"T E R A P I R E A L I T A S"
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Tokoh Terapi Realitas
(William Glasser)
William Glasser lahir tahun 1925,
mendapatkan pendidikan di Cleveland dan menyelesaikan sekolah dokter di Case
Western Reserve University pada tahun 1953. Glasser menjadi insinyur kimia pada
usia 19 dan dokter pada usia 28, kemudian mengikuti latihan psikiatri pada
Veterans Administration Center di Los Angeles Barat, melewatkan tahun
terakhirnya di University of California di Los Angeles pada tahun 1957, dan
mendapatkan sertifikat pada tahun 1961. Selama masa latihan Glasser menjadi
sadar bahwa ada perbedaan besar antara apa yang diajarkan dengan apa yang
diperkirakan olehnya dapat dilakukan. Perbedaannya terpusat pada dua titik
penting: (1) daripada sikap menjauhkan diri dan terpisah, dia berpendapat bahwa
hasil akhir yang baik nampaknya akan bisa dicapai dengan keterlibatan yang
hangat didasari oleh minat pribadi dan satu pengungkapan diri, (2) daripada
menjadi korban dari impulsnya sendiri atau yang berasal dari luar dirinya,
menurut pendapatnya yang sebenarnya terjadi adalah bahwa klien nampaknya
memilih apa yang mereka lakukan untuk kehidupannya; mereka tidak pernah menjadi
korban seumur hidup kecuali memang mereka memilih untuk menjadi seperti itu.
William Glasser adalah seorang
psikiater yang mengembangkan konseling realitas pada tahun 1950-an. Glasser
mengembangkan teori ini karena merasa tidak puas dengan praktek psikiatri yang
telah ada dan dia mempertanyakan dasar-dasar keyakinan terapi yang berorientasi
kepada Freudian. Pada mulanya Glasser belajar dibidang teknik kimia di
Universitas Case Institute Of Technology. Pada usia 19 tahun ia dilaporkan
sebagai penderita shynes atau rasa malu yang akut.[1]
Pada perkembangan selanjutnya
Glasser tertarik studi psikologi, kemudian dia mengambil program psikologi
klinis pada Western Reserve University dan membutuhkan waktu tiga tahun untuk
meraih gelar Ph.D ahirnya Glasser menekuni profesinya dengan menetapkan diri
sebagai psikiater. Setelah beberapa waktu melakukan praktek pribadi dibidang
klinis Glasser mendapatkan kepercayaan dari California Youth Authority sebagai
kepala psikiater di Ventura School For Girl. Mulai saat itulah Glasser
melakukan eksperimen tentang prinsip dan teknik reality terapi.[2]
Pada tahun 1956 Glasser menjabat
sebagai psikiatris pembimbing pada Sekolah Putri Perawatan Anak Nakal di
Ventura California. Pengalaman ini lebih menebalkan lagi keyakinannya betapa
teknik dan konsep psikoanalitik itu tidak banyak manfaatnya, karena itu Glasser
mengembangkan pendekatan terapeutik yang berbeda pada banyak seginya yang mana sangat berlawanan dengan
psikoanalisis gaya Freud.
Pada tahun 1957, Glasser
menduduki posisi kepala psikiatri di California, menangani kenakalan remaja
putri Ventura. Ia mulai menerapkan
konsep-konsepnya yang telah dimulai di V.A. Hospital.
Ia menerapkan program yang menempatkan tanggungjawab situasi sesaat bagi
remaja-remaja putri ini dan tanggungjawab atas masa depannya. Aturan-aturan di
lembaga ini diperbaharui yakni mengutamakan kebebasan dan memperlunak
konsekuensi dari pelanggaran. Hukuman dibatasi dari program, bila remaja putri
ini melanggar peraturan tidak dihukum namun juga tidak diampuni. Alih-alih
menghukum atau mengampuni, diberikan tanggung jawab pribadi dan ditanyakan
tentang rencana selanjutnya dan dicari kesepakatan atas tingkah laku mereka
yang baru. Atas dasar semua ini, Glasser mengharap stafnya untuk melaksanakan
penyembuhan melalui terlibat dalam kehidupan konseli, memberikan bantuan dengan
penuh pujian yang ikhlas. Program ini terlaksana, staf antusias, remaja putri
ini hidup dengan harapan-harapan positif dan ternyata 20% mereke sembuh.
Selanjutnya di V.A hospital, Glasser
menerapkan program serupa dan membantu supervisornya. Hasilnya pasien-pasien
dalam waktu beberapa tahun mengalami kesembuhan sebanyak 75% dan rata-rata 200
pasien sembuh pada tahun-tahun selanjutnya.[3]
Tahun 1960-an Glasser bekerja
sebagai seorang konsultan pada pendidikan umum. Dimana ia praktekkan konsep
dasarnya tentang terapi realitas yang menghasilkan karya besarnya School
Without Failure (1969). Pada saat itu minat profesionalnya ia ubah menjadi
bagaimana guru dan murid saling berinteraksi, bagaimana belajar di sekolah itu
bisa dikaitkan dengan hidup pelajarnya, bagaimana sekolah itu sering memberi
sumbangannya pada “ identitas kegagalan” , dan bagaimana semua itu bisa diubah
untuk membuat suasana belajar menjadi hidup.[4]
Pada tahun 1961 Glasser menerbitkan
bukunya yang pertama, Mental Health or Mental illiness yang memberi landasan
pada terapi realitas.
