Minggu, 08 Juni 2014

MARIIDUL QOLBI AW MARIIDUL RUH

Standard
Dosen Pembimbing
Dr. H. Abd. Syakur, M.Ag
Disusun Oleh Kelompok 10 BKI C1
Ida Ayu Kusumawati                       (B03212008)
Lilik Humaizah                                  (B03212013)
Mohammad Fatihuddin                   (B03212018)
 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Penyakit Hati
Hati menurut bahasa berarti berubah-ubah, hati memang suka berubah-ubah seiring dengan kekuatan yang memengaruhinya. Terkadang ia cenderung di bawah pengaruh ruh, dan terkadang pula berada di bawah kendali jiwa (yang rendah). Kalau ia cenderung kepada ruh, maka dengan sendirinya ia akan tercerahkan karena sifat ruh yang mencerahkan. Tapi kalau ia dikendalikan jiwa rendah, maka hati akan keruh dan kemudian akan terpilah-pilah. Hal ini dikarenakan sementara ruh mempunyai prinsip Tauhid (Ketuhanan), jiwa menginginkan keanekaragaman.[1]

  • Secara terminologi hati mempunyai dua pengertian:[2]
  1.  Jantung yang berupa segumpal daging yang berbentuk bulat memanjang, yang terletak dipinggir dada sebelah kiri, yaitu segumpal daging yang mempunyai tugas khusus yang didalamnya ada rongga-rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber ruh. Hati serupa juga ada pada hewan, bahkan ada pula pada orang yang telah mati.maka bila disebut Al-qalb, sesungguhnya bukanlah termasuk alam nyata, seperti alam yang dapat ditangkap oleh panca indera kita. 
  2.  Hati berupa sesuatu yang halus (latifah) bersifat ketuhanan (rabbaniyyah) dan ruhani yang ada hubungannya dengan hati jasmani. Hati (al-Qalb) yang halus itulah, hakikat manusia yang dapat menangkap segala rasa dan dapat mengetahui dan mengenal segala sesuatu. Hati atau yang disebut al-Qalb inilah yang kita tuju sebagai hakikat manusia, yang akan disiksa, dicerca, dan dituntut dan dia pula pemikul amanah allah SWT. Ia mempunyai hubungan dengan hati jasmani. Karena eratnya hubungan antara hati jasmani dan hati ruhani itu, hingga kebanyakan akal manusia tak sanggup mengetahuinya dalam hal posisi hubungannya.
Hubungan kedua hati itu seperti halnya sifat dengan jisim yang disifatinya, seperti benda yang dijadikan perkakas dengan perkakasnya, atau seperti benda yang telah berurat berakar dengan tempatnya.
Jadi, dalam penjelasan ini bila menyangkut perkataan hati maka yang dimaksud adalah sesuatu yang halus (hati nurani). Hati yang lebih cenderung untuk mencintai sesuatu selain dari mencintai Allah pastilah hati yang berpenyakit, kecuali bila cintanya pada sesuatu selain Allah itu untuk mendorong agar dia lebih mencintai Allah dari mencintai selainnya.
Menurut M. Shalih al-Munjid, hati terbagi menjadi dua bagian, yaitu hati yang merupakan tempat ‘Arsy Rahman, yang didalamnya terdapat cahaya, kehidupan, kebahagiaan, kesenangan dan segala bentuk kebajikan. Sedangkan hati yang kedua adalah hati yang menjadi tempat bercokolnya syaitan. Didalamnya terdapat kesempitan, kegelapan, kesedihan, kecemasan, ketakutan, duka cita.[3]
Hati adakalanya bercahaya atau gelap gulita, dan yang selamat hanyalah orang yang diberi karunia oleh Allah sehingga hatinya menjadi sehat dan bersih.
