Sejarah Peradaban Islam di Tailand dan Filipina
Disusun Oleh:
Ach.
Shahmie Bin Othman ( )
Idlan Farid
Bin Noor Iskandar (B43212060)
Noor Dewi Marwanty (B53212091)
Ana Rosyidah An-Nur (B73212090)
Anugrah Ragil Putri (B73212095)
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH
PERADABAN ISLAM DI THAILAND DAN FILIPINA
Ada
beberapa pendapat tentang masuknya islam ke Asia Tenggara. Yang pertama
pendapat orang-orang Eropa dan yang kedua pendapat sejarawan arab dan muslim.[1]
Pendapat sebagaian besar sejarawan Eropa secara mutlak berpegang pada apa yang
disebutkan oleh pengembara Italia Marcopolo bahwa masuknya Islam ke Asia
Tenggara adalah pada abad ke tiga belas masehi di sebelah utara pulau Sumatera
dan mereka membatasi pendapat mereka pada perjalanan Marcopolo ini ke daerah
tersebut pada 1292 M.[2]
Adapun
beberapa pendapat sejarawan Arab dan muslim tentang sejarah Asia Tenggara
sebagai berikut:
a. Muhammad
Dhiya’Syahab dan abdullah bin Nuh dari indonesia mengatakan:
“Banyak buku-buku sejarah dari barat dan orang-orang yang mengikutinya yang mengira bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke tiga belas Masehi. Tetapi saya berkeyakinan bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara jauh sebelum masa yang diduga oleh orang-orang asing itu dan para pengikut mereka.”
“Banyak buku-buku sejarah dari barat dan orang-orang yang mengikutinya yang mengira bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke tiga belas Masehi. Tetapi saya berkeyakinan bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara jauh sebelum masa yang diduga oleh orang-orang asing itu dan para pengikut mereka.”
b. Mufti
kesultanan Johor, Malaysia syarif Alwi bin Thohir Al Haddad mengatakan:
“Pendapat-pendapat para
sejarawan tentang masuknya Islam ke Asia Tenggara adalah tidak tepat. Terutama
pendapat sejarawan Eropa yang menetapkan utama pendapat sejarawan Eropa yang
menetapkan masuknya Islam ke Jawa pada tahun 800-1300 H, di sumatera dan
malaysia pada abad ke 7 Hijriah. Kenyataan yang benar bertentangan dengan apa
yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Islam telah mempunyai raja-raja di
Sumatera pada abad ke enam bahkan ke lima Hijriah.”
c. Dr.
Muhammad Zaitun mengatakan :
“Walaupun para
sejarawan menyebutkan masuknya islam ke Malaysia pada abad ke enam Hijriah
(abad kedua belas Masehi), pendapat yang lebih kuat adalah islam telah masuk
kesana jauh sbelum itu. Mungkin tahun yang telah disebutkan oleh mereka hanya
menjelaskan catatan – catatan sejarah (prasasti) yang sampai kepaanya sesudah
pemerintah wilayah – wilayah tersebut memeluk agama islam dan terbentuk
kesulthanan – keshultanan islam didaerah tersebut. Di Malaysia wilayah kedah
adalah wilayah yang paling cepat memeluk islam”.[3]
2.1.
Sejarah Masuknya Islam di Thailand
Kerajaan
Thai yang lebih sering disebut Thailand dalam bahasa Inggris, atau dalam bahasa
aslinya Mueang Thai (dibaca: "meng-thai", sama dengan versi Inggrisnya,
berarti "Negeri Thai"), adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang
berbatasan dengan Laos dan Kamboja di timur, Malaysia dan Teluk Siam di
selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di barat. Kerajaan Thai dahulu dikenal
sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949. Kata "Thai" berarti
"kebebasan" dalam bahasa Thai, namun juga dapat merujuk kepada suku
Thai, sehingga menyebabkan nama Siam masih digunakan di kalangan warga negara
Thai terutama kaum minoritas Tionghoa.[4]
Muslim
di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen.
Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80
persen dari total penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga
provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand Selatan. Thailand Selatan
terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla,
dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002).
Mayoritas
penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan
Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan 86 % di pedesaan sedangkan di
Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara
mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga
provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada
di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus
Penduduk, Thailand, 2000)[5]
Ada beberapa
teori tentang masuknya Islam di Thailand. Diantaranya ada yang mengatakan Islam
masuk ke Thailand pada abad ke-10 melalui para pedagang dari Arab. Ada pula
yang mengatakan Islam masuk ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.[6]
Jika melihat peta Thailand, akan mendapatkan daerah-daerah yang berpenduduk
muslim berada persis di sebelah Negara-negara melayu, khususnya Malaysia.
Hal ini
sangat berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam di Thailand, “jika
dikatakan masuk”. Karena kenyataanya dalam sejarah, Islam bukan masuk Thailand,
tapi lebih dulu ada sebelum Kerajaan Thailand “ Thai Kingdom” berdiri pada abad
ke-9. Islam berada di daerah yang sekarang menjadi bagian Thailand Selatan
sejak awal mula penyebaran Islam dari jazirah Arab.
Hal ini bisa
dilihat dari fakta sejarah, seperti lukisan kuno yang menggambarkan bangsa Arab
di Ayuthaya, sebuah daerah di Thailand dan juga keberhasilan bangsa Arab dalam
mendirikan Daulah Islamiyah Pattani menjadi bukti bahwa Islam sudah ada lebih
dulu sebelum Kerajaan Thai. Lebih dari itu, penyebaran Islam di kawasan Asia
Tenggara merupakan suatu kesatuan dakwah Islam dari Arab, masa khilafah Umar
Bin Khatab” (teori arab). Entah daerah mana yang lebih dahulu didatangi oleh
utusan dakwah dari Arab. Akan tetapi secara historis, Islam sudah menyebar di
beberapa kawasan Asia Tenggara sejak lama, di Malakka, Aceh (Nusantara), serta
Malayan Peninsula termasuk daerah melayu yang berada di daerah Siam (Thailand).
Pada tahun
1613, d’Eredia memperkirakan bahwa Patani masuk Islam sebelum Malaka yang
secara tradisional dikenal sebagai “darussalaam (tempat damai) pertama”
dikawasan itu (mills 1930:49).[7]
Dalam penelitiannya mengenai kedatangan Islam di Indonesia G.W.J Drewes
menemukan bahwa di Trengganu, yang merupakan salah satu tetangga Patani, agama
baru itu sudah dianut secara mapan menjelang 1386 atau 1387.
Dari
penemuan ini Wyatt dan Teeuw menarik kesimpulan bahwa tidak ada alasan mengapa
(agama itu) belum sampai di Patani menjelang tahun itu terutama jika diingat
bahwa Patani terkenal sebagai sebuah pusat Islam yang awal.
Pada
puncak kekuasaan patani awal abad ke 17 diletakkan dasar-dasar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Ini dimungkinkan oleh hubungan yang
semakin intensif antara negeri Arab yang merupakan pusat Islam dan Asia
Tenggara yang ketika itu pusat perdagangannya.Masa kejayaan yang sudah lampau
itu dilambangkan oleh kaum bangsawan dan hubungan kekerabatan mereka dengan
keluarga Melayu dan oleh citra Patani sebagai “tempat kelahiran Islam”
dikawasan itu.
Lembaga
keagamaan di Patani dan daerah sekitarnya berfungsi sebagai penghubung antara
golongan elit dengan rakyat. Kaum ulama berfungsi sebagai kekuatan yang
mengabsahkan kekuasaan yang berlaku dan dukungan mereka sifatnya menentukan
bagi pemelihara daan pengguna kekuasaan politik.
2.2. Kondisi Pemerintahan di Thailand
Pada tahun
2004 bertepatan pada bulan April, pada masa kepekimpinan Thaksin Shinawarta,
insiden berdarah telah terjadi sehingga mengakibatkan 30 pemuda muslim tewas di
masjid Kru Se. peristiwa keji terjadi yang kedua kalinya pada bulan oktober
2004 yang mengakibatkan 175 tahanan pejuang Muslim Takbai meninggal dunia,
akibat dijejalkan militer Thailand dalam sebuah truk dengan kondisi tangan di
belakang.
pada
perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat
urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya
2000 korban meninggal. Sehingga di penghujung tahun 2008, Thailand ingin
memiliki Perdana Menteri baru yang diharapkan dapat membawa angin perubahan.
Dengan rezim barunya harus berjuang keras mencari alternative dalam menangani
masalah konflik Thailand Selatan.
Rupanya
perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian dan
rekonsiliasi di Thailand Selatan. Identitas lokal di Thailand Selatan lebih
dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional lebih
memilih menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh
pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan ini dirasakan
masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan selama puluhan tahun.
Penggunakan
bahasa Thai diwajibkan oleh pemerintah, baik itu di kantor kerajaan,
pemerintah, sekolah dan media. Dan ternyata strategi pemerintah Thailand memang
membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu
Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah
maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk
berbicara dalam bahasa Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.
2.3. Kehidupan
Keberagamaan
Ummat Islam
di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang mana hampir
semua sarana da’wah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah Malaysia.
Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus masjid digaji
langsung oleh pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di Malaysia
diberikan waktu tiap malam untuk da’wah Islam.
Kawasan
Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim adalah
daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan
agama yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya
wilayah utara Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam.
Saat itu dibuatlah Traktat Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim
Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat
sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat militer di wilayah tersebut.
Di beberapa
kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan melainkan
agama para individu yang mobil yang menyatu dalam jaringan asosiasi
internasional. Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia
Tenggara melalui perdagangan, haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.
Sudah pada
tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah supaya
elindng, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala
bidang kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan
ajaran-ajaran Islam, hak yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang
beragama Budha.
2.4. Pendidikan
di Thailand
Pendidikan
yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat
deskriminatif terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa
Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus
diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari
inti sari ajaran Budha.
Pada
saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu
bernafaskan Budha dan kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha.
Kementrian pendidikan memutar balik sejarah, dikatakannya bahwa orang
Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam dan
menjatuhkan raja. Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi ke
dalam hal ini. Misalnya, pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani
tidak dapat berbicara bahasa nasional. Hal itu berkaitan dengan banyaknya orang
tua Muslim yang lebih senang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agama.
Strategi
yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat
ini adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan
menjaga stabilitas local. Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim
Pattani Thailand menghadapi diskriminasi komplek dan teror yang berlarut-larut.
Sehingga kehidupan sosial maupun politik menjadi sangat terbatas. Akhirnya
pemerintah Thailand juga belum mampu memberi pendidikan merata terhadap kaum
muslim. Tekanan berbasis keamanan selalu mengancam mereka. Kesenjangan ini
menurunkan nasionalisme mesyarakat di luar mayoritas Thai-Budha.
2.5. Muslim
Thailand Sebagai Minoritas
Perlulah
kita membatasi definisi atau pengertian tentang minoritas muslim, karena
terdapat sejumlah pertimbangan dalam masalah ini, dengan pengertian bahwa
Negara yang jumlah penduduk kaum musliminnya lebih dari
setengah jumlah penduduk, itu tergolong Negara Islam. Akan tetapi
apabila jumlah kaum musliminnya kurang dari setengah jumlah penduduk, maka
digolongkan (minoritas) masuk ke dalam Negara yang bukan Islam.
Negara bukan
Islam yang berjulukan Negara Gajah Putih, tercatat minoritas kaum Muslim yang
berjumlah sekitar 5% atau 1,5 juta jiwa dari penduduk Thailand, Mayoritas
Muslim tinggal di wilayah selatan khususnya Pattani, Yala, dan marathiwat.
Mereka kerap terdiskriminasi dalam segala sektor kehidupan. Pada saat ini
mayoritas penduduk Thailand yang beragama Budha sekitar 80%. Daerah-dareh
tersebut awalnya merupakan bagian dari sebuah kerajaan Melayu Islam Pattani
Darusalam.Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa
kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang
terbesar adalah Patani. Thailand sebelumnya bernama Siam yang
kemudian pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muangthai.
Derita yang
dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini adalah
akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya dalam
bidang ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik yang
telah berlangsung lama yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai keislamannya.
Minoritas ini menuntut pemisahan diri dan kemerdekaan seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, bahwa perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi
model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.
Dalam tatanan
sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk didengar.
Yaitu Kheik atau khaek yang berarti orang luar, yang secara
harfiah berarti pendatang atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai,
istilah ini juga selama berabad-abad sudah dikenal untuk menyebut kaum
pendatang berkulit hitam dari daerah Melayu dan Asia Selatan, orang-orang
Thai-Islam menolak sebutan ini dan menyatakan bahwa kedatangan mereka
(khususnya di kawasan Thailand Selatan), jauh lebih awal daripada kedatangan
orang-orang Budha Thailand.
Hingga
istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini menimblkan
kontradiksi karena istilah Thai merupakan sinonim dari
kata Budhasedangkan Islam identik dengan kaum
muslim melayu pada waktu itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang menjadi budha
dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum muslim melayu lebih suka
dipanggil Malay-Islam.
2.6. Perkembangan Minoritas Muslim Thailand
Dalam beberapa tahun
terakhir, hubungan antar kerajaan Thai dengan masyarakat melayu-muslim tampak
membaik. Putra mahkota kerajaan sering berkunjung ke propinsi-propinsi yang
berbatasan dengan Malaysia itu. Pembangunan jalan dan gedung-gedung sekolah
menandai adanya perhatian yang serius dari pihak kerajaan. Dan yang tak kalah
pentingnya bagi melayu muslim adalah bahwa sejak tahu 1990-an mereka mulai
mendapat kebebasan dalam menjalankan syari’at islam. Namun keinginan untuk
memberlakukan hokum islam diwilayah mereka itu tetap terus mereka perjuangkan.
Hubungan pemerintah
dan melayu-muslim yang mulai membaik ini tak dapat dipisahkan dari semakin segarnya angin demokrasi yang bertiup
dinegara-negara sedang berkembang termasuk Thailand. Seperti dikemukakan Abdul
Rozak, seorang tokoh patani, bahwa perubahan sikap pemerintah Thailand itu
agaknya lebih karena tekanan internasional sehubungan dengan sedang
menghangatnya isu
Hak Asasi Manusia
(HAM). Akan tetapi, meski pemerintah mencoba memperbaiki hubungannya dengan
melayu-muslim, mereka masih belum bisa menghilangkan trauma masa lalunya,
terutama kalangan generasi tua. “kami masih ingat beberapa tahun yang lalu
untuk pakai kopiah dan sarung saja tidak diperbolehkan. Sehari-hari pun kami
diharuskan menggunakan bahasa thai”, ujar seorang bapak di Narathifat mengenag
pahitnya masa lalu. Kuatnya kesadaran akan masa lalu yang pahit, ditambah oleh
kenyataan masih adanya “kaki tangan kerajaan yang menganggap umat islam di
kawasan selatan Thai seperti api dalam sekam” membuat melayu-muslim ini tetap
menjaga jarak dengan pemerintah Thailand.
Hal ini antara lain
terindikasi dari cara mereka yang menjaga kemandirian financial lembaga
pendidikan tradisional pesantren. Dengan menolak menerima bantuan pemerintah
mereka bisa terbebas dari sikap pemerintah untuk mendikte mereka.
Konflik di Thailand
Selatan sangat kental dengan nilai-nilai gama. Mereka melihat konflik ini
adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Buddis Thai. Kata ‘Muslim’ dan
‘Buddhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing
masyarakat. Apabila dilihat lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan
memang sangat kuat. Masyarakat khususnya di tiga provinsi: Pattani, Yala, dan
Narathiwat memiliki identitas keislaman dan keMelayuan yang tidak bisa
dipisahkan. Masyarakat lebih welcome dengan orang Melayu dari pada dengan etnis
lain, terutama Thai.
Penggunaan bahasa
melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi
ini, di atas 70%, dibandingkan provinsi lain di Selatan: Satun dan Songkhla.
Tetapi bahasa melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran,
lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya. Larangan
ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan bahasa Melayu, karenabahasa
ini memberi spirit identitas mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga
Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
Dalam tiga tahun
terakhir, lebih dari 200 orang meninggal berkaitan dengan konflik di Thailand
Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak
dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap muslim. Pada April
2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Krue Se. Masjid ini
sangat bersejarah karena didirikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand.
Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada Khalifah Abbasiyah.
Peristiwa kedua
adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di perjalanan,
setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam
kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat membekas dihati
Muslim, dan banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin meningkatkan
penyerangan terhadap berbagai organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi
Musli Selatan ini direspon negative oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan
darurat militer di kelima provinsi ini.
Peristiwa Takbai yang
menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbulkan reaksi pa;ing keras dari milisi
Muslim, yang kemudian membalas dengan penembakan dan pemboman misterius yang
menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis China dan
pendeta Buddha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban
dipihak tentara atau Buddha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika
Serikat yang menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari Selatan.
Pada bulan Pebruari
2004, Organisasi Konferensi Islam (OKI) minta pemerintah Thailand untuk
mengakhiri tindak kekerasan terhadap warga Muslim di wilayah selatan Thailand.
Seruan ini menjadi salah satu point dalam pernyataan hasil pertemuan di Jeddah antara
Sekretaris Jendral OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dan Perdana Mnteri Malaysia
Abdullah Badawi, yang mengetuai Konferensi Tingkat Tinggi Islam ke-10.
Prof. Ihsanoglu
mengungkapkan rasa ketidakpuasannya, karena tindak kekerasan terhadap warga
Muslim di Thailand masih terus terjadi meskipun OKI dan dunia internasional
sudah mendesak pemerintah Thailand untuk segera mengakhirinya. Sekjen OKI itu
kembali mengingatkan Thailand pentingnya menegakkan keadilan dan investigasi
atas kasus-kasus kekerasan terhadap warga Muslim. Ihsanoglu juga menekankan
agar pemerintah Thailand tidak bersikap diskriminasi dalam hal pembangunan
ekonomi dan social di wilayah selatan Thailand yang mayoritas penduduknya
beragama Islam.
Upaya rekonsiliasi
telah dilakukan oleh pemerintah pusat dalam lima tahun terakhir, dengan
terbentuknya Komisi Rekonsiliasi Nasional yang mengantarkan dan memediasi
perdamaian di Selatan. Kuatnya peran tentara di Thailand, membuat banyak
rekomendasi komisi tidak bisa dijalankan. Pendidikan, pekerjaan dan fasilitas
pemerintah lainnya tetap saja tidak leluasa dinikmati bagi Muslim Melayu.
Persyaratan pemakaian
ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme pro
kebijakan pusat menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan baik oleh
lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi rekonsiliasi.
Kehadiran masyarakat inetrnasional, antara lain Nahdlatul Ulama yang
menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah kerajaan Thailand akan
banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi gagasan dan harapan
Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka,
dan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Pattani, Yala,
dan Narathiwat.
Sementara itu, Partai
Demokrat yang menekankan persatuan kuat Negara Thailand tidak berbuat banyak
dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung kepentingan Muslim. Kritik ini
tentu penting diperhatikan oleh pihak politisi, yang memainkan isu Selatan
untuk kepentingan mereka. Partai Thai Rak Thai yang dalam periode Thaksin
memenangi parlemen secara sengaja meniunggalkan Selatan dalam proses
pembangunan dan modernisasi Thailand secara umum. Bahkan membiarkan kerusuhan
di Selatan. Sejak tahun 2004, kekerasan di Thailand Selatan yang mayoritas
penduduknya beragama Islam telah menewaskan 2.200 orang. Kerusuhan yang muncul
di pelihara oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Di antara mereka
adalah aparat pemerintah.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan, tumbuhnya sikap anti pemerintah pusat yang dilakukan oleh
Muslim di Selatan Thailand diakibatkan banyak hal. Kesenjangan ekonomi menjadi
kunci atas terus berlangsungnya gerakan ‘separatisme’ atau dalam istilah David
Brown sebagai ‘separatime etnis’ atas dominasi kolonialisme internal Thailand.
Kesenjangan ini telah berlangsung puluhan tahun. Akibatnya, masyarakat muslim
yang mendapat tekanan politis dan keamanan dari pemerintah tidak bisa berbuat
banyak. Sebagian dari mereka secara diam-diam mendukung gerakan anti
pemerintah. Bahkan beberapa diantara mereka aktif terlibat dalam aksi
kekerasan.
2.7. Perkembangan Islam
di Thailand
Dakwah
Islam senantiasa di seluruh penjuru dunia. Islam adalah agama yang tidak
mengenal batas dan sekat-sekat nasionalisme. Pun di sebuah negeri yang
mayoritas penduduknya bukanlah pemeluk agama Islam Thailand.
Thailand
dikenal sebagai negara yang pandai menjual potensi pariwisata sekaligus sebagai
salah satau negara agraris yang cukup maju di Asia Tenggara. Mayoritas penduduk
Thailand adalah bangsa Siam, Tionghoa dan sebagian kecil bangsa Melayu. Jumlah
kaum muslim di Thailand memang tidak lebih dari 10% dari total 65 juta
penduduk, namun Islam menjadi agama mayoritas kedua setelah Budha.
Penduduk
muslim Thailand sebagian besar berdomisili di bagian selatan Thailand, seperti
di propinsi Pha Nga, Songkhla, Narathiwat dan sekitarnya yang dalam sejarahnya
adalah bagian dari Daulah Islamiyyah Pattani. Kultur melayu sangat terasa di
daerah selatan Thailand, khususnya daerah teluk Andaman dan beberapa daerah
yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Bahkan beberapa nama daerag berasal
dari bahasa Melayu, seperti Phuket yang berasal dari kata bukit dan Trang yang
berasal dari kata terang.
Proses
masuknya Islam di Thailand dimulai sejak kerajaan Siam mengakuisi kerajaan
Pattani Raya (atau lebih dikenal oleh penduduk muslim Thai sebagai Pattani
Darussalam). Pattani berasal dari kata Al Fattani yang berarti kebijaksanaan
atau cerdik karena di tempat itulah banyak lahir ulama dan cendekiawan muslim
terkenal. Berbagai golongan masyarakat dari tanah Jawa banyak pula yang menjadi
pengajar Al Qur’an dan kitab-kitab Islam berbahasa Arab Jawi. Beberapa kitab
Arab Jawi sampai saat ini masih diajarkan di beberapa sekolah muslim dan
pesantren di Thailand Selatan.[8]
Perkembangan Islam di
Thailand semakin pesat saat beberapa pekerja muslim dari Malaysia dan Indonesia
masuk ke Thailand pada akhir abad ke-19. Saat itu mereka membantu kerajaan
Thailand membangun beberapa kanal dan system perairan di Krung Theyp Mahanakhon
(sekarang dikenal sebagai Propinsi Bangkok).
Beberapa
keluarga muslim bahkan mampu menggalang dana dan mendirikan masjid sebagai
saran ibadah, sebuah masjid yang didirikan pada tahun 1949 oleh warga Indonesia
dan komunitas muslim asli Thailand. Tanah wakaf masjid ini adalah milik
Almarhum Hjai Saleh, seorang warga Indonesia yang bekerja di Bangkok.
Masjid
Jawa adalah masjid lain yang juga didirikan oleh komunitas warga muslim
Indonesia di Thailand. Sesuai dengan namanya, pendiri masjid ini adalah warga
Indonesia suku Jawa yang bekerja di Thailand. Namun demikian, anak cucu para
pendiri masjid ini berbicara dalam bahasa Thai dan Inggris saat menceritakan
asal muasal berdirinya Masjid Jawa ini. Masjid Indonesia dan Masjid Jawa
hanyalah sebagian dari lima puluhan masjid lain yang tersebar di seluruh
penjuru Bangkok.
2.8. Lembaga-Lembaga
Islam di Thailand
Thailand
merupakan Negara yang penduduknya minoritas muslim karena mayoritas penduduk
disana beragama budha. Meskipun penduduk muslimnya minoritas tetapi di Thailand
memiliki lembaga atau kelompok yang kuat dan aktif. Empat kelompok gerakan
Islam yang kuat dan aktif : pertama, golongan
tradisional yang sangat berpengaruh di selatan. Kedua, golongan ortodoks yang menerbitkan majalah Rabbitah. Ketiga, golongan modernis yang menerbitkan jurnal al jihad. Keempat, golongan Chularajamontri 66 yang disponsori oleh
pemerintah. Terdapat beberapa kelompok gerakan.[9]
Adapun
kelompok-kelompok yang beragam dari organisasi separatis mengaku beroperasi dipropinsi-propinsi
melayu, Muangthai selatan. Kelompok tertua adalah Barisan Nasional Pembebas
Patani (BNPP) yang didirikan oleh seorang aristrokat Melayu. Barisan ini adalah
kelompok Islam konservatif dan dipercaya punya hubungan yang dekat dengan Partai
Islam se Malaysia (PAS) yang berkuasa di Negara tetangga Kelantan.
Secara
ideologis bertentangan dengan BNPP, Barisan Revolusi Nasional (BRN) yang
didirikan oleh seorang guru agama, punya suatu sikap yang didasarkan pada
ajaran kiri. Karena diduga beraliansi dengan Partai Komunis Malaysia (CPM), BRN
Nampak kurang menerima dukungan dari rakyaat. Kelompok sabilillah ( jalan Allah) adalah kelompok berbasis kota yang muncul
selama demonstrasi besar yang dilakukan Patani di akhir tahun 1975 dan awal
1976.
Kelompok
yang paling sedikit dikenal adalah Desember Hitam 1902 yang identitasnya
diambil dari peristiwa sejarah penytuan Patani Raya kedalam kerajaaan Thai.
Kelompok yang paling terkenal adalah Patani United Liberation Organization
(PULO) didirikan seorang aristocrat dan memiliki tujuan menyatukan semua
faksi-faksi politik yang aktif melawan imperialisme Thai nampak ditujukan pada
semua masyarakat melayu.[10]
2.9. Sejarah Masuknya Islam di Filipina
Sejarah masuknya Islam masuk ke
wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380
M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda
tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan
tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja
Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra Barat).Ia tiba di
kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan
Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan
Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.Dari sinilah awal
peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis.
Adapula pendapat yang lain
mengenai masuknya Islam datang kekepulaun Sulu. Bahwasannya Islam datang ke
Sulu pada abad ke-9 melalui perdagangan. Tapi itu tidak menjadi faktor yang
penting dalam sejarah Sulu, sampai abad ke 13 ketika orang-orang menyebarkan
Islam (da’i) mulai pertama kali tinggal di Buasna (Jolo) kemudian di
daerah-daerah lain kepulauan Sulu.
Islam di asia menurut Dr. Hamid
mempunyai 3 bentuk penyebaran. Pertama, penyebaran Islam melahirkan mayoritas
penduduk.Kedua, kelompok minoritas Islam.Ketiga, kelompok negera negara Islam
tertindas.
Dalam bukunya yang berjudul Islam
Sebagai Kekuatan International, Dr. Hamid mencantumkan bahwa Islam di
Philipina merukan salah satu kelompok ninoritas diantara negara negara yang
lain. Dari statsitk demografi pada tahun 1977, Masyarakat Philipina berjumlah
44.300.000 jiwa.Sedangkan jumlah masyarakat Muslim 2.348.000 jiwa. Dengan
prosentase 5,3% dengan unsur dominan komunitas Mindanao dan mogondinao.
Hal itu pastinya tidak lepas dari
sejarah latar belakang Islam di negeri philipina. Bahkan lebih dari itu, bukan
hanya penjajahan saja, akan tetapi konflik internal yang masih berlanjut sampai
saat ini.
Sejarah masuknya Islam masuk ke
wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380
M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda
tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan
tersebut. Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari
Minangkabau (Sumatra Barat).
Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh
tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan.
Atas hasil kerja kerasnya juga, akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja
terkenal dari Manguindanao memeluk Islam.Dari sinilah awal peradaban Islam di
wilayah ini mulai dirintis.Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan
peraturan hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan
atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan
Mir-atu-Thullab.Manguindanao kemudian menjadi seorang Datuk yang berkuasa di
propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.
Setelah itu, Islam disebarkan ke
pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya.Sepanjang
garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan
pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja.Menurut ahli sejarah kata
Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah
yang aman).Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat kalimat tersebut banyak
digunakan oleh masyarakat sub-kontinen.
Secara umum, gambaran Islam masuk di
Philiphina melalui beberapa fase, dari penjajahan sampai masa modern.
a.
Masa Kolonial Spanyol
Sejak
masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina, pada 16 Maret 1521 M, penduduk
pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik “ekspedisi ilmiah” Ferdinand
de Magellans. Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan
tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka
justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih,
berani dan pantang menyerah.
Tentara
kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk
mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876 M).Menghabiskan
lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum
Muslimin.walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara
total. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah
belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap
orang-orang Islam.
Bahkan
orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai
“Moor” (Moro).Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan
huramentados (tukang bunuh).Sejak saat itu julukan Moro melekat pada
orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut.Tahun 1578 M
terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri.
Penduduk
pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan
kolonial Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan
orang-orang Islam di selatan.Sehingga terjadilah peperangan antar orang
Filipina sendiri dengan mengatasnamakan “misi suci”.Dari sinilah kemudian
timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa
Moro yang Islam hingga sekarang.Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang
masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri
Raja Humabon dari pulau Cebu.
b.
Masa Imperialisme Amerika Serikat
Sekalipun
Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua
wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya.Secara tidak sah dan tak
bermoral, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$
20 juta pada tahun 1898 M melalui Traktat Paris.Amerika datang ke Mindanao
dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercaya.
Dan inilah
karakter musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini.Hal ini dibuktikan dengan
ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898 M) yang menjanjikan kebebasan
beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan
bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati
orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika
tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara
pimpinan Emilio Aguinaldo.
Terbukti
setelah kaum revolusioner kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu
bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun
kemudian (1903 M) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland
dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu.Periode
berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak.
Teofisto
Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali
pertempuran.Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran.Patut dicatat bahwa
selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk
membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para
kapitalis.Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai
kelompok perlawanan Bangsa Moro.
Namun
Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro,
Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan
dan bujukan.Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika
sebagai ciri khas penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan yang
diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam
meredam perlawanan Bangsa Moro.Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan
diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang
oleh norma-norma Barat.
Pada
dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum
Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi
kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen.Seiring dengan
berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara
bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi
kemandirian.
c.
Masa Peralihan
Masa
pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika
ke pemerintah Kristen Filipina di Utara.Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke
dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS
yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902)
yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis,
ditandatangani dan di bawah sumpah.
Kemudian
Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah
dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika
dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public
Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak
didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara,
The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai
tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN
Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat
(Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih
paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi klaim-klaim atas tanah.
Pada intinya
ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah
kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan
pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis. Pemberlakukan
Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935 menandai upaya
pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah
Mindanao.
Pemerintah
mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara,
sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang baru.NLSA – National Land
Settlement Administration – didirikan berdasarkan Act No. 441 pada 1939.Di
bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung ribuan pemukim dari Utara
dibangun di propinsi Cotabato Lama.Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada
1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang
Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan
jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam
masyarakat Filipina secara umum.Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan
mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman
besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao.
Banyak
pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif
utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk
menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun
koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan.
Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu
AS hengkang dari negeri tersebut.Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro
menjadi minoritas di tanah mereka.
d.
Masa Pasca Kemerdekaan hingga
Sekarang
Kemerdekaan
yang didapatkan Filipina (1946 M) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki
arti khusus bagi Bangsa Moro.Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat)
dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun
patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan
dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM,
Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF.
Namun pada
saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi
faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan. Pada awal
kemerdekaan, pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis
Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon.
Sehingga
tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi.Gerombolan komunis Hukbalahab
ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang.Setelah Jepang
menyerah, mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina. Pemberontakan
ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa
pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953).Tekanan semakin terasa hebat dan berat
ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986).Dibandingkan dengan masa
pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka
masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif
bagi Bangsa Moro.
Pembentukan
Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF)
pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal
dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu. Perkembangan berikutnya kita
semua tahu.MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah.
Pertama,
Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang
berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF)
pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam
dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam
perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali
menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu
Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993).
Tentu saja
perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan
memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan
Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta
lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang
telah memasuki 2 dasawarsa itu.
Disatu pihak
mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili
oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad
(diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang caranyalah yang paling tepat dan
efektif.Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun
dengan penuh resiko.“Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua
pihak,” katanya.Dan jadilah bangsa Moro seperti saat ini, minoritas di negeri
sendiri.
2.10. Faktor
-faktor Islam menjadi agama minoritas di Filipina
Mayoritas penduduk Filipina beragama
Katolik, walaupun katolik menjadi agama mayoritas, tetapi di Filipina terdapat
tiga ribu masjid, terutama di selatan. Penduduk Filipina sekitar 85.236.900
juta pada tahun 2006 dan setiap tahunnya pertumbuhan penduduknya 1,92% dengan
luas wilayah 300.076 km terdiri dari 7.107 pulau. Penduduknya terdiri dari
beberapa suku yaitu suku Filipino 80%, Tionghoa 10%, Indo Arya 5%, Eropa dan
Amerika 2%, Arab 1%, suku lain 2%.
Kota Marawi dan Jolo dapat dianggap
sebagai pusat keagamaan bagi komunitas muslim. Kitab suci alQur’an telah
diterjemahkan oleh dr.Ahmad Domacao Alonto kedalaam bahasa Maranao, bahasa yang
paling utama dikalangan muslim kebanyakan muslim di Moro adalah petani dan
nelayan. Dijabatan tinggi pemerintah Filipina tidak berarti.
Asosiasi islam yang paaling aktif
adalah Asosiasi Muslim Filipina (Manila), Ansar al Islam(Kota Marawi),
Masyarakat Islam Mualaf (Manila) dan yayasan Islam Sulu (jolo) dan sebagainya.
Tahun 1983, Dewan Dakwah Islam Filipina telah dibentuk untuk mempersatukan
organisasi-organisasi Muslim di utara dan selatan.
Menurut Majul, ada tiga alasan yang
menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegerasi secara penuh kepada
republik Filipina. Pertama, bangsa
Moro sulit menghargai undang-undang Nasional, khususnya yang mengenai hubungan
pribadi daan keluarga, karena undang-undang tersebut berasal daari Barat dan
Katolik, seperti larangan bercerai dan poligami yang sangat bertentangan dengan
hukum Islam yang membolehkannya.
Kedua, system
sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Filipina disemua
daerah, tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas
untuk belajar disekolah yang didirikan pemerintah. Mereka menghendaki dalam
kurikulum itu adanya perbedaan khusus bagi bangsa Moro, karena adanya perbedaan
agama dan kultur.
Ketiga, bangsa
Moro masih trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program perpindahan
penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina kewilayah mereka di Mindanao,
karena program ini telah mengubah posisi mereka dari mayoritas menjadi
minoritas hamper disegala bidang kehidupan.
2.11. Hukum
Islam Di Filipina
Bangsa Moro adalah tanah muslim yang
penduduknya mengikuti madzhab Syafi’i. Selama periode pra-Islam, yang Bangsa
berbeda atau barangay (masyarakat) yang burik kepulauan tidak memiliki hukum
tertulis dan dipimpin oleh datus (kepala suku) dengan hak atas tanah leluhur.
Menjelang akhir abad ke-13, pulau
Sulu pemukim Muslim terlindung dari Arab, Kalimantan, Sumatera, dan Malaya yang
bekerja sebagai pedagang dan misionaris, beberapa di antaranya perempuan lokal
menikah, berbagi keyakinan agama mereka, dan menjalin aliansi politik. Islam
kemudian disebarkan di Filipina selatan pra-kolonial melalui sarana ekonomi dan
relasional sebagai pengganti penaklukan, yang mengakibatkan integrasi hukum
adat baru dan yang sudah ada. Ketika datus masuk Islam, kesultanan didirikan di
Magindanao dan Sulu.
Ini, menurut Justin Holbrook (2009):
"berfungsi seperti" mini-negara ", dengan pemerintah memiliki
kekuatan baik dan peradilan administrasi ... Agama pengadilan Moro diterapkan
hukum adat, atau adat, serta hukum syariah ..." ini didefinisikan sifat
komprehensif dari sistem hukum Islam (juga disebut sebagai Agama Sara System)
yang mencakup, sosio-politik, dan hubungan-hubungan hukum sipil.[11][1][6] Holbrook
catatan lebih lanjut bahwa Muslim awal dilaksanakan "pluralisme hukum
untuk menjalin hubungan dengan orang-orang dari keyakinan yang berbeda
...", menunjukkan bahwa mereka tinggal di ko-eksistensi damai dengan dan
tidak memaksakan iman mereka terhadap non-Muslim.
Pada masa itu, sudah dikenal sistem
pemerintahan dan peraturan hukum yaitu Manguindanao
Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb,
Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang
Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.
Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta
daerah pantai lainnya.
Sepanjang garis pantai kepulauan
Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang
bergelar Datuk atau Raja. Istilah luwaran, yang dipakaai oleh orang Moro
Mindanao dalam kitab hokum, berarti “pilihan” ataau “terpilih”. Undang-undang
yang terkandung didalam kitab Luwaran merupakan pilihan dari hokum Arab lama
yang kemudian diterjemaahkan dan dikompilasikan untu digunakan sebagai pegangan
serta informasi bagi para datu, hakim
dan pandita di Mindanao yang tidak mengerti bahasa Arab.
Kitab luwaran dari Mindanao tidak
ada taanggalnya sama sekali, tak ada seorangpun yang mengetahui kapan kitab ini
di buat. Sebagian orang berpendapat bahwa kitab Mindanao ini disusun beberapa
waktuyang lalu oleh para hakim di Mindanaao. Kitab utama yang dirujuk oleh
kitab luwaran adalah Minhaj Al TThalibin karya ahli hokum mazhab Syafi’I
Zakaria yahya bin syaraf Al Nawawi.
2.12. Tokoh-tokoh Islam di Filipina
1. Prof.Dr.H. Nur Misuari
Nur Misuari
atau Nurallaj Misuari merupakan pengasas Pergerakan Pembebasan Mindanao yang
merupakan kumpulan anti kerajaan Filipinasecara kekerasan. Nur Misuari
dipenjara atas tuduhan melakukan pemberontakan pada 2006. Nur Misuari ditahan di Pulau Jampiras, Sabah 24 November 2001 kerana memasuki
Malaysia tanpa dokumen perjalanan sah. Kerajaan Filipina mendesak Malaysia
menyerahkan Nur Misuari tetapi Malaysia terus melindungi Nur Misuari.
Nur Misuari pernah berlindung di Libya awal tahun 1980-an.Nur Misuari
merupakan Bekas Gabenor Wilayah Autonomi Islam Mindanao (ARMM) . Beliau berusia
65 tahun dan menjadi buruan Manilakerana mengetuai pemberontakan 19 November
2001 sebelum melarikan diri
2. Abu Sayaf
Kelompok Abu
Sayyaf, juga dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyya, adalah sebuah kelompok
separatis yang terdiri dari terorisMuslim yang berbasis di sekitar kepulauan
selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao. Khadaffi Janjalani dinamakan sebagai pemimpin kelompok ini oleh Angkatan
Bersenjata Filipina.Dilaporkan bahwa akhir-akhir ini mereka sedang
memperluaskan jaringannya ke Malaysia dan Indonesia.
Kelompok ini
bertanggung jawab terhadap aksi-aksi pemboman, pembunuhan, penculikan, dan
pemerasan dalam upaya mendirikan negara Muslim di sebelah barat Mindanao dan
Kepulauan Sulu serta menciptakan suasana yang kondusif bagi terciptanya negara
besar yang Pan-Islami di Semenanjung Melayu(Indonesia dan Malaysia) di Asia
Tenggara.
Nama kelompok ini
adalah bahasa Arab untuk Pemegang (Abu) Pedang (Sayyaf). Abu Sayyaf adalah
salah satu kelompok separatis terkecil dan kemungkinan paling berbahaya di Mindanao. Beberapa anggotanya pernah belajar atau bekerja di Arab Saudi
dan mengembangkan hubungan dengan mujahidin ketika bertempur dan berlatih di
Afganistan dan Pakistan.[12]
BAB III
PENUTUP
3.1.
Simpulan
·
Thailand
merupakan salah satu Negara di wilayah di Asia Tenggara yang mayoritas
penduduknya beragama Budha. Tetapi didalam Thailan terdapad provinsi yang
mayoritas penduduknya beragama Islam yaitu di Thailand Selatan. Tepatnya di
Pattani dan beberapa provinsi lainnya.
·
Islam masuk di
Thailand dengan cara perdagangan oleh orang-orang Arab. Buktinya lukisan kuno
yang menggambarkan bangsa Arab di Ayuthaya, sebuah daerah di Thailand dan juga
keberhasilan bangsa Arab dalam mendirikan Daulah Islamiyah. Meskipun Islam
merupakan agama yang minoritaas di Thailand tetapi Islam mempunyai lembaga yang
berpengaruh di Thailand yaitu Patani United Liberation Organization (PULO).
·
Sejarah masuknya Islam
masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada
tahun 1380 M. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja
Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di
kepulauan tersebut. Menurut catatan
sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra
Barat).
·
Filipina
merupakan salah satu Negara yang terdapat di Asia Tenggara yang mayoritas
penduduknya beragama Katolik.Islam menjadi agama minoritas. Meskipun Islam
menjadi minoritas, terdapat wilayah yang yang menjadikan Islam sebagai agama mayoritas
yaitu di Filipina bagian Selatan. Perlu perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai agama
mayoritas disana.
·
Banyak Negara yang menjajah
negera itu seperti Spanyol dan Amerika, selain menajah mereka juga sebagai
misionaris yang mempersulit untuk berkembangnya agama Islam.Dengan perjuangan
dan persatuan yang tinggi membuat Negara Filipina wilayah selatan penduduknya
merdeka dari penjajah dan misionaris.
DAFTAR PUSTAKA
Saiful
Muzani. Pembangunan dan Kebangkitan Islam
di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES,
1993.
Surin Pitssuwan. Islam Di Muangthai, Jakarta: LP3ES,
1989.
Supriyadi Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2008.
Al-Aydrus Muhammad
Hasan. Penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Jakarta: Lentera, 1996.
Kettani M Ali, Minoritas Muslim di
dewasa ini, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada: 2005.
Kettani M Ali, Minoritas Muslim di dewasa ini, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005.
[1] Muhammad Hasan Al-Aydrus, Penyebaran
Islam di asia Tenggara, (Jakarta : Lentera, 1996), hal. 41.
[2] Ibid., hal. 42.
[3] Ibid., hal. 44.
[4] Diakses dari http://wikipedia.org/wiki/Islam_in_Thailand/, pada tanggal 07 April 2014 pukul 18.16.
[6] Diakses dari http://badrislam.blogspot.com/,
pada tanggal 07 April 2014 pukul 18.23.
[7] Surin Pitssuwan, Islam Di
Muangthai, (Jakarta: LP3ES. 1989), hal. 37.
[9] Surin Pitssuwan, Islam Di Muangthai . . . hal xxxiv
[10] Saiful Muzani, Pembangunan dan
Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993), hal. 334.
[12] Diana Zaku, “Sejarah Masuknya Islam di Filipina” diakses dari http://http://438091.blogspot.com/,
Pada tanggal 07 April 2014, Pukul 19.17.
0 komentar:
Posting Komentar