Sabtu, 14 Juni 2014

T E R A P I R E A L I T A S

Standard
"T E R A P I     R E A L I T A S"
 
BAB II
PEMBAHASAN

    A.  Sejarah Tokoh Terapi Realitas (William Glasser)
William Glasser lahir tahun 1925, mendapatkan pendidikan di Cleveland dan menyelesaikan sekolah dokter di Case Western Reserve University pada tahun 1953. Glasser menjadi insinyur kimia pada usia 19 dan dokter pada usia 28, kemudian mengikuti latihan psikiatri pada Veterans Administration Center di Los Angeles Barat, melewatkan tahun terakhirnya di University of California di Los Angeles pada tahun 1957, dan mendapatkan sertifikat pada tahun 1961. Selama masa latihan Glasser menjadi sadar bahwa ada perbedaan besar antara apa yang diajarkan dengan apa yang diperkirakan olehnya dapat dilakukan. Perbedaannya terpusat pada dua titik penting: (1) daripada sikap menjauhkan diri dan terpisah, dia berpendapat bahwa hasil akhir yang baik nampaknya akan bisa dicapai dengan keterlibatan yang hangat didasari oleh minat pribadi dan satu pengungkapan diri, (2) daripada menjadi korban dari impulsnya sendiri atau yang berasal dari luar dirinya, menurut pendapatnya yang sebenarnya terjadi adalah bahwa klien nampaknya memilih apa yang mereka lakukan untuk kehidupannya; mereka tidak pernah menjadi korban seumur hidup kecuali memang mereka memilih untuk menjadi seperti itu.
William Glasser adalah seorang psikiater yang mengembangkan konseling realitas pada tahun 1950-an. Glasser mengembangkan teori ini karena merasa tidak puas dengan praktek psikiatri yang telah ada dan dia mempertanyakan dasar-dasar keyakinan terapi yang berorientasi kepada Freudian. Pada mulanya Glasser belajar dibidang teknik kimia di Universitas Case Institute Of Technology. Pada usia 19 tahun ia dilaporkan sebagai penderita shynes atau rasa malu yang akut.[1]
Pada perkembangan selanjutnya Glasser tertarik studi psikologi, kemudian dia mengambil program psikologi klinis pada Western Reserve University dan membutuhkan waktu tiga tahun untuk meraih gelar Ph.D ahirnya Glasser menekuni profesinya dengan menetapkan diri sebagai psikiater. Setelah beberapa waktu melakukan praktek pribadi dibidang klinis Glasser mendapatkan kepercayaan dari California Youth Authority sebagai kepala psikiater di Ventura School For Girl. Mulai saat itulah Glasser melakukan eksperimen tentang prinsip dan teknik reality terapi.[2]
Pada tahun 1956 Glasser menjabat sebagai psikiatris pembimbing pada Sekolah Putri Perawatan Anak Nakal di Ventura California. Pengalaman ini lebih menebalkan lagi keyakinannya betapa teknik dan konsep psikoanalitik itu tidak banyak manfaatnya, karena itu Glasser mengembangkan pendekatan terapeutik yang berbeda  pada banyak seginya  yang mana sangat berlawanan dengan psikoanalisis gaya Freud.
Pada tahun 1957, Glasser menduduki posisi kepala psikiatri di California, menangani kenakalan remaja putri Ventura. Ia mulai menerapkan konsep-konsepnya yang telah dimulai di V.A. Hospital. Ia menerapkan program yang menempatkan tanggungjawab situasi sesaat bagi remaja-remaja putri ini dan tanggungjawab atas masa depannya. Aturan-aturan di lembaga ini diperbaharui yakni mengutamakan kebebasan dan memperlunak konsekuensi dari pelanggaran. Hukuman dibatasi dari program, bila remaja putri ini melanggar peraturan tidak dihukum namun juga tidak diampuni. Alih-alih menghukum atau mengampuni, diberikan tanggung jawab pribadi dan ditanyakan tentang rencana selanjutnya dan dicari kesepakatan atas tingkah laku mereka yang baru. Atas dasar semua ini, Glasser mengharap stafnya untuk melaksanakan penyembuhan melalui terlibat dalam kehidupan konseli, memberikan bantuan dengan penuh pujian yang ikhlas. Program ini terlaksana, staf antusias, remaja putri ini hidup dengan harapan-harapan positif dan ternyata 20% mereke sembuh.
Selanjutnya di V.A hospital, Glasser menerapkan program serupa dan membantu supervisornya. Hasilnya pasien-pasien dalam waktu beberapa tahun mengalami kesembuhan sebanyak 75% dan rata-rata 200 pasien sembuh pada tahun-tahun selanjutnya.[3]
Tahun 1960-an Glasser bekerja sebagai seorang konsultan pada pendidikan umum. Dimana ia praktekkan konsep dasarnya tentang terapi realitas yang menghasilkan karya besarnya School Without Failure (1969). Pada saat itu minat profesionalnya ia ubah menjadi bagaimana guru dan murid saling berinteraksi, bagaimana belajar di sekolah itu bisa dikaitkan dengan hidup pelajarnya, bagaimana sekolah itu sering memberi sumbangannya pada “ identitas kegagalan” , dan bagaimana semua itu bisa diubah untuk membuat suasana belajar menjadi hidup.[4]
Pada tahun 1961 Glasser menerbitkan bukunya yang pertama, Mental Health or Mental illiness yang memberi landasan pada terapi realitas.
