individu yang salah asuh tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan
kata lain, pengalamannya tertekan. Sasaran eksistensial adalah mengembangkan
konsep yang komperehensif tentang manusia dan memahami manusia dalam
keseluruhan realitas eksistensialnya, misalnya pada kesadaran,
perasaan-perasaan, suasana-suasana perasaan, dan pengalaman-pengalaman pribadi
individual yang berkaitan dengan keberadaan individualnya dalam dunia dan
diantara sesamanya.
1. Manusia
Sehat
Pribadi yang
sehat menurut pandangan eksistensial-Humanistik yaitu mampu memfungsikan
dimensi-dimensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kesadaran bisa berfungsi
secara penuh.[5] Ciri-ciri
pribadi yang sehat menurut Abraham maslow:[6]
1. Menerima realitas secara tepat :
Orang-orang yang sangat sehat mengamati objek-objek dan orang-orang di dunia
sekitarnya secara objektif, teliti terhadap arang lain, mampu menemukan denagn
cepat penipuan dan ketidakjujuran.
2. Menerima diri dan orang lain apa
adanya : Orang-orang yang mengaktualisasikan diri menerima diri mereka.
Kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atas
kesusahan.
3. Bertidak secara spontan
dan alamiah, tidak dibuat-buat : Pengaktualisasian diri bertingkah laku
secara terbuka dan langsung tanpa berpura-pura. Kita dapat mengatakan bahwa
orang-orang ini bertingkah laku secara kodrati yakni sesuai dengan kodrat
mereka.
4. Memusatkan pada masalah-masalah
bukan pada perseorangan : Orang yang mengaktualisasikan diri mencintai
pekerjaan mereka dan berpendapat bahwa pekerjaan itu tentu saja cocok untuk
mereka.
5. Memiliki kekuasaan dan tidak
bergantung pada orang lain:Orang-orang yang mengaktualisasikan diri memiliki
suatu kebutuhan yang kuat untuk pemisahan dan kesunyian. Mereka tidak
tergantung pada orang-orang lain untuyk kepuasan mereka dan dengan demikian
mungkin mereka menjauhkan diri dan tidak ramah. Tingkah laku dan perasaan meeka
sangatt egosentris dan terarah kepada dir mereka sendiri
6. Memiliki ruang untuk diri
pribadi:Pengaktualisasian diri untuk berfungsi secara otonom terhadap
lingkungan social dan fisik. Kepribadian-kepribadian yang sehat dapat berdiri
sendiri dan tingkat otonomi mereka yang tinggi menaklukan mereka, agak tidak
mempan terhadap krisis atau kerugian.
7. Menghargai dan terbuka akan
pengalaman-pengalaman dan kehidupan baru:Menghargai pengalaman-pemgalaman
tertentu bagaimanapun seringnya pengalaman itu terulang, dengan suatu perasaan
kenikmatan yang segar, perasaan terpesona dan kagum.
8. Memiliki pengalaman-pengalaman
yang memuncak : Dimana orang-orang yang mengaktualisasikan diri mengalami
ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang hebat dan meluap-luap, sama
seperti pengalaman-pengalaman keagamaan yang mendalam.
9. Memiliki identitas sosial dan
minat sosial yang kuat : Pengaktualisasian diri memiliki perasaan empati
dan afeksi yang sangat kuat dan dalam terhadap semua manusia, juga suatu
keinginan untuk membantu kemanusiaan.
10. Memiliki relasi yang akrab dengan
beberapa teman: Mampu mengadakan hubungan yang lebih kuat dengan orang-
orang lain daripada orang- orang yang memiliki kesehatan jiwa yang biasa.
11.Mengarah pada nilai-nilai
demokratis: Orang yang sehat membiarkan dan menerima semua orang tanpa
memperhatkan kelas social, tingkat pendidikan, golongan politik atau agama,
ras, atau warna kulit.mereka sangat siap mendengarkan atau belajar dari dari
siapa saja yang dapat mengajarkan sesuatu kepada mereka.
12.Memiliki nilai-nilai moral yang
tangguh: Dapat membedakan dengan jelas antara sarana dan tujuan. Bagi
mereka, tujuan atau cita- cita jauh lebih penting daripada sarana untuk
mencapainya.mereka juga sanggup membedakan antara baik dan buruk, benar dan
salah.
13.Memiliki rasa humor yang
tinggi
14. Menemukan hal-hal baru, ide-ide
segar, dan kreatif : Kreatifitas merupakan suatu sifat yang diharapkan
seseorang dari pengaktualisasi- pengaktualisaasi diri mereka adalah asli,
inventif, dan inovatif, meskipun tidak selalu dalam pengertian menghasilkan
suatu karya seni.
15. Memiliki integritas tinggi yang
total
2. Manusia
Tidak sehat
Pribadi yang bermasalah menurut
pandangan eksistensial-Humanistik yaitu tidak mampu memfungsikan
dimensi-dimensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kesadaran tidak berfungsi
secara penuh. Diantaranya ; inkongruen, negatif, tidak dapat dipercaya, tidak
dapat memahami diri sendiri, bermusuhan dan kurang produktif.
Ciri-ciri pribadi tidak sehat menurut Abraham
Maslow:[7]
1. Menolak
realitas secara tepat
Kepribadian-kepribadian
yang tidak sehat mengamati dunia menurut ukuran-ukuran subyektif mereka
sendiri, memaksa dunia untuk mencocokannya dengan bentuk ketakutan-ketakutan,
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai.
2. Menolak
diri dan orang lain
Orang-orang
neurotis dilumpuhkan oleh persaan malu atau perasaan salah atas
kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan mereka, begitu di hantui sehingga
mereka mengalihkan waktu dan energi dari hal-hal yang lebih konstuktif.
3. Memiliki
rasa humor yang rendah
4. Memiliki
nilai –nilai moral yang rendah
Orang yang
kurang sehat kerapkali bingung atau tidak konsisten dalam hal- hal etis,
terombang- ambing, atu berganti-ganti antara benar dan salah menurut
keuntungannya.
5. Memiliki
kekuasaan dan bergantung pada orang lain
Orang-orang neuorotis biasanya sangat
emosional tergantung pada orang-orang lain untuk kepuasan dimana mereka tidak
mampu menghasilkan untuk diri mereka.
B. Tokoh-Tokoh
Teori Eksistensial Humanistik serta Pemikirannya
Tokoh-tokoh
dari Eksistensial Humanistik antara lain adalah Ludwig Binswanger, Medard Boss,
Abraham Malow, Carl H. Rogers, Victor Frankl, Holo May, Bagental, Irvin Yalom,
Yourard dan Arbuckle.
Diantara para
Ahli Teori ini yang dipandang paling berpengaruh adalah: Carl R. Rogers dan
Abraham Maslow. Carl Rogers lebih pada Teori Humanistik dan Abraham Maslow
lebih menekankan pada Teori Eksistensial Humanistik. Namun, ada pandangan lain
yang menyatakan bahwa Rollo May seorang Psikologi Amerika juga merupakan Tokoh
Eksistensial Humanistik.[8]
1. Abraham
Maslow
Abraham Maslow
yang terkenal dengan teori aktualisasi diri di lahirkan di New York
pada tahun 1908. Ia meninggal di Calivornia pada tahun1907.Maslow seorang anak
yang pandai mejalani hubungan yang baik dengan ibunya yang otoriter yang sering
kali melakukan tindakan aneh. Ia menggambarkan dirinya pada masa kecil sebagai
seorang yang pemalu, kutu buku dan neurotic. Tetapi, maslow tidak selamanya
menjadi neurotic dan benci pada dirinya sendiri. Ia sepenuhnya menyadari
potensinya, dan menjadi psikilog humanisme terkenal yang mengispirasi banyak
perubahan masyarakat kea rah yang positif.
