Selasa, 17 Juni 2014

SOSIAL KOGNITIF ALBERT BANDURA DAN JULIAN ROTTER

Standard
" SOSIAL KOGNITIF ALBERT BANDURA DAN JULIAN ROTTER "

BAB I
PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI ALBERT BANDURA
Albert Bandura lahir tanggal 4 Desember 1925 di kota kecil Mundare bagian selatan Alberta, Kanada. Di sekolah menengah yang sederhana, dengan fasilitas pendidikan yang sangat terbatas, namun dengan hasil rata-rata yang sangat memuaskan. Setelah selesai SMA, dia bekerja pada perusahaan penggalian jalan raya Alaska  Highway di yukon.
Dia menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi dari University of Britsh of Columbia 1949. Kemudian dia masuk di University of Lowa, tempat dimana dia meraih gelar Ph.D tahun 1952. Baru setelah itu dia menjadi sangat berpengaruh dalam tradisi behavioris dan teori pembelajaran.
Waktu di lowa, dia bertemu dengan Virgina Varns, seorang instruktur sekolah perawat dan menikah. Mereka kemudian di karuniai dua orang putri. Setelah lulus dia meneruskan pendidikannya ke tingkat post-doktoral di Wicth Guidance Center di Wichita, Kansas Tahun 1953, dia mulai bekerja di Stanford University. Disinilah dia kemudian bekerja sama dengan salah seorang anak didiknya, Richard Walters. Buku pertama hasil kerja sama mereka berjudul Adolescent Aggression terbit tahun 1959. Sayangnya, Walters mati muda karena kecelakaan sepeda motor.
Albert Bandura menjadi presiden APA tahun 1973, dan menerima APA Award atas jasa-jasanya dalam Distinguished Scintific Contributions tahun 1980. Sampai sekarang dia masih mengajar di Stanford University.[1]
                                
  • TEORI

Albert Bandura mengenalkan teorinya dengan teori kognitif sosial. Dalam hal ini bandura menekankan kejadian-kejadian yang tidak disengaja walaupun juga menyadari bahwa pertemuan dan kejadian ini tidak selalu mengubah dalam hidup seseorang. Teori ini memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, karakteristik yang paling menonjol dalam diri manusia adalah plastisitas, yaitu bahwa  manusia mempunyai fleksibilitas untuk belajar berbagai jenis perilaku dalam situasi yang berbeda.
Kedua, melalui model triadic reciprocal causation yang meliputi prilaku, lingkungan dan faktor pribadi, dapat terlihat bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk mengontrol kehidupannya. Ketiga, teori kognitif sosial menggunakan perspektif agen, yaitu manusia mempunyai kapasitas untuk mengontrol sifat dan kualitas hidup mereka.
Keempat, manusia mengontrol tingkah lakunya bersasarkan faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal meliputi lingkungan fisik dan sosial dari seseorang, sementara faktor internal meliputi observasi diri, proses nilai dan reaksi diri. Kelima, saat seseorang menemukan dirinya dalam situasi yang ambigu secara moral, mereka biasanya berusaha untuk mengontrol prilaku mereka melalui agensi moral, yang meliputi mendefinisi ulang suatu prilaku, merendahkan atau mendistorsi konsekuensi dari perilaku mereka, melakukan dehumanisasi atau menyalahkan korban dari perilaku mereka.[2]
Teori kepribadian menurut Albert Bandura adalah sebagai berikut : 

a)    Belajar
Salah satu asumsi awal dan dasar teori kognitif sosial Bandura adalah manusia cukup fleksibel dan mampu mempelajari berbagai sikap, kemampuan dan prilaku serta cukup banyak dari pembelajaran tersebut yang merupakan hasil dari pengalaman tidak langsung.[3]
Sosial kognitif (Belajar sosial) adalah perilaku dibentuk melalui konteks sosial. Perilaku dapat dipelajari baik sebagai hasil reinformecement maupun reiforcement. Bandura berpendapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri, sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi. Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara.[4]

b)   Belajar Melalui Observasi
Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforcement yang nyata. Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mendapat reinforcement dari tingkah lakunya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan atau penguatan.