Sedangkan pengertian penyakit Hati adalah hati yang didalamnya ada iman, ada ibadah, ada pahala, tetapi juga ada kemaksiatan dan dosa-dosa (kecil/besar). Tanda-tandanya antara lain, hatinya gelisah, suka marah, tidak pernah punya rasa puas, susah menghargai orang lain, serba tidak enak/tidak nyaman, penderitaan lahir dan batin, tidak bahagia dan sebagainya.[4]
Menurut Al-Ghazali hati dapat memiliki kemampuan yang luar biasa, namun sebaliknya hati juga tidak dapat memiliki apa-apa jika terhalang oleh:
  1.  Ada tabir (hijab yang biasanya merupakan kesenangan dalam hidup) 
  2. Kotoran hati oleh sebab banyaknya dosa-dosa 
  3. Berpalingnya hati kearah lain 
  4. Kurang adanya kesedihan hati itu sendiri 
  5. Hati tidak mengetahui arah yang seharusnya dituju
Penyakit-penyakit hati secara tidak langsung dapat diketahui melalui tanda-tandanya secara lahiriyah yang mengisyaratkan tentang kehadirannya. Tanda-tanda tersebut banyak sekali, yang paling nyata diantaranya ialah sikap bermalas-malasan dalam mengerjakan berbagai macam ketaatan, merasa berat berbuat kebajikan, sangat terikat pada syahwat hawa nafsu, sangat cenderung kepada kelezatan dunia, sangat ingin memperluas kesejahteraan di dalamnya serta lebih lama berdiam disana.[5]
Menurut Ibnu Qoyyim, dosa dan maksiat karena hati yang sakit menyebabkan seseorang terus terjerumus dalam perbuatan yang menjauhkan dirinya dari Allah. Hal itu berakibat pada hilangnya berkah, rasa malu, dan kenikmatan yang seharusnya diterima oleh hamba serta berujung pada syirik, cinta dunia, laknat dan kehancuran[6]. Dari sinilah maka penyakit hati lebih mengganggu dan lebih berbahaya, lebih parah dan lebih buruk dari penyakit-penyakit tubuh ditinjau dari berbagai segi dan arah yang paling merugikan dan paling besar bahayanya ialah karena penyakit hati mendatangkan madharat atas seseorang dalam agamanya, yaitu modal kebahagiaan di dunia, dan bermudharat bagi akhiratnya.

B.     Tanda-tanda Penyakit Hati
Diantara tanda-tanda hati sedang menderita penyakit antara lain :
  1. Kehilangan cinta yang tulus. Maksudnya, orang yang menderita penyakit hati tidak akan bisa mencintai orang lain dengan benar. Dia tidak mampu mencintai keluarganya dengan ikhlas. Sulit mencintai Nabi Muhammad, apalagi mencintai Allah yang lebih abstrak. 
  2. Kehilangan ketentraman dan ketenangan batin. 
  3. Memiliki hati dan mata yang keras. Penderita penyakit hati biasanya mempunyai mata yang sulit terharu dan hati yang sulit tersentuh. 
  4. Kehilangan kekhusukan dalam ibadah. 
  5. Malas beribadah dan beramal. 
  6. Senang melakukan dosa.
 C.    Macam-macam Penyakit Hati
Ada dua kemungkinan dalam penyakit hati, yaitu bisa sehat jika disembuhkan dan bisa mati jika dibiarkan tetap berpenyakit. Adapun macam-macam penyakit hati antara lain:
  1.  Marah (ghadhab) berarti menyimpan api dalam jiwanya. Orang yang suka marah-marah sama saja dengan mengakrabkan diri dengan iblis/setan yang memang terbuat dari api. Jika sifat ini dituruti tentu akan membuat seseorang tidak dapat mengendalikan diri. Hal ini akan membuahkan penyesalan.
  • Adapun bahaya dari sifat marah yang tidak terkendalikan, antara lain:[7]
a.       Merusak iman, sebagaimana sabda Rasulullah
اَلْغَضَبُ يُفْسِدُ الاِيْمَانَ كَمَايُفْسِدُ الصَّبْرُ العَسَلَ – رواه البيهقي-
Marah itu dapat merusak iman, seperti pahitnya jadam merusak manisnya madu.
