Sabtu, 24 Mei 2014

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI THAILAND DAN FILIPINA

Standard
  Sejarah Peradaban Islam di Tailand dan Filipina

  Disusun Oleh:
                                 Ach. Shahmie Bin Othman             (                  ) 
                                 Idlan Farid Bin Noor Iskandar      (B43212060)

                                 Noor Dewi Marwanty                      (B53212091)
                                Ana Rosyidah  An-Nur                     (B73212090)
                                Anugrah Ragil Putri                         (B73212095)
 

BAB II
PEMBAHASAN

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI THAILAND DAN FILIPINA
       Ada beberapa pendapat tentang masuknya islam ke Asia Tenggara. Yang pertama pendapat orang-orang Eropa dan yang kedua pendapat sejarawan arab dan muslim.[1] Pendapat sebagaian besar sejarawan Eropa secara mutlak berpegang pada apa yang disebutkan oleh pengembara Italia Marcopolo bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara adalah pada abad ke tiga belas masehi di sebelah utara pulau Sumatera dan mereka membatasi pendapat mereka pada perjalanan Marcopolo ini ke daerah tersebut pada 1292 M.[2]
Adapun beberapa pendapat sejarawan Arab dan muslim tentang sejarah Asia Tenggara sebagai berikut:
a.    Muhammad Dhiya’Syahab dan abdullah bin Nuh dari indonesia mengatakan:
             “Banyak buku-buku sejarah dari barat dan orang-orang yang mengikutinya yang  mengira bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke tiga belas Masehi. Tetapi saya berkeyakinan bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara jauh sebelum masa yang diduga oleh orang-orang asing itu dan para pengikut mereka.”
b.       Mufti kesultanan Johor, Malaysia syarif Alwi bin Thohir Al Haddad mengatakan:
              “Pendapat-pendapat para sejarawan tentang masuknya Islam ke Asia Tenggara adalah tidak tepat. Terutama pendapat sejarawan Eropa yang menetapkan utama pendapat sejarawan Eropa yang menetapkan masuknya Islam ke Jawa pada tahun 800-1300 H, di sumatera dan malaysia pada abad ke 7 Hijriah. Kenyataan yang benar bertentangan dengan apa yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Islam telah mempunyai raja-raja di Sumatera pada abad ke enam bahkan ke lima Hijriah.”
c.       Dr. Muhammad Zaitun mengatakan :
      “Walaupun para sejarawan menyebutkan masuknya islam ke Malaysia pada abad ke enam Hijriah (abad kedua belas Masehi), pendapat yang lebih kuat adalah islam telah masuk kesana jauh sbelum itu. Mungkin tahun yang telah disebutkan oleh mereka hanya menjelaskan catatan – catatan sejarah (prasasti) yang sampai kepaanya sesudah pemerintah wilayah – wilayah tersebut memeluk agama islam dan terbentuk kesulthanan – keshultanan islam didaerah tersebut. Di Malaysia wilayah kedah adalah wilayah yang paling cepat memeluk islam”.[3]