Menjelang tahun 1965, pada waktu ia menerbitkan bukunya Terapi Realitas, dia mampu menyatakan keyakinan dasarnya, yaitu bahwa kita semua bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil untuk kemudian kita lakukan dalam hidup ini dan bahwa dalam lingkungan terapeutik yang hangat dan tidak bernada hukuman kita bersedia untuk belajar lebih banyak lagi untuk menentukan pilihan yang lebih efektif, atau cara yang lebih bertanggungjawab terhadap kehidupan kita ini.
Menjelang tahun 1965, pada waktu ia menerbitkan bukunya Terapi Realitas, dia mampu menyatakan keyakinan dasarnya, yaitu bahwa kita semua bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil untuk kemudian kita lakukan dalam hidup ini dan bahwa dalam lingkungan terapeutik yang hangat dan tidak bernada hukuman kita bersedia untuk belajar lebih banyak lagi untuk menentukan pilihan yang lebih efektif, atau cara yang lebih bertanggungjawab terhadap kehidupan kita ini.
Konsep ini diperluas, diperbaiki
dan disusun pada penerbitan tahun 1965: Reality Therapy:A New Approach to
Psichiatry. Tidak lama setelah penerbitan yang kedua ini,
Glasser membuka Institute of Reality Therapy yang
digunakan untuk melatih profesi-profesi layanan kemanusiaan. Sebagai kata
sambung atas suksesnya, sekolah-sekolah membutuhkan konsultasi Glasser, dan ia
dapat menyesuaikan dengan prosedur-prosedunya dengan setting sekolah. Ia
mempublikasikan ide ini dalam School Without Failure (1969)
dan mendirikan Educatinal Training
Centre yang di dalamnya guru-guru mendapat latihan konseling
realita.[5]
Glasser
menolak model Freudian, yang disebabkan psikiatri psikoanalitik.
Terapi realitas muncul dari ketidakpuasan Glasser dengan psikiatri
psikoanalitik seperti yang diajarkan selama pelatihannya. Glasser berfikir
bahwa ada tekanan yang terlalu besar pada perasaan dan riwayat masa lalu
konseli dan tidak ada penekanan yang cukup pada apa yang dilakukan konseli. Di
awal kariernya, Glasser merupakan seorang psikiater di Ventura sekolah
untuk anak perempuan, penjara dan sekolah yang dioperasikan oleh otoritas California
pemuda, Glasser menjadi yakin bahwa pelatihan psikoanalitik nya terbatas
kegunaan di penyuluhan anak-anak muda. Melalui pengamatan ini,
Glasser berpikir lebih baik untuk berbicara dengan bagian konseli
yang sehat, bukan sisi terganggu mereka. Glasser juga berpengaruh oleh G. L.
Harrington, seorang psikiater dan mentor. Harrington percaya mendapatkan pasien
yang terlibat dalam proyek-proyek di dunia nyata, dan pada akhir residensinya
Glasser mulai mengumpulkan semuanya dan pada tahun 1962 dikenal sebagai
realitas terapi.[6]
Glasser
menjadi yakin bahwa hal itu sangat penting bahwa klien menerima tanggung jawab
pribadi untuk perilaku mereka. Pada awal 1980-an, Glasser sedang mencari sebuah
teori yang bisa menjelaskan semua karyanya. Glasser belajar tentang teori
kontrol dari William Powers, dan ia percaya teori ini memiliki potensi besar.
Ia menghabiskan 10 tahun ke depan memperluas, merevisi, dan menjelaskan apa
yang awalnya diajarkan. Pada tahun 1996 Glasser telah menjadi yakin bahwa
revisi ini jadi telah berubah teori bahwa itu menyesatkan untuk terus
menyebutnya teori kontrol, dan ia berubah nama menjadi teori pilihan
menggambarkan semua yang ia kembangkan. Inti dari realitas terapi, sekarang
diajarkan ke seluruh dunia, adalah bahwa kita bertanggung jawab terhadap apa
yang kita pilih untuk dilakukan. Asumsi dasar adalah bahwa kita semua dapat
mengontrol kehidupan kita sekarang.[7]
Pada tahun 1969 Glasser berhenti
bekerja pada Ventura dan mulai saat itu mendirikan Institute For Reality
Theraphy Di Brent Wood. Selanjutnya menyelenggarakan educator treaning centre
yang bertujuan meneliti dan mengembangkan program-program untuk mencegah kegagalan sekolah. Banyak pihak yang dilatih
dalam lembaganya ini antara lain: perawat,
pengacara, dokter, polisi, psikolog, pekerja social dan guru.
Menjelang tahun 1972 pada waktu ia
menerbitkan bukunya The Identity Society, ia telah mulai meletakkan dasar dari
teori kontrol yang menjelaskan tidak hanya bagaimana kita harus berfungsi
sebagai individu, tetapi juga bagaimana kita berfungsi sebagai kelompok dan
bahkan sebagai masyarakat. Meskipun ide tentang teori kontrol bukanlah asli
ciptaan Glasser, sebagian besar dari karyanya bisa diaplikasikan pada suatu
sistem didasarkan pada pengamatannya yang dirangkum dalam bukunya
Control Theory (1985) yang kemudian diaplikasikan ke dalam pendidikan dalam bukunya Theory in the
Classroom (1986) serta The Quality School (1990) yang mengaplikasikan gagasan
ini pada pengelolaan sekolah.Glasser lebih dari 40 tahun hidup bersama istrinya
Naomi. Mereka beranak tiga orang, yang sedang menapaki profesinya sebagai
konselor, guru dan dokter mengikuti jejak ayahnya. Isterinya memberikan
dukungan yang besar terhadap karirnya dan membantu pada Institut Terapi
Realitas yang non profit dimana gagasan-gagasannya diajarkan diseluruh dunia.[8]
Terapi realitas adalah suatu sistem
yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan
model serta mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien
menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan
dirinya sendiri ataupun orang lain. Tujuan terapi ini ialah membantu seseorang
untuk mencapai otonomi.
Terapi
Realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena dalam
penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengkondisian operan
yang tidak ketat. Glasser mengembangkan terapi
realitas dan meraih popularitasnya karena berhasil menerjemahkan sejumlah
konsep modifikasi tingkah laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana
dan tidak berbelit-belit.[9]
B.
Hakikat Manusia dalam Terapi
Realitas
Hakikat manusia menurut konseling
realitas berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling
berdasarkan konseling realitas berdasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut:[10]
- Perilaku manusia didorong oleh usaha untuk menemukan kebutuhan dasarnya baik fisiologis maupun psikologis. Kebutuhan dasar seseorang adalah: (a) kebutuhan untuk menciptakan untuk mencintai dan dicintai, dan (b) kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna untuk diri sendiri dan untuk orang lain.
- Jika individu frustasi karena gagal memperoleh keputusan atau tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dia akan mengembangkan identitas kegagalan. Sebaliknya jika dia berhasil memperoleh kepuasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya maka akan mengembangkan identitas keberhasilan.
- Individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengubah identitasnya dari identitas kegagalan ke identitas keberhasilan. Individu yang bersangkutan adalah pihak yang mampu mengubah dirinya sendirinya.
- Faktor tanggung jawab adalah sangat penting pada manusia. Orang yang berusaha memperoleh kepuasan mencapai success identity menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab.
- Faktor penilaian individu tentang dirinya sangat penting untuk menentukan apakah dirinya termasuk memiliki identitas keberhasilan atau identitas kegagalan.
Glasser
percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara konstan
(terus-menerus) hadir sepanjang rentang kehidupan dan harus dipenuhi. Ketika
sesorang mengalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh satu faktor, yaitu
terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Secara lebih
rinci Glasser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia,
meliputi:[11]
- Cinta/rasa memiliki (love/belonging) : Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhannya untuk merasa memiliki dan terlibat atau melibatkan diri dengan orang lain. Beberapa aktivitas yang menunjukkan kebutuhan ini antara lain: persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan.
- Kekuasaan (Power) : Kebutuhan akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk berprestasi, merasa berharga, dan mendapatkan pengakuan. Kebutuhan ini biasanya diekspresikan melalui kompetisi dengan orang-orang di sekitar kita, memimpin, mengorganisir, meyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat bertanya atau meminta pendapat bagi orang lain, melontarkan ide atau gagasan dan sebagainya.
- Kesenangan (Fun) : Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, dan bahagia. Pada anak-anak, terlihat dalam aktivitas bermain. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa. Misalnya, berlibur untuk menghilangkan kepenatan, bersantai, melucu, humor, dan sebagainya.
- Kebebasan (Freedom): Kebebasan (freedom) merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak tergantung pada orang lain, misalnya membuat pilihan (aktif pada organisasi kemahasiswaan), memutuskan akan melanjutkan studi pada jurusan apa, bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
- Mempertahankan Hidup : Semua manusia akan cenderung untuk mempertahankan hidup demi keberlangsuangan.
Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan
tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling
dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa
yang akan datang. William Glasser sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk
terapi ini. Menurutnya, bahwa tentang hakikat manusia adalah:[12]
- Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannnya.
- Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi seorang individu yang sukses.
- Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri.
Glasser tidak
memaparkan idenya menjadi pokok pikiran, namun ide-idenya dapat disaripatikan
menjadi sejumlah pokok pikiran sebagai berikut ini:[13]
1. Konselor
umumnya memandang individu atas dasar tingkah lakunya. Pendekatan realita
memandang tingkah laku berdasar pengukuran obyektif, yang disebut realita. Ia
berupa realitas praktis dari realitas moral.
2. Manusia
memiliki kebutuhan psikologis tunggal yang disebut kebutuhan akan identitas.
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan merasa adanya keunikan, perbedaan dan
kemandirian.
3. Dasar
konseling realita adalah membantu konseli mencapai kebutuhan untuk dicintai dan
mencintai serta kebutuhan untuk merasa bahwa kita berharga bagi diri sendiri
dari pada orang lain.
4. Manusia
memiliki 3 kekuatan untuk tumbuh yang mendorong menuju identitas sukses, yaitu:
mengisi dan memuaskan identitas sukses, menampilkan tingkah laku yang
bertanggungjawab dan memiliki hubungan interpersonal yang baik.
5. Sejalan dengan
nomor 4, kekuatan tumbuh bukanlah pembawaan. Dengan kata lain, kekuatan untuk
memenuhi kebutuan dilakukan dengan belajar sejak dini.
6. Konseling
realita tidak terikat pada filsafat deterministik dala memandang manusia,
tetapi membuat asumsi bahwa pada akhirnya manusia mengarahkan diri sendiri.
Prinsip ini berarti mengakui tanggungjawab setiap orang untuk menerima akibat
dari tingkah lakunya. Dengan kata lain, orang akan tumbuh bukan ditentukan oleh
penentu-penentu yang telah ada.
7. Realisasi
untuk tumbuh dalam rangka memuaskan kebutuhan harus dilandasi oleh prnsip 3R: Right,
Responsibility, reality.
- Pribadi Sehat dan Bermasalah
- Pribadi sehat/ identitas berhasil
Individu disimpulkan memperoleh identitas
berhasil adalah individu yang telah terpenuhi kebutuhannya sehingga dapat
memerintah kehidupannya sendiri menggunakan prinsip 3 R (Right,
Responsilibity, Reality I). Artinya individu dalam memenuhi
kebutuhan fisiologis dan psikologis harus mempelajari yang benar,
bertingkahlaku secara bertanggungjawab, dan memahami serta menghadapi
kenyataan.
Keberhasilan individu dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya akan memberikan identitas berhasil pada dirinya, sedangkan
kegagalan akan pemenuhan kebutuhan dasar menyebabkan individu mengembangkan
identitas gagal (Rasjidan, 1994). Individu yang memiliki identitas berhasil
akan menjalankan kehidupannya sesuai dengan prinsip 3 R, yaitu right,
responsibility, dan reality (Ramli, 1994). Right
merupakan nilai atau norma patokan sebagai pembandingan untuk menentukan apakah suatu perilaku benar atau salah. Responsibility
merupakan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengganggu
hak-hak orang lain. Reality merupakan kesediaan individu untuk menerima
konsekuensi logis dan alamiah dari suatu perilaku.[14]
2. Pribadi bermasalah/ tingkah laku salah/tidak tepat
Individu disimpulkan memperoleh identitas
gagal ketika individu gagal memenuhi salah satu atau semua kebutuhan dasar dan
gagal terlibat dengan orang lain sebagai prasyarat biologis memuaskan kebutuhan
dasar.[15]
- Kelemahan dan kelebihan Terapi Realitas
Kelemahan:
- Terapi realitas terlalu menekankan pada tingkah laku masa kini sehingga terkadang mengabaikan konsep lain, seperti alam bawah sadar dan riwayat pribadi.
- Terapi realitas bergantung pada terciptanya suatu hubungan yang baik antara konselor dan konseli.
- Terapi realitas bergantung pada interaksi verbal dan komunikasi dua arah. Pendekatan ini mempunyai keterbatasan dalam membantu konseli yang dengan alasan apapun, tidak dapat mgekspresikan kebutuhan, pilihan, dan rencana mereka dengan cukup baik.[16]
- Teori ini mengabaikan tentang intelegensi manusia, perbedaan individu dan faktor genetik lain.
- Dalam konseling kurang menekankan hubungan baik antara konselor dan konseli, hanya sekedarnya.
- Pemberian reinforcement jika tidak tepat dapat mengakibatkan kecanduan/ketergantungan.[17]
Kelebihan:
- Terapi realitas ini fleksibel dapat diterapkan dalam konseling individu dan kelompok.
- Terapi realitas tepat diterapkan dalam perawatan penyimpangan perilaku, penyalahgunaan obat, dan penyimpangan kepribadian.
- Terapi realitas meningkatkan tanggung jawab dan kebebasan dalam diri individu, tanpa menyalahkan atau mengkritik seluruh kepribadiannya.[18]
- Asumsi mengenai tingkah laku merupakan hasil belajar.
- Asumsi mengenai kepribadian dipengaruhi oleh lingkungan dan kematangan.
