Jumat, 06 Juni 2014

Struktur Kepribadian Sigmun Freud dikomparasi Dengan Ruh, Qul, Nafs

Standard


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Stukrtur Mental atau Kerpibadian dalam Perspektif Ilmuan Barat
Psikoanalisa adalah sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan model psikoterapi. Hasil dari ilmu psikoanalisa mencangkup yang pertama adalah kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, kemudian pemahaman terhadap sifat manusia bisa diterapkan pada peredaran penderitaan manusia.  Kedua, adalah tingkah lakunya ditentukan oleh faktor-faktor tidak sadar. Ketiga, yaitu perkembangan diri masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepribadian di masa dewasa.  Keempat, yaitu teori psikoanalisis menyediakan kerangka kerja dalam yang berharga untuk memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi suatu kecemasan dengan mengandaikan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk menghindari luapan kecemasan. Dan yang kelima, pendekatan psikoanalisa telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketidaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan transverensi-transverensi.[1]
            Psikoanalisa menurut sejarahnya memiliki dua makna yang berbeda. Pertama,  merupakan suatu sistem psikologi Sigmund Freud yang secara khusus menekankan peran alam bawah sadar serta kekuatan-kekuatan dinamis dalam pengaturan fungsi psikis. Kedua, merupakan bentuk terapi terutama sekali yang menggunakan asosiasi bebas serta berpijak pada analisa transferensi dan resistensi, sering kali di pergunakan untuk membedakan antara pendekatan Freudian dari pendekatan Neo-Freudian dalam bidang psikoanalisa yang sesuai.[2]
            Psikoloanalisa dibedakan menjadi tiga arti yang terdapat pada artikel Freud. Pertama, istilah psikoanalisa dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti misalnya mimpi) yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah. Kedua, istilah ini menunjukkan juga suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami ppasien neurotis. Teknik pengobatan ini bertumpu pada metode penelitian tadi. Ketiga, istilah yang sama dipakai pula dalam arti lebih luas lagi untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik tersebut. Dalam arti terakhir ini kata “psikoanalisa” mengacu pada suatu ilmu pengetahuan yang di mata Freud betul-betul baru.[3] 
            Dua hal yang mendasari teori psikoanalisa Freud adalah asumsi determinisme psikis dan asumsi motivasi tak sadar. Asumsi determinisme psikis (psychic determinism) meyakini bahwa segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan individu mempunyai arti dan maksud, dan itu semuanya secara alami sudah ditentukan. Adapun asumsi motivasi tidak sadar (unconscious motivation) meyakini bahwa sebagian besar tingkah laku individu (seperti perbuatan, berpikir, dan merasa) ditentukan oleh motif tak sadar. Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga, dan tiga struktur itu menjadi konsep utama yang ada pada teori psikoanalisa. Perlaku seseorang merupakan hasil interaksi antara ketiga komponen tersebut.[4] Konsep-konsep utama yang terdapat di psikoanalisa itu adalah struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego, dan superego.[5]




  • Id (Das Es) adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya adalah prinsip kesenangan pleasure principle.
  • Ego (Das Ich) adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorangan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. 
  •  Superego (Das Ueber Ich) adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh tidak boleh, sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.[6] 