2.1. Sejarah Masuknya Islam di Thailand
                             Kerajaan Thai yang lebih sering disebut Thailand dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa aslinya Mueang Thai (dibaca: "meng-thai", sama dengan versi Inggrisnya, berarti "Negeri Thai"), adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang berbatasan dengan Laos dan Kamboja di timur, Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di barat. Kerajaan Thai dahulu dikenal sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949. Kata "Thai" berarti "kebebasan" dalam bahasa Thai, namun juga dapat merujuk kepada suku Thai, sehingga menyebabkan nama Siam masih digunakan di kalangan warga negara Thai terutama kaum minoritas Tionghoa.[4]
                             Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002).
                             Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000)[5]
Ada beberapa teori tentang masuknya Islam di Thailand. Diantaranya ada yang mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 melalui para pedagang dari Arab. Ada pula yang mengatakan Islam masuk ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.[6] Jika melihat peta Thailand, akan mendapatkan daerah-daerah yang berpenduduk muslim berada persis di sebelah Negara-negara melayu, khususnya Malaysia.
                             Hal ini sangat berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam di Thailand, “jika dikatakan masuk”. Karena kenyataanya dalam sejarah, Islam bukan masuk Thailand, tapi lebih dulu ada sebelum Kerajaan Thailand “ Thai Kingdom” berdiri pada abad ke-9. Islam berada di daerah yang sekarang menjadi bagian Thailand Selatan sejak awal mula penyebaran Islam dari jazirah Arab.
                             Hal ini bisa dilihat dari fakta sejarah, seperti lukisan kuno yang menggambarkan bangsa Arab di Ayuthaya, sebuah daerah di Thailand dan juga keberhasilan bangsa Arab dalam mendirikan Daulah Islamiyah Pattani menjadi bukti bahwa Islam sudah ada lebih dulu sebelum Kerajaan Thai. Lebih dari itu, penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara merupakan suatu kesatuan dakwah Islam dari Arab, masa khilafah Umar Bin Khatab” (teori arab). Entah daerah mana yang lebih dahulu didatangi oleh utusan dakwah dari Arab. Akan tetapi secara historis, Islam sudah menyebar di beberapa kawasan Asia Tenggara sejak lama, di Malakka, Aceh (Nusantara), serta Malayan Peninsula termasuk daerah melayu yang berada di daerah Siam (Thailand).
                 Pada tahun 1613, d’Eredia memperkirakan bahwa Patani masuk Islam sebelum Malaka yang secara tradisional dikenal sebagai “darussalaam (tempat damai) pertama” dikawasan itu (mills 1930:49).[7] Dalam penelitiannya mengenai kedatangan Islam di Indonesia G.W.J Drewes menemukan bahwa di Trengganu, yang merupakan salah satu tetangga Patani, agama baru itu sudah dianut secara mapan menjelang 1386 atau 1387.
Dari penemuan ini Wyatt dan Teeuw menarik kesimpulan bahwa tidak ada alasan mengapa (agama itu) belum sampai di Patani menjelang tahun itu terutama jika diingat bahwa Patani terkenal sebagai sebuah pusat Islam yang awal.
                 Pada puncak kekuasaan patani awal abad ke 17 diletakkan dasar-dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Ini dimungkinkan oleh hubungan yang semakin intensif antara negeri Arab yang merupakan pusat Islam dan Asia Tenggara yang ketika itu pusat perdagangannya.Masa kejayaan yang sudah lampau itu dilambangkan oleh kaum bangsawan dan hubungan kekerabatan mereka dengan keluarga Melayu dan oleh citra Patani sebagai “tempat kelahiran Islam” dikawasan itu.
                 Lembaga keagamaan di Patani dan daerah sekitarnya berfungsi sebagai penghubung antara golongan elit dengan rakyat. Kaum ulama berfungsi sebagai kekuatan yang mengabsahkan kekuasaan yang berlaku dan dukungan mereka sifatnya menentukan bagi pemelihara daan pengguna kekuasaan politik.

2.2. Kondisi Pemerintahan di Thailand
                 Pada tahun 2004 bertepatan pada bulan April, pada masa kepekimpinan Thaksin Shinawarta, insiden berdarah telah terjadi sehingga mengakibatkan 30 pemuda muslim tewas di masjid Kru Se. peristiwa keji terjadi yang kedua kalinya pada bulan oktober 2004 yang mengakibatkan 175 tahanan pejuang Muslim Takbai meninggal dunia, akibat dijejalkan militer Thailand dalam sebuah truk dengan kondisi tangan di belakang.
pada perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban meninggal. Sehingga di penghujung tahun 2008, Thailand ingin memiliki Perdana Menteri baru yang diharapkan dapat membawa angin perubahan. Dengan rezim barunya harus berjuang keras mencari alternative dalam menangani masalah konflik Thailand Selatan.
                 Rupanya perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan. Identitas lokal di Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional lebih memilih menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan ini dirasakan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan selama puluhan tahun. 
                 Penggunakan bahasa Thai diwajibkan oleh pemerintah, baik itu di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media. Dan ternyata strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.

2.3. Kehidupan Keberagamaan
                 Ummat Islam di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang mana hampir semua sarana da’wah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah Malaysia. Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus masjid digaji langsung oleh pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di Malaysia diberikan waktu tiap malam untuk da’wah Islam.
                 Kawasan Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim adalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam. Saat itu dibuatlah Traktat Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat militer di wilayah tersebut.
                 Di beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan melainkan agama para individu yang mobil yang menyatu dalam jaringan asosiasi internasional. Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui perdagangan, haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.
                 Sudah pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah supaya elindng, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala bidang kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, hak yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang beragama Budha.

2.4. Pendidikan di Thailand
                 Pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat deskriminatif terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha. 
                 Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah, dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan menjatuhkan raja. Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi ke dalam hal ini. Misalnya, pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani tidak dapat berbicara bahasa nasional. Hal itu berkaitan dengan banyaknya orang tua Muslim yang lebih senang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agama.
                 Strategi yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat ini adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas local. Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim Pattani Thailand menghadapi diskriminasi komplek dan teror yang berlarut-larut. Sehingga kehidupan sosial maupun politik menjadi sangat terbatas. Akhirnya pemerintah Thailand juga belum mampu memberi pendidikan merata terhadap kaum muslim. Tekanan berbasis keamanan selalu mengancam mereka. Kesenjangan ini menurunkan nasionalisme mesyarakat di luar mayoritas Thai-Budha.

