"TERAPI KONSELING KELOMPOK"
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Terapi
Konseling Kelompok
Pelaksanaan
konseling terus mengalami perkembangan dari yang semula menekankan pada
pendekatan individual berlanjut kepada pendekatan kelompok. Hal yang mendasari
penyelenggaraan konseling kelompok adalah bahwwa proses pembelajaran dalam
bentuk pengubahan pengetahuan, sikap dan perilaku termasuk dalam hal pemecahan
masalah dapat terjadi melalui proses kelompok. Dalam suatu kelompok, anggotanya
dapat memberi umpan balik yang diperlukan untuk membantu mengatasi masalah
anggota yang lain, dan anggota satu dengan lainnya saling memberi dan menerima.
Konseling kelompok diberikan kepada beberapa klien.
Konseling
kelompok merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok
untuk membantu, membei umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar. Konseling
kelompok dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamilka kelompok (group
dynamic).[1]
Sejalan
dengan apa yang dinyatakan oleh Gazda, Amir Awang (1988) menjelaskan bahwa juga
menjelaskan bahwa ciri utama konseling kelompok adalah berfokus pada pemikiran
sadar, tingkah laku, dan menerapkan interaksi terbuka. Ia menambahkan bahwa
klien konseling kelompok adalah individu yang normal dan konselor bertindak
sebagai fasilitator yang menggerakkan klien.
Dalamater
(1974) konseling kelompok dapat mewujudkan beberapa ciri seperti interaksi,
persepsi, hubungan efektif, dan saling bergantung.[2]
Winkel
(dikutip dari lubis, 2009) menjelaskan konseling kelompok merupakan pelaksanaan
proses konseling yang dilakukan antara seorang konselor profesional dan
beberapa klien sekaligus dalam kelompok kecil. Ia menyatakan bahwa konseling
kelompok ini bertujuan untuk memberikan dorongan dan pemahaman pada klien untuk
memecahkan masalahnya.
Konseling kelompok telah
menciptakan kesempatan bagi banyak individu untuk dapat menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapinya tidak dengan seorang diri. Pada konseling kelompok
terdapat unsur-unsur therapeutik
seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara bebas, berorientasi pada
kenyataan, saling percaya, saling perhatian, saling memahami, dan saling
mendukung.[3]
Melalui konseling kelompok, klien
akan memperoleh umpan balik: berupa tanggapan dan pengalaman klien lain ketika
mengatasi masalahnya. Klien yang awalnya mengalami ketakutan untuk
mengekspresikan dirinya menghadapi kenyataan akan lebih aktif dalam
berinteraksi.
Konseling kelompok dianggap lebih
sesuai bagi individu yang perlu berbagi sesuatu dengan orang lainuntuk merasa
dirinya dimiliki dan dihargai, individu dapat berbincang tentang kebimbangan
mereka, nilai hidup mereka dan masalah-masalah yang dihadapi, individu yang
memerlukan dukungan rekan senasib yang lebih mengerti dirinya, individu yang
memerlukan pengalaman dalam keompok untuk memahami dan memotivasi diri,
individu yang ingin memecahkan masalahnya dengan kehadiran orang lain, individu
yang perlu untuk mengamati bagaimana reaksi orang lain atas masalah mereka.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka
konseling kelompok secara prinsip adalah sebagai berikut : (1) konseling
kelompok merupakan hubungann antara (beberapa)konselor dengan beberapa klien;
(2) konseling kelompok berfokus pada pemikiran dan tingkah lakyang disadari;
(3) konseling kelompok bermaksud memberikan dorongan dan pemahaman kepada
klien, untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien.
B. Pendekatan Kelompok
Beberapa pendekatan
kelompok :
1. Konseling kelompok merupakan kelompok terpeutik yang dilaksanakan untuk membantu klien dalam
mengatasi masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling
kelompok mengatasi klien dalam keadaan normal yaitu tidak sedang engalami
gangguan fungsi kepribadian.
2. Psikoterapi
kelompok, yaitu penanganan pada klien yang memiliki disfungsi kepribadian dan
interpersonal dengan menggunakan interaksi emosional dalam kelompok kecil.
Adapun fokus dari psikoterapi kelompok adalah ketidaksadaran, menangani pasien
yang mengalami gangguan neurotic atau problem emosional lain yang biasanya
dilakukan untuk jangka waktu yang relatif panjang.
3. Kelompok
latihan dan pengembangan, yaitu pelatihan bagi sekelompok orang yang ingin
meningkatkan kemampuan dan keterampilan tertentu, misalnya peningktan
ketrampilan sosialnya, menghadapi pensiun dan hari-hari tua atau orangtua tanpa
patner dan lain sebagainya, yang bertujuan untuk mencegah munculnya hambatan
jika hal tersebut benar-benar terjadi.
4. Diskusi
kelompok terfokus, yaitu merupakan bentuk kegiatan diskusi mengenai topik-topik
khusus yang telah disepakati bersama dan dilakukan oleh beberapa orang yang
tergabung dalam peserta diskusi.
5.
Self-help
adalah forum kelompok yang dibentuk dan dijalankan oleh beberapa orang (sekitar 4-8 orang) yang mengalami masalah
yang sama. Self-help dimanfaatkan
sebagai sarana untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman mengatasi masalah
yang dihadapi serta mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal.
Misalnya untuk kalangan alkoholik yang berkeinginan untuk menghentikan
kebiasaannya.[4]
C. Teori-Teori Proses Kelompok
Teori-teori berikut yang tergolong dalam
kelompok teori-teori transorientasional adalah teori-teori yang menguraikan
proses-proses dalam kelompok. Teori-teori itu adalah:
1.
Teori
Sintalitas Kelompok
Sintalitas (syntality) merupakan istilah yang digunakan oleh Cattel untuk
“kepribadian kelompok”. Jadi, sintalitas analog dengan kepribadian pada individu
dan mencakup hal-hal seperti kebersamaan, dinamika dan kemampuan kelompok.
2.
Teori
prestasi kelompok
Merupakan proses yang terjadi dalam
kelompok adalah dari masukan ke keluaran melalui variabel-variabel media. Akan
tetapi, dalam proses itu terdapat juga umpan balik (feed-back).
3.
Model
Kontingensi bagi Efektivitas Kepemimpinan
Efektivitas adalah hasil kerja kelompok
dalam mencapai tujuannya. Semakin dekat hasil kelompok pada tujuannya, semakin
efektif pemimpin kelompok tersebut. Bahwa efektivitas sangat tergantung pada
situasi yang membantu atau mendukung pemimpin. Situasi itu akan mempengaruhi
hubungan efektif antara pemimpin dan kelompoknya, mempengaruhi struktur tugas
dan kekuasaan pemimpin.
4.
Model
Deskriptif dari Respons Sosial
Merupakan gambaran suatu keadaan yang tidak
mencari hubungan sebab-akibat. Selain itu, model hanya memperkirakan
kemungkinan-kemungkinan nyata (possibilities)
yang secara teoritis bisa terjadi, tetapi dalam kenyataannya belum tentu akan
terjadi.
D.
Klien dalam Konseling Kelompok
a. Karakteristik klien yang cocok mengikuti konseling
kelompok:
1)
Klien yang merasa bahwa
mereka perlu berbagi sesuatu dengan orang lain di mana mereka dapat
membicarakan tentang kebimbangan, nilai hidup, dan masalah yang dihadapi.
2)
Klien yang memerlukan
dukungan dari teman senasib sehingga dapat saling mengerti.
3)
Klien yang membutuhkan
pengalaman dari orang lain untuk memahami dan memotivasi diri.
b.
Karakteristik klien
yang tidak cocok mengikuti konseling
kelompok:
1)
Klien yang berada dalam
keadaan kritis.
