BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Stukrtur Mental atau Kerpibadian dalam
Perspektif Ilmuan Barat
Psikoanalisa adalah sebuah model
perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan model psikoterapi.
Hasil dari ilmu psikoanalisa mencangkup yang pertama adalah kehidupan mental
individu menjadi bisa dipahami, kemudian pemahaman terhadap sifat manusia bisa
diterapkan pada peredaran penderitaan manusia.
Kedua, adalah tingkah lakunya ditentukan oleh faktor-faktor tidak sadar.
Ketiga, yaitu perkembangan diri masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat
terhadap kepribadian di masa dewasa.
Keempat, yaitu teori psikoanalisis menyediakan kerangka kerja dalam yang
berharga untuk memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi
suatu kecemasan dengan mengandaikan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja
untuk menghindari luapan kecemasan. Dan yang kelima, pendekatan psikoanalisa
telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketidaksadaran melalui
analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan
transverensi-transverensi.[1]
Psikoanalisa menurut sejarahnya memiliki dua makna yang
berbeda. Pertama, merupakan suatu sistem
psikologi Sigmund Freud yang secara khusus menekankan peran alam bawah sadar
serta kekuatan-kekuatan dinamis dalam pengaturan fungsi psikis. Kedua,
merupakan bentuk terapi terutama sekali yang menggunakan asosiasi bebas serta
berpijak pada analisa transferensi dan resistensi, sering kali di pergunakan
untuk membedakan antara pendekatan Freudian dari pendekatan Neo-Freudian dalam
bidang psikoanalisa yang sesuai.[2]
Psikoloanalisa dibedakan menjadi tiga arti yang terdapat
pada artikel Freud. Pertama, istilah psikoanalisa dipakai untuk menunjukkan
suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti misalnya mimpi)
yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah. Kedua, istilah
ini menunjukkan juga suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang
dialami ppasien neurotis. Teknik pengobatan ini bertumpu pada metode penelitian
tadi. Ketiga, istilah yang sama dipakai pula dalam arti lebih luas lagi untuk
menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan
teknik tersebut. Dalam arti terakhir ini kata “psikoanalisa” mengacu pada suatu
ilmu pengetahuan yang di mata Freud betul-betul baru.[3]
Dua hal yang mendasari teori psikoanalisa Freud adalah
asumsi determinisme psikis dan asumsi motivasi tak sadar. Asumsi determinisme
psikis (psychic determinism) meyakini bahwa segala sesuatu yang
dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan individu mempunyai arti dan maksud, dan
itu semuanya secara alami sudah ditentukan. Adapun asumsi motivasi tidak sadar
(unconscious motivation) meyakini bahwa sebagian besar tingkah laku
individu (seperti perbuatan, berpikir, dan merasa) ditentukan oleh motif tak
sadar. Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga, dan tiga struktur itu
menjadi konsep utama yang ada pada teori psikoanalisa. Perlaku seseorang
merupakan hasil interaksi antara ketiga komponen tersebut.[4] Konsep-konsep
utama yang terdapat di psikoanalisa itu adalah struktur kepribadian yang
terdiri dari id, ego, dan superego.[5]
- Id (Das Es) adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya adalah prinsip kesenangan pleasure principle.
- Ego (Das Ich) adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorangan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego.
- Superego (Das Ueber Ich) adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh tidak boleh, sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.[6]
2.2. Struktur Mental atau Kepribadian dalam
Perspektif Islam
Islam menggunakan term fitrah dalam
menjelaskan tentang struktur mental atau kepribadian manusia. Karena fitrah
mempunyai makna yang lebih luas daripada id, ego, superego, bahkan lebih luas
daripada ruh, jism, dan nafs. Fitrah merupakan bentuk masdar dari fathara.
Pengertian fitrah sangat beragam. Makna yang sering digunakan untuk mengartikan
term fitrah adalah ‘penciptaan.’ Baik penciptaan pisik maupun psikis (an-nafs).
Fitrah juga menunjukkan kekhasan proses penciptaan manusia, baik penciptaan
pisik, psikis, maupun psikopisik. Struktur fitrah memiliki tiga dimensi
kepribadian yaitu dimensi pisik yang disebut fitrah jasmani, dimensi psikis
yang disebut fitrah ruhani, dan dimensi psikopisik yang disebut dengan fitrah
nafsani.
1.
Fitrah jismiyah
Jismiyah adalah
citra penciptaan pisik manusia yang terdiri atas struktur organisme pisik. Organisme
pisik manusia lebih sempurna daripada organisme pisik makhluk lainnya. Manusia
merupakan makhluk biotik yang mempunyai unsur-unsur pembentukan material abiotik
yang bersifat proposional antara 4 unsur yaitu tanah, api, udara, dan air.
Sehingga manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna dan terbaik
penciptaannya. Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.” (QS. al-Tin:4).