Menjelang tahun 1965, pada waktu ia menerbitkan bukunya Terapi Realitas, dia mampu menyatakan keyakinan dasarnya, yaitu bahwa kita semua bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil untuk kemudian kita lakukan dalam hidup ini dan bahwa dalam lingkungan terapeutik yang hangat dan tidak bernada hukuman kita bersedia untuk belajar lebih banyak lagi untuk menentukan pilihan yang lebih efektif, atau cara yang lebih bertanggungjawab terhadap kehidupan kita ini.
Konsep ini diperluas, diperbaiki dan disusun pada penerbitan tahun 1965: Reality Therapy:A New Approach to Psichiatry. Tidak lama setelah penerbitan yang kedua ini, Glasser membuka Institute of Reality Therapy yang digunakan untuk melatih profesi-profesi layanan kemanusiaan. Sebagai kata sambung atas suksesnya, sekolah-sekolah membutuhkan konsultasi Glasser, dan ia dapat menyesuaikan dengan prosedur-prosedunya dengan setting sekolah. Ia mempublikasikan ide ini dalam School Without Failure (1969) dan mendirikan Educatinal Training Centre yang di dalamnya guru-guru mendapat latihan konseling realita.[5]
Glasser menolak model Freudian, yang disebabkan psikiatri psikoanalitik. Terapi realitas muncul dari ketidakpuasan Glasser dengan psikiatri psikoanalitik seperti yang diajarkan selama pelatihannya. Glasser berfikir bahwa ada tekanan yang terlalu besar pada perasaan dan riwayat masa lalu konseli dan tidak ada penekanan yang cukup pada apa yang dilakukan konseli. Di awal kariernya, Glasser merupakan seorang psikiater di Ventura sekolah untuk anak perempuan, penjara dan sekolah yang dioperasikan oleh otoritas California pemuda, Glasser menjadi yakin bahwa pelatihan psikoanalitik nya terbatas kegunaan di penyuluhan anak-anak muda. Melalui pengamatan ini, Glasser berpikir lebih baik untuk berbicara dengan bagian konseli yang sehat, bukan sisi terganggu mereka. Glasser juga berpengaruh oleh G. L. Harrington, seorang psikiater dan mentor. Harrington percaya mendapatkan pasien yang terlibat dalam proyek-proyek di dunia nyata, dan pada akhir residensinya Glasser mulai mengumpulkan semuanya dan pada tahun 1962 dikenal sebagai realitas terapi.[6]
Glasser menjadi yakin bahwa hal itu sangat penting bahwa klien menerima tanggung jawab pribadi untuk perilaku mereka. Pada awal 1980-an, Glasser sedang mencari sebuah teori yang bisa menjelaskan semua karyanya. Glasser belajar tentang teori kontrol dari William Powers, dan ia percaya teori ini memiliki potensi besar. Ia menghabiskan 10 tahun ke depan memperluas, merevisi, dan menjelaskan apa yang awalnya diajarkan. Pada tahun 1996 Glasser telah menjadi yakin bahwa revisi ini jadi telah berubah teori bahwa itu menyesatkan untuk terus menyebutnya teori kontrol, dan ia berubah nama menjadi teori pilihan menggambarkan semua yang ia kembangkan. Inti dari realitas terapi, sekarang diajarkan ke seluruh dunia, adalah bahwa kita bertanggung jawab terhadap apa yang kita pilih untuk dilakukan. Asumsi dasar adalah bahwa kita semua dapat mengontrol  kehidupan kita sekarang.[7]
Pada tahun 1969 Glasser berhenti bekerja pada Ventura dan mulai saat itu mendirikan Institute For Reality Theraphy Di Brent Wood. Selanjutnya menyelenggarakan educator treaning centre yang bertujuan meneliti dan mengembangkan  program-program  untuk  mencegah  kegagalan sekolah. Banyak pihak  yang  dilatih  dalam  lembaganya ini antara lain: perawat, pengacara, dokter, polisi, psikolog, pekerja social dan guru.
Menjelang tahun 1972 pada waktu ia menerbitkan bukunya The Identity Society, ia telah mulai meletakkan dasar dari teori kontrol yang menjelaskan tidak hanya bagaimana kita harus berfungsi sebagai individu, tetapi juga bagaimana kita berfungsi sebagai kelompok dan bahkan sebagai masyarakat. Meskipun ide tentang teori kontrol bukanlah asli ciptaan Glasser, sebagian besar dari karyanya bisa diaplikasikan pada suatu sistem didasarkan pada pengamatannya yang dirangkum  dalam  bukunya  Control Theory (1985) yang kemudian  diaplikasikan ke dalam  pendidikan dalam bukunya Theory in the Classroom (1986) serta The Quality School (1990) yang mengaplikasikan gagasan ini pada pengelolaan sekolah.Glasser lebih dari 40 tahun hidup bersama istrinya Naomi. Mereka beranak tiga orang, yang sedang menapaki profesinya sebagai konselor, guru dan dokter mengikuti jejak ayahnya. Isterinya memberikan dukungan yang besar terhadap karirnya dan membantu pada Institut Terapi Realitas yang non profit dimana gagasan-gagasannya diajarkan diseluruh dunia.[8]
Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Tujuan terapi ini ialah membantu seseorang untuk mencapai otonomi.
Terapi Realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena dalam penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengkondisian  operan yang tidak ketat. Glasser mengembangkan terapi realitas dan meraih popularitasnya karena berhasil menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi tingkah laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana dan tidak berbelit-belit.[9]
 
     B.  Hakikat Manusia dalam Terapi Realitas

Hakikat manusia menurut konseling realitas berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan konseling realitas berdasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut:[10]
  1. Perilaku manusia didorong oleh usaha untuk menemukan kebutuhan dasarnya baik fisiologis maupun psikologis. Kebutuhan dasar seseorang adalah: (a) kebutuhan untuk menciptakan untuk mencintai dan dicintai, dan (b) kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna untuk diri sendiri dan untuk orang lain. 
  2. Jika individu frustasi karena gagal memperoleh keputusan atau tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dia akan mengembangkan identitas kegagalan. Sebaliknya jika dia berhasil memperoleh kepuasan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya maka akan mengembangkan identitas keberhasilan. 
  3. Individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengubah identitasnya dari identitas kegagalan ke identitas keberhasilan. Individu yang bersangkutan adalah pihak yang mampu mengubah dirinya sendirinya. 
  4.  Faktor tanggung jawab adalah sangat penting pada manusia. Orang yang berusaha memperoleh kepuasan mencapai success identity menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab. 
  5. Faktor penilaian individu tentang dirinya sangat penting untuk menentukan apakah dirinya termasuk memiliki identitas keberhasilan atau identitas kegagalan.
Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir sepanjang rentang kehidupan dan harus dipenuhi. Ketika sesorang mengalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh satu faktor, yaitu terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Secara lebih rinci Glasser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia, meliputi:[11]
  1. Cinta/rasa memiliki (love/belonging) : Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhannya untuk merasa memiliki dan terlibat atau melibatkan diri dengan orang lain. Beberapa aktivitas yang menunjukkan kebutuhan ini antara lain: persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan. 
  2. Kekuasaan (Power) : Kebutuhan akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk berprestasi, merasa berharga, dan mendapatkan pengakuan. Kebutuhan ini biasanya diekspresikan melalui kompetisi dengan orang-orang di sekitar kita, memimpin, mengorganisir, meyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat bertanya atau meminta pendapat bagi orang lain, melontarkan ide atau gagasan dan sebagainya.   
  3. Kesenangan (Fun) : Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, dan bahagia. Pada anak-anak, terlihat dalam aktivitas bermain. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa. Misalnya, berlibur untuk menghilangkan kepenatan, bersantai, melucu, humor, dan sebagainya. 
  4. Kebebasan (Freedom): Kebebasan (freedom) merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak tergantung pada orang lain, misalnya membuat pilihan (aktif pada organisasi kemahasiswaan), memutuskan akan melanjutkan studi pada jurusan apa, bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. 
  5. Mempertahankan Hidup : Semua manusia akan cenderung untuk mempertahankan hidup demi keberlangsuangan.
Terapi Realitas lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang. William Glasser sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk terapi ini.  Menurutnya, bahwa tentang hakikat manusia adalah:[12]
  1.  Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannnya. 
  2. Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi seorang individu yang sukses. 
  3. Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri.
Glasser tidak memaparkan idenya menjadi pokok pikiran, namun ide-idenya dapat disaripatikan menjadi sejumlah pokok pikiran sebagai berikut ini:[13]
1. Konselor umumnya memandang individu atas dasar tingkah lakunya. Pendekatan realita memandang tingkah laku berdasar pengukuran obyektif, yang disebut realita. Ia berupa realitas praktis dari realitas moral.
2. Manusia memiliki kebutuhan psikologis tunggal yang disebut kebutuhan akan identitas. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan merasa adanya keunikan, perbedaan dan kemandirian.
3.  Dasar konseling realita adalah membantu konseli mencapai kebutuhan untuk dicintai dan mencintai serta kebutuhan untuk merasa bahwa kita berharga bagi diri sendiri dari pada orang lain.
4.    Manusia memiliki 3 kekuatan untuk tumbuh yang mendorong menuju identitas sukses, yaitu: mengisi dan memuaskan identitas sukses, menampilkan tingkah laku yang bertanggungjawab dan memiliki hubungan interpersonal yang baik.
5.     Sejalan dengan nomor 4, kekuatan tumbuh bukanlah pembawaan. Dengan kata lain, kekuatan untuk memenuhi kebutuan dilakukan dengan belajar sejak dini.
6.  Konseling realita tidak terikat pada filsafat deterministik dala memandang manusia, tetapi membuat asumsi bahwa pada akhirnya manusia mengarahkan diri sendiri. Prinsip ini berarti mengakui tanggungjawab setiap orang untuk menerima akibat dari tingkah lakunya. Dengan kata lain, orang akan tumbuh bukan ditentukan oleh penentu-penentu yang telah ada.
7.    Realisasi untuk tumbuh dalam rangka memuaskan kebutuhan harus dilandasi oleh prnsip 3R: Right, Responsibility, reality.

  • Pribadi Sehat dan Bermasalah
  1. Pribadi sehat/ identitas berhasil
Individu disimpulkan memperoleh identitas berhasil adalah individu yang telah terpenuhi kebutuhannya sehingga dapat memerintah kehidupannya sendiri menggunakan prinsip 3 R (Right, Responsilibity, Reality I). Artinya individu dalam memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis harus mempelajari yang benar, bertingkahlaku secara bertanggungjawab, dan memahami serta menghadapi kenyataan.
Keberhasilan individu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya akan memberikan identitas berhasil pada dirinya, sedangkan kegagalan akan pemenuhan kebutuhan dasar menyebabkan individu mengembangkan identitas gagal (Rasjidan, 1994). Individu yang memiliki identitas berhasil akan menjalankan kehidupannya sesuai dengan prinsip 3 R, yaitu right, responsibility, dan reality (Ramli, 1994). Right merupakan nilai atau norma patokan sebagai pembandingan untuk menentukan apakah suatu perilaku benar atau salah. Responsibility merupakan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Reality merupakan kesediaan individu untuk menerima konsekuensi logis dan alamiah dari suatu perilaku.[14]

      2.    Pribadi bermasalah/ tingkah laku salah/tidak tepat
Individu disimpulkan memperoleh identitas gagal ketika individu gagal memenuhi salah satu atau semua kebutuhan dasar dan gagal terlibat dengan orang lain sebagai prasyarat biologis memuaskan kebutuhan dasar.[15]

  • Kelemahan dan kelebihan Terapi Realitas
Kelemahan:
  1. Terapi realitas terlalu menekankan pada tingkah laku masa kini sehingga terkadang mengabaikan konsep lain, seperti alam bawah sadar dan riwayat pribadi. 
  2. Terapi realitas bergantung pada terciptanya suatu hubungan yang baik antara konselor dan konseli. 
  3. Terapi realitas bergantung pada interaksi verbal dan komunikasi dua arah. Pendekatan ini mempunyai keterbatasan dalam membantu konseli yang dengan alasan apapun, tidak dapat mgekspresikan kebutuhan, pilihan, dan rencana mereka dengan cukup baik.[16] 
  4. Teori ini mengabaikan tentang intelegensi manusia, perbedaan individu dan faktor genetik lain. 
  5. Dalam konseling kurang menekankan hubungan baik antara konselor dan konseli, hanya sekedarnya. 
  6. Pemberian reinforcement jika tidak tepat dapat mengakibatkan kecanduan/ketergantungan.[17]
 Kelebihan:
  1. Terapi realitas ini fleksibel dapat diterapkan dalam konseling individu dan kelompok. 
  2. Terapi realitas tepat diterapkan dalam perawatan penyimpangan perilaku, penyalahgunaan obat, dan penyimpangan kepribadian. 
  3. Terapi realitas meningkatkan tanggung jawab dan kebebasan dalam diri individu, tanpa menyalahkan atau mengkritik seluruh kepribadiannya.[18] 
  4. Asumsi mengenai tingkah laku merupakan hasil belajar. 
  5. Asumsi mengenai kepribadian dipengaruhi oleh lingkungan dan kematangan. 
  6. Konseling bertujuan untuk mempelajari tingkah laku baru sebagai upaya untuk memperbaiki tingkah laku manusia.[19]
Terapi realitas bertumpu pada ide sentral bahwa kita memilih sendiri perilaku kita dan oleh karenanya bertanggungjawab tidak hanya atas apa yang kita lakukan tetapi juga atas bagaimana kita berpikir dan merasakan. Falsafah dasar dari terapi realitas juga dimiliki oleh pendekatan eksistensial dan terapi rasional emotif. Arah sasaran umum dari sistem terapeutiknya adalah menyediakan kondisi yang akan menolong klien untuk bisa mengembangkan kekuatan psikologis untuk mengevaluasi perilakunya sekarang serta untuk mendapatkan perilaku yang efektif. Proses belajar berperilaku efektif ini mendapatkan fasilitas dengan diaplikasikannya prinsip dasar terapi ralitas, yang diantaranya mencakup lingkungan konseling yang hangat, serta bisa menerima berbagai prosedur konseling.
Teori Kontrol bertumpu pada asumsi bahwa kita ini menciptakan dunia dalam diri kita sendiri yang bisa memenuhi kebutuhan kita. Perilaku adalah suatu usaha untuk mengontrol persepsi kita terhadap dunia eksternal untuk bisa dengan dunia yang internal dan yang memberi kepuasan kebutuhan. Premis dasar tentang teori realitas bahwa semua perilaku itu digerakkan dari dalam diri kita sendiri dan bahwa orang memiliki pilihan terhadap apa yang akan mereka lakukan. Terapi realitas memfokuskan pada perbuatan serta pikiran yang dilakukan sekarang dan bukan pada pemahaman, perasaan, pengalaman masa lampau, ataupun motivasi yang tidak disadari. Individu dapat memperbaiki kualitas hidupnya melalui proses penelitian terhadap diri sendiri secara jujur.

      C.    Konsep – konsep Utama
  • 1.      Pandangan tentang Manusia
Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara konstan (terus menerus) hadir sepanjang kehidupan dan hal itu harus terpenuhi. Mengacu pada teori hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, Glasser mendasari pandangannya tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain.
Teori yang dikembangkan Glasser ini dengan cepat memperoleh popularitas dikalangan konselor baik untuk kasus individual maupun kelompok dalam berbagai bidang, seperti sekolah, lembaga kesehatan mental, dan petugas-petugas sosial lainnya.Banyak hal yang positif dari teori konseling realitas ini, misalnya mudah dimengerti non teknis, didasarkan atas pengetahuan masyarakat, efisien waktu, sumber daya dan usaha-usaha yang dilakukan konselor.[20]
Secara lebih rinci, Glasser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia, meliputi[21] :
a.       Cinta (belonging/ love)
Kebutuhan ini disebut glasser sbagai identity society, yang menekankan pentingnya hubungan personal. Beberapa aktifitas yang menunjukkan kebutuhan ini antara lain: Persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan ketetiban dalam organisasi kemahasiswaan. Kebutuhan ini oleh glasser dibagi dalam tiga bentuk : sosial beloging, work belonging, dan family belonging.
b.      Kekuasaan (power)
Kebutuhan ini biasanya diekspresikan memalui kompetisi dengan orang-orang disekitar kita, memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat  bertanya atau menerima pendapat orang lain.
c.       Kesenangan (fun)
Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa.
d.      Kebebasan (freedom)
Merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak bergantung pada orang lain, kebutuhan tersebut bersifat universal, tetapi dipenuhi dengan cara yang unik oleh masing-masing manusia.Ketika seseorang berhasil memenuhi kebutuhannya,  menurutglaseer orang tersebut mencapai identitas sukses, dan jika kebutuhan psikologisnya sejak awal tidak terpenuhi, maka seseorang tidak mendapatkan pengalaman belajar bagaimana memenuhi kebutuhan psikologis dirinya atau orang lain.  Dapat dirumuskan, pandangan Glasser tentang manusia adalah sebagai berikut:
1)      Setiap individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya.
2)      Tingkah laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
3)      Individu ditantang untuk menghadapi realita tanpa memperdulikan kejadian-kejadian dimasalalu , serta tidak memberi perhatian pada sikap dan motivasi dibawah sadar.
4)      Setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini.
  • 2.      Konsep Dasar
Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya , dimana kebutuhnan bersifat universal pada semua individu , sementara keinginan bersifat unik pada masing-masing individu. Ketika seseorang dapat memenuhi kebutuhan apa yang diinginkan , individu tesebut akan merasakan kepuasan, namun jika apa yang diperoleh tidak sesuai keinginan, maka orang itu akan frustasi dan akan muncul perilaku baru sampai keinginannya tersampaikan dan merasa puas. Jadi perilaku yang dimunculkan adalah bertujuan untuk mengatasi hambatan antara apa yang diinginkan dengan apa yang diperoleh. Pencapaian identitas sukses ini terikat pada konsep 3R, yaitu keadaan dimana individu dapat menerima kondisi yang dihadapinya, dicapai dengan menunjukkan total behavioral (perilaku total), terdiri dari doing, thinking, felling, psycology.Oleh karena perilaku yang dimunculkan adalah bertujuan dan dipilih sendiri, maka glasser menyebutnya teori kontrol.
Konsep 3R :
  • Responbility (tanggung jawab ).
Adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhnannya tanpa harus merugikan orang lain.
  • Reality (kenyataan).
Adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami bahwa ada dinia nyata, dimana mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud adalah seseuatu yang tersusun dari kenytaan yang ada dan apa adanya.
  •  Right (kebenaran).
Merupakan ukuran atau norma-norma yang doterima secara umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila melakukan sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secar umum.[22]
  • 3.      Ciri-Ciri Terapi Realitas
Ciri-ciri terapi realitas :
a.       Terapi realitas menolak konsep tentang penyakit mental.
b.      Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap.
c.       Terapi realitas berfokus pada saat sekarang bukan pada masa lampau.
d.      Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai.
e.       Terapi realitas tidak menekankan transferensi.
f.       Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran bukan aspek-aspek ketidaksadaran.
g.      Terapi realitas menghapus hukuman.
h.      Terapi realitas menekankan tanggung jawab pada diri individu.[23]

D.    Proses Konseling
Pendekatan ini melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, konseling ditekankan untuk melihat perilaku yang dapat diamati daripada motif-motif bawah sadarnya.Dengan demikian, konseling dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut efektif dalam memenuhi kebutuhannya atau tidak.Perilaku yang bertanggung jawab merupakan perilaku-perilaku yang sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Menurut glasser hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke penerimaan realitas yang terjadi selama proses konseling adalah :
  1. Konseling dapat mengeksplorasikan keinginan, kebutuhan, dan apa yang dipresepsikan tentang kondisi yang dihadapi. 
  2. Konseling fokus pada perilaku yang sekarang tanpa terpaku pada masalalu. 
  3.  Konselimg mau mengevaluasi perilakunya. 
  4. Konseling mulai menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen terhadp apa yang telah direncanakan.
1.      Tujuan Konseling
Layanan konseling ini bertujuan membantu konseli mencapai identitas berhasil. Konseli yang mengetahui identitasnya, akan mengetahui langkah-langkah apa yang akan ia lakukan di masa yang akan datang dengan segala konsekuensinya. Bersama-sama konselor, konseli dihadapkan kembali pada kenyataan hidup, sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi realitas.[24]
2.      Fungsi dan Peran Konselor
Tugas dasar dari konselor atau terapis adalah melibatkan diri dengan konseli dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan. Glasser (1965) merasa bahwa, konselor menghadapi para konseli, dia memaksa mereka itu untuk memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan menempuh “jalan yang bertanggung jawab”. Konselor tidak membuat pertimbangan-pertimbangan nilai dan putusan-putusan bagi para konseli, sebab tindakan demikian akan menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki.Tugas konselor adalah bertindak sebagai pembimbing yang membantu konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara realistis.
Konselor diharapkan memberi pujian apabila para konseli bertindak dengan cara yang bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuan apabila mereka tidak bertindak demikian. Para konseli membutuhkan tipe penilaian semacam itu. Menurut Glasser, konselor harus bersedia untuk berfungsi sebagai seorang guru dalam hubungannya dengan konseli. Ia harus mengajari konseli bahwa tujuan terapi tidak diarahkan kepada kebahagiaan. Konselor realitas berasumsi bahwa konseli bisa menciptakan kebahagiaanya sendiri dan bahwa kunci untuk menemukan kebahagiaan adalah penerimaan tanggung jawab. Oleh karena itu, konselor tidak menerima pengelakan atau pengabaian kenyataan, dan tidak pula menerima tindakan konseli menyalahkan apa un atau siapa pun diluar dirinya atas ketidakbahagiaanya pada saat sekarang. Tindakan yang demikian akanmelibatkan konseli dalam “kenikmatan psikiatrik” yang segera akan hilang dan mengakibatkan penyesalan.[25]
Fungsi penting lainnya dari konselor realitas adalah memasang batas-batas dalam situasi terapeutik dan bats-batas yang ditempatkan oleh kehidupan pada seseorang. Selain fungsi-fungsi dan tugas-tugas tersebut, kemampuan konselor untuk terlibat dengan konseli serta untuk melibatkan konseli dalam proses terapeutik dianggap paling utama. Fungsi ini seringkali sulit, terutama apabila konseli tidak menginginkan konseling atau apabila dia meminta “tolong” sekedar coba-coba.[26]
E.     Penerapan Konseling
  • 1.      Teknik-Teknik Konseling
a.       Terlibat dalam permainan peran dengan konseli.
b.      Menggunakan humor.
c.       Mengonfrontasikan konselidan menolak alasan apa pun dari konseli.
d.      Membantu konselimerumuskan rencana tindakan secara spesifik.
e.       Bertindak sebagai guru atau model.
f.       Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi.
g.      Menggunakan terapi kejutan verbal atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan konselidengan tingkah lakunya yang tidak realitas.
h.      Melibatkan diri dengan konseliuntuk mencari kehidupan yang lebih efektif.[27]
  • 2.      Tahap-tahap konseling
Proses konseling dalam terapi realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu pneciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseling.
  • Tahap 1 : konselor menunujukkan keterlibatan pada konseling (be friend )
Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan sikap otentik, hangat dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Hubungan yang terbangun antar konseling dan konselor sangat penting, sebab konseling akan terbuka dan bersedia menjalani proses konseling jika dia mearasa bahwa konselornya terlibat dan dapat dipercaya. Oleh karna itu penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan efektif. Selain itu konselor perlu menunjukkan sikap bersahabat, pada tahap awal umumnya tidak membutuhkan bantuan konselor terlebih bila konselitidak datang secara sukarela. Meskipun konselimenunjukkan tidak senang terhadap konselor tetapi konselor harus tetap menghadapi dengan tentang, sopan, dan tidak mengintimidasi konseli, respon yang diungkapkan juga tidak mengekspresikan apa yang sedang dilakukan oleh konselipada saat itu, konselor juga harus menunjukkan bahwa ia bertekad membantu konseli, konseling realitas selalu berpedoman bahwa perilaku total hampir selalu dipilih. Karenannya tingkah laku yang lebih efisien dan lebih membantu diperlukan bagi konseli yang sedang menghadapi masalah.
Melalui proses konseling, konseli harus belajar bahwa mental yang sehat dan kehidupan akan menjadi lebih baik jika relasi antar manusia didasari saling keterbukaan dan apa adanya daripada bersikap pura-pura.
  • Tahap2 : fokus pada perilaku sekarang
Setelah konselidapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan kepada konseliapa yang akan dilakukan sekarang. Tahap kedua merupakan eksplorasi diri pada konseli. Konselimengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konselimendeskrisipkan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci, melalui tahap berikut :
a.       Eksplorasi “picture album” (keinginan)
b.      Menanyakan keinginan konseli
c.       Menanyakan benar-benar apa yang diinginkan
d.      Menanyakan apa yang telah terfikir oleh konselitentang yang diinginkan orng lain dari dirinya dan menanyakan bagaimana konselimelihat tersebut.
Pada tahap kedua ini konselor perlu mengatakan kepada konseliapa yang dapat dilakukan konselor dan membuat komitmen antara konselor dan konseli.
  • Tahap 3 : mengeksplorasi total behavior konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli(doing), yaitu konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli, cara pandang dalam konseling realita, akar permasalahan konseling bersumber pada perilakunya bukan pada perasaan, dalam pandangan konseling realita yang harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi hal-hal apa saja yang telah dilakukan untuk menghadapi ujian.
  • Tahap 4 : konselimenilai diri sendiri atau mengevaluasi diri
Tahap keempat ini konselor menanyakan pada konseliapakah pilihan perilakunya itu disadari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya.Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseliuntuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan pada konseliuntuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut. Dan menanyakan komitmen konseliuntuk mengikuti proses konseling.
  • Tahap 5 : merencanakan tindakan yang bertanggung jawab
Tahap ketika konselimulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaaan tindakan yang lebih bertanggung jawab.Rencana yang disusun sifatnya spesifik dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseliuntuk keluar dari permasalahan yang sedang dihadapinya.
  • Tahap 6 : membuat komitmen
Konselor mendorong konseliuntuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
  • Tahap 7 : tidak menerima permintaan maaf atau alasan konseli
Pada tahap ini konselor menanyakan perkembanagn perubahan perilaku konseli. Apabila konselitidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanakannya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseliuntuk melihat kembali rencana tersebut dan mengevaluasi mengapa konselitidak berhasil, konselor selanjutnya membantu konselimerencanakan kembali hal-hal  yang belum berhasil ia lakukan. Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan dengan kata “mengapa” sebab kecenderungan konseliakan bersikap defensif dan mencari alasan. Proses konseling yang efektif antara lain ditunjukkan dengan seberapa besar kegigihan konselor untuk membantu konseli. Ada kalanya konselimengharapkan konselor menyerah dengan sikap pasif, kooperatif, apatis, namun pada tahap inilah konelor dapat menunjukkan bahwa ia benar-benar terlibat dan ingin membantu konselimengatasi permasalahannya. Kegigihan konselor dapat memotivasi konseliuntuk bersama-sama memecahkan masalah.
  • Tahap 8 : tindak lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling, konselor dan konselimengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan delum tercapai.
Konseling ini bertujuan membantu individu mencapai identitas berhasil, yaitu individu yang akan datang dengan segala konsekuensi, bersama-sama konselor, konselidihadapkan kembali pada kenyataan hidup, sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi realita kehidupannya.
Terapi dalam Islam:
 Sesungguhnya iman kepada Allah dan ibadah kepada-Nya merupakan modal dasar guna merealisasikan kesehatan Mental. Aman dan Iman adalah modal dasar dalam terapi keterguncangan. Sesungguhnya keseimbangan perilaku dan sempurnanya suatu kepribadian baru akan terealisasi apabilaproses terapi ataupun perbaikan dimulai dalam diri dengan managemen hati.
Rasulullah bersabda;
“sesungguhnya dalam jasad ada suatubongkahan daging, yang apabila ia dalam keadaan baik, baik pula keadaan keseluryhan jasad tersebut. Namun apabila ia dalam keadaan buruk, maka buruk pula keseluruhan jasad tersebut; ia adalah hati”.[28]
 