2)
Klien yang tidak ingin
masalahnya diketahui orang lain karena bersifat konfidensial sehingga harus
dilindungi dan dijaga kerahasiaannya.
3)
Memiliki ketakutan
bicara yang luar biasa.
4)
Tidak mampu menjalin
hubungan interpersonal.
5)
Memiliki kesadaran yang
sangat terbatas.
6)
Klien yang mengalami
penyimpangan seksual.
7)
Klien yang membutuhkan
perhatian yang sangat besar.
E. Konselor
Dalam Konseling Kelompok
1.
Pemeliharaan (providing)
Konselor
berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk tetap menjaga dan memelihara
hubungan yang baik dengan klien. Selain itu, konselor harus dapat menumbuhkan
dan memelihara suasana konseling yang kondusif. Oleh karena itu, diperlukan
keterampilan dan kemampuan konselor dalam memberi dukungan, semangat,
perlindungan, kehangatan, penerimaan, ketulusan dan perhatian.
2.
Pemrosesan (processing)
Konselor
berperan memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terdapat dalam proses
konseling yang meliputi eksplanasi, klarifikasi, interpretasi, dan memberikan
kerangka kerja untuk perubahan atau menuangkan gagasan kepada anggota kelompok.
3.
Penyaluran (catalyzing)
Konselor
berperan mendorong terbentuknya interaksi positif dengan sesama anggota
kelompok melalui pengalaman terstuktur dan pemberian model. Selain itu,
konselor harus dapat menyalurkan perasaannya dalam menggali perasaan klien
seperti melaui konfrontasi, dan menantang klien.
4.
Pengarahan (directing)
Pengarahan
di sini dimaksudkan bahwa konselor mengarahkan proses konseling seperti dalam
hal membatasi topik, mengarahkan peran anggota kelompok, mengarahkan norma dan
tujuan kelompok, pengaturan waktu, langkah-langkah yang diambil, menghentikan
proses konseling, menengahi perselisihan anggota, dan menegaskan prosedur.
F.
Tujuan Konseling Kelompok
1.
Membantu individu untuk
mencapai perkembangan yang optimal.
2.
Berperan mendorong
munculnya motivasi kepada klien untuk merubah perilakunya dengan memanfaatkan
potensi yang dimilikinya.
3.
Klien dapat mengatasi
masalahnya lebih cepat dan tidak menimbulkan gangguan emosi.
4.
Menciptakan dinamika sosial
yang berkembang intensif.
Mengembangkan
keterampilan komunikasi dan interaksi sosial yang baik dan sehat. [5]
G.
Struktur dalam Konseling Kelompok
- Jumlah anggota kelompok, beranggotakan 4 sampai 12 kelompok. Berdasarkan penelitian, jumlah kelompok kurang dari 4 orang tidak efektif karena dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Sebaliknya, jika melebihi 12 orang, terlalu besar karena terlalu berat untuk mengelola kelompok. Untuk menetapkan jumlah klien dalam konseling kelompomk dapat didasarkan pada kemampuan konselor dan pertimbangan efektifitas proses konseling. Jika jumlah klien dipandang besar dan membutuhkan pengelolaan yang lebih baik, konselor dapat dibantu oleh ko-konselor.
- Homogenitas kelompok. Kelompok dibuat hemogeny dri jenis kelamin, jenis masalah adan gangguan, kelompok usia dan lain-lain. Penentuan homogenotas keanggotaan ini disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan konselor dalam mengeola konseling kelompok.
- Sifat kelompok, dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika dapat menerima anggota baru, dan tertutup jika anggotanya tidak memungkinkan adanya anggota baru. Pertimbangan penggunaan keanggotaan terbuka dan tertutup bergantung pada keperluan. Sifat kelompok terbuka atau adanya anggota baru dalam kelompok akan menyulitkan pembentukan kohesivitas anggota kelompok. Konselong kelompok dengan anggota tetap dapat lebih mudah membentuk dan memelihara kohesivitasnya.