Pada akhir
tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti: Abraham Maslow, Carl Rogers dan
Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji
secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang: self (diri),
aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat,
individualitas dan sejenisnya.
Dalam
mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang
dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan
menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan
menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan
dan pemaknaan.
Dari pemikiran
Abraham Maslow yang memfokuskan pada kebutuhan psikologis tentang
potensi-potensi yang dimiliki manusia. Hasil pemikirannya telah membantu guna
memahami tentang motivasi dan aktualisasi diri seseorang, yang merupakan salah
satu tujuan dalam pendidikan humanistik. Menurut Maslow, yang terpenting dalam
melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada
sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan”
atau “sakit”. Pendekatan ini melihat kejadian bagaimana manusia membangun
dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini
yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran
humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan
positif ini.
Menurut Maslow hirarkhi kebutuhan manusia ini
dapat dikerucutkan menjadi lima kebutuhan. Manurutnya, terdapat lima lapisan
kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keselamatan dan
keamanan, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan
untuk mngaktualisasikan diri.[9]
Being Needs
Deficit Needs
2. Rollo
May
Rollo May
lahir pada 21 April 1909 di Ohio, dan dibesarkan di Marine City, Minchingan
Amerika Serikat. Ia hidup di tengah sikap anti intelektual dari sang ayah.
Ayahnya berkali-kali berkomentar bahwa gangguan fisik yang fialami oleh
kakaknya adalah akibat terlalu banyak belajar. Mungkin merasa bahwa pernyataan
ayahnya tidak manusiawi dan merusak, iapun membenci penyakit
antiintelektualisme, meskipun ia melihat bahwa untuk hal-hal lain ayahnya
adalah laki-laki yang sangat simpatik.[10]
Selepas lulus
dari Oberlin College di Ohio, dia menyelesaiakn BA (Bachelar of Arts) atau
sarjana muda pada 1930, ia mendapatkan pengalaman unik yang begitu mendalam,
yaitu ketilka melihat garis-garis sederhana pada sebuah vas bunga antik dari
Yunani yang ada di atas meja pada salah satu runag kelas, ia begitu kagum
dengan kesederhanaan dan keindahan garis-garis tersebut sehingga ia bertekad
untuk pergi ke Yunani.
Sepulang dari
Yunani dia memutuskan untuk bertemu dengan Alfred di Wina guna mempelajari
psikoanalisis. Dia juga bertekad untuk menjadi seorang pendeta, bukan karena
benar-benar ingin, tapi hanya ingin sekedar mengungkap jawaban mengapa
orang-orang seringkali putus asa dan mengambil tindakan bunuh diri. Selain itu,
dia juga ingin mempelajari mengenai kebaranian, kegembiraan, dan intensitas
hidup. Dan waktu di Union itu juga, ia berhasil menghasilkan sebuah karya buku
yang berjudul The Arta of Counseling. Seketika pada waktu itu
juga kedua orangnyapun bercerai
Di samping
itu, ia juga sempat menjadi seorang konselor di sekolah, menteri Paroki
Montclair, New Jersey sebelum kembali ke New York untuk belajar psikoanalisis
samapi mendapat gelar Ph.D pertama dalam bidang psikiatri. Kehidupan Rollo
berubah drastis saat ia terkena TBC, karena belum ditemukannya obat yang
mujarab. Selama tiga tahun ia harus beristirahat di Sanatorium TB saranac,
bagian utara New York. Namun, dari hal itu ia memaknai bahawa sakit yang
dideritanya telah membantunya untuk menghargai akan pentingnya sudut pandang
eksistensial sendiri.
Pandangan
pokok Rollo May terhadap individu Manusia adalah bahwa setiap individu mempunyai
kesadaran sebagai pusat diri yang subjektif. Atas kesadaran atas diri sendiri
itu, membuat individu mengadakan peneguhan terhadap keunikan dan
keberadaan-nya. Setiap individu mampu untuk meneguhkan keinginan-keinginan dan
kebutuhan-kebutuhannya.[11]
Kecenderungan wajar individu adalah tumbuh
dan berkembang untuk mempertahankan keunikan Eksistensinya, sehingga setiap
gangguan terhadap pusat diri dianggap oleh individu sebagai ancaman terhadap
eksistensinya yang mendasar itu. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa setiap individu
mempunyai sifat memperkuat diri dan mempertahanan dirinya sebagai pusat
(centeredness). Dan individu mempunyai kemampuan itu, serta adanya keberanian
yang dibarengi kehendak menerima tanggung jawab atas keputusan dan
pilihan-pilihanya sendiri.
Beberapa konsep utama yang dikembangkan oleh
Rollo May ada sebagai berikut:
1. Sikap
Eksistensial
2. Keadaan
Sulit (Pradicament)
3. Ketidakberdayaan
4. Kecemasan
5. Nilai
yang hilang
6. Menemukan
kembali (Rediscovering) Perasaan
7. Empat
tahap kesadaran diri
8. Tujuan
integrasi
9. The
daimonic
10. Kekuasaan
11. Cinta dan seks
12. Intensionalitas
13. Kebebasan dan Takdir (Destiny)
14. Keberanian dan kreativitas
15. Mitos
C. TEKNIK-TEKNIK EKSISTENSIAL HUMANISTIK
Menurut
pandangan eksistensialis manusia memiliki kesadaran akan dirinya sendiri. Ini
merupakan kemampuan yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya yang membuat
manusia mengenang dan mengambil keputusan. Dengan kesadaran, manusia memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihan tentang cara hidup, dan bertanggung jawab
terhadap pilihan yang dibuatnya. Dapat dikatakan bahwa manusialah yang
menentukan nasibnya sendiri, dialah sebagai penulis atau pengkreasi atau
sebagai arsitek bagi kehidupannya.
Ada beberapa tahapan teknik yang dilakukan oleh konselor
eksistensial, antara lain :
1.
Tahap pertama, konselor
membantu konseli dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka
terhadap dunia. Konseli diajak mendefinisikan cara pandang agar eksistensi mereka
diterima. Konselor mengajarkan mereka bercermin pada eksistensi mereka dan
meneliti peran mereka dalam hal penciptaan masalah dalam kehidupan mereka.
2. Pada tahap kedua, konseli didorong agar
bersemangat untuk lebih dalam meneliti sumber dan otoritas dari sistem mereka.
Semangat ini akan memberikan konseli pemahaman baru dan restrukturisasi nilai
dan sikap mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan dianggap pantas.
3. Tahap ketiga berfokus pada untuk bisa
melaksanakan apa yang telah mereka pelajari tentang diri mereka. Konseli
didorong untuk mengaplikasikan nilai barunya dengan jalan yang kongkrit.
Konseli biasanya akan menemukan kekuatan untuk menjalani eksistensi kehidupanya
yang memiliki tujuan. Dalam perspektif eksistensial, teknik sendiri dipandang
alat untuk membuat konseli sadar akan pilihan mereka, serta bertanggungjawab
atas penggunaaan kebebasan pribadinya.
Teori
Eksistensial tidak membatasi konselor untuk menggunakan teknik dan invensi
tertentu. Teknik dalam pendekatan Eksistensial ini lebih sedikit daripada model
konseling lainnya. Pendekatan eksistensial humanistik tidak memiliki
teknik-teknik yang ditentukan secara ketat.Prosedur-prosedur terapeutik bisa
dipungut dari beberapa pendekatan terapi lainnya. Metode-metode yang berasal
dari teori Gestalt dan analisis transaksional sering digunakan, dan sejumlah
prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa di integrasikan ke dalam pendekatan
eksistensial humanistik. Buku The Search For Authenticity (1965) dari
Bugental adalah sebuah karya lengkap yang mengemukakan konsep-konsep dan
prosedur-prosedur psikoterapi eksistensial yang berlandasan model
psikoanalitik. Bugental menunjukkan bahwa konsep inti psikoanalisis tentang
resistensi dan tranferensi bisa diterapkan pada filsafat dan praktek terapi eksistensial.Yang
menggunakan kerangka psikoanalitik untuk menerangkan fase kerja terapi yang
berlandaskan konsep-konsep eksistensial seperti kesadaran, emansipasi dan
kebebasan, kecemaan eksistensial, dan neurosis eksistensial.[1]
Pertanyaan-pertanyaan
eksistensial yang menempati kedudukan sentral dalam terapi adalah:[2]
- Seberapa besar saya menyadari siapa saya ini?
- Bisa menjadi apa saya ini?
- Bagaimana saya bisa memilih menciptakan kembali identitas diri saya yang sekarang?
- Seberapa besar kesanggupan saya untuk menerima kebebasan memilih jalan hidup saya sendiri?
- Bagaimana saya mengatasi kecemasan yang ditimbulkan oleh kesadaran atas piliha-pilihan?
- Sejauh mana saya hidup dari dalam pusat diri saya sendiri?
- Apa yang saya lakukan untuk menemukan makna hidup ini?
- Apa saya menjalani hidup ataukah saya hanya puas atas keberadaan saya?
- Apa yang saya lakukan untuk mebentuk identitas pribadi yang saya inginkan?
D.
TUJUAN-TUJUAN TERAPEUTIK
Menurut
Gerald Corey, (1988:56) ada beberapa tujuan terapeutik yaitu :
a. Agar klien mengalami keberadaannya secara
otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi – potensi serta sadar
bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Keotentikan
sebagai “urusan utama psikoterapi” dan “nilai eksistensial pokok”.
Terdapat
tiga karakteristik dari keberadaan otentik
1.
Menyadari sepenuhnya keadaan sekarang,
2.
Memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan
3.
Memikul tanggung jawab untuk memilih.
b. Meluaskan kesadaran diri
klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas
dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.
c.
Membantu
klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri,
dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar korban kekuatan –
kekuatan deterministic di luar dirinya.
Tujuan Konseling menurut Akhmad Sudrajat yaitu :
1.
Mengoptimalkan kesadaran
individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya
adalah saya.
2.
Memperbaiki dan mengubah
sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu,
yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat
mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal
mungkin.
3.
Menghilangkan
hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses
aktualisasi dirinya.
4.
Membantu individu dalam
menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi
dirinya.
E.
PERAN KONSELOR
Tidak ada
aturan yang seragam untuk konselor eksistensial. Setiap klien dianggap unik.
Oleh karena itu, konselor peka terhadap semua aspek karakter klien mereka,
“seperti suara postur, ekspresi wajah, bahkan pakaian dan gerakan tubuh yang
tidak disengaja. Konselor harus terlibat sebagai pribadi yang menyeluruh dengan
klien, mengakui bahwa keputusan dan pilihan akhir tereletak di tangan klien,
memberi kebebasan kepada klien untuk mengungkapkan pandangan, tujuan, dan
nilainya sendiri, mengurangi ketergantungan klien serta meningkatkan kebebasan
klien.[3]
Pada
dasarnya, konselor berkonsentrasi untuk bersikap autentik terhadap klien dan
masuk kedalam hubungan yang lebih dalam dan personal dengannya. “konselor
berusaha untuk selalu bersama klien dan memahami serta merasakan kondisi emosi
dan mental lainnya. Untuk melakukan hal ini, konselor perlu
mengekspresikan perasaannya sendiri”. Oleh karena itu, bukan hal yang aneh bagi
konselor eksisitensial untuk berbagi pengalaman pribadi dengan klien, guna
memperdalan hubungan dan membantu klien untuk menyadari perjuangan dan sisi
kemanusiaannya. Buhler dan Allen menyarankan agar konselor eksisitensial
memusatkan diri pada hubungan orang yang menekankan kebersamaan, kesatuan, dan
pertumbuhan. Konselor yang mempraktekkan logo terapi frankl adalah Socratic
dalam berdialog dengan mereka.[4]
Dalam pandangan eksistensialis,
tugas utama dari seorang konselor adalah mengeksplorasi persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan ketakberdayaan, keputusasaan, ketakbermaknaan, dan
kekosongan eksistensial serta berusaha memahami keberadaan konseli dalam dunia
yang dimilikinya. May (1981), memandang bahwa tugas konselor bukanlah untuk
merawat atau mengobati konseli, akan tetapi diantaranya adalah membantu
konseli agar menyadari tentang apa yang sedang mereka lakukan, dan untuk
membantu mereka keluar dari posisi peran sebagai korban dalam hidupnya dalam
keberadaanya di dunia.
Menurt Buhler dan
Allen, para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup
hal-hal berikut :
1. Mengakui pentingnya
pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2. Menyadari dari peran dari
tangung jawab konselor.
3.
Mengakui sifat timbal
balik dari hubungan konseling.
4.
Berorientasi pada
pertumbuhan.
5.
Menekankan keharusan
konselor terlibat dengan konseli sebagai suatu pribadi yang menyeluruh.
6.
Mengakui bahwa
putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak ditangan konseli.
7.
Memandang konselor
sebagai model, dalam arti bahwa konselor dengan gaya hidup dan pandangan
humanistiknya tentang manusia bisa secara implisit menunjukkan kepada konseli
potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
8.
Mengakui kebebasan
konseli untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan
nilainya sendiri.
9.
Bekerja kearah mengurangi
kebergantungan konseli serta meningkatkan kebebasan konseli.
Jika konseli mengungkapkan
perasan-perasaannya kepada konselor pada pertemuan konseling, maka konselor
sebaiknya bertindak sebagai berikut:
1. Memberikan reaksi-reaksi
pribadi dalam kaitan dengan apa yang dikatakan oleh konseli.
2. Terlibat dalam sejumlah
pernyataan pribadi yang relevan dan pantas tentang pengalaman-pengalaman yang
mirip dengan yang dialami oleh konseli.
3. Meminta kepada konseli
untuk bisa mengungkapkan ketakutannya terhadap keharuan memilih dalam dunia yang
tak pasti.
4. Menantang konseli untuk
melihat seluruh cara dia menghindari pembuatan putusan-putusan, dan memberikan
penilaian terhadap penghindaran itu.
5. Mendorong konseli untuk
memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak mulai konseling dengan bertanya.
6. Beri tahu kepada konseli
bahwa ia sedang mempelajari apa yang dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat
yang khas sebagai manusia. Bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus
memutuskan untuk dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan atas
ketidakpastian putusan-putusan yang dia buat, dan bahwa dia akan berjuang untuk
menetapkan makna kehidupannya di dunia yang sering tampak tak bermakna.
F.
HUBUNGAN ANTARA TERAPIS DAN KLIEN dan BENTUK MODEL KONSELING
Hubungan
terapeutik sangat penting bagi terapis eksistensial. Penekanan diletakkan pada
pertemuan antar manusia dan perjalanan bersama alih – alih pada teknik-teknik
yang mempengaruhi klien. Isi pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang,
bukan “masalah” klien. Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik
difokuskan kepada “di sini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan hanya
penting bila waktunya berhubungan langsung[5] (Gerald
Corey.1988:61).
- Pola hubungan :
1.
Hubungan klien adalah
hubungan kemanusiaan. Konselor berstatus sebagai partner klien, setara dengan
klien sehingga hubungannnya berada dalam situasi bebas tanpa tekanan.
2.
Klien sebagai subjek
bukan obyek yang dianalisis dan didiagnosis.
3.
Konselor harus terbuka
baik kepribadiannya dan tidak pura – pura.
- MODEL PENAMPILAN
- Dimensi I :
1.
Konselor hendaknya selalu
menghargai dan menghormati klien apa adanya.
2.
Konselor mampu untuk
menjadikan dirinya sebagai alat perubah pribadi klien dengan jalan membuka
pengalaman terhadap konsep diri klien.
3.
Menghilangkan kepura –
puraan, dan bersifat otentik
- Dimensi II :
1.
Konselor memegang kunci
bahwa pendekatan terapi berpusat pada pribadi yang difokuskan secara
bertanggung jawab.
2.
Konselor menekankan pada
sikap klien untuk menerima dan memahami dirinya.
- MODEL ANALISIS DAN DIAGNOSIS MASALAH
Model
Analisis dan diagnosis masalah sebagai berikut :
1. Klien mulai sadar dan dapat menemukan alternative tentang
pandangan yang riil.
2. Klien aktif untuk mengetahui penyebab dari kecemasan dan
ketakutan.
3. Klien berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab penuh.
- MODEL PERAN KONSELING
Model
peran konseling sebagai berikut :
1. Memahami dunia klien dan membantu klien untuk berfikir dan
mengambil keputusan atas pilihannya yang sesuai dengan keadaan sekarang.
2. Mengembangkan kesadaran, keinsafan tentang keberadaannya sekarang
agar klien memahami dirinya bahwa manusia memiliki keputusan diri sendiri.
3. Konselor sebagai fasilitator memberi dorongan dan motivasi agar
klien mampu memahami dirinya dan bertanggung jawab menghadapi reality.
4.
Membentuk kesempatan seluas – luasnya kepada klien, bahwa putusan
akhir pilihannya terletak ditangan klien.
Dalam buku
Gerald Corey, May ( 1961 ) memandang tugas terapis diantaranya adalah membantu
klien agar menyadari keberadaanya dalam dunia : “Ini adalah saat ketika pasien
melihat dirinya sebagai orang yang terancam, yang hadir di dunia yang mengancam
dan sebagai subyek yang memiliki dunia”.
Frankl (
1959 ) menjabarkan peran terapis sebagai ”spesialis mata ketimbang pelukis”,
yang bertugas memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien sehingga secara
keseluruhan dari makna dan nilai – nilai menjadi disadari dan dapat diamati
oleh pasien..
F.
Kelebihan Dan Kekurangan Terapi Eksistensial-Humanistik
a) Kelebihan
1. Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan
dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
2. Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri
3. Memanusiakan manusia
4. Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap,
analisis terhadap fenomena sosial.
Pendekatan
terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti
masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun
masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa
b) Kelemahan
1. Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
2. Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas
3. Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya
(keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
4. Memakan waktu lama.
[1] Gerald Corey, Theory
and practice of conseling and psychoteraphy, diterjemah oleh E. Kswara, Teori
dan praktek konseling dan psikoterapi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2013),
h 63
[2]Ibid.,, h 63-64
[3] Dr. Naamora Lumongga Lubis, M.Sc.Memahami Dasar-Dasar Konseling
dalam teori dan praktik. (Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2011) Hal :
154
[4] WS. Winkel. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Hal:
249
[5] Prof.Dr.Syamsu
Yusuf , Teori Kepribadian (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2008)hal.164
[3] E. Koswara, Teori dan
Praktek Konseling dan Psikoterapi (Bandung, PT Refika Aditama,
2007)hal. 54-55
[5] http://naraputi.blogspot.com/2014/01/teori-eksistensial-humanistik.html.
Diakses pada 19 Mei 2014, pukul 08:43
[6] http://afiantika.blogspot.com/2013/04/kepribadian-sehat-menurut-aliran.html.
Diakses pada 19 Mei 2014, pukul 08:41 WIB
[8] Sanapiah Faisal dan Andi
Mappiare, Dimensi-dimensi Psikologi. (Surabaya: Usaha Nasional,
1998). Hal. 213-214.
[9] Hidayat, Dede Rahmat, Psikologi
Kepribadian Dalam Konseling (Bogor, Penerbit Ghalia Indonesia, 2011)
hal. 166
0 komentar:
Posting Komentar