 
DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, Lutfi. 1994. Pendekatan-pendekatan Konseling Individual. Malang: Elang Mas
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, PT Refika Aditama
Komalasari, Wahyuni, Karsih. 2011. Teori dan Praktik Konseling. Jakarta:PT. Indek
Nelson, R.J. 2011. Teori Praktik Konseling dan Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pujosuwartno, Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan Dalam konseling. Yogyakarta: Menara mas Offset.
Latipun. 2003. Psikologi Konseling, Edisi Ketiga. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.
Gladding, Samuel. 2012. Konseling Profesi yang Menyeluruh. Jakarta:PT. Indeks
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2008. Theories of Personality. Yogyakarta: Pustaka belajar.
Gantina Komalasari, dkk, 2014.  Teori dan Teknik Konseling. PT. Indeks: JAKARTA.
Gerald Corey, 1997. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. PT. Refika Aditama: BANDUNG.
Laela, Faizah Noer, 2014. Bimbingan Konseling Sosial. UIN Sunan Ampel Press.: SURABAYA
Lubis, Namora Lumangga, 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik. Kencana: JAKARTA.
Musfir, 2005. Konseling Terapi. Gema Insani Press: JAKARTA.
Patterson, C.H.,1973. Teories of Counseling and Psychotherapy. Happer dan Row: NEW YORK.
Palmer, Stephen, Introduction to conselling and  psychotherapy,
 

[2] Fauzan, Lutfi, 1994, Pendekatan-pendekatan Konseling Individual, Malang: Elang Mas, h 164
[3]Ibid, h 166
[5] Fauzan, Lutfi, 1994, Pendekatan-pendekatan Konseling Individua,. Malang: Elang Mas, h 167
[6] Gladding, Samuel, 2012, Konseling Profesi yang Menyeluruh, Jakarta:PT. Indeks, h 254
[7] Ibid, h 257
[9] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi, PT Refika Aditama, h 264
[10] Komalasari, Wahyuni, Karsih, 2011, Teori dan Praktik Konseling, Jakarta:PT. Indek, h 288
[11] Nelson, R.J, 2011, Teori Praktik Konseling dan Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h 262
[12] Pujosuwartno, Sayekti, 1997, Berbagai Pendekatan dalam Konseling, Yogyakarta: Menara mas Offset, h 274
[13] Latipun, 2003, Psikologi Konseling, Edisi Ketiga, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, h 234
[14] Feist, Jess dan Gregory J. Feist, 2008, Theories of Personality, Yogyakarta: Pustaka belajar, h 156
[15] Fauzan, Lutfi, 1994, Pendekatan-pendekatan Konseling Individual, Malang: Elang Mas, h 170
[16] Gladding, Samuel, 2012, Konseling Profesi yang Menyeluruh, Jakarta:PT. Indeks, h 260
[17] Fauzan, Lutfi, 1994, Pendekatan-pendekatan Konseling Individual, h 170-171
[18] Gladding, Samuel, 2012, Konseling Profesi yang Menyeluruh, Jakarta:PT. Indeks , h 263
[19] Ibid, h 265
[20]Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014),  h. 59
[21]Gantina Komalasari,Teori dan Teknik Konseling,(Jakarta : PT INDEKS, 2011), h. 236-239
[22]Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, (Jakarta: PT. Indeks, 2011), h. 239-242.
[23] Gerald Corey, Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2005), h. 265-269
[24]Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, h. 252.
[25] Gerald Corey, Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi, h. 270
[26]Ibid, h. 272
[27] Namora Lumangga Lubis,Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik,(Jakarta: KENCANA,2011), h. 189.
[28] Musfir, 2005. Konseling Terapi. Hal: 45

0 komentar:

Posting Komentar