2.5. Muslim Thailand Sebagai Minoritas
                 Perlulah kita membatasi definisi atau pengertian tentang minoritas muslim, karena terdapat sejumlah pertimbangan dalam masalah ini, dengan pengertian bahwa Negara yang jumlah penduduk kaum musliminnya lebih dari setengah  jumlah penduduk, itu tergolong Negara Islam. Akan tetapi apabila jumlah kaum musliminnya kurang dari setengah jumlah penduduk, maka digolongkan (minoritas) masuk ke dalam Negara yang bukan Islam.
                 Negara bukan Islam yang berjulukan Negara Gajah Putih, tercatat minoritas kaum Muslim yang berjumlah sekitar 5% atau 1,5 juta jiwa dari penduduk Thailand, Mayoritas Muslim tinggal di wilayah selatan khususnya Pattani, Yala, dan marathiwat. Mereka kerap terdiskriminasi dalam segala sektor kehidupan. Pada saat ini mayoritas penduduk Thailand yang beragama Budha sekitar 80%. Daerah-dareh tersebut awalnya merupakan bagian dari sebuah kerajaan Melayu Islam Pattani Darusalam.Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah Patani. Thailand sebelumnya bernama Siam yang kemudian pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muangthai.
                 Derita yang dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini adalah akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya dalam bidang ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik yang telah berlangsung lama yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai keislamannya. Minoritas ini menuntut pemisahan diri dan kemerdekaan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.
                 Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk didengar. Yaitu Kheik atau khaek yang berarti orang luar, yang secara harfiah berarti pendatang atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai, istilah ini juga selama berabad-abad sudah dikenal untuk menyebut kaum pendatang berkulit hitam dari daerah Melayu dan Asia Selatan, orang-orang Thai-Islam menolak sebutan ini dan menyatakan bahwa kedatangan mereka (khususnya di kawasan Thailand Selatan), jauh lebih awal daripada kedatangan orang-orang Budha Thailand.
                 Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini menimblkan kontradiksi karena istilah Thai merupakan sinonim dari kata Budhasedangkan Islam identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum muslim melayu lebih suka dipanggil Malay-Islam. 

2.6. Perkembangan Minoritas Muslim Thailand
                 Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antar kerajaan Thai dengan masyarakat melayu-muslim tampak membaik. Putra mahkota kerajaan sering berkunjung ke propinsi-propinsi yang berbatasan dengan Malaysia itu. Pembangunan jalan dan gedung-gedung sekolah menandai adanya perhatian yang serius dari pihak kerajaan. Dan yang tak kalah pentingnya bagi melayu muslim adalah bahwa sejak tahu 1990-an mereka mulai mendapat kebebasan dalam menjalankan syari’at islam. Namun keinginan untuk memberlakukan hokum islam diwilayah mereka itu tetap terus mereka perjuangkan.
                 Hubungan pemerintah dan melayu-muslim yang mulai membaik ini tak dapat dipisahkan dari semakin  segarnya angin demokrasi yang bertiup dinegara-negara sedang berkembang termasuk Thailand. Seperti dikemukakan Abdul Rozak, seorang tokoh patani, bahwa perubahan sikap pemerintah Thailand itu agaknya lebih karena tekanan internasional sehubungan dengan sedang menghangatnya isu
                 Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, meski pemerintah mencoba memperbaiki hubungannya dengan melayu-muslim, mereka masih belum bisa menghilangkan trauma masa lalunya, terutama kalangan generasi tua. “kami masih ingat beberapa tahun yang lalu untuk pakai kopiah dan sarung saja tidak diperbolehkan. Sehari-hari pun kami diharuskan menggunakan bahasa thai”, ujar seorang bapak di Narathifat mengenag pahitnya masa lalu. Kuatnya kesadaran akan masa lalu yang pahit, ditambah oleh kenyataan masih adanya “kaki tangan kerajaan yang menganggap umat islam di kawasan selatan Thai seperti api dalam sekam” membuat melayu-muslim ini tetap menjaga jarak dengan pemerintah Thailand.
                 Hal ini antara lain terindikasi dari cara mereka yang menjaga kemandirian financial lembaga pendidikan tradisional pesantren. Dengan menolak menerima bantuan pemerintah mereka bisa terbebas dari sikap pemerintah untuk mendikte mereka.
                 Konflik di Thailand Selatan sangat kental dengan nilai-nilai gama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Buddis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Buddhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing masyarakat. Apabila dilihat lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan memang sangat kuat. Masyarakat khususnya di tiga provinsi: Pattani, Yala, dan Narathiwat memiliki identitas keislaman dan keMelayuan yang tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lebih welcome dengan orang Melayu dari pada dengan etnis lain, terutama Thai.
                 Penggunaan bahasa melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi ini, di atas 70%, dibandingkan provinsi lain di Selatan: Satun dan Songkhla. Tetapi bahasa melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu, karenabahasa ini memberi spirit identitas mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
                 Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 200 orang meninggal berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap muslim. Pada April 2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Krue Se. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada Khalifah Abbasiyah.
                 Peristiwa kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat membekas dihati Muslim, dan banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin meningkatkan penyerangan terhadap berbagai organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi Musli Selatan ini direspon negative oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi ini.
                 Peristiwa Takbai yang menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbulkan reaksi pa;ing keras dari milisi Muslim, yang kemudian membalas dengan penembakan dan pemboman misterius yang menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis China dan pendeta Buddha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban dipihak tentara atau Buddha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika Serikat yang menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari Selatan.
                 Pada bulan Pebruari 2004, Organisasi Konferensi Islam (OKI) minta pemerintah Thailand untuk mengakhiri tindak kekerasan terhadap warga Muslim di wilayah selatan Thailand. Seruan ini menjadi salah satu point dalam pernyataan hasil pertemuan di Jeddah antara Sekretaris Jendral OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dan Perdana Mnteri Malaysia Abdullah Badawi, yang mengetuai Konferensi Tingkat Tinggi Islam ke-10.
                 Prof. Ihsanoglu mengungkapkan rasa ketidakpuasannya, karena tindak kekerasan terhadap warga Muslim di Thailand masih terus terjadi meskipun OKI dan dunia internasional sudah mendesak pemerintah Thailand untuk segera mengakhirinya. Sekjen OKI itu kembali mengingatkan Thailand pentingnya menegakkan keadilan dan investigasi atas kasus-kasus kekerasan terhadap warga Muslim. Ihsanoglu juga menekankan agar pemerintah Thailand tidak bersikap diskriminasi dalam hal pembangunan ekonomi dan social di wilayah selatan Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
                 Upaya rekonsiliasi telah dilakukan oleh pemerintah pusat dalam lima tahun terakhir, dengan terbentuknya Komisi Rekonsiliasi Nasional yang mengantarkan dan memediasi perdamaian di Selatan. Kuatnya peran tentara di Thailand, membuat banyak rekomendasi komisi tidak bisa dijalankan. Pendidikan, pekerjaan dan fasilitas pemerintah lainnya tetap saja tidak leluasa dinikmati bagi Muslim Melayu.
                 Persyaratan pemakaian ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme pro kebijakan pusat menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi rekonsiliasi. Kehadiran masyarakat inetrnasional, antara lain Nahdlatul Ulama yang menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah kerajaan Thailand akan banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi gagasan dan harapan Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka, dan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Pattani, Yala, dan Narathiwat.
                 Sementara itu, Partai Demokrat yang menekankan persatuan kuat Negara Thailand tidak berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung kepentingan Muslim. Kritik ini tentu penting diperhatikan oleh pihak politisi, yang memainkan isu Selatan untuk kepentingan mereka. Partai Thai Rak Thai yang dalam periode Thaksin memenangi parlemen secara sengaja meniunggalkan Selatan dalam proses pembangunan dan modernisasi Thailand secara umum. Bahkan membiarkan kerusuhan di Selatan. Sejak tahun 2004, kekerasan di Thailand Selatan yang mayoritas penduduknya beragama Islam telah menewaskan 2.200 orang. Kerusuhan yang muncul di pelihara oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Di antara mereka adalah aparat pemerintah.
                 Dengan demikian, dapat disimpulkan, tumbuhnya sikap anti pemerintah pusat yang dilakukan oleh Muslim di Selatan Thailand diakibatkan banyak hal. Kesenjangan ekonomi menjadi kunci atas terus berlangsungnya gerakan ‘separatisme’ atau dalam istilah David Brown sebagai ‘separatime etnis’ atas dominasi kolonialisme internal Thailand. Kesenjangan ini telah berlangsung puluhan tahun. Akibatnya, masyarakat muslim yang mendapat tekanan politis dan keamanan dari pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sebagian dari mereka secara diam-diam mendukung gerakan anti pemerintah. Bahkan beberapa diantara mereka aktif terlibat dalam aksi kekerasan.      