Material abiotik itu akan hidup jika diberi energi kehidupan yang bersifat pisik (thaqat al-jismiyah).
Energi kehidupan ini lazimnya disebut sebagai nyawa, karena memiliki nyawa
manusia hidup. Ibnu Muskawaih menyebut energi itu sebagai al-hayat (daya hidup),
dan Al-Ghazali menyebutnya al-ruh jasmaniyat (ruh material). Daya hidup ini
merupakan vitalitas pisik manusia dan vitalitas ini juga bergantung pada
konstitusi pisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, dan
lainnya.
2.
Fitrah
Ruhaniyah
Ruhiyah adalah
penciptaan psikis manusia yang mempunyai komponen, potensi, fungsi, sifat,
prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme tersendiri untuk mewujudkan hakekat
manusia yang sebenarnya. Ruh merupakan subtansi psikologis manusia yang menjadi
esensi keberadaannya, baik di dunia dan akhirat. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah
kesempurnaan awal jism alami manusia yang tinggi dan memiliki kehidupan dengan
daya. Menurut Ghazali, ruh merupakan latifah (sesuatu yang halus) yang bersifat
ruhani. Ia dapat berfikir, mengingat, mengetahui, dan sebagainya. Ia juga sebagai
penggerak jasad manusia. Sifatnya ghaib.
3.
Fitrah Nafsiyah
(gabungan ruh dan jasad)
Nafsiyah adalah
citra penciptaan psikopisik manusia. Pada fitrah ini, komponen jasad dan
komponen ruh bergabung. Fitrah ini memiliki gabungan antara unsur natur jasad
dan ruh manusia. Apabila kehidupannya berorientasi pada natur jasad maka
tingkah lakunya menjadi buruk, tetapi apabila mengacu pada natur ruh
kehidupannya menjadi baik dan selamat.[7]
Dalam islam istilah jiwa digunakalah
nafs (jiwa), qalb (hati), roh
dan aql (akal). Kata-kata ini kecuali aql terdapat dalam al-Qur’an (QS
:48) menunjukkan zat dalam keseluruhan, lebih menyatakan unsur penggerak dan
aktivitas biologis daripada arti yang sadar atau berfikir pada manusia. Ia
merupakan kata-kata umum meliputi manusia keseluruhannya, tidak khusus
menunjukkan pemikiran. kata nafs terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 367 kali.[8]
a. Aql
Tentang makna akal, Ibnu Taimiyya
berkata bahwa kata al-aql menurut kaum muslimin dan mayoritas ulama, sebenarnya
sifat. Al-aql itulah yang disebut potensi yang terdapat dalam diri orang yang
berakal. Al-aql adalah bentuk masdar dari aqa - ya’qilu -aqlan. Aql tidak bisa
dipakai untuk menyebut ilmu yang belum diamalkan pemiliknya, juga tidak bisa
dipakai untuk menyebut amal yang tidak dilandasi ilmu. Kata al-aql ini hanya
bisa dipakai untuk menyebut ilmu yang diamalkan dan amal yang dilandasi
ilmu. Ada yang berpedapat bahwa akal adalah
ilmu-ilmu (pengetahuan-pengetahuan) yang sifatnya aksiomatis. Ada juga yang
berpedapat bahwa akal adalah amal yang dilaksanakan berdasarkan ilmu. Ahmad Bin
Hambal dan al-Haris al-Muhaasibi memaparkan bahwa aql menangkap kedua-duanya.
Maksudnya, akal adalah insting itu sendiri yang ada pada manusia dan yang
menjadi alat untuk mengetahui, membeda-bedakan, dan memilih barang yang
bermanfaat dan meninggalkan yang
mudharat.[9]
b.
Qulb
Dalam sebuah hadis dari narasumber Abu Abdullah an-Nu’man
bin Basyir, Rasulullah bersabda: “Ala
wa inna fi al-jasadi mudghatan idza shalahat shalaha al-jasadu kulluh, wa
idzafasadat fasada al-jasadu kulluh, ala
wa hiya al-qalb.” Yang artinya adalah “ketahuilah bahwa di dalam tubuh
manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baik pula seluruh tubuhnya,
jika ia rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal
daging itu adalah hati. (HR Bukhari
Muslim)”.
Arti qalb atau hati dalam hadis tersebut
didefinisikan sebanyak empat kata dalam
kitab Ihya’ Ulum Ad-din yaitu artinya hampir sama dengan qalb (hati), ruh
(roh), nafs (jiwa), dan aql (otak). Dan
dikatakan Qalb (hati) ada dua pengertian yaitu organ tubuh yang di dalam dada,
berupa segumpal daging, yang memiliki tidak hanya oleh manusia tetapi juga oleh
hewan. Arti lainnya adalah bahwa dia adalah suatu karunia Tuhan yang tidak
bersifat organic, tetapi ada hubungannya dengan organ tersebut di atas. Dia
merupakan hakikat manusia yang mengenal, yang mengetahui, yang mengerti, yang
berbicara, yang mencela, yang menuntut, dan yang menghukum.