c)    Peniruan (Modelling)
Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan seorang model (orang lain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif.
Contoh lain, berdasarkan social learnig theory menyatakan bahwa tingkah laku manusia bukan semata – mata bersifat refleks atau otomatis, melainkan juga merupakan akibat dari reaksi yang tombul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan (imitation) maupun penyajian contoh perilaku (modelling). Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang model atau tokoh bagi anak untuk menirukan perilaku membaca. Anggota keluarga yang sering dilihat oleh anak membaca atau memegang buku di rumah akan merangsang anak untuk mencoba mengenal buku.[5]

d)     Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung dikembangkan berdasarkan teori belajar social dari Albert Bandura. Pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang dirancang untuk mengajarkan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang diajarkan setahap demi setahap. Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya modeling, yaitu suatu fase di mana Dosen memodelkan atau mencontohkan melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan.
Pada saat Dosen melakukan modeling Mahasiswa melakukan pengamatan terhadap keterampilan yang dimodelkan itu. Selanjutnya Mahasiswa diberi kesempatan untuk meniru model yang dilakukan oleh Dosen melalui kesempatan latihan di bawah bimbingan Dosen.[6]

e)      Belajar Observasional Modeling
Teoritikus sosial kognitif menggunakan berbagai prinsip teoritis ini untuk memahami 2 aktivitas psikologis utama, atau yang disebut disini sebagai 2 fungsi psikologi :
1.      Menguasai pengetahuan dan keterampilan baru, khususnya melalui proses belajar obsevasional.,
2.      Menggunakan kontrol atau regulasi diri, terhadapap tindakan dan pengalaman emosional sendiri.
Teori yang menangani isu ini secara lebih eksplisit adalah behaviorisme. Behavioris mengklaim bahwa orang belajar sesuatu melalu proses belajar trial and erorr yang disebut shaping atau succesive approximation (aproksimasi berturutan). Albert Bandura telah berhasil menjelaskan kelemahan teori behavioris ini dan memberikan penjelasan teoritis alternative bagi psikologi.  Teori sosial kognitif menjelaskan bahwa orang dapat belajar dengan hanya mengobservasi prilaku orang lain. Orang yang diamati disebut model dan proses belajar observasional itu juga dikenal dengan “modelling”(pemodelan). [7]
Albert Bandura berbeda dengan kebanyakan peneliti kepribadian lainnya, ia tidak mempercayai karakteristik pribadi individu atau lingkungan saja yang akan mempengaruhi kepribadian. Ia mengajukan konsep determinisme resiprocal, beyond reinforcement, dan self regulation.

1.      Determinis Resiprocal
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan / mempengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determenis resiprokal adalah konsep penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai saling detirminis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan interpersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif sari organisasi dan sistem sosial.
Gambar berikut menunjukkan Nilai komperhensif dari determinis resiprokal Bandura dibandingkan dengan teori Behaviorisme lainnya. Hubungan antara tingkah laku (T) – Pribadi (P) – Lingkungan (L) menurut Pavlov, Skinner, Lewin dan Bandura[8]





Skinner : Pribadi mempengaruhi tingkah laku melalui manipulasi lingkungan



2.      Beyond Reinforcement (Tanpa Reinforcement)
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unik respon sosial yang orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu – satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforsement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.

3.      Self Regulation (Regulasi diri)
Teori belajar  tradisional sering terhalang oleh ketidak senangan atau ketidak mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan  menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkahlaku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang.