Bagaimanapun manisnya madu akan hilang sekejab jika ada bersama jadam (sejenis biji-bijian yang rasanya sangat pahit), dan bagaimanapun manisnya amal shaleh seseorang jika ada orang tersebut suka marah maka tak seorangpun akan menganggapnya manis.
b.      Mudah mendapatkan murka allah terutama pada hari akhir saat semua orang mendapatkan ampunannya. Allah SWT berfirman
يَابَنِيْ ادم اذكرني حين تغضب اذكرك حين اغضب – الحديث القدسي-
Wahai anak adam ingatlah kepadaku ketika kamu marah, maka aku akan mengingatmu ketika aku sedang marah (pada hari akhir). (Hadits Qudsi)
c.       Menyulut kebencian, hasud, dendam dan permusuhan, sekaligus memutuskan tali persaudaraan.
d.      Muka orang yang sedang marah menjadi buruk, seburuk muka anjing atau serigala yang hendak menerkam
Nabi Muhammad SAW mengajarkan, apabila sedang marah kita diperintahkan untuk mengubah posisi, atau ambil air wudhu. ‘memerangi’ sifat pemarah adalah dengan sabar dan pemaaf (QS. Ali Imran : 134). Jika orang mampu mengendalikan sifat marahnya lalu mengarahkannya menjadi aset, sifat ini dapat menjadi sebuah kekuatan yang dapat memproteksi hak-hak pribadinya, asalkan proporsional.
Marah adalah suatu keadaan psikologis yang bias menyimpangkan watak seseorang dari jalan yang benar. Ketika marah tersebut mempengaruhi manusia bias berwujud dalam bentuk kesombongan dan dapat membutakan pikiran serta mampu mengubah  manusia menjadi “hewan” yang tidak menyadari realitas. Hal ini memungkinkan manusia untuk melakukan kejahatan yang membawa akibat-akibat yang langsung   dalam kehidupannya. Apalagi dia menyadari kesalahannya biasanya setelah          menghadapi akibat-akibat yang tak diharapkan dan terjerumus kedalam   kesengsaraan.[8] Perangai buruk ini hanya menimbulkan kesedihan karena puncaknya  tidak akan menurun sebelum tersalurkan dan mengubah perbuatan-perbuatan hina kobaran kemarahan sehingga menyebabkan terlepasnya kendali penilaian akal dan hilangnya kesadaran. Ketika hasil penilaian akal muncul pada seseorang yang sedang marah, kesedihan dan penyesalan hadir di hatinya.
2.   Egoisme (ananiyyah) adalah sifat yang hanya memikirkan diri sendiri. Sifat ini mengarah pada kerakusan, tega merampas hak orang lain karena segala sesuatu ingin dikuasainya. Egoisme merusak tatanan masyarakat karena berbagai pelanggaran bisa bermula dari sifat ini,seperti korupsi penganiayaan, penindasan dan tak punya kepedulian, dan sebagainya. Sifat ini bertentangan dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial bahkan islam mengajarkan agar seseorang lebih mengutamakan orang lain (QS. Ali Imran : 92). Maka egoisme harus diobati dengan menumbuhkan sikap kebersamaan, dan punya kepedulian agar tidak menjadi manusia yang akan dilemparkan kepada neraka jahannam (QS. Al-a’raf : 179). Sifat egois yang telah dibersihkan kotorannya akan dapat memicu seseorang untuk dapat menggapai sukses hidup.
3.    Dengki (hasud), yakni perasaan tidak senang jika mengetahui orang lain senang, dan justru senang jika mengetahui orang lain susah. Orang yang dengki menginginkan agar kenikmatan orang lain hilang, bahkan kesenangan itu dapat berpindah kepada dirinya. Biasanya sifat ini disertai dengan upaya mencari-cari kesalahan orang yang ia dengki, menjelek-jelekkan, menfitnah, dendam bahkan ingin mencelakakannya.
      Secara umum sifat ini membahayakan manusia, baik dalam hal hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan allah. Namun secara khusus ada ulama’ yang menjelaskan tentang akibat yang timbul dari sifat hasud, antar lain:[9] 
  1. Menimbulkan rasa lelah dan bingung tiada akhir. Al-ghazali bekata ”orang yang suka hasud selamanya tidak akan bebas dari kebingungan dan kesusahan”. 
  2. Cenderungan senang membuat kemudharatan bagi orang lain, khusus pada orang yang dihasudnya. Rasulullah bersabda “ berusahalah memenuhi kebutuhan hidup dengan menyembunyikannya (dari orang lain). Sesungguhnya bagi setiap orang yang mendapat nikmat selalu ada orang yang menghasudnya. (HR. Thabrani) 
  3. Mendorong keinginan untuk berbuat maksiat, seperti menggunjing orang, bohong, marah, senang jika orang lain mendapat musibah terutama jika menimpa musuhnya. 