- Konseling bertujuan untuk mempelajari tingkah laku baru sebagai upaya untuk memperbaiki tingkah laku manusia.[19]
Terapi realitas bertumpu pada ide
sentral bahwa kita memilih sendiri perilaku kita dan oleh karenanya
bertanggungjawab tidak hanya atas apa yang kita lakukan tetapi juga atas
bagaimana kita berpikir dan merasakan. Falsafah dasar dari terapi realitas juga
dimiliki oleh pendekatan eksistensial dan terapi rasional emotif. Arah sasaran
umum dari sistem terapeutiknya adalah menyediakan kondisi yang akan menolong
klien untuk bisa mengembangkan kekuatan psikologis untuk mengevaluasi
perilakunya sekarang serta untuk mendapatkan perilaku yang efektif. Proses
belajar berperilaku efektif ini mendapatkan fasilitas dengan diaplikasikannya
prinsip dasar terapi ralitas, yang diantaranya mencakup lingkungan konseling
yang hangat, serta bisa menerima berbagai prosedur konseling.
Teori Kontrol bertumpu pada asumsi
bahwa kita ini menciptakan dunia dalam diri kita sendiri yang bisa memenuhi
kebutuhan kita. Perilaku adalah suatu usaha untuk mengontrol persepsi kita
terhadap dunia eksternal untuk bisa dengan dunia yang internal dan yang memberi
kepuasan kebutuhan. Premis dasar tentang teori realitas bahwa semua perilaku
itu digerakkan dari dalam diri kita sendiri dan bahwa orang memiliki pilihan
terhadap apa yang akan mereka lakukan. Terapi realitas memfokuskan pada
perbuatan serta pikiran yang dilakukan sekarang dan bukan pada pemahaman,
perasaan, pengalaman masa lampau, ataupun motivasi yang tidak disadari.
Individu dapat memperbaiki kualitas hidupnya melalui proses penelitian terhadap
diri sendiri secara jujur.
C. Konsep
– konsep Utama
- 1. Pandangan tentang Manusia
Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis
yang secara konstan (terus menerus) hadir sepanjang kehidupan dan hal itu harus
terpenuhi. Mengacu pada teori hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow,
Glasser mendasari pandangannya tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan
mencintai, dan kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain.
Teori yang dikembangkan Glasser ini dengan cepat memperoleh
popularitas dikalangan konselor baik untuk kasus individual maupun kelompok
dalam berbagai bidang, seperti sekolah, lembaga kesehatan mental, dan
petugas-petugas sosial lainnya.Banyak hal yang positif dari teori konseling
realitas ini, misalnya mudah dimengerti non teknis, didasarkan atas pengetahuan
masyarakat, efisien waktu, sumber daya dan usaha-usaha yang dilakukan konselor.[20]
Secara lebih rinci, Glasser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar
psikologis manusia, meliputi[21]
:
a.
Cinta
(belonging/ love)
Kebutuhan
ini disebut glasser sbagai identity society, yang menekankan pentingnya
hubungan personal. Beberapa aktifitas yang menunjukkan kebutuhan ini antara
lain: Persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan ketetiban dalam organisasi
kemahasiswaan. Kebutuhan ini oleh glasser dibagi dalam tiga bentuk : sosial
beloging, work belonging, dan family belonging.
b.
Kekuasaan
(power)
Kebutuhan
ini biasanya diekspresikan memalui kompetisi dengan orang-orang disekitar kita,
memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi
tempat bertanya atau menerima pendapat
orang lain.
c.
Kesenangan
(fun)
Kebutuhan
ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa.
d.
Kebebasan
(freedom)
Merupakan
kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak bergantung pada
orang lain, kebutuhan tersebut bersifat universal, tetapi dipenuhi dengan cara
yang unik oleh masing-masing manusia.Ketika seseorang berhasil memenuhi
kebutuhannya, menurutglaseer orang
tersebut mencapai identitas sukses, dan jika kebutuhan psikologisnya sejak awal
tidak terpenuhi, maka seseorang tidak mendapatkan pengalaman belajar bagaimana
memenuhi kebutuhan psikologis dirinya atau orang lain. Dapat dirumuskan, pandangan Glasser tentang
manusia adalah sebagai berikut:
1)
Setiap
individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya.
2)
Tingkah
laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan untuk memenuhi
kebutuhannya.
3)
Individu
ditantang untuk menghadapi realita tanpa memperdulikan kejadian-kejadian
dimasalalu , serta tidak memberi perhatian pada sikap dan motivasi dibawah
sadar.
4)
Setiap
orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini.
- 2. Konsep Dasar
Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginannya , dimana kebutuhnan bersifat universal pada semua individu ,
sementara keinginan bersifat unik pada masing-masing individu. Ketika seseorang
dapat memenuhi kebutuhan apa yang diinginkan , individu tesebut akan merasakan
kepuasan, namun jika apa yang diperoleh tidak sesuai keinginan, maka orang itu
akan frustasi dan akan muncul perilaku baru sampai keinginannya tersampaikan
dan merasa puas. Jadi perilaku yang dimunculkan adalah bertujuan untuk
mengatasi hambatan antara apa yang diinginkan dengan apa yang diperoleh.