Dikatakan Ruh atau roh karena di
satu pihak, ia adalah organ yang amat lembut, yang pangkalnya terdapat di
rongga yang ada dalam organ hati, kemudian menyebar melalui urat-urat ke
seluruh tubuh. Di lain pihak, dia merupakan data atau potensi yang ada dalam
diri manusia untuk mengenal dan mengetahui.
Qalb dikatakan sebagai Nafs, yaitu
dalam suatu pengertian dia adalah potensi dari dalam diri manusia untuk marah
dan bersyahwat (gerakan jiwa untuk mencari kenikmatan). Di lain pengertian, ia
adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan, yang merupakan hakikat manusia dan
jiwa serta zatnya. Jika nafsu itu tenang, maka disebut nafs mutmainnah, jika
nafs itu tidak tenang dan menentang nafsu syahwat maka disebut nafs lawwamah,
artinya yang mencela diri manusia karena lengah beribadat kepada Tuhan. Jika
dia tunduk kepada perintah setan maka disebut nafs amarah bi assu, yaitu jiwa
yang selalu menyuruh mengerjakan kejahatan.
Sedangkan dalam al-Qur’an, nafsu itu
ada dua macam. Yang pertama adalah nafsu yang selalu mempengaruhi mendorong
manusia dalam berbuat kejahatan yang disebut nafs fajirah (nafsu jahat) atau
nafsu ammarah bi assu yaitu jiwa yang menyuruh pada kejahatan. Yang kedua ada
juga nafsu baik yang mengajak dan menganjurkan manusia untuk berbuat kebaikan
serta tidak senang terhadap kejahatan. Bahkan dia selalu mengecam perbuatan
jahat yang dilakukan oleh manusia. Nafsu ini di dalam al-Qur’an disebut dengan
nafs lawwamah artinya nafsu
pencela. Kedua nafsu itu akan terus
berperang. Sebagai contoh, dalam kehidupan keseharian manusia dihadapkan pada
pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat, untuk mencuri atau tidak mencuri,
untuk berbuat serong atau tidak, untuk mendengar bisikan perintah “lakukan”
atau bisikan larangan “jangan lakukan”. Jika pengumpulan antara kedua nafsu
tersebut dimenangkan oleh nafsu yang baik, maka berarti setan dapat dikuasai
dan jiwa manusia akan kembali kepada Tuhan dengan keadaan tenang dan puas serta
mendapat ridla Allah. Nafsu yang demikian rupa di dalam al-Qur’an disebut nafs
mutmainnah. Memang manusia dalam perjalanan menuju kembali ke Tuhannya tidak
selalu mulus. Manusia terus-menerus hidup dalam perjuangan menuju kehariban
Sang Pencipta. Dalam al-Qur’an terdapat ayat, yang artinya sebagai berikut, “wahai
manusia, engkau ini seorang yang terus-menerus berusaha dengan susah payah menuju
kepada Tuhanmu, maka engkau pasti akan menemui-Nya.”
c. Hawa
Hawa adalah potensi (energi mental)
yang mendorong untuk mencapai apa yang diinginkan. Dan pada dasarnya hawa
adalah potensi yang positif. Hanya saja dorongan, motivasi, dan ambisi-ambisi
tersebut harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak berubah menjadi
ambisius yang menjerumuskan pada sifat-sifat arogansi dan tindakan yang luar
kendali. Hawa yang tidak terkendali akan mencelakakan orang-lain dan juga diri
sendiri. Oleh sebab itu amatlah penting untuk mengendalikan hawa. Kunci
pengendalian hawa terletak pada fikiran, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan
diri sendiri.
