STUDI HUKUM ISLAM
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Hukum Islam”
Dosen Pembimbing :
Pak Munir
Disusun Oleh :
Abdulloh
Faqih B03212001
Ach.
Kholil B03212002
Ahmad
Faizin B03212003
Ahmad
Fikri Haikal B03212004
JURUSAN BIMBINGAN DAN
KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU
KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hukum Islam
Menurut Bahasa “Hukm” berarti halangan, keputusan,
dan pemisahan. Kata ini berkembang hingga menjadi hukum dan hikmah. Keduanya
berfungsi sama, yaitu menghalangi seseorang untuk berbuat jahat, memisahkan hal
yang benar dan yang salah, serta memberikan keputusan untuk suatu persoalan.
Hukum menggunkan pendekatan legal-formal, sedangkan hikmah dengan pendekatan
kultur-substansial.[1]
Menurut istilah, hukum didefinisikan secara berbeda oleh
ulama Sunni dan Mu’tazilah. Bagi ulama Sunni Hukum adalah titah Allah azza wa jalla yang berkaitan dengan orang yang
berakal dan dewasa melalui tuntutan (al-iqtidla’),
pilihan (al-takhyir) dan penentuan
sebab, Syarat dan penghalang hukum (al-wadl’).
Menurut ulama Mu’tazilah, Hukum adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Allah azza
wa jalla dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan apa yang ada dalam sifat
akal, karena teks al-qur’an dan as-sunnah berfugsi sebagai pembuka rahasia
hukum dan akal bebas untuk mendapatkanya. Demikian ini pengertian hukum dalam
prespektif Ushul Fikih. Dalam konsepsi barat, hukum sengaja dibuat oleh manusia
untuk mengatur manusia sendiri.
Kata “Hukum Islam” tidak ditemukan sama sekali
dalam al-Qur’an, as-sunnah dan literatur hukum dalam islam, tetapi yang ada
dalam Al-Qur’an adalah kata Syari’ah, Fiqh, Hukum Allah azza wa jalla, dan yang
seakar dengannya. Kata “Hukum Islam” merupakan terjemahan dari term “islamic law” dari literatur barat.
Hasbi Ash Shiddieqy rohmatullah’alaih memberikan definisi hukum islam, yaitu
“koleksi daya upaya para pakar Fikih (Fuqoha’)
dalam menerapkan syari’at islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Definisi
ini mendekati kepada makna Fikih.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang arti Hukum
Islam, perlu diketahui terlebih dulu arti kata “Hukum”. Agar mudah dipahami
definisi yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin, menurut pendapatnya hukum
adalah “sekumpulan aturan baik yang berasal dari aturan formal maupun adat,
yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi
anggotanya”. Bila hukum dihubungkan dengan islam, maka Hukum Islam berarti
“Seperangkat peraturan berdasarkan Wahyu Allah azza wa jalla dan Sunnah
Rosulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua ummat yang beragama islam.
Dari devinisi tadi dapat dipahami bahwa rukun islam
mencakup hukum syari’ah dan hukum fiqih, karena arti keduanya terkandung
didalamnya. Penting untuk dikemukakan bahwa karakter utama suatu hukun adalah
mengikat anggotanya. Jika tidak ada ikatanya, maka tidak bisa dikatakan sebagai
hukum. Ikatan suatu hukum adalah pemberlakuan sanksi atas orang yang
melanggarnya. Tentu saja sanksi ini bersifat legal yang dalam hadis diatas
dinyatakan dengan bihaqq al-islam. Oleh
karena itu, hukum islam berarti peraturan perundang-undangan islam.
Dalam bahasa Arab, peraturan perundang-undangan
diistilahkan dengan al-Qoonun. Dalam Mu’jam al-Washith disebutkan, Qonun ialah setiap perkara yang bersifat
menyeluruh (Kulliy) dan relevan
dengan seluruh bagian-bagianya (juz’iyyat).[2]
Hubungan Syari’ah, Fikih, dan Hukum Islam :
·
Syari’ah
itu tujuan (hadaf), sedang Fikih
adalah caranya. Syari’ah tidak berbeda jauh dengan Fikih. Fikih itu ilmu
Syari’ah, sebab ia termasuk ilmu yang bersandar kepada wahyu ilahi. Pekerjaan
akal dalam menyimpulkan hukum justru terikat oleh dasar-dasar Syari’ah.
·
Hukum
Islam mengikut semua umat islam, apapun madzhab dan alirannya. Pengikatan ini
dilakukan dengan pemaksaan. Bagi Negara dengan sistem kerajaan, hukum islam
ditentukan oleh Raja atau Sultan setelah para pakar studi Hukum Islam
merumuskannya.
Hukum Islam secara garis besar mengenal dua macam sumber
hukum, pertama sumber hukum yang bersifat “Naqly”
dan kedua sumber hukum yang bersifat “aqliy”.
Sumber hukum naqliy ialah
Al-Qur’an dan As-sunnah, sedangkan sumber hukum aqliy ialah usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah fikir dengan
beragam metodanya kandungan Al-qur’an dan As-sunnah kadang kala bersifat
prinsipiil yang general (zanni)
sehingga perlu adanya penafsiran atau upaya interpretasi.
B.
Tujuan Mempelajari Hukum Islam
· Mendidik
individu agar mampu menjadi sumber kebajikan bagi masyarakatnya dan tidak
menjadi sumber malapetakata bagi orang lain;
Hal ini disebutkan dalam firman-Nya Qs.
Al-Ankabut : 45
Sesungguhnya salat itu mencegah dari keji dan
munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah lebih besar. (al-ankabut : 45)
· Menegakkan
keadilan di dalam masyarakat secara internal di antara sesama ummat Islam
maupun eksternal antara ummat Islam dengan masyarakat luar. Ditegaskan dalam
firman-Nya : al- Maidah : 8.
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 cÎ) ©!$# 7Î6yz $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa.
Agama Islam tidak membedakan manusia dari segi
keturunan, suku bangsa, agama. Warna kulit dan sebagainya. Kecuali ketaqwaan
kepada-Nya.
Hal tersebut dinyatakan dalam firman-Nya
surat al-Hujarat : 13.
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: Hai
manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.
· Mewujudkan
kemaslahatan hakiki bagi manusia dan masyarakat. Bukan kemaslahatan semu untuk
sebagian orang atas dasar hawa nafsu yang berakibat penderitaan bagi orang ain,
tapi kemaslahatan bagi semua orang, kemaslahatan yang betul-betul bisa dirasakan
oleh semua pihak.[3]
C.
Manfaat Mempelajari Hukum Islam
·
Sebagai
alat kesempurnaan hidup , sebagai pedoman hidup beragama, baik pribadi
maupun sosial.
·
Untuk
mengetahui mana yang halal dan haram, syah dan batil dari perbuatan manusia.
·
Untuk
mengetahui aturan hidup manusia, seperti masalah nikah, kewarisan, perwakafan,
mu’amalah, ibadah, jinayah, siyasah, dan lain lain.
D.
Perkembangan di Masa Nabi dan Khulafaurrasyidin
A.
Perkembangan
Hukum Islam di Masa Nabi Muhammad SAW.
Mengenai peranan
dan tempat nabi Muhammad dalam sejarah umat manusia, tidak ada salahnya kalau
disebutkan pula, pendapat Philip Kurie Hitti dalam bukunya Islam a Way of
Life (1970). Pada halaman 2 dan 3 bukunya Philip Kurie Hitti menyatakan
bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad untuk umat manusia itu suatu pandangan
hidup (a way of life) dengan tiga aspek utamanya, yaitu agama, politik,
dan budaya.[4]
Sejarah memang telah mencatat nama-nama manusia yang membawa atau
membangun suatu agama, yang lain disebut-sebut sebagai bapak suatu bangsa. Di
samping itu ada pula orang-orang besar yang berhasil membangun suatu masyarakat
atau negara. Jika ada orang lain yang berhasil membangun ketiga-tiganya
sekaligus, maka mungkin kedudukan Nabi Muhammad tidak sangat istimewa dalam
sejarah umat manusia, terutama bagi umat Islam, dan orang mungkin akan mudah
melupakan namanya. Akan tetapi, sejarah telah menunjukkan bahwa ke tiga
instituisi atau lembaga yang sangat unik dalam bentuk yang unik telah berhasil
dibangun oleh Nabi Muhammad dalam masa kurang dari 23 tahun.[5]
Para ulama membagi dua periode pembentukan sumber hukum, yaitu
periode sebelum hijrah ke madinah dan periode setelah hijrah. Periode pertama
dinamakan Makkiyyah, sedangkan periode kedua disebut Madaniyyah. Masing-masing
periode ini memiliki karakteristik, modal sosial, proses, sasaran, dan hasil
tersendiri.
1.
Pembentukan Sumber Hukum Periode
Makkiyyah
Semula
Nabi Muhammad hanya seorang diri. Selanjutnya Nabi Muhammad mengajak keluarga
dan teman-teman terdekatnya. Setelah itu, mengajak masyarakat luas. Ajakan Nabi
Muhammad tidak direspon dengan baik, sehingga jumlah pengikut Nabi menjadi kaum
minoritas yang tertindas. Kondisi demikian ini relevan dengan wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad. Kandungan pokok wahyuMakkiyyah adalah sebagai
berikut.[6]
a.
Penanaman akidah. Dalam hal ini, wahyu
menunjukkan kesesatan kepercayaan masyarakat, menunjukkan kebenaran tentang
Tuhan Allah, dan memberi peluang kepada masyarakat untuk berpikir tentang
kebenaran tersebut.
b.
Penegasan kebenaran kandungan al-Qur’an.
Wahyu berulangkali meyakinkan masyarakat bahwa al-Qur’an benar-benar firman
Allah, bukan perkataan Nabi atau kutipan kitab-kitab terdahulu.
c.
Penguatan kenabian dan kerasulan Nabi
Muhammad serta pembelaan kepadanya. Dalam hal ini, wahyu menunjukkan pribadi
Nabi Muhammad yang agung sekaligus diakui oleh masyarakat. Selain itu, wahyu
juga mempersamakan kenabian Nabi Muhammad dengan rasul-rasul sebelumnya.
d.
Janji atas keimanan dan ancaman atas
pengingkaran ditebar oleh wahyu periode Makkiyyah. Dijelaskan pula, keadaan
hari kiamat saat janji dan ancaman tersebut akan direalisasikan.
e.
Pembinaan akhlak. Berkenaan dengan ini,
wahyu juga menunjukkan kerapuhan sistem sosial yang dijalankan masyarakat,
menunjukkan sistem sosial yang unggul, serta menampilkan contoh-contoh dampak
dari pelaksanaan sistem sosial yang rapuh tersebut.
f.
Penguatan beberapa tradisi masyarakat
yang membuahkan kemashlahatan serta penghapusan tradisi-tradisi yang
menimbulkan kerusakan. Wahyu pun menjadikan tradisi yang mashlahah tersebut
sebagai syari’at.
g.
Penjelasan tentang hakekat manusia.
Wahyu mengemukakan sifat-sifat dasar manusia, proses kelahiran dan kematiannya,
serta kehidupannya yang sejati.
h.
Pengungkapan kehidupan duniawi dan
hakekat harta benda. Melalui informasi ini, wahyu mengajak masyarakat untuk
membuat keputusan secara bijak dalam membelanjakan harta benda.
Dari
beberapa kandungan di atas, syari’at Islam mula-mula menekankan aspek ketuhanan
dan kemanusiaan. Dalam menyampaikan pesan universal syari’at Islam, Nabi
menggunakan strategi bertahan (defensif). Artinya, Nabi tidak memberikan
perlawanan atas gangguan maupun permusuhan dari orang-orang yang membencinya.
Pesan
universal dan strategi defensif merupakan karakteristik syari’at Islam periode
makkiyyah.
2.
Pembentukan Sumber Hukum Periode
Madaniyyah
Di
Madinah, Nabi menghadapi masyarakat yang telah tercerahkan oleh syari’at Islam.
Sebelum kedatangan Nabi Muhammad, Mush’ab bin ‘Umair telah berhasil membina
masyarakat Madinah. Persatuan kelompok Muhajirin dan kelompok asli daerah
(Anshor) menjadi modal sosial bagi Nabi untuk membentuk masyarakat Madani. Dan
wahyu yang turun bernuansa kemasyarakatan. Secara umum,kandungan syari’at Islam
yang dikemukakan di periode Madaniyyah adalah sebagai berikut.
a.
Perwujudan keimanan dan interaksi
sosial. Wahyu membuat klasifikasi mukmin, munafik, ahli kitab, musyrik, dan
kafir serta mengemukakan sikap terhadap masing-masing kelompok sosial.
b.
Perintah ketaatan kepada Nabi Muhammad.
Memerintahkan masyarakat untuk tetap loyal kepada Nabi.
c.
Petunjuk fungsi al-Qur’an. Menunjukkan
fungsi-fungsi al-Qur’an dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
d.
Pemberlakuan hukum-hukum keluarga,
antara lain pernikahan, waris, wasiat, dan sebagainya.
e.
Penetapan etika sosial. Jalinan hubungan
antara sesama manusia dipertegas oleh wahyu, agar bangunan sistem sosial
menjadi kokoh. Dalam hal ini, wahyu mengatur hubungan antara muslim dan
non-muslim.
f.
Pemberlakuan hukum-hukum peperangan,
diplomasi, pemerintahan, bahkan hukum acara pidana. Karena masyarakat madinah
telah membentuk sebuah negara, maka wahyu turun untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara.
g.
Penetapan sumber-sumber keuangan negara
dan pola pendistribusiannya. Wahyu menguraikan hukum zakat, rampasan perang,
dan pajak atas kaum non-muslim (fay’).
Berdasarkan
kandungan syari’at Islam periode Madaniyyah di atas, dapat dikemukakan bahwa
karakteristik periode ini adalah kelembagaan.
Proses
penguatan lembaga Madinah ditempuh Nabi selama 10 tahun. Selama ini pula, Nabi
mengajarkan dan menafsirkan wahyu al-Qur’an dengan perkataan, sikap, dan
perbuatan. Penjelasan teoritis dikemukakan dengan perkataan, sedangkan
penjelasan praktis disampaikan dengan sikap dan perbuatan. Satunya perkataan
dan perbuatan ini menjadi kunci sukses pembinaan Nabi. Hasilnya Nabi menjadi
teladan dalam segala hal.
3.
Antara Makkiyyah dan Madaniyyah
Berdasarkan
uraian di antara periode Makkiyyah dan Madaniyyah, terhadap perbandingan antara
keduanya.
Pertama,
situasi
dan kondisi masyarakat yang dihadapi wahyu. Kondisi ini berpengaruh pada
penetapan strategi pembentukan Syari’at Islam. Dari sudut dakwah islam,
pemahaman ayat Mekkah-Madinah memberikan pedoman tentang strategi yang tepat
dalam pembinaan keimanan manusia. Ayat Mekkah memperlihatkan posisi Nabi
sebagai kelompok lemah menghadapi kelompok kuat, sedangkan ayat Madinah
menunjukkan posisi Nabi sebagai kelompok kuat menghadapi kelompok lemah dan
kelompok kuat yang lain.[7]
Kedua,
terjadi
perbedaan porsi al-Qur’an yang disampaikan. Selama periode Makkiyyah, wahyu
yang diajarkan banyak dari ayat-ayat al-Qur’an. Tidak banyak hadis yang
diriwayatkan dalam periode ini. Nabi sendiri pernah melarang untuk mencatat
hadis, tetapi memerintahkan mencatat ayat-ayat a-Qur’an. Ternyata para sahabat
banyak yang masih mencatat hadis. Ternyata, hadis-hadis lebih didominasi aspek
ibadah, hukum dan, kemasyarakatan. Sebaliknya, al-Qur’an didominasi oleh
ayat-ayat keimanan dan kemanusiaan.
Ketiga,
periode
Makkiyyah berorientasi pada kekuatan pribadi individu, sedangkan periode
Madaniyyah menekankan penguatan kelembagaan. Ada enam cara Nabi mengajarkan dan
membentuk sumber hukum Islam.
a.
Informatif, yaitu menyampaikan
penjelasan dengan uraian.
b.
Dialogis, yaitu melakukan tanya jawab
langsung dengan para sahabat.
c.
Percontohan, yakni meragakan kegiatan
yang sulit diungkapkan dengan pernyataan.
d.
Korespondensi, yaitu menjelaskan
Syari’at Islam kepada pihak yang strategis dan jaraknya jauh.
B.
PERKEMBANGAN
ISLAM PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN
Masa
pemerintahan khulafaur rasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan
hukum Islam karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi
berikutnya, terutama generasi ahli hukum hukum Islam di zaman mutakhir ini.[9]
1.
Karakteristik Hukum Islam Masa Sahabat
Para
sahabat Nabi mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkan. Mereka berbeda-beda
dalam kemampuan pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Nabi ditanya
tentang suatu masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu, memerintahkan atau
melarang sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, sedangkan
yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya.
Setelah
Nabi meninggal dunia orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam urusan
hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka, dan mereka
pun tidak bertanya pada semua sahabat. Para kholifah sedikit sekali memberi
fatwa atau meriwayatkan hadis. Abu Bakar meriwayatkan 142 hadits, Umar 537
hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan
hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah (Abu Hurairah meriwayatkan 5374 Hadits).
Sebelum
dinasti Umaiyyah berkuasa, tidak banyak sahabat yang keluar dari Madinah. Umar
bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang mereka
meninggalkan kota itu. Pertama, Umar ingin mengambil manfaat dari
pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan alasan-alasan, baik secara
politik maupun administratif dalam pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah,
mereka diizinkan keluar.
Sahabat
memiliki peran yang penting dalam perkembangan Islam. Pertama, sahabat
adalah orang yang bertemu Nabi dan dari mereka sunnah Nabi diperkenalkan. Kedua,
zaman sahabat adalah zaman berakhirnya penetapan syari’at Islam (tasyri’),
setelah wafatnya Nabi. Inilah embrio studi hukum Islam pertama. Ketiga, pemikiran
para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi
sunnah yang diikuti. Keempat, Ahlus Sunnah sepakat menetapkan bahwa
seluruh sahabat adalah baik.
2.
Perkembangan Hukum Islam Masa
Sahabat
Para
sahabat merupakan penerus perjuangan Nabi dalam melaksanakan dakwah Islam.
Mereka juga menerapkan ajaran Islam dalam realitas nyata kehidupan sehari-hari.
Dakwah yang mereka lakukan telah jauh melampaui dakwah pada masa Nabi. Pada
masa pemerintahan Khulafaur rasyidin, wilayah kekuasaan Madinah sudah
menjangkau negeri Persia, Irak, Syam dan, Mesir. Pada saat itu, ajaran islam
harus berhadapan dengan masyarakat baru yang beragam dengan berbagai persoalan
yang kompleks, baik dari segi hukum, moral, budaya, maupun ekonomi. Semua
persoalan ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap ajaran Islam
untuk menyelesaikannya.
Seringkali
permasalahan yang muncul tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka
seringkali bermusyawarah dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam
masyarakat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka baru diputuskan
masalah-masalah tersebut yang kemudian dikenal dengan Ijma’. Kholifah
Utsman merupakan kholifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk
meninggalkan Madinah. Penyebaran sahabat ini memiliki perkembangan yang besar
terhadap hukum Islam. Hal ini, terutama, disebabkan oleh perbedaan situasi,
adat, kebiasaan, dan kebudayaan. Selain itu, perbedaan pemahaman para sahabat
dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul juga memberikan pengaruh pada
perkembangan hukum Islam.
Hukum
Islam pada masa sahabat ini disebarkan oleh para pengikut empat sahabat
terkemuka, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan
Abdullah bin Abbas.
Perbedaan
pendapat semakin berkembang ketika terjadi berbagai pergolakan politik di
wilayah-wilayah Islam. Kekacauan politik sejak terbunuhnya khalifah Utsman .
kenudian dilanjutkan dengan berpindahnya pusat pemerintahan Islam dari Madinah
ke Irak pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan dengan
konfrontasi antara khalifah Ali dengan Mu’awiyyah, semakin meruncing perbedaan
pendapat yang sudah ada. Lebih dari itu, perbedaan pendapat (Ikhtilaf)
berubah menjadi pertikaian kelompok (iftiraq) serta menimbulkan
aliran-aliran dan sekte-sekte baru, seperti Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah,
Mu’tazilah dan sebagainya. Sekte-sekte ini memecahkan kesatuan umat Islam.
Meskkipun aliran-aliran ini bersifat teologis, namun mereka memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap perkembangan hukum Islam. Misalnya, pakar hukum Islam
syi’ah hanya mau menerima hadis jika diriwayatkan oleh imam mereka sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Seperti yang telah dibahas tadi bahwa, Menurut Bahasa
“Hukm” berarti halangan, keputusan, dan pemisahan. Kata ini berkembang
hingga menjadi hukum dan hikmah. Keduanya berfungsi sama, yaitu menghalangi
seseorang untuk berbuat jahat, memisahkan hal yang benar dan yang salah, serta
memberikan keputusan untuk suatu persoalan. Hukum menggunkan pendekatan
legal-formal, sedangkan hikmah dengan pendekatan kultur-substansial.
Perkembangan Hukum Islam di Masa Nabi, terjadi pada saat
Rosulullah Sebelum Hijrah (Periode Makkiyah) dan setelah Hijrah (Periode
Madaniyah).
Hukum Islam pada masa sahabat ini disebarkan oleh para
pengikut empat sahabat terkemuka, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas.
Perbedaan
pendapat semakin berkembang ketika terjadi berbagai pergolakan politik di wilayah-wilayah
Islam. Kekacauan politik sejak terbunuhnya khalifah Utsman . kenudian
dilanjutkan dengan berpindahnya pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Irak
pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan dengan konfrontasi
antara khalifah Ali dengan Mu’awiyyah, semakin meruncing perbedaan pendapat
yang sudah ada. Lebih dari itu, perbedaan pendapat (Ikhtilaf) berubah
menjadi pertikaian kelompok (iftiraq) serta menimbulkan aliran-aliran
dan sekte-sekte baru, seperti Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah, Mu’tazilah dan
sebagainya.
B.
Saran
Sebaiknya para pembaca memahami dengan
sefaham-fahamnya dan mengamalkan ilmunya, khususnya dalam hal ini sehingga
menjadi ilmu yang manfaat.
Daftar Pustaka
Subandi, Bambang. 2012. Studi Hukum Islam. Surabaya: IAIN SAP.
Shomad, Abd. 2012. Hukum
Islam. Jakarta: Kencana Perdana Group
[1]
Bambang Subandi, dkk,
Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SAP, 2012) Hal.42-43
[2]
Bambang Subandi, dkk,
Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SAP, 2012) Hal.45
[3]
Zahroh,Abu,ushul fiqih.hal.364
[4]
Abd. Shomad, Hukum Islam, (jakarta: Kencana,
2012) Hal. 3
[5]
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005),
hal.161
[6]
Bambang Subandi, dkk,
Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SAP, 2012) Hal.94-102
[7]
Moh. Ali Aziz dan Bambang Subandi, Pengetahuan Dasar Al-Qur’an (Surabaya:
Imtiyaz, 2011), hal. 98-99
[8]
M. Hasyim Manan, Kilasan Sejarah Al-Hadis (Surabaya: Media Karya, t.t.),
hal. 27-28
[9]
Bambang Subandi, dkk,
Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SAP, 2012) Hal.105-113
0 komentar:
Posting Komentar