- Waktu pelaksanaan, sangat bergantung kepada kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum, konseling kelompok yang bersifat jangka pendek membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20 pertemuan, dengan frekuensi pertemuan antara satau sampai tiga kali dalam seminggunya, jika terlalu jarang misalnya satu kali dalam dua minggu, banyak informasi dan umpan balik yang terlupakan, dan durasinya antara 60 sampai 90 menit setiap perteman.
Durasi
pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan
kondisi anggota kelompok. Durasi konseling yang terlalu lama menurut Yalom
yaitu diatas 2 jam menjadi tidak kondusif, karena (1) terlalu elah (2)
pembicaraan cenderung diulang-ulang, oleh karena itu aspek durasi pertemuan
harus menjadi perhitungan bagi konselor. Konseling tidak dapat diselesaikan
dengan memperpanjang durasi pertemuan, tetapi pada proses pembelajaran selama
proses konseling.
5.
tahapan konseling kelompok.
- Pra konseling merupakan persiapan pelaksanaan konseling dengan menyeleksi anggotadan menawarkan program kepada calon konseling sekaligus membangun harapan kepada calon peserta.
- Tahap permulaan yaitu tahap orientasi dan eksplorasi, pada tahap ini mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasikan harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligu mulai menegaskan tujuan kelompok. Setiap anggota kelompok mulai mengenalkan dirinya dan menjelaskan tujuan dan harapannya. Pada tahap ini deskripsi tenteng dirinya masih supersif atau permulaan saja, sedangkan persoalan yang tersembunyi belum diungkapkan pada fase ini.
- Tahap transisi, diharapakn pada tahap ini masalah yang dihadapi masing-masing klien dirumuskan dan diketahui apa sebabnya. Anggota kelompok ulai terbuka, tetapi sering terjadi pada fase ini justru kecemasan, resistensi, konflik dan bahkan ambivalensi tentang keanggotaannya dalam kelompokatau enggan jika harus membuka diri.tugas pemimpin kelompok adalah mempersiapkan mereka untuk dapat merasa memiliki kelompoknya.
- Tahap kerja kohesi dan produktifitas merupakan tahap-tahap penyusunan rencana-rencana tindakan sebagai hasil telah diketahuinya masalah masing-masing anggota kelompok. Kohesifitas atau keintiman mulai terbentuk, mulai bertanggung jawab, tidak mengalami kebingungan. Anggota merasa dalam kelompok, mendengar yang lain dan merasa puas dengan kegiatan klompok.
- Tahap akhir yaitu konsolidasi dan terminasi, pada tahap ini anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan tingkah laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberi umpan balik terhadap yang dilakukan oleh anggota lain. Terjadi mentransfer pengelaman dalam kelompok kehidupan yang lebih luas. Jiak ada klien yang memiliki masalah dan belum terselesaikan pada fase sebelumnya, pada fase iniharus diselesaikn. Jiak semua peserta merasa puas dengan proses konseling kelompok, maka konseling kelompok dapat diakhiri.
- Tahap evaluasi dan tindak lanjut, setelah berslang beberapa waktu konsling kelompok perlu dievaluasi. Tindak lanjut dilakukan jika ternyata ada kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Mungkin dilakukan upaya perbaiakan terhadap rencana-rencana semua atau perbaiakn terhadap cara pelaksanaanya.[6]
[1] Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal 71
[2]Namora Lumongga Lubis, Depresi Tinjauan Psikologis, (Jakarta :
Prenada Media, 2009), hal 158
[4] Faizah noer laela, bimbingan konseling sosial, (surabaya : Uin sunan
ampel press, 2014), hal 72
[5] Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, ( Jakarta:
Rajawali Pers,2010 ), hal 192-211
[6] Faizah Noer Laela, Bimbingan
Konseling Sosial, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal 78
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus