Minggu, 15 Juni 2014

TERAPI KONSELING KELOMPOK

Standard
"TERAPI KONSELING KELOMPOK"


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Terapi Konseling Kelompok
Pelaksanaan konseling terus mengalami perkembangan dari yang semula menekankan pada pendekatan individual berlanjut kepada pendekatan kelompok. Hal yang mendasari penyelenggaraan konseling kelompok adalah bahwwa proses pembelajaran dalam bentuk pengubahan pengetahuan, sikap dan perilaku termasuk dalam hal pemecahan masalah dapat terjadi melalui proses kelompok. Dalam suatu kelompok, anggotanya dapat memberi umpan balik yang diperlukan untuk membantu mengatasi masalah anggota yang lain, dan anggota satu dengan lainnya saling memberi dan menerima. Konseling kelompok diberikan kepada beberapa klien.
Konseling kelompok merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, membei umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar. Konseling kelompok dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamilka kelompok (group dynamic).[1]
Sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Gazda, Amir Awang (1988) menjelaskan bahwa juga menjelaskan bahwa ciri utama konseling kelompok adalah berfokus pada pemikiran sadar, tingkah laku, dan menerapkan interaksi terbuka. Ia menambahkan bahwa klien konseling kelompok adalah individu yang normal dan konselor bertindak sebagai fasilitator yang menggerakkan klien.
Dalamater (1974) konseling kelompok dapat mewujudkan beberapa ciri seperti interaksi, persepsi, hubungan efektif, dan saling bergantung.[2]
Winkel (dikutip dari lubis, 2009) menjelaskan konseling kelompok merupakan pelaksanaan proses konseling yang dilakukan antara seorang konselor profesional dan beberapa klien sekaligus dalam kelompok kecil. Ia menyatakan bahwa konseling kelompok ini bertujuan untuk memberikan dorongan dan pemahaman pada klien untuk memecahkan masalahnya.
Konseling kelompok telah menciptakan kesempatan bagi banyak individu untuk dapat menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya tidak dengan seorang diri. Pada konseling kelompok terdapat unsur-unsur therapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara bebas, berorientasi pada kenyataan, saling percaya, saling perhatian, saling memahami, dan saling mendukung.[3]
Melalui konseling kelompok, klien akan memperoleh umpan balik: berupa tanggapan dan pengalaman klien lain ketika mengatasi masalahnya. Klien yang awalnya mengalami ketakutan untuk mengekspresikan dirinya menghadapi kenyataan akan lebih aktif dalam berinteraksi.
Konseling kelompok dianggap lebih sesuai bagi individu yang perlu berbagi sesuatu dengan orang lainuntuk merasa dirinya dimiliki dan dihargai, individu dapat berbincang tentang kebimbangan mereka, nilai hidup mereka dan masalah-masalah yang dihadapi, individu yang memerlukan dukungan rekan senasib yang lebih mengerti dirinya, individu yang memerlukan pengalaman dalam keompok untuk memahami dan memotivasi diri, individu yang ingin memecahkan masalahnya dengan kehadiran orang lain, individu yang perlu untuk mengamati bagaimana reaksi orang lain atas masalah mereka.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka konseling kelompok secara prinsip adalah sebagai berikut : (1) konseling kelompok merupakan hubungann antara (beberapa)konselor dengan beberapa klien; (2) konseling kelompok berfokus pada pemikiran dan tingkah lakyang disadari; (3) konseling kelompok bermaksud memberikan dorongan dan pemahaman kepada klien, untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien.