Pencapaian identitas sukses ini terikat pada konsep 3R, yaitu keadaan dimana
individu dapat menerima kondisi yang dihadapinya, dicapai dengan menunjukkan
total behavioral (perilaku total), terdiri dari doing, thinking, felling,
psycology.Oleh karena perilaku yang dimunculkan adalah bertujuan dan dipilih
sendiri, maka glasser menyebutnya teori kontrol.
Konsep 3R :
- Responbility (tanggung jawab ).
Adalah
kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhnannya tanpa harus merugikan orang
lain.
- Reality (kenyataan).
Adalah
kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi
kebutuhannya. Setiap individu harus memahami bahwa ada dinia nyata, dimana
mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya.
Realita yang dimaksud adalah seseuatu yang tersusun dari kenytaan yang ada dan
apa adanya.
- Right (kebenaran).
Merupakan
ukuran atau norma-norma yang doterima secara umum, sehingga tingkah laku dapat
diperbandingkan. Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri
sendiri bila melakukan sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa
nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secar umum.[22]
- 3. Ciri-Ciri Terapi Realitas
Ciri-ciri
terapi realitas :
a.
Terapi
realitas menolak konsep tentang penyakit mental.
b.
Terapi
realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan
dan sikap-sikap.
c.
Terapi
realitas berfokus pada saat sekarang bukan pada masa lampau.
d.
Terapi
realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai.
e.
Terapi
realitas tidak menekankan transferensi.
f.
Terapi
realitas menekankan aspek-aspek kesadaran bukan aspek-aspek ketidaksadaran.
g.
Terapi
realitas menghapus hukuman.
h.
Terapi
realitas menekankan tanggung jawab pada diri individu.[23]
D.
Proses
Konseling
Pendekatan ini melihat konseling sebagai proses rasional yang
menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, konseling ditekankan
untuk melihat perilaku yang dapat diamati daripada motif-motif bawah
sadarnya.Dengan demikian, konseling dapat mengevaluasi apakah perilakunya
tersebut efektif dalam memenuhi kebutuhannya atau tidak.Perilaku yang
bertanggung jawab merupakan perilaku-perilaku yang sesuai dengan kenyataan yang
dihadapi. Menurut glasser hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan
ke penerimaan realitas yang terjadi selama proses konseling adalah :
- Konseling dapat mengeksplorasikan keinginan, kebutuhan, dan apa yang dipresepsikan tentang kondisi yang dihadapi.
- Konseling fokus pada perilaku yang sekarang tanpa terpaku pada masalalu.
- Konselimg mau mengevaluasi perilakunya.
- Konseling mulai menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen terhadp apa yang telah direncanakan.
1.
Tujuan
Konseling
Layanan konseling ini bertujuan membantu konseli mencapai identitas
berhasil. Konseli yang mengetahui identitasnya, akan mengetahui langkah-langkah
apa yang akan ia lakukan di masa yang akan datang dengan segala konsekuensinya.
Bersama-sama konselor, konseli dihadapkan kembali pada kenyataan hidup,
sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi realitas.[24]
2.
Fungsi dan Peran Konselor
Tugas dasar dari konselor atau terapis adalah melibatkan diri
dengan konseli dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan. Glasser (1965)
merasa bahwa, konselor menghadapi para konseli, dia memaksa mereka itu untuk
memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan menempuh “jalan yang bertanggung
jawab”. Konselor tidak membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan
putusan-putusan bagi para konseli, sebab tindakan demikian akan menyingkirkan
tanggung jawab yang mereka miliki.Tugas konselor adalah bertindak sebagai
pembimbing yang membantu konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri
secara realistis.
Konselor diharapkan memberi pujian apabila para konseli bertindak
dengan cara yang bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuan apabila
mereka tidak bertindak demikian. Para konseli membutuhkan tipe penilaian
semacam itu. Menurut Glasser, konselor harus bersedia untuk berfungsi sebagai
seorang guru dalam hubungannya dengan konseli. Ia harus mengajari konseli bahwa
tujuan terapi tidak diarahkan kepada kebahagiaan. Konselor realitas berasumsi
bahwa konseli bisa menciptakan kebahagiaanya sendiri dan bahwa kunci untuk
menemukan kebahagiaan adalah penerimaan tanggung jawab. Oleh karena itu,
konselor tidak menerima pengelakan atau pengabaian kenyataan, dan tidak pula
menerima tindakan konseli menyalahkan apa un atau siapa pun diluar dirinya atas
ketidakbahagiaanya pada saat sekarang. Tindakan yang demikian akanmelibatkan
konseli dalam “kenikmatan psikiatrik” yang segera akan hilang dan mengakibatkan
penyesalan.[25]
Fungsi penting lainnya dari konselor realitas adalah memasang
batas-batas dalam situasi terapeutik dan bats-batas yang ditempatkan oleh
kehidupan pada seseorang. Selain fungsi-fungsi dan tugas-tugas tersebut,
kemampuan konselor untuk terlibat dengan konseli serta untuk melibatkan konseli
dalam proses terapeutik dianggap paling utama. Fungsi ini seringkali sulit,
terutama apabila konseli tidak menginginkan konseling atau apabila dia meminta
“tolong” sekedar coba-coba.[26]
E.