  4. Kebutaan hati dalam meraih yang terbaik karena sibuk memikirkan bagaiman cara mencelakakan orang lain 
  5. Terhambat mendapatkan keuntungan terutama keuntungan hakiki, karena hati tidak pernah khusyuk apalagi konsentrasi terhadap yang diniatkan.
f.      Rusaknya hasil ketaatan, Rasulullah bersabda “jagalah dirimu dari hasud, karena sesungguhnya hasud dapat menghapus semua kebaikan , seperti api melalp kayu bakar. (HR. Dailami) 
       g. Tidak akan diakui sebagai umat rasul dan tidak akan mendapat nikmat syafaatnya pada hari kiamat.
           h.      Masuk neraka tanpa dihisab terlebih dahulu.
Sifat hasud bisa timbul karena:[10]
  1. Sifat kikir yang berlebihan 
  2. Takabur 
  3. Kalah bersaing dalam merebut simpati orang/dalam usaha 
  4. Cinta dunia 
  5. Merasa sakit jika orang lain mempunyai kelebihan 
  6. Tidak iman kepada qadha’ dan qadar
Kedengkian dapat membuat hati seseorang buta.(ingat kisah Habil dan Qabil). Allah membenci sifat dengki, maka Dia memerintahkan kita untuk mohon perlindungan padaNya dari sifat ini. (QS. Al-falaq : 5)
Sifat ini dapat diobati dengan membiasakan rasa syukur, apapun dan seberapapun yang telah diperoleh. Syukur kepada allah dan orang lain. Sifat dengki dapat diarahkan kepada ightibah yakni suatu kekaguman terhadap prestasi atau kesuksesan terhadap kesuksesan orang lain, ingin menirunya, tanpa ‘mengganggu’ orang lain. Berarti sifat sifat ini dapat mendorong seseorang untuk lebih berprestasi.
      Selain itu untuk menyelamatkan diri dari sifat hasud, hendaknya melakukan:[11] 
  1. Menjauhi semua penyebabnya 
  2. Mewaspadai bahayanya 
  3. Membiasakan sifat nasihat yaitu, memberikan dukungan positif terhadap apa yang dialami saudara kita, baik yang menguntungkan apalagi yang merugikannya.
4.      Sombong (takabbur), yakni merasa dirinya lebih baik daripada orang lain, misalnya merasa lebih terhormat, lebih pantas, lebih pintar, lebih kaya, lebih tampan/cantik, dan sebagainya. Sehingga sifat ini cenderung melecehkan dan memandang rendah terhadap orang lain tanpa ada rasa bersalah, dan tak jarang tega menzalimi atau berbuat aniaya terhadap orang lain. Dahulu iblis menghina Nabi Adam AS karena kesombongannya (QS. Al-A’raf :12) dan Allah mengutuknya. Mengobati kesombongan adalah menumbuhkan kesadaran bahwa hanya allahlah yang berhak sombong (Almutakabbir), selain dirinya yang kecil dan lemah, sebab segala sesuatu bergantung kepadaNya. Tumbuhkan sikap rendah hati (tawadhu’)ini, dan sikap kerendahan hati justru menampakkan kemuliaan seseorang. Sekalipun demikian sifat sombong dapat diambil spiritnya, yakni punya rasa percaya diri dan menjadi semangat untuk jadi yang terbaik.[12] Bahaya yang paling fatal bagi kebahagiaan dan musuh terbesar bagi umat manusia adalah kesombongan dan percaya diri yang berlebihan.[13]
5.     Kikir (bakhil) adalah seseorang yang tak ingin apa yang dimiliki terlepas darinya, sengaja ataupun tidak. Biasanya sifat ini berkaitan dengan sifat egoistis, dan allah melarangnya dalam (QS. Al-Isra’: 29) serta (QS. Ali imran: 92), sifat ini harus diobati dengan menumbuhkan kesadaran bahwa roda kehidupan  berputar, jika sekarang berada di atas mungkin suatu saat akan berada di bawah, butuh bantuan/pengorbanan orang lain. Apalagi pada hakikatnya segala sesuatu yang kita punya adalah titipan Allah, kalau boleh status kita di dunia ini diumpamakan hanyalah seperti ‘Si tukang parkir’. Si tukang parkir harus rela melepaskan mobil yang dijaganya. Demikian pula harta, yang empunya ialah Allah SWT, jika sewaktu-waktu Dia yang empunya itu harus mengambil titipannya, maka harta akan terlepas dari tangan. Sebelum dilepas paksa, maka usahakan dikeluarkan dengan suka rela, lewat infak, dan zakat. Sifat kikir yang telah disucikan dapat menjadi semangat untuk hidup hemat dan bersahaja sebagaiman yang dicontohkan oleh Rasulallah SAW.[14]