2.2.  Struktur Mental atau Kepribadian dalam Perspektif Islam
Islam menggunakan term fitrah dalam menjelaskan tentang struktur mental atau kepribadian manusia. Karena fitrah mempunyai makna yang lebih luas daripada id, ego, superego, bahkan lebih luas daripada ruh, jism, dan nafs. Fitrah merupakan bentuk masdar dari fathara. Pengertian fitrah sangat beragam. Makna yang sering digunakan untuk mengartikan term fitrah adalah ‘penciptaan.’ Baik penciptaan pisik maupun psikis (an-nafs). Fitrah juga menunjukkan kekhasan proses penciptaan manusia, baik penciptaan pisik, psikis, maupun psikopisik. Struktur fitrah memiliki tiga dimensi kepribadian yaitu dimensi pisik yang disebut fitrah jasmani, dimensi psikis yang disebut fitrah ruhani, dan dimensi psikopisik yang disebut dengan fitrah nafsani.
1.      Fitrah jismiyah
Jismiyah adalah citra penciptaan pisik manusia yang terdiri atas struktur organisme pisik. Organisme pisik manusia lebih sempurna daripada organisme pisik makhluk lainnya. Manusia merupakan makhluk biotik yang mempunyai unsur-unsur pembentukan material abiotik yang bersifat proposional antara 4 unsur yaitu tanah, api, udara, dan air. Sehingga manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna dan terbaik penciptaannya. Firman Allah Swt:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Tin:4).
Material abiotik itu akan hidup jika diberi energi kehidupan  yang bersifat pisik (thaqat al-jismiyah). Energi kehidupan ini lazimnya disebut sebagai nyawa, karena memiliki nyawa manusia hidup. Ibnu Muskawaih menyebut energi itu sebagai al-hayat (daya hidup), dan Al-Ghazali menyebutnya al-ruh jasmaniyat (ruh material). Daya hidup ini merupakan vitalitas pisik manusia dan vitalitas ini juga bergantung pada konstitusi pisik seperti susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, dan lainnya. 
2.      Fitrah Ruhaniyah
Ruhiyah adalah penciptaan psikis manusia yang mempunyai komponen, potensi, fungsi, sifat, prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme tersendiri untuk mewujudkan hakekat manusia yang sebenarnya. Ruh merupakan subtansi psikologis manusia yang menjadi esensi keberadaannya, baik di dunia dan akhirat. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jism alami manusia yang tinggi dan memiliki kehidupan dengan daya. Menurut Ghazali, ruh merupakan latifah (sesuatu yang halus) yang bersifat ruhani. Ia dapat berfikir, mengingat, mengetahui, dan sebagainya. Ia juga sebagai penggerak jasad manusia. Sifatnya ghaib.
3.      Fitrah Nafsiyah (gabungan ruh dan jasad)
Nafsiyah adalah citra penciptaan psikopisik manusia. Pada fitrah ini, komponen jasad dan komponen ruh bergabung. Fitrah ini memiliki gabungan antara unsur natur jasad dan ruh manusia. Apabila kehidupannya berorientasi pada natur jasad maka tingkah lakunya menjadi buruk, tetapi apabila mengacu pada natur ruh kehidupannya menjadi baik dan selamat.[7]
Dalam islam istilah jiwa digunakalah nafs (jiwa),  qalb (hati), roh dan aql (akal). Kata-kata ini kecuali aql terdapat dalam al-Qur’an (QS :48) menunjukkan zat dalam keseluruhan, lebih menyatakan unsur penggerak dan aktivitas biologis daripada arti yang sadar atau berfikir pada manusia. Ia merupakan kata-kata umum meliputi manusia keseluruhannya, tidak khusus menunjukkan pemikiran. kata nafs terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 367 kali.[8]
            a. Aql
Tentang makna akal, Ibnu Taimiyya berkata bahwa kata al-aql menurut kaum muslimin dan mayoritas ulama, sebenarnya sifat. Al-aql itulah yang disebut potensi yang terdapat dalam diri orang yang berakal. Al-aql adalah bentuk masdar dari aqa - ya’qilu -aqlan. Aql tidak bisa dipakai untuk menyebut ilmu yang belum diamalkan pemiliknya, juga tidak bisa dipakai untuk menyebut amal yang tidak dilandasi ilmu. Kata al-aql ini hanya bisa dipakai untuk menyebut ilmu yang diamalkan dan amal yang dilandasi ilmu.  Ada yang berpedapat bahwa akal adalah ilmu-ilmu (pengetahuan-pengetahuan) yang sifatnya aksiomatis. Ada juga yang berpedapat bahwa akal adalah amal yang dilaksanakan berdasarkan ilmu. Ahmad Bin Hambal dan al-Haris al-Muhaasibi memaparkan bahwa aql menangkap kedua-duanya. Maksudnya, akal adalah insting itu sendiri yang ada pada manusia dan yang menjadi alat untuk mengetahui, membeda-bedakan, dan memilih barang yang bermanfaat  dan meninggalkan yang mudharat.[9]
b. Qulb
            Dalam sebuah hadis dari narasumber Abu Abdullah an-Nu’man bin Basyir, Rasulullah bersabda:  Ala wa inna fi al-jasadi mudghatan idza shalahat shalaha al-jasadu kulluh, wa idzafasadat fasada al-jasadu kulluh,  ala wa hiya al-qalb.” Yang artinya adalah “ketahuilah bahwa di dalam tubuh manusia terdapat  segumpal daging,  jika ia baik maka baik pula seluruh tubuhnya, jika ia rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.  (HR Bukhari Muslim)”.