Penerapan Konseling
- 1. Teknik-Teknik Konseling
a.
Terlibat
dalam permainan peran dengan konseli.
b.
Menggunakan
humor.
c.
Mengonfrontasikan
konselidan menolak alasan apa pun dari konseli.
d.
Membantu
konselimerumuskan rencana tindakan secara spesifik.
e.
Bertindak
sebagai guru atau model.
f.
Memasang
batas-batas dan menyusun situasi terapi.
g.
Menggunakan
terapi kejutan verbal atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan
konselidengan tingkah lakunya yang tidak realitas.
h.
Melibatkan
diri dengan konseliuntuk mencari kehidupan yang lebih efektif.[27]
- 2. Tahap-tahap konseling
Proses
konseling dalam terapi realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu
pneciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi
pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseling.
- Tahap 1 : konselor menunujukkan keterlibatan pada konseling (be friend )
Pada tahap ini,
konselor mengawali pertemuan dengan sikap otentik, hangat dan menaruh perhatian
pada hubungan yang sedang dibangun. Hubungan yang terbangun antar konseling dan
konselor sangat penting, sebab konseling akan terbuka dan bersedia menjalani
proses konseling jika dia mearasa bahwa konselornya terlibat dan dapat
dipercaya. Oleh karna itu penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar
proses konseling berjalan efektif. Selain itu konselor perlu menunjukkan sikap
bersahabat, pada tahap awal umumnya tidak membutuhkan bantuan konselor terlebih
bila konselitidak datang secara sukarela. Meskipun konselimenunjukkan tidak
senang terhadap konselor tetapi konselor harus tetap menghadapi dengan tentang,
sopan, dan tidak mengintimidasi konseli, respon yang diungkapkan juga tidak
mengekspresikan apa yang sedang dilakukan oleh konselipada saat itu, konselor
juga harus menunjukkan bahwa ia bertekad membantu konseli, konseling realitas
selalu berpedoman bahwa perilaku total hampir selalu dipilih. Karenannya
tingkah laku yang lebih efisien dan lebih membantu diperlukan bagi konseli yang
sedang menghadapi masalah.
Melalui proses
konseling, konseli harus belajar bahwa mental yang sehat dan kehidupan akan
menjadi lebih baik jika relasi antar manusia didasari saling keterbukaan dan
apa adanya daripada bersikap pura-pura.
- Tahap2 : fokus pada perilaku sekarang
Setelah
konselidapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan kepada
konseliapa yang akan dilakukan sekarang. Tahap kedua merupakan eksplorasi diri
pada konseli. Konselimengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam
menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konselimendeskrisipkan
hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara
rinci, melalui tahap berikut :
a.
Eksplorasi
“picture album” (keinginan)
b.
Menanyakan
keinginan konseli
c.
Menanyakan
benar-benar apa yang diinginkan
d.
Menanyakan
apa yang telah terfikir oleh konselitentang yang diinginkan orng lain dari
dirinya dan menanyakan bagaimana konselimelihat tersebut.
Pada tahap
kedua ini konselor perlu mengatakan kepada konseliapa yang dapat dilakukan
konselor dan membuat komitmen antara konselor dan konseli.
- Tahap 3 : mengeksplorasi total behavior konseli
Menanyakan apa
yang dilakukan konseli(doing), yaitu konselor menanyakan secara spesifik apa
saja yang dilakukan konseli, cara pandang dalam konseling realita, akar
permasalahan konseling bersumber pada perilakunya bukan pada perasaan, dalam
pandangan konseling realita yang harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi
hal-hal apa saja yang telah dilakukan untuk menghadapi ujian.
- Tahap 4 : konselimenilai diri sendiri atau mengevaluasi diri
Tahap keempat
ini konselor menanyakan pada konseliapakah pilihan perilakunya itu disadari
oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya.Fungsi konselor tidak untuk menilai
benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseliuntuk menilai
perilakunya saat ini. Beri kesempatan pada konseliuntuk mengevaluasi, apakah ia
cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Dan menanyakan komitmen konseliuntuk
mengikuti proses konseling.
- Tahap 5 : merencanakan tindakan yang bertanggung jawab
Tahap ketika
konselimulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah, dan tidak
cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaaan
tindakan yang lebih bertanggung jawab.Rencana yang disusun sifatnya spesifik
dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseliuntuk keluar dari
permasalahan yang sedang dihadapinya.
- Tahap 6 : membuat komitmen
Konselor
mendorong konseliuntuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama
konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
- Tahap 7 : tidak menerima permintaan maaf atau alasan konseli
Pada tahap ini
konselor menanyakan perkembanagn perubahan perilaku konseli. Apabila konselitidak
atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanakannya, permintaan maaf
konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor
mengajak konseliuntuk melihat kembali rencana tersebut dan mengevaluasi mengapa
konselitidak berhasil, konselor selanjutnya membantu konselimerencanakan
kembali hal-hal yang belum berhasil ia
lakukan. Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan dengan kata
“mengapa” sebab kecenderungan konseliakan bersikap defensif dan mencari alasan.
Proses konseling yang efektif antara lain ditunjukkan dengan seberapa besar
kegigihan konselor untuk membantu konseli. Ada kalanya konselimengharapkan
konselor menyerah dengan sikap pasif, kooperatif, apatis, namun pada tahap
inilah konelor dapat menunjukkan bahwa ia benar-benar terlibat dan ingin
membantu konselimengatasi permasalahannya. Kegigihan konselor dapat memotivasi
konseliuntuk bersama-sama memecahkan masalah.
- Tahap 8 : tindak lanjut
Merupakan tahap
terakhir dalam konseling, konselor dan konselimengevaluasi perkembangan yang
dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah
ditetapkan delum tercapai.
Konseling ini
bertujuan membantu individu mencapai identitas berhasil, yaitu individu yang
akan datang dengan segala konsekuensi, bersama-sama konselor, konselidihadapkan
kembali pada kenyataan hidup, sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi
realita kehidupannya.
Terapi dalam
Islam:
Sesungguhnya iman kepada Allah dan ibadah
kepada-Nya merupakan modal dasar guna merealisasikan kesehatan Mental. Aman dan
Iman adalah modal dasar dalam terapi keterguncangan. Sesungguhnya keseimbangan
perilaku dan sempurnanya suatu kepribadian baru akan terealisasi apabilaproses
terapi ataupun perbaikan dimulai dalam diri dengan managemen hati.
Rasulullah bersabda;
“sesungguhnya
dalam jasad ada suatubongkahan daging, yang apabila ia dalam keadaan baik, baik
pula keadaan keseluryhan jasad tersebut. Namun apabila ia dalam keadaan buruk,
maka buruk pula keseluruhan jasad tersebut; ia adalah hati”.[28]
DAFTAR PUSTAKA
Fauzan, Lutfi. 1994. Pendekatan-pendekatan
Konseling Individual. Malang: Elang Mas
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling
& Psikoterapi, PT Refika Aditama
Komalasari, Wahyuni,
Karsih. 2011. Teori dan Praktik Konseling. Jakarta:PT. Indek
Nelson, R.J.
2011. Teori Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Pujosuwartno, Sayekti. 1997. Berbagai
Pendekatan Dalam konseling. Yogyakarta: Menara mas
Offset.
Latipun. 2003. Psikologi Konseling, Edisi
Ketiga. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.
Gladding, Samuel.
2012. Konseling Profesi yang Menyeluruh. Jakarta:PT. Indeks
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2008. Theories
of Personality. Yogyakarta: Pustaka belajar.
Gantina
Komalasari, dkk, 2014. Teori dan
Teknik Konseling. PT. Indeks: JAKARTA.
Gerald
Corey, 1997. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. PT. Refika
Aditama: BANDUNG.
Laela, Faizah
Noer, 2014. Bimbingan Konseling Sosial. UIN Sunan Ampel Press.: SURABAYA
Lubis,
Namora Lumangga, 2011. Memahami
Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik. Kencana: JAKARTA.
Musfir, 2005. Konseling Terapi. Gema Insani
Press: JAKARTA.
Patterson, C.H.,1973. Teories of Counseling and Psychotherapy. Happer dan Row: NEW YORK.
Palmer, Stephen,
Introduction to conselling and
psychotherapy,
[2] Fauzan,
Lutfi, 1994, Pendekatan-pendekatan Konseling Individual,
Malang: Elang Mas, h 164
[3]Ibid, h 166
[5] Fauzan, Lutfi, 1994, Pendekatan-pendekatan
Konseling Individua,. Malang: Elang Mas, h 167
[7] Ibid, h 257
[9] Gerald Corey,
Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, PT Refika Aditama, h 264
[12] Pujosuwartno,
Sayekti, 1997, Berbagai Pendekatan dalam Konseling, Yogyakarta: Menara mas
Offset, h 274
[13] Latipun,
2003, Psikologi Konseling, Edisi Ketiga, Malang : Universitas
Muhammadiyah Malang, h 234
[14] Feist, Jess
dan Gregory J. Feist, 2008, Theories of Personality,
Yogyakarta: Pustaka belajar, h 156
[15] Fauzan,
Lutfi, 1994, Pendekatan-pendekatan Konseling Individual, Malang:
Elang Mas, h 170
[17] Fauzan, Lutfi, 1994, Pendekatan-pendekatan
Konseling Individual, h 170-171
[19] Ibid, h 265
[20]Faizah
Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya : UIN Sunan Ampel
Press, 2014), h. 59
[22]Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta:
PT. Indeks, 2011), h. 239-242.
[23] Gerald Corey, Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2005), h. 265-269
[24]Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, h. 252.
[26]Ibid, h.
272
[27] Namora
Lumangga Lubis,Memahami
Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik,(Jakarta: KENCANA,2011), h. 189.
0 komentar:
Posting Komentar