2.7. Perkembangan Islam di Thailand
                 Dakwah Islam senantiasa di seluruh penjuru dunia. Islam adalah agama yang tidak mengenal batas dan sekat-sekat nasionalisme. Pun di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya bukanlah pemeluk agama Islam Thailand.
                 Thailand dikenal sebagai negara yang pandai menjual potensi pariwisata sekaligus sebagai salah satau negara agraris yang cukup maju di Asia Tenggara. Mayoritas penduduk Thailand adalah bangsa Siam, Tionghoa dan sebagian kecil bangsa Melayu. Jumlah kaum muslim di Thailand memang tidak lebih dari 10% dari total 65 juta penduduk, namun Islam menjadi agama mayoritas kedua setelah Budha.
                 Penduduk muslim Thailand sebagian besar berdomisili di bagian selatan Thailand, seperti di propinsi Pha Nga, Songkhla, Narathiwat dan sekitarnya yang dalam sejarahnya adalah bagian dari Daulah Islamiyyah Pattani. Kultur melayu sangat terasa di daerah selatan Thailand, khususnya daerah teluk Andaman dan beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Bahkan beberapa nama daerag berasal dari bahasa Melayu, seperti Phuket yang berasal dari kata bukit dan Trang yang berasal dari kata terang.
                 Proses masuknya Islam di Thailand dimulai sejak kerajaan Siam mengakuisi kerajaan Pattani Raya (atau lebih dikenal oleh penduduk muslim Thai sebagai Pattani Darussalam). Pattani berasal dari kata Al Fattani yang berarti kebijaksanaan atau cerdik karena di tempat itulah banyak lahir ulama dan cendekiawan muslim terkenal. Berbagai golongan masyarakat dari tanah Jawa banyak pula yang menjadi pengajar Al Qur’an dan kitab-kitab Islam berbahasa Arab Jawi. Beberapa kitab Arab Jawi sampai saat ini masih diajarkan di beberapa sekolah muslim dan pesantren di Thailand Selatan.[8]
                 Perkembangan Islam di Thailand semakin pesat saat beberapa pekerja muslim dari Malaysia dan Indonesia masuk ke Thailand pada akhir abad ke-19. Saat itu mereka membantu kerajaan Thailand membangun beberapa kanal dan system perairan di Krung Theyp Mahanakhon (sekarang dikenal sebagai Propinsi Bangkok).
                 Beberapa keluarga muslim bahkan mampu menggalang dana dan mendirikan masjid sebagai saran ibadah, sebuah masjid yang didirikan pada tahun 1949 oleh warga Indonesia dan komunitas muslim asli Thailand. Tanah wakaf masjid ini adalah milik Almarhum Hjai Saleh, seorang warga Indonesia yang bekerja di Bangkok.
                 Masjid Jawa adalah masjid lain yang juga didirikan oleh komunitas warga muslim Indonesia di Thailand. Sesuai dengan namanya, pendiri masjid ini adalah warga Indonesia suku Jawa yang bekerja di Thailand. Namun demikian, anak cucu para pendiri masjid ini berbicara dalam bahasa Thai dan Inggris saat menceritakan asal muasal berdirinya Masjid Jawa ini. Masjid Indonesia dan Masjid Jawa hanyalah sebagian dari lima puluhan masjid lain yang tersebar di seluruh penjuru Bangkok.

2.8. Lembaga-Lembaga Islam di Thailand
                 Thailand merupakan Negara yang penduduknya minoritas muslim karena mayoritas penduduk disana beragama budha. Meskipun penduduk muslimnya minoritas tetapi di Thailand memiliki lembaga atau kelompok yang kuat dan aktif. Empat kelompok gerakan Islam yang kuat dan aktif : pertama, golongan tradisional yang sangat berpengaruh di selatan. Kedua, golongan ortodoks yang menerbitkan majalah Rabbitah. Ketiga, golongan modernis yang menerbitkan jurnal al jihad. Keempat, golongan Chularajamontri 66 yang disponsori oleh pemerintah. Terdapat beberapa kelompok gerakan.[9]
                 Adapun kelompok-kelompok yang beragam dari organisasi separatis mengaku beroperasi dipropinsi-propinsi melayu, Muangthai selatan. Kelompok tertua adalah Barisan Nasional Pembebas Patani (BNPP) yang didirikan oleh seorang aristrokat Melayu. Barisan ini adalah kelompok Islam konservatif dan dipercaya punya hubungan yang dekat dengan Partai Islam se Malaysia (PAS) yang berkuasa di Negara tetangga Kelantan.
Secara ideologis bertentangan dengan BNPP, Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang didirikan oleh seorang guru agama, punya suatu sikap yang didasarkan pada ajaran kiri. Karena diduga beraliansi dengan Partai Komunis Malaysia (CPM), BRN Nampak kurang menerima dukungan dari rakyaat. Kelompok sabilillah ( jalan Allah) adalah kelompok berbasis kota yang muncul selama demonstrasi besar yang dilakukan Patani di akhir tahun 1975 dan awal 1976.
                 Kelompok yang paling sedikit dikenal adalah Desember Hitam 1902 yang identitasnya diambil dari peristiwa sejarah penytuan Patani Raya kedalam kerajaaan Thai. Kelompok yang paling terkenal adalah Patani United Liberation Organization (PULO) didirikan seorang aristocrat dan memiliki tujuan menyatukan semua faksi-faksi politik yang aktif melawan imperialisme Thai nampak ditujukan pada semua masyarakat melayu.[10]

2.9. Sejarah Masuknya Islam di Filipina
                 Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat).Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.
                 Adapula pendapat yang lain mengenai masuknya Islam datang kekepulaun Sulu. Bahwasannya Islam datang ke Sulu pada abad ke-9 melalui perdagangan. Tapi itu tidak menjadi faktor yang penting dalam sejarah Sulu, sampai abad ke 13 ketika orang-orang menyebarkan Islam (da’i) mulai pertama kali tinggal di Buasna (Jolo) kemudian di daerah-daerah lain kepulauan Sulu.
                 Islam di asia menurut Dr. Hamid mempunyai 3 bentuk penyebaran. Pertama, penyebaran Islam melahirkan mayoritas penduduk.Kedua, kelompok minoritas Islam.Ketiga, kelompok negera negara Islam tertindas.
Dalam bukunya yang berjudul Islam Sebagai Kekuatan International, Dr. Hamid mencantumkan bahwa Islam di Philipina merukan salah satu kelompok ninoritas diantara negara negara yang lain. Dari statsitk demografi pada tahun 1977, Masyarakat Philipina berjumlah 44.300.000 jiwa.Sedangkan jumlah masyarakat Muslim 2.348.000 jiwa. Dengan prosentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan mogondinao.
Hal itu pastinya tidak lepas dari sejarah latar belakang Islam di negeri philipina. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya penjajahan saja, akan tetapi konflik internal yang masih berlanjut sampai saat ini.
                 Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat).
                 Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab.Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.
                 Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja.Menurut ahli sejarah kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah yang aman).Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat kalimat tersebut banyak digunakan oleh masyarakat sub-kontinen.
Secara umum, gambaran Islam masuk di Philiphina melalui beberapa fase, dari penjajahan sampai masa modern.

a.                   Masa Kolonial Spanyol
                 Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina, pada 16 Maret 1521 M, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik “ekspedisi ilmiah” Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah.
                 Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876 M).Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin.walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam.
                 Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai “Moor” (Moro).Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh).Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut.Tahun 1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri.
                 Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan.Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan “misi suci”.Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang.Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu.

b.                  Masa Imperialisme Amerika Serikat
                 Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya.Secara tidak sah dan tak bermoral, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 M melalui Traktat Paris.Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya.
                 Dan inilah karakter musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini.Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.
                 Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu.Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak.
                 Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran.Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran.Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis.Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro.
                 Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan.Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro.Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat.
                 Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen.Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian.

c.                   Masa Peralihan
                 Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara.Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah.
                 Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi klaim-klaim atas tanah.
                 Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis. Pemberlakukan Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935 menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah Mindanao.
                 Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang baru.NLSA – National Land Settlement Administration – didirikan berdasarkan Act No. 441 pada 1939.Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama.Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum.Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao.
                 Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan. Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut.Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah mereka.

d.                  Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang
                 Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946 M) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro.Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF.
                 Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan. Pada awal kemerdekaan, pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon.
                 Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi.Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang.Setelah Jepang menyerah, mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953).Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986).Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro.
                 Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu. Perkembangan berikutnya kita semua tahu.MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah.
Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).
                 Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro. Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu.
                 Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang caranyalah yang paling tepat dan efektif.Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun dengan penuh resiko.“Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak,” katanya.Dan jadilah bangsa Moro seperti saat ini, minoritas di negeri sendiri.


2.10. Faktor -faktor Islam menjadi agama minoritas di Filipina
                 Mayoritas penduduk Filipina beragama Katolik, walaupun katolik menjadi agama mayoritas, tetapi di Filipina terdapat tiga ribu masjid, terutama di selatan. Penduduk Filipina sekitar 85.236.900 juta pada tahun 2006 dan setiap tahunnya pertumbuhan penduduknya 1,92% dengan luas wilayah 300.076 km terdiri dari 7.107 pulau. Penduduknya terdiri dari beberapa suku yaitu suku Filipino 80%, Tionghoa 10%, Indo Arya 5%, Eropa dan Amerika 2%, Arab 1%, suku lain 2%.
                 Kota Marawi dan Jolo dapat dianggap sebagai pusat keagamaan bagi komunitas muslim. Kitab suci alQur’an telah diterjemahkan oleh dr.Ahmad Domacao Alonto kedalaam bahasa Maranao, bahasa yang paling utama dikalangan muslim kebanyakan muslim di Moro adalah petani dan nelayan. Dijabatan tinggi pemerintah Filipina tidak berarti.
                 Asosiasi islam yang paaling aktif adalah Asosiasi Muslim Filipina (Manila), Ansar al Islam(Kota Marawi), Masyarakat Islam Mualaf (Manila) dan yayasan Islam Sulu (jolo) dan sebagainya. Tahun 1983, Dewan Dakwah Islam Filipina telah dibentuk untuk mempersatukan organisasi-organisasi Muslim di utara dan selatan.
                 Menurut Majul, ada tiga alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegerasi secara penuh kepada republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menghargai undang-undang Nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi daan keluarga, karena undang-undang tersebut berasal daari Barat dan Katolik, seperti larangan bercerai dan poligami yang sangat bertentangan dengan hukum Islam yang membolehkannya.
                 Kedua, system sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Filipina disemua daerah, tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas untuk belajar disekolah yang didirikan pemerintah. Mereka menghendaki dalam kurikulum itu adanya perbedaan khusus bagi bangsa Moro, karena adanya perbedaan agama dan kultur.
                 Ketiga, bangsa Moro masih trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina kewilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah mengubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hamper disegala bidang kehidupan.

2.11. Hukum Islam Di Filipina
                 Bangsa Moro adalah tanah muslim yang penduduknya mengikuti madzhab Syafi’i. Selama periode pra-Islam, yang Bangsa berbeda atau barangay (masyarakat) yang burik kepulauan tidak memiliki hukum tertulis dan dipimpin oleh datus (kepala suku) dengan hak atas tanah leluhur.
                 Menjelang akhir abad ke-13, pulau Sulu pemukim Muslim terlindung dari Arab, Kalimantan, Sumatera, dan Malaya yang bekerja sebagai pedagang dan misionaris, beberapa di antaranya perempuan lokal menikah, berbagi keyakinan agama mereka, dan menjalin aliansi politik. Islam kemudian disebarkan di Filipina selatan pra-kolonial melalui sarana ekonomi dan relasional sebagai pengganti penaklukan, yang mengakibatkan integrasi hukum adat baru dan yang sudah ada. Ketika datus masuk Islam, kesultanan didirikan di Magindanao dan Sulu.
                 Ini, menurut Justin Holbrook (2009): "berfungsi seperti" mini-negara ", dengan pemerintah memiliki kekuatan baik dan peradilan administrasi ... Agama pengadilan Moro diterapkan hukum adat, atau adat, serta hukum syariah ..." ini didefinisikan sifat komprehensif dari sistem hukum Islam (juga disebut sebagai Agama Sara System) yang mencakup, sosio-politik, dan hubungan-hubungan hukum sipil.[11][1][6] Holbrook catatan lebih lanjut bahwa Muslim awal dilaksanakan "pluralisme hukum untuk menjalin hubungan dengan orang-orang dari keyakinan yang berbeda ...", menunjukkan bahwa mereka tinggal di ko-eksistensi damai dengan dan tidak memaksakan iman mereka terhadap non-Muslim.
                 Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.
                 Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja. Istilah luwaran, yang dipakaai oleh orang Moro Mindanao dalam kitab hokum, berarti “pilihan” ataau “terpilih”. Undang-undang yang terkandung didalam kitab Luwaran merupakan pilihan dari hokum Arab lama yang kemudian diterjemaahkan dan dikompilasikan untu digunakan sebagai pegangan serta informasi bagi para datu, hakim dan pandita di Mindanao yang tidak mengerti bahasa Arab.
                 Kitab luwaran dari Mindanao tidak ada taanggalnya sama sekali, tak ada seorangpun yang mengetahui kapan kitab ini di buat. Sebagian orang berpendapat bahwa kitab Mindanao ini disusun beberapa waktuyang lalu oleh para hakim di Mindanaao. Kitab utama yang dirujuk oleh kitab luwaran adalah Minhaj Al TThalibin karya ahli hokum mazhab Syafi’I Zakaria yahya bin syaraf Al Nawawi.

2.12. Tokoh-tokoh Islam di Filipina
1. Prof.Dr.H. Nur Misuari
                 Nur Misuari atau Nurallaj Misuari merupakan pengasas Pergerakan Pembebasan Mindanao yang merupakan kumpulan anti kerajaan Filipinasecara kekerasan. Nur Misuari dipenjara atas tuduhan melakukan pemberontakan pada 2006. Nur Misuari ditahan di Pulau Jampiras, Sabah 24 November 2001 kerana memasuki Malaysia tanpa dokumen perjalanan sah. Kerajaan Filipina mendesak Malaysia menyerahkan Nur Misuari tetapi Malaysia terus melindungi Nur Misuari.
Nur Misuari pernah berlindung di Libya awal tahun 1980-an.Nur Misuari merupakan Bekas Gabenor Wilayah Autonomi Islam Mindanao (ARMM) . Beliau berusia 65 tahun dan menjadi buruan Manilakerana mengetuai pemberontakan 19 November 2001 sebelum melarikan diri
2. Abu Sayaf
                 Kelompok Abu Sayyaf, juga dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyya, adalah sebuah kelompok separatis yang terdiri dari terorisMuslim yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao. Khadaffi Janjalani dinamakan sebagai pemimpin kelompok ini oleh Angkatan Bersenjata Filipina.Dilaporkan bahwa akhir-akhir ini mereka sedang memperluaskan jaringannya ke Malaysia dan Indonesia.
                 Kelompok ini bertanggung jawab terhadap aksi-aksi pemboman, pembunuhan, penculikan, dan pemerasan dalam upaya mendirikan negara Muslim di sebelah barat Mindanao dan Kepulauan Sulu serta menciptakan suasana yang kondusif bagi terciptanya negara besar yang Pan-Islami di Semenanjung Melayu(Indonesia dan Malaysia) di Asia Tenggara.
                 Nama kelompok ini adalah bahasa Arab untuk Pemegang (Abu) Pedang (Sayyaf). Abu Sayyaf adalah salah satu kelompok separatis terkecil dan kemungkinan paling berbahaya di Mindanao. Beberapa anggotanya pernah belajar atau bekerja di Arab Saudi dan mengembangkan hubungan dengan mujahidin ketika bertempur dan berlatih di Afganistan dan Pakistan.[12]






BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
·               Thailand merupakan salah satu Negara di wilayah di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Budha. Tetapi didalam Thailan terdapad provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu di Thailand Selatan. Tepatnya di Pattani dan beberapa provinsi lainnya.
·               Islam masuk di Thailand dengan cara perdagangan oleh orang-orang Arab. Buktinya lukisan kuno yang menggambarkan bangsa Arab di Ayuthaya, sebuah daerah di Thailand dan juga keberhasilan bangsa Arab dalam mendirikan Daulah Islamiyah. Meskipun Islam merupakan agama yang minoritaas di Thailand tetapi Islam mempunyai lembaga yang berpengaruh di Thailand yaitu Patani United Liberation Organization (PULO).
·               Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat).
·               Filipina merupakan salah satu Negara yang terdapat di Asia Tenggara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik.Islam menjadi agama minoritas. Meskipun Islam menjadi minoritas, terdapat wilayah yang yang menjadikan Islam sebagai agama mayoritas yaitu di Filipina bagian Selatan. Perlu perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai agama mayoritas disana.
·               Banyak Negara yang menjajah negera itu seperti Spanyol dan Amerika, selain menajah mereka juga sebagai misionaris yang mempersulit untuk berkembangnya agama Islam.Dengan perjuangan dan persatuan yang tinggi membuat Negara Filipina wilayah selatan penduduknya merdeka dari penjajah dan misionaris.





DAFTAR PUSTAKA

Saiful Muzani. Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES,     1993.
Surin Pitssuwan. Islam Di Muangthai, Jakarta: LP3ES, 1989.
Supriyadi Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Al-Aydrus Muhammad Hasan. Penyebaran Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Lentera, 1996.
Kettani M Ali, Minoritas Muslim di dewasa ini, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2005.
Artikel Sejarah Masuknya Islam di Philipina oleh Imam nugroho di www.duiniaislam.com.
Kettani M Ali, Minoritas Muslim di dewasa ini, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.










[1] Muhammad Hasan Al-Aydrus, Penyebaran Islam di asia Tenggara, (Jakarta : Lentera, 1996), hal. 41.
[2] Ibid., hal. 42.
[3] Ibid., hal. 44.
[4] Diakses dari http://wikipedia.org/wiki/Islam_in_Thailand/,  pada tanggal 07 April 2014 pukul 18.16.
[5] Diakses dari http://Indramunawar.blogspot.com/, pada tanggal 07 April 2014 pukul 18.18.
[6] Diakses dari http://badrislam.blogspot.com/, pada tanggal 07 April 2014 pukul 18.23.
[7] Surin Pitssuwan, Islam Di Muangthai, (Jakarta: LP3ES. 1989), hal. 37.
[8]Diakses dari http://Asrofudin.blogspot.com/,  pada tanggal 07 April 2014 pukul 18.39.
[9] Surin Pitssuwan,  Islam Di Muangthai . . . hal xxxiv
[10] Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,  (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993), hal. 334.

[12] Diana Zaku, “Sejarah Masuknya Islam di Filipina” diakses dari http://http://438091.blogspot.com/, Pada tanggal 07 April 2014, Pukul 19.17.

0 komentar:

Posting Komentar