B. Pendekatan  Kelompok 
Beberapa pendekatan kelompok :
1.    Konseling kelompok merupakan kelompok terpeutik yang dilaksanakan untuk membantu klien dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok mengatasi klien dalam keadaan normal yaitu tidak sedang engalami gangguan fungsi kepribadian.
2.    Psikoterapi kelompok, yaitu penanganan pada klien yang memiliki disfungsi kepribadian dan interpersonal dengan menggunakan interaksi emosional dalam kelompok kecil. Adapun fokus dari psikoterapi kelompok adalah ketidaksadaran, menangani pasien yang mengalami gangguan neurotic atau problem emosional lain yang biasanya dilakukan untuk jangka waktu yang relatif panjang.
3.    Kelompok latihan dan pengembangan, yaitu pelatihan bagi sekelompok orang yang ingin meningkatkan kemampuan dan keterampilan tertentu, misalnya peningktan ketrampilan sosialnya, menghadapi pensiun dan hari-hari tua atau orangtua tanpa patner dan lain sebagainya, yang bertujuan untuk mencegah munculnya hambatan jika hal tersebut benar-benar terjadi.
4.    Diskusi kelompok terfokus, yaitu merupakan bentuk kegiatan diskusi mengenai topik-topik khusus yang telah disepakati bersama dan dilakukan oleh beberapa orang yang tergabung dalam peserta diskusi.
5.    Self-help adalah forum kelompok yang dibentuk dan dijalankan oleh beberapa orang  (sekitar 4-8 orang) yang mengalami masalah yang sama. Self-help dimanfaatkan sebagai sarana untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman mengatasi masalah yang dihadapi serta mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal. Misalnya untuk kalangan alkoholik yang berkeinginan untuk menghentikan kebiasaannya.[4]

C. Teori-Teori Proses Kelompok
     Teori-teori berikut yang tergolong dalam kelompok teori-teori transorientasional adalah teori-teori yang menguraikan proses-proses dalam kelompok. Teori-teori itu adalah:
1.        Teori Sintalitas Kelompok
     Sintalitas (syntality) merupakan istilah yang digunakan oleh Cattel untuk “kepribadian kelompok”. Jadi, sintalitas analog dengan kepribadian pada individu dan mencakup hal-hal seperti kebersamaan, dinamika dan kemampuan kelompok.
2.        Teori prestasi kelompok
     Merupakan proses yang terjadi dalam kelompok adalah dari masukan ke keluaran melalui variabel-variabel media. Akan tetapi, dalam proses itu terdapat juga umpan balik (feed-back).
3.        Model Kontingensi bagi Efektivitas Kepemimpinan
     Efektivitas adalah hasil kerja kelompok dalam mencapai tujuannya. Semakin dekat hasil kelompok pada tujuannya, semakin efektif pemimpin kelompok tersebut. Bahwa efektivitas sangat tergantung pada situasi yang membantu atau mendukung pemimpin. Situasi itu akan mempengaruhi hubungan efektif antara pemimpin dan kelompoknya, mempengaruhi struktur tugas dan kekuasaan pemimpin.
4.        Model Deskriptif dari Respons Sosial
     Merupakan gambaran suatu keadaan yang tidak mencari hubungan sebab-akibat. Selain itu, model hanya memperkirakan kemungkinan-kemungkinan nyata (possibilities) yang secara teoritis bisa terjadi, tetapi dalam kenyataannya belum tentu akan terjadi.

D.  Klien dalam Konseling Kelompok

a.    Karakteristik  klien yang cocok mengikuti konseling kelompok:
1)   Klien yang merasa bahwa mereka perlu berbagi sesuatu dengan orang lain di mana mereka dapat membicarakan tentang kebimbangan, nilai hidup, dan masalah yang dihadapi.
2)   Klien yang memerlukan dukungan dari teman senasib sehingga dapat saling mengerti.
3)   Klien yang membutuhkan pengalaman dari orang lain untuk memahami dan memotivasi diri.
b.    Karakteristik klien yang tidak cocok mengikuti  konseling kelompok:
1)   Klien yang berada dalam keadaan kritis.
2)   Klien yang tidak ingin masalahnya diketahui orang lain karena bersifat konfidensial sehingga harus dilindungi dan dijaga kerahasiaannya.
3)   Memiliki ketakutan bicara yang luar biasa.
4)   Tidak mampu menjalin hubungan interpersonal.
5)   Memiliki kesadaran yang sangat terbatas.
6)   Klien yang mengalami penyimpangan seksual.
7)   Klien yang membutuhkan perhatian yang sangat besar.

E.  Konselor Dalam Konseling Kelompok 
1.    Pemeliharaan (providing)
Konselor berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk tetap menjaga dan memelihara hubungan yang baik dengan klien. Selain itu, konselor harus dapat menumbuhkan dan memelihara suasana konseling yang kondusif. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan dan kemampuan konselor dalam memberi dukungan, semangat, perlindungan, kehangatan, penerimaan, ketulusan dan perhatian.
2.    Pemrosesan (processing)
Konselor berperan memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terdapat dalam proses konseling yang meliputi eksplanasi, klarifikasi, interpretasi, dan memberikan kerangka kerja untuk perubahan atau menuangkan gagasan kepada anggota kelompok.
3.    Penyaluran (catalyzing)
Konselor berperan mendorong terbentuknya interaksi positif dengan sesama anggota kelompok melalui pengalaman terstuktur dan pemberian model. Selain itu, konselor harus dapat menyalurkan perasaannya dalam menggali perasaan klien seperti melaui konfrontasi, dan menantang klien.
4.    Pengarahan (directing)
Pengarahan di sini dimaksudkan bahwa konselor mengarahkan proses konseling seperti dalam hal membatasi topik, mengarahkan peran anggota kelompok, mengarahkan norma dan tujuan kelompok, pengaturan waktu, langkah-langkah yang diambil, menghentikan proses konseling, menengahi perselisihan anggota, dan menegaskan prosedur.

F.  Tujuan Konseling Kelompok
1.      Membantu individu untuk mencapai perkembangan yang optimal.
2.      Berperan mendorong munculnya motivasi kepada klien untuk merubah perilakunya dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
3.      Klien dapat mengatasi masalahnya lebih cepat dan tidak menimbulkan gangguan emosi.
4.      Menciptakan dinamika sosial yang berkembang intensif.
Mengembangkan keterampilan komunikasi dan interaksi sosial yang baik dan sehat. [5]

G.  Struktur dalam Konseling Kelompok
  1. Jumlah anggota kelompok, beranggotakan 4 sampai 12 kelompok. Berdasarkan penelitian, jumlah kelompok kurang dari 4 orang tidak efektif karena dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Sebaliknya, jika melebihi 12 orang, terlalu besar karena terlalu berat untuk mengelola kelompok.  Untuk menetapkan jumlah klien dalam konseling kelompomk dapat didasarkan pada kemampuan konselor dan pertimbangan efektifitas proses konseling. Jika jumlah klien dipandang besar dan membutuhkan pengelolaan yang lebih baik, konselor dapat dibantu oleh ko-konselor.
  2. Homogenitas kelompok. Kelompok dibuat hemogeny dri jenis kelamin,  jenis masalah adan gangguan, kelompok usia dan lain-lain. Penentuan homogenotas keanggotaan ini disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan konselor dalam mengeola konseling kelompok.
  3. Sifat kelompok, dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika dapat menerima anggota baru, dan tertutup jika anggotanya tidak memungkinkan adanya anggota baru. Pertimbangan penggunaan keanggotaan terbuka dan tertutup bergantung pada keperluan. Sifat kelompok terbuka atau adanya anggota baru dalam kelompok akan menyulitkan pembentukan kohesivitas anggota kelompok. Konselong kelompok dengan anggota tetap dapat lebih mudah membentuk dan memelihara kohesivitasnya.
  4. Waktu pelaksanaan, sangat bergantung kepada kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok.  Secara umum, konseling kelompok yang bersifat jangka pendek membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20 pertemuan, dengan frekuensi pertemuan antara satau sampai tiga kali dalam seminggunya, jika terlalu jarang misalnya satu kali dalam dua minggu, banyak informasi dan umpan balik yang terlupakan, dan durasinya antara 60 sampai 90 menit setiap perteman.

Durasi pertemuan konseling kelompok pada prinsipnya sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi anggota kelompok. Durasi konseling yang terlalu lama menurut Yalom yaitu diatas 2 jam menjadi tidak kondusif, karena (1) terlalu elah (2) pembicaraan cenderung diulang-ulang, oleh karena itu aspek durasi pertemuan harus menjadi perhitungan bagi konselor. Konseling tidak dapat diselesaikan dengan memperpanjang durasi pertemuan, tetapi pada proses pembelajaran selama proses konseling.
5. tahapan konseling kelompok.
  • Pra konseling merupakan persiapan pelaksanaan konseling dengan menyeleksi anggotadan menawarkan program kepada calon konseling sekaligus membangun harapan kepada calon peserta.
  • Tahap permulaan yaitu tahap orientasi dan eksplorasi, pada tahap ini mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasikan harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligu mulai menegaskan tujuan kelompok. Setiap anggota kelompok mulai mengenalkan dirinya dan menjelaskan tujuan dan harapannya. Pada tahap ini deskripsi tenteng dirinya masih supersif atau permulaan saja, sedangkan persoalan yang tersembunyi belum diungkapkan pada fase ini.
  • Tahap transisi, diharapakn pada tahap ini masalah yang dihadapi masing-masing klien dirumuskan dan diketahui apa sebabnya. Anggota kelompok ulai terbuka, tetapi sering terjadi pada fase ini justru kecemasan, resistensi, konflik dan bahkan ambivalensi tentang keanggotaannya dalam kelompokatau enggan jika harus membuka diri.tugas pemimpin kelompok adalah mempersiapkan mereka untuk dapat merasa memiliki kelompoknya.
  • Tahap kerja kohesi dan produktifitas merupakan tahap-tahap penyusunan rencana-rencana tindakan sebagai hasil telah diketahuinya masalah masing-masing anggota kelompok. Kohesifitas atau keintiman mulai terbentuk, mulai bertanggung jawab, tidak mengalami kebingungan. Anggota merasa dalam kelompok, mendengar yang lain dan merasa puas dengan kegiatan klompok.
  • Tahap akhir yaitu konsolidasi dan terminasi, pada tahap ini anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan tingkah laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberi umpan balik terhadap yang dilakukan oleh anggota lain. Terjadi mentransfer pengelaman dalam kelompok kehidupan yang lebih luas. Jiak ada klien yang memiliki masalah dan belum terselesaikan pada fase sebelumnya, pada fase iniharus diselesaikn.  Jiak semua peserta merasa puas dengan proses konseling kelompok, maka konseling kelompok dapat diakhiri.
  • Tahap evaluasi dan tindak lanjut, setelah berslang beberapa waktu konsling kelompok perlu dievaluasi. Tindak lanjut dilakukan jika ternyata ada kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Mungkin dilakukan upaya perbaiakan terhadap rencana-rencana semua atau perbaiakn terhadap cara pelaksanaanya.[6]

  



[1] Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya : UIN  Sunan Ampel Press, 2014), hal  71
[2]Namora Lumongga Lubis, Depresi Tinjauan Psikologis, (Jakarta : Prenada Media, 2009), hal 158
[3] Namora Lumongga Lubis,Memahami Dasar-Dasar Konseling. (Jakarta: Kencana.2011), hal 198-217
[4] Faizah noer laela, bimbingan konseling sosial, (surabaya : Uin sunan ampel press, 2014), hal 72

[5] Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, ( Jakarta: Rajawali Pers,2010 ), hal 192-211
[6]  Faizah Noer Laela, Bimbingan Konseling Sosial, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal 78

1 komentar: