Rabu, 23 April 2014

Studi Hukum Islam

Standard


STUDI HUKUM ISLAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Hukum Islam”


Dosen Pembimbing :
Pak Munir
Disusun Oleh :
                   Abdulloh Faqih                                 B03212001
                   Ach. Kholil                                       B03212002
                   Ahmad Faizin                                   B03212003
                   Ahmad Fikri Haikal                          B03212004
         

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013

BAB II
PEMBAHASAN

A.       Definisi Hukum Islam
Menurut Bahasa “Hukm” berarti halangan, keputusan, dan pemisahan. Kata ini berkembang hingga menjadi hukum dan hikmah. Keduanya berfungsi sama, yaitu menghalangi seseorang untuk berbuat jahat, memisahkan hal yang benar dan yang salah, serta memberikan keputusan untuk suatu persoalan. Hukum menggunkan pendekatan legal-formal, sedangkan hikmah dengan pendekatan kultur-substansial.[1]
Menurut istilah, hukum didefinisikan secara berbeda oleh ulama Sunni dan Mu’tazilah. Bagi ulama Sunni Hukum adalah titah Allah azza  wa jalla yang berkaitan dengan orang yang berakal dan dewasa melalui tuntutan (al-iqtidla’), pilihan (al-takhyir) dan penentuan sebab, Syarat dan penghalang hukum (al-wadl’). Menurut ulama Mu’tazilah, Hukum adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Allah azza wa jalla dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan apa yang ada dalam sifat akal, karena teks al-qur’an dan as-sunnah berfugsi sebagai pembuka rahasia hukum dan akal bebas untuk mendapatkanya. Demikian ini pengertian hukum dalam prespektif Ushul Fikih. Dalam konsepsi barat, hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur manusia sendiri.
Kata “Hukum Islam” tidak ditemukan sama sekali dalam al-Qur’an, as-sunnah dan literatur hukum dalam islam, tetapi yang ada dalam Al-Qur’an adalah kata Syari’ah, Fiqh, Hukum Allah azza wa jalla, dan yang seakar dengannya. Kata “Hukum Islam” merupakan terjemahan dari term “islamic law” dari literatur barat. Hasbi Ash Shiddieqy rohmatullah’alaih memberikan definisi hukum islam, yaitu “koleksi daya upaya para pakar Fikih (Fuqoha’) dalam menerapkan syari’at islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Definisi ini mendekati kepada makna Fikih.
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang arti Hukum Islam, perlu diketahui terlebih dulu arti kata “Hukum”. Agar mudah dipahami definisi yang diambil oleh Muhammad Muslehuddin, menurut pendapatnya hukum adalah “sekumpulan aturan baik yang berasal dari aturan formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya”. Bila hukum dihubungkan dengan islam, maka Hukum Islam berarti “Seperangkat peraturan berdasarkan Wahyu Allah azza wa jalla dan Sunnah Rosulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua ummat yang beragama islam.
Dari devinisi tadi dapat dipahami bahwa rukun islam mencakup hukum syari’ah dan hukum fiqih, karena arti keduanya terkandung didalamnya. Penting untuk dikemukakan bahwa karakter utama suatu hukun adalah mengikat anggotanya. Jika tidak ada ikatanya, maka tidak bisa dikatakan sebagai hukum. Ikatan suatu hukum adalah pemberlakuan sanksi atas orang yang melanggarnya. Tentu saja sanksi ini bersifat legal yang dalam hadis diatas dinyatakan dengan bihaqq al-islam. Oleh karena itu, hukum islam berarti peraturan perundang-undangan islam.
Dalam bahasa Arab, peraturan perundang-undangan diistilahkan dengan al-Qoonun. Dalam Mu’jam al-Washith disebutkan, Qonun ialah setiap perkara yang bersifat menyeluruh (Kulliy) dan relevan dengan seluruh bagian-bagianya (juz’iyyat).[2]
Hubungan Syari’ah, Fikih, dan Hukum Islam :
·         Syari’ah itu tujuan (hadaf), sedang Fikih adalah caranya. Syari’ah tidak berbeda jauh dengan Fikih. Fikih itu ilmu Syari’ah, sebab ia termasuk ilmu yang bersandar kepada wahyu ilahi. Pekerjaan akal dalam menyimpulkan hukum justru terikat oleh dasar-dasar Syari’ah.
·         Hukum Islam mengikut semua umat islam, apapun madzhab dan alirannya. Pengikatan ini dilakukan dengan pemaksaan. Bagi Negara dengan sistem kerajaan, hukum islam ditentukan oleh Raja atau Sultan setelah para pakar studi Hukum Islam merumuskannya.
Hukum Islam secara garis besar mengenal dua macam sumber hukum, pertama sumber hukum yang bersifat “Naqly” dan kedua sumber hukum yang bersifat “aqliy”. Sumber hukum naqliy ialah Al-Qur’an dan As-sunnah, sedangkan sumber hukum aqliy ialah usaha menemukan hukum dengan mengutamakan olah fikir dengan beragam metodanya kandungan Al-qur’an dan As-sunnah kadang kala bersifat prinsipiil yang general (zanni) sehingga perlu adanya penafsiran atau upaya interpretasi.

B.       Tujuan Mempelajari Hukum Islam
·      Mendidik individu agar mampu menjadi sumber kebajikan bagi masyarakatnya dan tidak menjadi sumber malapetakata bagi orang lain;
Hal ini disebutkan dalam firman-Nya Qs. Al-Ankabut : 45
Sesungguhnya salat itu mencegah dari keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah lebih besar.  (al-ankabut : 45)
·      Menegakkan keadilan di dalam masyarakat secara internal di antara sesama ummat Islam maupun eksternal antara ummat Islam dengan masyarakat luar. Ditegaskan dalam firman-Nya : al- Maidah : 8.
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Agama Islam tidak membedakan manusia dari segi keturunan, suku bangsa, agama. Warna kulit dan sebagainya. Kecuali ketaqwaan kepada-Nya.
Hal tersebut dinyatakan dalam firman-Nya  surat al-Hujarat : 13.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ 
Artinya: Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.
·      Mewujudkan kemaslahatan hakiki bagi manusia dan masyarakat. Bukan kemaslahatan semu untuk sebagian orang atas dasar hawa nafsu yang berakibat penderitaan bagi orang ain, tapi kemaslahatan bagi semua orang, kemaslahatan yang betul-betul bisa dirasakan oleh semua pihak.[3]

C.       Manfaat Mempelajari Hukum Islam
·                Sebagai alat kesempurnaan hidup , sebagai pedoman hidup beragama, baik pribadi maupun sosial.
·                Untuk mengetahui mana yang halal dan haram, syah dan batil dari perbuatan manusia.
·                Untuk mengetahui aturan hidup manusia, seperti masalah nikah, kewarisan, perwakafan, mu’amalah, ibadah, jinayah, siyasah, dan lain lain.
D.       Perkembangan di Masa Nabi dan Khulafaurrasyidin
A.                     Perkembangan Hukum Islam di Masa Nabi Muhammad SAW.
Mengenai peranan dan tempat nabi Muhammad dalam sejarah umat manusia, tidak ada salahnya kalau disebutkan pula, pendapat Philip Kurie Hitti dalam bukunya Islam a Way of Life (1970). Pada halaman 2 dan 3 bukunya Philip Kurie Hitti menyatakan bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad untuk umat manusia itu suatu pandangan hidup (a way of life) dengan tiga aspek utamanya, yaitu agama, politik, dan budaya.[4]
Sejarah memang telah mencatat nama-nama manusia yang membawa atau membangun suatu agama, yang lain disebut-sebut sebagai bapak suatu bangsa. Di samping itu ada pula orang-orang besar yang berhasil membangun suatu masyarakat atau negara. Jika ada orang lain yang berhasil membangun ketiga-tiganya sekaligus, maka mungkin kedudukan Nabi Muhammad tidak sangat istimewa dalam sejarah umat manusia, terutama bagi umat Islam, dan orang mungkin akan mudah melupakan namanya. Akan tetapi, sejarah telah menunjukkan bahwa ke tiga instituisi atau lembaga yang sangat unik dalam bentuk yang unik telah berhasil dibangun oleh Nabi Muhammad dalam masa kurang dari 23 tahun.[5]
Para ulama membagi dua periode pembentukan sumber hukum, yaitu periode sebelum hijrah ke madinah dan periode setelah hijrah. Periode pertama dinamakan Makkiyyah, sedangkan periode kedua disebut Madaniyyah. Masing-masing periode ini memiliki karakteristik, modal sosial, proses, sasaran, dan hasil tersendiri.
1.    Pembentukan Sumber Hukum Periode Makkiyyah
Semula Nabi Muhammad hanya seorang diri. Selanjutnya Nabi Muhammad mengajak keluarga dan teman-teman terdekatnya. Setelah itu, mengajak masyarakat luas. Ajakan Nabi Muhammad tidak direspon dengan baik, sehingga jumlah pengikut Nabi menjadi kaum minoritas yang tertindas. Kondisi demikian ini relevan dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Kandungan pokok wahyuMakkiyyah adalah sebagai berikut.[6]
a.       Penanaman akidah. Dalam hal ini, wahyu menunjukkan kesesatan kepercayaan masyarakat, menunjukkan kebenaran tentang Tuhan Allah, dan memberi peluang kepada masyarakat untuk berpikir tentang kebenaran tersebut.
b.      Penegasan kebenaran kandungan al-Qur’an. Wahyu berulangkali meyakinkan masyarakat bahwa al-Qur’an benar-benar firman Allah, bukan perkataan Nabi atau kutipan kitab-kitab terdahulu.
c.       Penguatan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad serta pembelaan kepadanya. Dalam hal ini, wahyu menunjukkan pribadi Nabi Muhammad yang agung sekaligus diakui oleh masyarakat. Selain itu, wahyu juga mempersamakan kenabian Nabi Muhammad dengan rasul-rasul sebelumnya.
d.      Janji atas keimanan dan ancaman atas pengingkaran ditebar oleh wahyu periode Makkiyyah. Dijelaskan pula, keadaan hari kiamat saat janji dan ancaman tersebut akan direalisasikan.
e.       Pembinaan akhlak. Berkenaan dengan ini, wahyu juga menunjukkan kerapuhan sistem sosial yang dijalankan masyarakat, menunjukkan sistem sosial yang unggul, serta menampilkan contoh-contoh dampak dari pelaksanaan sistem sosial yang rapuh tersebut.
f.       Penguatan beberapa tradisi masyarakat yang membuahkan kemashlahatan serta penghapusan tradisi-tradisi yang menimbulkan kerusakan. Wahyu pun menjadikan tradisi yang mashlahah tersebut sebagai syari’at.
g.      Penjelasan tentang hakekat manusia. Wahyu mengemukakan sifat-sifat dasar manusia, proses kelahiran dan kematiannya, serta kehidupannya yang sejati.
h.      Pengungkapan kehidupan duniawi dan hakekat harta benda. Melalui informasi ini, wahyu mengajak masyarakat untuk membuat keputusan secara bijak dalam membelanjakan harta benda.
Dari beberapa kandungan di atas, syari’at Islam mula-mula menekankan aspek ketuhanan dan kemanusiaan. Dalam menyampaikan pesan universal syari’at Islam, Nabi menggunakan strategi bertahan (defensif). Artinya, Nabi tidak memberikan perlawanan atas gangguan maupun permusuhan dari orang-orang yang membencinya.
Pesan universal dan strategi defensif merupakan karakteristik syari’at Islam periode makkiyyah.
2.    Pembentukan Sumber Hukum Periode Madaniyyah
Di Madinah, Nabi menghadapi masyarakat yang telah tercerahkan oleh syari’at Islam. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad, Mush’ab bin ‘Umair telah berhasil membina masyarakat Madinah. Persatuan kelompok Muhajirin dan kelompok asli daerah (Anshor) menjadi modal sosial bagi Nabi untuk membentuk masyarakat Madani. Dan wahyu yang turun bernuansa kemasyarakatan. Secara umum,kandungan syari’at Islam yang dikemukakan di periode Madaniyyah adalah sebagai berikut.
a.       Perwujudan keimanan dan interaksi sosial. Wahyu membuat klasifikasi mukmin, munafik, ahli kitab, musyrik, dan kafir serta mengemukakan sikap terhadap masing-masing kelompok sosial.
b.      Perintah ketaatan kepada Nabi Muhammad. Memerintahkan masyarakat untuk tetap loyal kepada Nabi.
c.       Petunjuk fungsi al-Qur’an. Menunjukkan fungsi-fungsi al-Qur’an dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
d.      Pemberlakuan hukum-hukum keluarga, antara lain pernikahan, waris, wasiat, dan sebagainya.
e.       Penetapan etika sosial. Jalinan hubungan antara sesama manusia dipertegas oleh wahyu, agar bangunan sistem sosial menjadi kokoh. Dalam hal ini, wahyu mengatur hubungan antara muslim dan non-muslim.
f.       Pemberlakuan hukum-hukum peperangan, diplomasi, pemerintahan, bahkan hukum acara pidana. Karena masyarakat madinah telah membentuk sebuah negara, maka wahyu turun untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
g.      Penetapan sumber-sumber keuangan negara dan pola pendistribusiannya. Wahyu menguraikan hukum zakat, rampasan perang, dan pajak atas kaum non-muslim (fay’).
Berdasarkan kandungan syari’at Islam periode Madaniyyah di atas, dapat dikemukakan bahwa karakteristik periode ini adalah kelembagaan.
Proses penguatan lembaga Madinah ditempuh Nabi selama 10 tahun. Selama ini pula, Nabi mengajarkan dan menafsirkan wahyu al-Qur’an dengan perkataan, sikap, dan perbuatan. Penjelasan teoritis dikemukakan dengan perkataan, sedangkan penjelasan praktis disampaikan dengan sikap dan perbuatan. Satunya perkataan dan perbuatan ini menjadi kunci sukses pembinaan Nabi. Hasilnya Nabi menjadi teladan dalam segala hal.
3.    Antara Makkiyyah dan Madaniyyah
Berdasarkan uraian di antara periode Makkiyyah dan Madaniyyah, terhadap perbandingan antara keduanya.
Pertama, situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi wahyu. Kondisi ini berpengaruh pada penetapan strategi pembentukan Syari’at Islam. Dari sudut dakwah islam, pemahaman ayat Mekkah-Madinah memberikan pedoman tentang strategi yang tepat dalam pembinaan keimanan manusia. Ayat Mekkah memperlihatkan posisi Nabi sebagai kelompok lemah menghadapi kelompok kuat, sedangkan ayat Madinah menunjukkan posisi Nabi sebagai kelompok kuat menghadapi kelompok lemah dan kelompok kuat yang lain.[7]
Kedua, terjadi perbedaan porsi al-Qur’an yang disampaikan. Selama periode Makkiyyah, wahyu yang diajarkan banyak dari ayat-ayat al-Qur’an. Tidak banyak hadis yang diriwayatkan dalam periode ini. Nabi sendiri pernah melarang untuk mencatat hadis, tetapi memerintahkan mencatat ayat-ayat a-Qur’an. Ternyata para sahabat banyak yang masih mencatat hadis. Ternyata, hadis-hadis lebih didominasi aspek ibadah, hukum dan, kemasyarakatan. Sebaliknya, al-Qur’an didominasi oleh ayat-ayat keimanan dan kemanusiaan.
Ketiga, periode Makkiyyah berorientasi pada kekuatan pribadi individu, sedangkan periode Madaniyyah menekankan penguatan kelembagaan. Ada enam cara Nabi mengajarkan dan membentuk sumber hukum Islam.
a.       Informatif, yaitu menyampaikan penjelasan dengan uraian.
b.      Dialogis, yaitu melakukan tanya jawab langsung dengan para sahabat.
c.       Percontohan, yakni meragakan kegiatan yang sulit diungkapkan dengan pernyataan.
d.      Korespondensi, yaitu menjelaskan Syari’at Islam kepada pihak yang strategis dan jaraknya jauh.
e.        Integratif, yaitu gabungan dari berbagai masalah dari berbagai uraian.[8]

B. PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN
Masa pemerintahan khulafaur rasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum hukum Islam di zaman mutakhir ini.[9]
1.             Karakteristik Hukum Islam Masa Sahabat
Para sahabat Nabi mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkan. Mereka berbeda-beda dalam kemampuan pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Nabi ditanya tentang suatu masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu, memerintahkan atau melarang sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, sedangkan yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya.
Setelah Nabi meninggal dunia orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka, dan mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Para kholifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan hadis. Abu Bakar meriwayatkan 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (Abu Hurairah meriwayatkan 5374 Hadits).
Sebelum dinasti Umaiyyah berkuasa, tidak banyak sahabat yang keluar dari Madinah. Umar bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang mereka meninggalkan kota itu. Pertama, Umar ingin mengambil manfaat dari pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah, mereka diizinkan keluar.
Sahabat memiliki peran yang penting dalam perkembangan Islam. Pertama, sahabat adalah orang yang bertemu Nabi dan dari mereka sunnah Nabi diperkenalkan. Kedua, zaman sahabat adalah zaman berakhirnya penetapan syari’at Islam (tasyri’), setelah wafatnya Nabi. Inilah embrio studi hukum Islam pertama. Ketiga, pemikiran para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti. Keempat, Ahlus Sunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah baik.
2.             Perkembangan Hukum Islam Masa Sahabat
Para sahabat merupakan penerus perjuangan Nabi dalam melaksanakan dakwah Islam. Mereka juga menerapkan ajaran Islam dalam realitas nyata kehidupan sehari-hari. Dakwah yang mereka lakukan telah jauh melampaui dakwah pada masa Nabi. Pada masa pemerintahan Khulafaur rasyidin, wilayah kekuasaan Madinah sudah menjangkau negeri Persia, Irak, Syam dan, Mesir. Pada saat itu, ajaran islam harus berhadapan dengan masyarakat baru yang beragam dengan berbagai persoalan yang kompleks, baik dari segi hukum, moral, budaya, maupun ekonomi. Semua persoalan ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap ajaran Islam untuk menyelesaikannya.
Seringkali permasalahan yang muncul tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka seringkali bermusyawarah dalam memecahkan masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka baru diputuskan masalah-masalah tersebut yang kemudian dikenal dengan Ijma’. Kholifah Utsman merupakan kholifah pertama yang mengizinkan para sahabat untuk meninggalkan Madinah. Penyebaran sahabat ini memiliki perkembangan yang besar terhadap hukum Islam. Hal ini, terutama, disebabkan oleh perbedaan situasi, adat, kebiasaan, dan kebudayaan. Selain itu, perbedaan pemahaman para sahabat dalam menyikapi berbagai permasalahan yang muncul juga memberikan pengaruh pada perkembangan hukum Islam.
Hukum Islam pada masa sahabat ini disebarkan oleh para pengikut empat sahabat terkemuka, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas.
Perbedaan pendapat semakin berkembang ketika terjadi berbagai pergolakan politik di wilayah-wilayah Islam. Kekacauan politik sejak terbunuhnya khalifah Utsman . kenudian dilanjutkan dengan berpindahnya pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Irak pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan dengan konfrontasi antara khalifah Ali dengan Mu’awiyyah, semakin meruncing perbedaan pendapat yang sudah ada. Lebih dari itu, perbedaan pendapat (Ikhtilaf) berubah menjadi pertikaian kelompok (iftiraq) serta menimbulkan aliran-aliran dan sekte-sekte baru, seperti Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah, Mu’tazilah dan sebagainya. Sekte-sekte ini memecahkan kesatuan umat Islam. Meskkipun aliran-aliran ini bersifat teologis, namun mereka memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan hukum Islam. Misalnya, pakar hukum Islam syi’ah hanya mau menerima hadis jika diriwayatkan oleh imam mereka sendiri.





















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Seperti yang telah dibahas tadi bahwa, Menurut Bahasa “Hukm” berarti halangan, keputusan, dan pemisahan. Kata ini berkembang hingga menjadi hukum dan hikmah. Keduanya berfungsi sama, yaitu menghalangi seseorang untuk berbuat jahat, memisahkan hal yang benar dan yang salah, serta memberikan keputusan untuk suatu persoalan. Hukum menggunkan pendekatan legal-formal, sedangkan hikmah dengan pendekatan kultur-substansial.
Perkembangan Hukum Islam di Masa Nabi, terjadi pada saat Rosulullah Sebelum Hijrah (Periode Makkiyah) dan setelah Hijrah (Periode Madaniyah).
Hukum Islam pada masa sahabat ini disebarkan oleh para pengikut empat sahabat terkemuka, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Abbas.
Perbedaan pendapat semakin berkembang ketika terjadi berbagai pergolakan politik di wilayah-wilayah Islam. Kekacauan politik sejak terbunuhnya khalifah Utsman . kenudian dilanjutkan dengan berpindahnya pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Irak pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan dengan konfrontasi antara khalifah Ali dengan Mu’awiyyah, semakin meruncing perbedaan pendapat yang sudah ada. Lebih dari itu, perbedaan pendapat (Ikhtilaf) berubah menjadi pertikaian kelompok (iftiraq) serta menimbulkan aliran-aliran dan sekte-sekte baru, seperti Syi’ah, Khawarij, Jahmiyyah, Mu’tazilah dan sebagainya.

B.     Saran
Sebaiknya para pembaca memahami dengan sefaham-fahamnya dan mengamalkan ilmunya, khususnya dalam hal ini sehingga menjadi ilmu yang manfaat.



Daftar Pustaka

Subandi, Bambang. 2012. Studi Hukum Islam. Surabaya: IAIN SAP.
Shomad, Abd. 2012. Hukum Islam. Jakarta: Kencana Perdana Group


[1] Bambang Subandi, dkk,  Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SAP, 2012)  Hal.42-43
[2] Bambang Subandi, dkk,  Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SAP, 2012)  Hal.45
[3] Zahroh,Abu,ushul fiqih.hal.364
[4] Abd. Shomad, Hukum Islam, (jakarta: Kencana, 2012)  Hal. 3
[5] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005), hal.161
[6] Bambang Subandi, dkk,  Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SAP, 2012)  Hal.94-102
[7] Moh. Ali Aziz dan Bambang Subandi, Pengetahuan Dasar Al-Qur’an (Surabaya: Imtiyaz, 2011), hal. 98-99
[8] M. Hasyim Manan, Kilasan Sejarah Al-Hadis (Surabaya: Media Karya, t.t.), hal. 27-28
[9] Bambang Subandi, dkk,  Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SAP, 2012)  Hal.105-113

0 komentar:

Posting Komentar