Dan hawa juga disebut dengan fitrah
manusia itu sendiri yang tidak mungkin
dapat dibuang atau dipungkiri , sekaligus merupakan bagian dari anugerah Allah
sebagai daya pendorong untuk mewujudkan kemauan yang melahirkan gerak dan
kemauan. Hawa dengan segala potensinya lebih banyak mengarah pada dunia yang
gelap, penuh dengan sifat keburukan dan fana, dan tidak mungkin bisa dihapuskan
sama sekali dari potensi kalbu. Kemulian manusia justru berada pada dalam
dinamika hawa yang mampu dikendalikan, digiring menuju segala cinta dan
kebaikan. Hawa juga tercantum dalam Q.S. an-Nisa ayat 135:
Yang artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena
ingin menyimpang dari kebenaran…”
Sifat hawa yang hanya mengikuti ambisi untuk sekedar mendunia buta,
serta sifatnya yang selalu mengarah untuk menutup atau menghalangi pandangan
batin, dapat menjebak dan menyebabkan diri manusia tersesat dan bertambah asing
untuk mengenal hakikat cahaya Ilahi.[10]
Jadi, teori-teori kepribadian
seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat digambarkan strukturnya. Untuk
lebih jelasnya, dapat dilihat melalui bagan seperti di bawah ini:
Bagan. 2.2.1
2.3. Komparasi Teori Sturktur Mental dalam
Perspektif Barat dan Islam
Di dalam Psikologi Islam terdapat
beberapa kritikan terhadap psikoanalisis tentang pendapat Freud tentang teorinya. Teori Freud yang menyatakan
bahwa manusia hidup didorang oleh keinginan seksualnya. Dan eksistensi manusia
ditentukan pada pertahanan hasrat seksualnya. Dan teori ini mendapat tentangan
keras karena tidak bisa menjelaskan tentang aktualisasi diri atau juga
kebutuhan untuk beragama. Teori ini tidak mampu menjelaskan tentang dorongan
yang dimiliki Muslim untuk mendapat ridla Allah SWT. Konsep Psikoanalisis yang
terlalu menekankan pengaruh masa lalu (kecil) terhadap perjalanan manusia ini
dikritik banyak kalangan, karena dalam diri aliran ini terkandung pesimisme
yang besar pada setiap upaya pengembangan diri manusia. Setelah seseorang
mengalami masa kecil yang kelam seakan-akan tidak ada lagi harapan baginya
untuk hidup secara normal.
Terdapat sebuah pernyataan bahwa
bayi terlahir ia hanya memiliki libido. Kemudian tumbuhlah superego lalu
kemudian berfungsilah ego. Id adalah dorongan-dorongan yang ingin selalu
dipuaskan. Ketika lahir ia hanya mempunyai nafsu/id/libido. Maka dapat dikatakan bahwa psikoanalisa
memandang setiap manusia tidak mempunyai kebaikan yang alami karena
nafsu/libido/id nya yang murni di bawa sejak lahir dan satu-satunya yang
mendorong kehidupan manusia adalah dorongan id. Dan pendapat Freud juga
menyatakan bahwa agama bukanlah suatu dorongan yang alami atau asasi, melainkan
dorongan yang tercipta karena tuntutan lingkungan. Freud juga menyatakan bahwa
agama itu adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri. Bagi freud, agama
dalam ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi, yakni kepercayaan yang dasar
utamanya adalah angan-angan. Hal ini
berbeda dengan QS. Ar-rum ayat 30 :
Artinya : “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”
Yang
dimaksud fitrah pada ayat tersebut adalah fitrah manusia yang mempunyai naluri
beragama. Jika ada seseorang yang tidak beragama maka hal itu dikatakan tidak
wajar. Justru mereka tidak beragama tauhid lantaran pengaruh lingkungan.[11]
Jadi, yang terpapar dalam penafsiran QS. Ar-rum ayat 30 diatas dengan pendapat
Freud saling bertolak belakang.
Islam
tidak pernah memisahkan antara ilmu dan agama.
Di dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang berisikan tentang aspek
terapi bagi penyembuhan gangguan jiwa yaitu QS. Yunus 57 yang arti dari ayatnya
adalah, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk
serta rahmat yang beriman”. Salah satu contoh terapi pada ayat ini adalah
shalat. Ada 4 aspek terapeutik yang
terdapat dalam shalat: aspek olahraga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti, dan
aspek kebersamaan.[12]
[1] Gerald Corey, Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika Aditama, 1997),
hal. 13
[2] Raymond
Corsini, Psikoterapi Dewasa Ini, (Surabaya:
Ikon Teralitera, 2003), hal.1
[3] Sigmund Freud,
Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah, (Jakarta: PT.Gramedia,1984),
hal.13
[4] Syamsu Yusuf,
dkk, Teori Kepribadian, (Jakarta: Upi dan Remaja Rosdakarya, 2008), hal.
35
[5] Gerald Corey, Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika Aditama, 1997),
hal.15
[6] Nina W. Syam, Psikologi
sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011),
hal. 56
[7] Abdul Mujib, Fitrah
dan Kepribadian Islam, (Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 53
[8] Hasan
Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: al Husna, 1986),
hal. 308
[9] M. Sayyid, M.
Azza’balawi, Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa, (Jakarta:
Gema Insani, 2007), hal. 54
[10] Toto Tasmara,
Menuju Muslim Kaffah: Menggali Potensi Diri, (Jakarta: Gema Insani, 2000 ),
hal. 140
[11] M. Nasib
Arrifai, Kemudahan dari Allah :
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir volume 1, (Jakarta : Gema Insani, 1999 ). hal.
448
[12] Djamaludin
Ancok dkk, Psikologi Islam (Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi),
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1994), hal. 98
0 komentar:
Posting Komentar