Selain itu, Bandura menambahkan satu elemen kognitif penting kedalam formula tersebut: karakteristik kepribadian tentang self efficacy,yaitu keyakinan (ekspektasi) seberapa kompeten seseorang mampu melakukan perilaku dalam situasi tertentu. self efficacy yang positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang dimaksud. Menurut Bandura self efficacy menentukan apakah kita akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa kita dapat bertahan saat kita menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku kita dimasa depan. Keyakinan tentang self efficacy adalah hasil dari empat jenis informasi yaitu :[9]

1. Pengalaman kita dalam melakukan perilaku yang diharapkan atau periku yang serupa ( kesuksesan dan kegagalan dimasa lalu)
2.      Melihat orang lain melakukan perilaku tersebut atau perilaku yang kurang lebih sama (vicarious experience)
3.  Persuasi verbal (bujukan orang lain yang bertujuan untuk menyemangati atau menjatuhkan performa)
4.      Apa perasaan tentang perilaku yang dimaksud (reaksi emosional)

  • TERAPI

Terapi Kontrol-diri
Gagasan-gagasan yang tercakup di dalam konsep regulasi diri diwujudkan ke dalam teknik terapi yang disebut terapi kontrol-diri. Terapi ini cenderung lebih berhasil pada persoalan-persoalan sederhana, seperti merokok, banyak makan atau kebiasaan belajar yang buruk.

1.       Grafik-grafik behavioral. Pengamatan-diri mengharuskan Anda terus menerus mengawasi perilaku Anda sendiri, baik sebelum Anda berubah maupun setelahnya. Cara ini mencakup hal-hal yang sederhana seperti menghitung berapa batang rokok yang anda habiskan dalam sehari sampai pada hal-hal yang lebih rumit, seperti membuat catatan harian tentang prilaku anda sendiri.
2.       Perencannaan lingkungan. Ambil salah satu kartu atau catatan harian perilaku anda dan jadikan sebagai patokan. Setelah itu, anda merusaha mengubah lingkungan anda. Misalnya, anda bisa menghilangkan atau menghindari factor-faktor yang akan membawa kita pada perilaku yang jelek, seperti menyingkirkan asbak, tidak lagi minum kopi, menghindari pergaulan dengan teman-teman yang merokok.
3.       Perjanjian diri. Akhirnya anda harus bersiap untuk memberiimbalan kepada diri anda sendiri ketika anda berhasil melaksanakan rencana-rencana anda sendiri, dan siap pula menghukum diri sendiri ketika tidak berhasil menjalankannya.[10]

B.     SEJARAH JULIAN ROTTER
Julian Rotter dilahirkan di Brooklyn pada 22 Oktober 1916, sebagai anak ketiga dan anak laki-laki pertama dari pasangan orang tua imigran yahudi. Rotter mengingat bahwa ia sangat sesuai dengan deskripsi dari Adler mengenai anak paling kecil yang sangat kompetitif dan selalu berjuang.
Ketika menjadi junior disekolah menengah atas, ia telah membaca hampir semua buku fiksi diperpustakaan lokal, kemudian berpaling kerak buku psikologi dan menemukan buku karya Adler dan Freud dan ia sangat mengaguminya kemudian ia mempelajari lebih jauh tentang keduanya.
Rotter mengambil jurusan kimia di Brooklyn collage karena menurutnya lebih menjanjikan untuk bekerja, kemudian lulus pada tahun 1937 dan melanjutkan pascasarjana psikologi di University of Lowa.
Julian Rotter adalah seorang ahli teori pembelajaran sosial yang karyanya dianggap penting. Teori rotter menjembatani teori pembelajaran social tradisional dan teori yang lebih modern, teori sosial kognitif.
Menurut Rotter prilaku yang kita pilih tegantung dari seberapa besar kita mengharapkan prilaku kita akan mendatangkan hasil akhir yang positif (ekspektasi hasil [outcome expectancy]) dan seberapa besar kita menghargai reinforcement yang kita harapkan (nilai reinforcement [reinforcement value]). Disini teori Rotter berfokus pada alasan mengapa individu bertindak, dan prilaku mana yang akan individu tampilkan pada situasi tertentu.[11]

Teori Julian Rotter
Rotter menyebutkan kecenderungan kemunculan suatu perilaku tertentu dalam suatu situasi tertentu sebagai potensi perilaku (behavioral potential). Perilaku tersebut seperti : tertawa terbahak-bahak, lebih mungkin muncul pada beberapa situasi (selama film komedi) dan tidak mungkin muncul pada situasi lain (saat ujian akhir).
Rotter juga berpendapat bahwa individu lebih memilih reinforcement tertentu daripada yang lainnya, dan hal ini akan mempengaruhi kemungkinan munculnya perilaku yang akan muncul. Menurut Rotter reinforcement yang memiliki nilai tertinggi adalah reinforcement yang kita harapkan dapat membuat kita mendapatkan hal lain yang kita anggap penting seperti : uang, kehormatan, dll. Reinforcement sekunder ini memiliki nilai tinggi karena keterkaitannya dengan pemuasan kebutuhan psikologis yang penting.
Rotter mengembangkan 6 kebutuhan psikologis yang berkembang dari kebutuhan biologis, yaitu:

  •     Pengakuan status (kebutuhan untuk sukses, terlihat kompeten dan memiliki kedudukan social yang positif) 
  •            Dominasi (kebutuhan untuk mengatur orang lain, memiliki kekuasaan dan pengaruh) 
  •       Kebebasan (kebutuhan untuk membuat keputusan untuk dirinya sendiri) 
  •     Proteksi-dependensi (kebutuhan untuk mendapatkan perlindungan dari orang lain dan mendapatkan bantuan untuk mencapai tujuan) 
  •           Cinta dan afeksi (kebutuhan untuk disukai dan dijaga oleh orang lain) 
  •          Kenyamanan fisik (kebutuhan untuk tidak merasakan sakit, mencari kesenangan, merasa aman secara fisik, dan merasa nyaman secara psikologis)

Potensi perilaku, ekspektasi hasil dan nilai reinforcement membentuk apa yang disebut rotter sebagai Situasi psikologi. Situasi psikologis menggambarkan kombinasi unik perilaku potensial individu dan nilai perilaku potensial tersebut bagi dirinya. Di dalam situasi psikologis, ekspektasi dan nilai seseorang berinteraksi dengan batasan situsional untuk memberikan pengaruh besar terhadap perilaku.
Elemen utama dalam teori Rotter ini ialah konsep kontrol eksternal versus internal dari reinforcement, atau lokus kontrol. Rotter mengembanggkan skala lokus kontrol internal-eksternal yang mengukur keyakinan individu tentang faktor penentu perilakunya.
Dalam pandangan awalnya, Rotter melihat lokus kontrol sebagai variable perbedaan individual yang stabil yang memiliki dua dimensi (internal-eksternal) yang mempengaruhi berbagai perilaku dalam jumlah konteks yang berbeda. Orang yang mengatribusikan faktor eksternal tidak hanya percaya bahwa peristiwa terjadi di luar kontrol mereka, tetapi mereka juga menganggap bahwa peristiwa tersebut terjadi karena kesempatan atau kekuatan lain.
Orang yang lokus kontrol internal lebih berorientasi pada keberhasilan karena mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever. Orang dengan lokus kontrol eksternal cenderung kurang independen dan lebih mungkin menjadi depresif dan stres seperti yang diperkirakan oleh Rotter.




[1] Geogre Boeree, Personality Theories, (Jogjakarta : Prisma Shopie, 2006), h. 263-264
[2] Jess Feist dan Gregory J. Feist, Teory of Personality, 7th ed., diterjemahkan oleh Smita Prathita Sjahputri, Teori Kepribadian, Edisi 7-Buku 2, (Jakarta: Salemba Humanika, 2013), h. 200
[3] Ibid, h. 203
[4] Alwisol, Psikologi Kepribadaian, (Malang : UMM Press, 2009), h. 283
[5] Alwisol, Psikologi Kepribadian, h. 292
[6] Howard S. Friedman, Miriam W Scustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, (Jakarta : Erlangga, 2006), h. 277
[7] Lawrence A Pervin, Daniel Cervone, Oliver P John, Psikologi Kepribadian Teori & Penelitian, (Jakarta : Kencana Prenada Grup, 2004) h. 456-457
[8] ibid, h. 285

[9]  Howard S. Friedman, Miriam W Scustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, h. 283

[10] George Boeree, Personality Theories, h. 272-273
[11] Howard S. Friedman, dan Miriam W. Schustack,  Kepribadian Teori klasik dan riset Modern, h. 271

0 komentar:

Posting Komentar