6.  Boros (israf), adalah suka berfoya-foya atau menghambur-hamburkan apa yang dimilikinya, termasuk, harta, waktu dan masa mudanya untuk hal-hal yang tidak berguna. Sifat ini tidak disukai Allah (QS. Al-an’am : 141) dan dilarang olehNya (QS. Al’isra’ :19) bahkan dinyatakan akan menjadi orang yang merugi. Sifat ini dapat disembuhkan dengan kesadaran bahwa manusia memiliki waktu atau umur, tapi kenyataan tak dapat menguasainya, punya harta tapi tidak dapat mengendalikan sepenuhnya. Manusia tak dapat menduga apalagi memastikan nasib diri sendiri, sehingga jika tidak antisipatif terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diharapkan, maka penyesalan yang akan dialami. Anamu sifat boros dapat diarahkan kepada sifat dermawan, selama masih tetap dalam perhitungan yang proporsional.
7.     Rakus (Al-hirshu), sifat ini mendorong seseorang untuk serakah, tidak mau mensyukuri apa yanag sudah ada, hatinya tak pernah puas, sehingga selalu merasa kurang. Jika menuruti sifat ini hanya akan menjadi budak hawa nafsu, mudah bertindak korup, menyeleweng, berselingkuh, dan lain-lain. Padahal islam mengajarkan manusia untuk selalu bersyukur (QS. Al-baqarah : 172). Hawa nafsu harus dikendalikan agar tidak menjerumuskan kita kepada kehinaan. Manusia berkeinginan memang tidak selamanya buruk, asal dapat membimbingkan ke arah yang positif, dapat menjadi penggugah hidup hingga menjadi lebih maju.
8.      Beburuk sangka (su”uuzhzhan),yaitu apa yang dilakukan orang lain, diintai dan dicurigai, apapun yang ada dan terjadi dihadapannya selalu salah, yang benar dan baik hanyalah dirinya. Sifat ini dilarang oleh allah didalam (QS. Al-hujurat :12). Berburuk sangka akan berlanjut pada sikap penuh kecurigaan, tidak komunikatif atau tidak kooperatif, dan suka mencela (taskhir). Semua sifat ini dilarang (QS. Al-hujurat : 11). Sifat ini perlu disembuhkandengan menyadari bahwa memercai orang lain itu penting dan akan membawa kebaikan, bagi diri yang memercai orang lain tersebut hati menjadi tenang, sedangkan bagi yang dipercaya akan merasa diuwongke (jawa: dihargai sebagai manusia). Sisi baik dari buruk sangka (yang disucikan) adalah menjadi sikap waspada dan hati-hati sehingga tidak sembarangan.
9.   Suka bohong (kidzib) adalah lawan dari sifat jujur (shiddiq). Sifat bohong suka membolak balikkan fakta dan menyembunyikan kebenaran, sifat ini dilarang dan dilaknat oleh Allah (QS. Ali imran : 61) dalam hal ini ada kisah menarik, seorang yang berdosa besar (perampok) dating kepada Nabi Muhammad menyampaikan niatnya ingin tobat, Nabi hanya mensyaratkannya : “jangan berbohong”! Setiap kali dia tergoda akan melakukan dosa lagi, selalu ingay pesan Nabi tadi, kemudian tak jadi berbuat. Jadi jujur membimbing seseorang pada kebaikan. Sisi baiknya kebohongan yang disucikan adalah bias menjadi tameng untuk taqiyyah pada saat darurat jika diperlukan, misalnya demi keselamatan jiwa (diri sendiri atau orang lain) orang terpaksa berbohong.

D.    Pengobatan Penyakit Hati
Cara mengobati penyaki hati, salah satunya dapat ditempuh dengan mensucikan hati, yaitu perpaduan dari konsep menjernihkan kalbu dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga lebih terfokus pada kiat-kiat sufiyah.[15]Hati yang buta jauh lebih berbahaya dari pada buta mata, karena orang yang buta hatinya dapat merusak siapa saja dan apa saja yang ada, termasuk dirinya sendiri.
Menurut Amin Syukur, pengobatan penyakit hati dapat dilakukan dengan menempuh Sembilan (9) kiat sufiyah yang harus diamalkan[16], yaitu :
  1. Bertaubat. Siapapun dan kapanpun, seorang salik harus melakukannya, karena taubat adalah modal dasar baginya, bermanfaat untuk dirinya. Untuk menjaga kelestarian taubatnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan terus menerus, yaitu :
a.   Muhasabah, Ibnu Muhammad Syatha mengajak : “Ikutilah taubatmu dengan muhasabah, yang akan mencegahmu meremehkan dan mengulangi dosa”
b.   Menjaga tujuh anggota tubuh (mata, lisan, telinga, perut, tangan, kaki dan kemaluan) dari kerja mereka yang dapat mendorong kepada maksiat dan dosa-dosa.
c.     Tekun beribadah. Ibaratnya, taubat adalah pondasi dan ibadah adalah bangunan di atasnya. Keinginannsetiap orang tentu pondasi harus kuat dan bangunan juga harus seindah mungkin.
  1. Qana’ah. Yaitu perasaan rela menerima pemberian yang sedikit. Maka dia tidak pernah rakus maupun tamak dalam kehidupannya. Yang menyebabkan berhasilnya qana’ah dalam mencari hidup akhirat adalah rela meninggalkan sesuatu yang amat menarik dan membanggakan dari duniawi. 
  2.  Zuhd al-dunya. Adalah menentang keinginan atau kesenangan. Makna zuhd  adalah berpaling dari mencintai dunia menuju cinta ilahi. Maka yang perlu dilakukan zahid adalah menghilangkan rasa cinta dunia dari dalam hatinya, tapi tak perlu menghilangkan dunianya. Sikap zuhd  dalam hal ini berarti emlihat dunia hanya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan abadi akhirat. Dunia bukan tujuan hidup, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. 
  3. Mempelajari syari’at untuk meningkatkan kualitas takwanya. Secara garis besar ada 3 kandungan syari’at islam, yaitu ibadah, aqidah dan akhlaq. Ketiganya merupakan serangkaian amalan lahir dan batin sebagai bukti kesempurnaan iman seseorang. 
  4. Memelihara sunnah-sunnah Nabi Muhammad, baik dalam pengertian melaksanakan amalan/ibadah sunat maupun mencontoh adab (budi pekerti) Nabi. 
  5. Tawakkal. Adalah menyandarkan hati dan segala urusan hidupnya sepenuhnya kepada Allah SWT. 
  6. Ikhlas. Semata-mata karena Allah, merupakan dasar gerakan hati sebagai pusat seluruh ibadah. Maka, yang harus dihindari adalah riya, sum’ah, ujub dan takabur. 
  7. 'uzlah, yaitu menyendiri dari kehidupan sesama manusia. Ada yang memahaminya secara fisik, tapi sebenanya yang lebih utama adalah tetap al-julus (berdampingan) dan bergaul dengan masyarakat namun tetap bersikap ‘uzlah dalam menjaga dirinya. Maka untuk itu dibutuhkan kesabaran, ketabahan, kebesaran jiwa, kedewasaan dan tetap tanggap akan kebutuhan sosialnya. 
  8. Memperbanyak wirid dan dzikir, baik dengan hati, lisan, sikap maupun perbuatanya. 
Dengan berbagai amalan tersebut di atas diharapkan seorang salik dapat menempuh perjalanan spritualnya dengan baik dan benar, sehingga benar-benar sampai pada kondisi ma’rifatullah dengan hati yang mukasyafah (terbukanya hijab).
Selain itu, menurut Yahya Bin Muadz Ar Razi, seorang ulama yang wafat di Naishabur tahun 258 H, ada lima obat yang dapat menyembuhkan penyakit hati. Kelima obat tersebut sudah tak asing lagi di telinga kita, karena banyak seniman atau musisi yang menggubahnya menjadi sebuah syair lagu atau qasidah. Lima obat penyakit hati tersebut adalah :
  1. Qira’ah Al Qur’an bi at tafakkur - Moco Qur’an sak maknane - membaca Al Quran dengan maknanya 
  2. Qiyam al lail -  sholat wengi lakonono - sholat malam dirikanlah 
  3. Mujalasah as shalihin - wong kang sholeh kumpulono - berkumpullah dengan orang sholeh 
  4. Khala’ al bathn – kudhu weteng  ingkang luwe - kosongkan perut atau berpuasa 
  5. Tadzarru’ indza as sahr - dzikir wengi ingkang suwe - dzikir malam perpanjanglah 

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Ali, Yunasril, Jalan Kearifan Sufi: Tasawuf Sebagai Terapi Derita Manusia, Jakarta : Serambi, 2002. 
  • Hadad, As-Sayyid al-Allamah Abdullah, Menuu Ksesempurnaan Hidup, Bandung : Mizan, 1992 
  • Ibrahim, Rizal, Menghadirkan hati:panduan menggapai cinta ilahi,Yogyakarta : Pustaka sufi, 2003. 
  • Munjid, M. Shalih al-, Terapi Mengatasi Kecemasan, Jakarta : Robbani Press 
  • Musawi, Mujtaba, Psikologi Islam : Membangun kembali Generasi Muda, terj. Youth and Moral, Bandung : Pustaka Hidayah, 1990. 
  • Qorni, Uwes Al-, 60 Penyakit hati, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,1999. 
  • Qoyyim, Ibnu, Penawar Hati yang Sakit, Jakarta : Gema Insani, 2003. 
  • Rahmat, Jalaluddin, Dkk. Menyinari Relung-relung Ruhani. Bandung: Iiman dan Hikmah, 2002. 
  • Syukur, M. Amin dan Fathimah Usman, Terapi Hati, Jakarta: Erlangga,  2012. 
  • Syukur, Amin, Insan Kamil ; Paket Pelatiahn Seni Menata Hati, Semarang : Lembkota, 2004. 
  • Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.



[1] Jalaluddin rahmat, Dkk. Menyinari Relung-relung Ruhani. (Bandung: Iiman dan Hikmah, 2002), h. 27-28
[2]  Rizal Ibrahim. Menghadirkan hati:panduan menggapai cinta ilahi,(Yogyakarta: Pustaka sufi, 2003), h. 87
[3] M. Shalih al-Munjid, Terapi Mengatasi Kecemasan, (Jakarta : Robbani Press), h. 1-3
[4] M. Amin Syukur dan Fathimah Usman, Terapi Hati, (Jakarta: Erlangga,2012), h. 34-35
[5] As-Sayyid al-Allamah Abdullah Hadad, Menuu Ksesempurnaan Hidup, (Bandung : Mizan, 1992), h. 88-89
[6] Ibnu Qoyyim, Penawar Hati yang Sakit, (Jakarta : Gema Insani, 2003), 23
[7] Uwes Al-Qorni, 60 Penyakit hati,(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,1999), h. 83-84
[8] Mujtaba Musawi, Psikologi Islam : Membangun kembali Generasi Muda, terj. Youth and Moral, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1990),  h. 114
[9] Uwes Al-Qorni, 60 Penyakit Hati, h. 67-69
[10] Ibid, h.70
[11] ibid
[12] Amin Syukur, Insan Kamil ; Paket Pelatiahan Seni Menata Hati, (Semarang : Lembkota, 2004), h. 17
[13] Mujtaba Musawi, Psikologi Islam : Membangun kembali Generasi Muda, terj. Youth and Moral, h. 98
[14] Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), h. 37
[15] Yunasril Ali, Jalan Kearifan Sufi: Tasawuf Sebagai Terapi Derita Manusia, ( Jakarta : Serambi, 2002), h. 69
[16] Amin Syukur, Insan Kamil: Paket Pelatihan Seni Menata Hati, (Semarang : Lembkota,  2004), h. 4-5

0 komentar:

Posting Komentar