            Arti qalb atau hati dalam hadis tersebut didefinisikan  sebanyak empat kata dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-din yaitu artinya hampir sama dengan qalb (hati), ruh (roh), nafs (jiwa),  dan aql (otak). Dan dikatakan Qalb (hati) ada dua pengertian yaitu organ tubuh yang di dalam dada, berupa segumpal daging, yang memiliki tidak hanya oleh manusia tetapi juga oleh hewan. Arti lainnya adalah bahwa dia adalah suatu karunia Tuhan yang tidak bersifat organic, tetapi ada hubungannya dengan organ tersebut di atas. Dia merupakan hakikat manusia yang mengenal, yang mengetahui, yang mengerti, yang berbicara, yang mencela, yang menuntut, dan yang menghukum.
Dikatakan Ruh atau roh karena di satu pihak, ia adalah organ yang amat lembut, yang pangkalnya terdapat di rongga yang ada dalam organ hati, kemudian menyebar melalui urat-urat ke seluruh tubuh. Di lain pihak, dia merupakan data atau potensi yang ada dalam diri manusia untuk mengenal dan mengetahui.
Qalb dikatakan sebagai Nafs, yaitu dalam suatu pengertian dia adalah potensi dari dalam diri manusia untuk marah dan bersyahwat (gerakan jiwa untuk mencari kenikmatan). Di lain pengertian, ia adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan, yang merupakan hakikat manusia dan jiwa serta zatnya. Jika nafsu itu tenang, maka disebut nafs mutmainnah, jika nafs itu tidak tenang dan menentang nafsu syahwat maka disebut nafs lawwamah, artinya yang mencela diri manusia karena lengah beribadat kepada Tuhan. Jika dia tunduk kepada perintah setan maka disebut nafs amarah bi assu, yaitu jiwa yang selalu menyuruh mengerjakan kejahatan.
Sedangkan dalam al-Qur’an, nafsu itu ada dua macam. Yang pertama adalah nafsu yang selalu mempengaruhi mendorong manusia dalam berbuat kejahatan yang disebut nafs fajirah (nafsu jahat) atau nafsu ammarah bi assu yaitu jiwa yang menyuruh pada kejahatan. Yang kedua ada juga nafsu baik yang mengajak dan menganjurkan manusia untuk berbuat kebaikan serta tidak senang terhadap kejahatan. Bahkan dia selalu mengecam perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia. Nafsu ini di dalam al-Qur’an disebut dengan nafs  lawwamah artinya nafsu pencela.  Kedua nafsu itu akan terus berperang. Sebagai contoh, dalam kehidupan keseharian manusia dihadapkan pada pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat, untuk mencuri atau tidak mencuri, untuk berbuat serong atau tidak, untuk mendengar bisikan perintah “lakukan” atau bisikan larangan “jangan lakukan”. Jika pengumpulan antara kedua nafsu tersebut dimenangkan oleh nafsu yang baik, maka berarti setan dapat dikuasai dan jiwa manusia akan kembali kepada Tuhan dengan keadaan tenang dan puas serta mendapat ridla Allah. Nafsu yang demikian rupa di dalam al-Qur’an disebut nafs mutmainnah. Memang manusia dalam perjalanan menuju kembali ke Tuhannya tidak selalu mulus. Manusia terus-menerus hidup dalam perjuangan menuju kehariban Sang Pencipta. Dalam al-Qur’an terdapat ayat, yang artinya sebagai berikut, “wahai manusia, engkau ini seorang yang terus-menerus berusaha dengan susah payah menuju kepada Tuhanmu, maka engkau pasti akan menemui-Nya.”
            c. Hawa
Hawa adalah potensi (energi mental) yang mendorong untuk mencapai apa yang diinginkan. Dan pada dasarnya hawa adalah potensi yang positif. Hanya saja dorongan, motivasi, dan ambisi-ambisi tersebut harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak berubah menjadi ambisius yang menjerumuskan pada sifat-sifat arogansi dan tindakan yang luar kendali. Hawa yang tidak terkendali akan mencelakakan orang-lain dan juga diri sendiri. Oleh sebab itu amatlah penting untuk mengendalikan hawa. Kunci pengendalian hawa terletak pada fikiran, keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan diri sendiri.
Dan hawa juga disebut dengan fitrah manusia itu sendiri yang  tidak mungkin dapat dibuang atau dipungkiri , sekaligus merupakan bagian dari anugerah Allah sebagai daya pendorong untuk mewujudkan kemauan yang melahirkan gerak dan kemauan. Hawa dengan segala potensinya lebih banyak mengarah pada dunia yang gelap, penuh dengan sifat keburukan dan fana, dan tidak mungkin bisa dihapuskan sama sekali dari potensi kalbu. Kemulian manusia justru berada pada dalam dinamika hawa yang mampu dikendalikan, digiring menuju segala cinta dan kebaikan. Hawa juga tercantum dalam Q.S. an-Nisa ayat 135:


Yang artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari kebenaran…”
Sifat hawa yang hanya mengikuti ambisi untuk sekedar mendunia buta, serta sifatnya yang selalu mengarah untuk menutup atau menghalangi pandangan batin, dapat menjebak dan menyebabkan diri manusia tersesat dan bertambah asing untuk mengenal hakikat cahaya Ilahi.[10]
Jadi, teori-teori kepribadian seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat digambarkan strukturnya. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat melalui bagan seperti di bawah ini:
 Bagan. 2.2.1                                    


 2.3.  Komparasi Teori Sturktur Mental dalam Perspektif Barat dan Islam
Di dalam Psikologi Islam terdapat beberapa kritikan terhadap psikoanalisis tentang pendapat Freud  tentang teorinya. Teori Freud yang menyatakan bahwa manusia hidup didorang oleh keinginan seksualnya. Dan eksistensi manusia ditentukan pada pertahanan hasrat seksualnya. Dan teori ini mendapat tentangan keras karena tidak bisa menjelaskan tentang aktualisasi diri atau juga kebutuhan untuk beragama. Teori ini tidak mampu menjelaskan tentang dorongan yang dimiliki Muslim untuk mendapat ridla Allah SWT. Konsep Psikoanalisis yang terlalu menekankan pengaruh masa lalu (kecil) terhadap perjalanan manusia ini dikritik banyak kalangan, karena dalam diri aliran ini terkandung pesimisme yang besar pada setiap upaya pengembangan diri manusia. Setelah seseorang mengalami masa kecil yang kelam seakan-akan tidak ada lagi harapan baginya untuk hidup secara normal.
Terdapat sebuah pernyataan bahwa bayi terlahir ia hanya memiliki libido. Kemudian tumbuhlah superego lalu kemudian berfungsilah ego. Id adalah dorongan-dorongan yang ingin selalu dipuaskan. Ketika lahir ia hanya mempunyai nafsu/id/libido.  Maka dapat dikatakan bahwa psikoanalisa memandang setiap manusia tidak mempunyai kebaikan yang alami karena nafsu/libido/id nya yang murni di bawa sejak lahir dan satu-satunya yang mendorong kehidupan manusia adalah dorongan id. Dan pendapat Freud juga menyatakan bahwa agama bukanlah suatu dorongan yang alami atau asasi, melainkan dorongan yang tercipta karena tuntutan lingkungan. Freud juga menyatakan bahwa agama itu adalah reaksi manusia atas ketakutannya sendiri. Bagi freud, agama dalam ciri-ciri psikologisnya adalah sebuah ilusi, yakni kepercayaan yang dasar utamanya adalah angan-angan.  Hal ini berbeda dengan  QS. Ar-rum ayat 30 :
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
            Yang dimaksud fitrah pada ayat tersebut adalah fitrah manusia yang mempunyai naluri beragama. Jika ada seseorang yang tidak beragama maka hal itu dikatakan tidak wajar. Justru mereka tidak beragama tauhid lantaran pengaruh lingkungan.[11] Jadi, yang terpapar dalam penafsiran QS. Ar-rum ayat 30 diatas dengan pendapat Freud saling bertolak belakang.
Islam tidak pernah memisahkan antara ilmu dan agama.  Di dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang berisikan tentang aspek terapi bagi penyembuhan gangguan jiwa yaitu QS. Yunus 57 yang arti dari ayatnya adalah, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat yang beriman”. Salah satu contoh terapi pada ayat ini adalah shalat.  Ada 4 aspek terapeutik yang terdapat dalam shalat: aspek olahraga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti, dan aspek kebersamaan.[12]


[1] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika Aditama, 1997), hal. 13
[2] Raymond Corsini,  Psikoterapi Dewasa Ini, (Surabaya: Ikon Teralitera, 2003), hal.1
[3] Sigmund Freud, Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah, (Jakarta: PT.Gramedia,1984), hal.13
[4] Syamsu Yusuf, dkk, Teori Kepribadian, (Jakarta: Upi dan Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 35
[5] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: Refika Aditama, 1997), hal.15
[6] Nina W. Syam, Psikologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011), hal. 56
[7] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam, (Jakarta: Darul Falah, 1999), hal. 53
[8] Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: al Husna, 1986), hal. 308
[9] M. Sayyid, M. Azza’balawi, Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hal. 54
[10] Toto Tasmara, Menuju Muslim Kaffah: Menggali Potensi Diri, (Jakarta: Gema Insani, 2000 ), hal. 140
[11] M. Nasib Arrifai, Kemudahan dari Allah  : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir volume 1, (Jakarta : Gema Insani, 1999 ). hal. 448
[12] Djamaludin Ancok dkk, Psikologi Islam (Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi), (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1994), hal. 98

0 komentar:

Posting Komentar